Wednesday, November 21, 2007

KERUSAKAN HUTAN DAN PEMULIHANNYA

Pikiran Rakyat, Wacana, 29 Oktober 2007
Foto: Sobirin 2007, Kebun Sayur Intervensi Hutan Lindung, Garut


Oleh Ir. TUBAGUS UNU NITIBASKARA

Ambil contoh kawasan lindung di Jawa Barat, khususnya luas hutan saat ini tinggal 18%, sehingga sering mengakibatkan bencana lingkungan. Hal tersebut dinyatakan oleh Dewan Pakar DPKLTS (Supardiyono Sobirin - Red.) di Bandung; Jumat 14 September 2007 (Kompas, 15 September 2007).



D
ATA tentang kerusakan hutan Indonesia dapat diperoleh dari berbagai macam sumber dan penyajiannya cukup beragam tergantung dari metodenya. Namun, paling tidak laju kerusakannya sudah mencapai lebih dari satu juta hektare/tahun. Mendefinisikan kerusakan hutan seperti apa, bukanlah perkara mudah, tergantung dari segi mana melihatnya.

Kalau kita merujuk pada penjelasan pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa "kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai fungsinya". Permasalahannya sekarang, bagaimana memulihkannya secara cepat, tepat dan akurat serta berkelanjutan.

Ambil contoh kawasan lindung di Jawa Barat, khususnya luas hutan saat ini tinggal 18%, sehingga sering mengakibatkan bencana lingkungan. Hal tersebut dinyatakan oleh Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (Supardiyono Sobirin - Red.) di Bandung; Jumat 14 September 2007 (Kompas, 15 September 2007). Sementara itu, data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat luas lahan kritis mencapai 580.397 ha, sebanyak 129.272 ha benar-benar kritis, 129.697 ha semikritis, dan 321.428 ha potensial kritis. Itulah sebabnya Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mencanangkan dan melaksanakan GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) dalam beberapa tahun belakangan ini.

Bagaimana memulihkan kerusakan hutan? Terdapat beberapa istilah misalnya rehabilitasi, yang objeknya bisa hutan dan juga lahan, lebih tepatnya reboisasi untuk yang di dalam kawasan hutan dan penghijauan untuk di luar kawasan hutan. Sedangkan reklamasi ditujukan untuk daerah bekas tambang. Untuk hutan konservasi lebih pas menggunakan kata restorasi. Perbedaan istilah tersebut di samping objek dan fungsinya yang berbeda juga jenis-jenis tumbuhan yang dipilih dan metodenya. Namun, pada prinsipnya, semua kegiatan berujung pada penanaman.

Hal penting yang harus diingat bahwa pemulihan kerusakan hutan, tidak sekadar menanam tetapi dilanjutkan dengan memelihara dan melestarikannya. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk pemulihan kerusakan hutan ini antara lain melalui:
* Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan)
* KMDM (Kecil Menanam Dewasa Memanen), dan
* Indonesia Menanam.

Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kelestarian hutan kegiatan di Jawa Barat? Sebut saja Perum Perhutani Unit III untuk wilayah hutan produksi dan hutan lindung, kemudian Balai Besar KSDA Jawa Barat, Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk hutan konservasi, sedangkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy dan BPDAS Citarum - Ciliwung untuk perencanaan rehabilitasi di daerah aliran sungai.

Biaya pemulihan

Masalah krusial dan klasik dalam pemulihan kerusakan hutan adalah pendanaan yang besar. Program Gerhan misalnya, walaupun penyediaan dana mencapai triliunan rupiah, namun mekanismenya masih perlu disempurnakan, seperti turunnya dana dalam waktu yang sempit sehingga di luar musim tanam. Selanjutnya perlu diterapkan dengan sistem multiyear untuk keberlanjutan program. Kabar baik bagi Perhutani yang selama ini merehabilitasi hutan produksi dan hutan lindung dengan biaya sendiri, dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2007, khususnya pasal 17 ayat 2 yang berisi bahwa pemerintah bisa menugaskan BUMN menyelenggarakan Gerhan di hutan lindung.

Begitu peraturan presiden keluar, Dirjen RLPS langsung mengalokasikan Rp 130.000.000.000,00 untuk rehabilitasi di hutan lindung (Agro Indonesia; 18-24 September 2007). Perhutani juga menargetkan akan menghijaukan kembali 36.251 ha hutan lindung tahun ini, termasuk Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten, seluas 12.378 ha di seluruh KPH yang semuanya di lahan kering.

Hutan konservasi?

Tidak semua hutan konservasi dapat direhabilitasi, hal ini terlihat dalam pasal 41 ayat (2) UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan "kegiatan rehabilitasi dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan" kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sementara itu, banyak cagar alam di Jawa Barat yang rusak yang akan menimbulkan bencana alam, apabila tidak segera dipulihkan. Jika mengharapkan suksesi secara alami akan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Ketentuan hukum ini sangat menyulitkan bagi para pelaksana lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, namun bila dicermati lagi ketentuan hukum yang menggunakan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdapat celah yang mendukung seperti pasal 10 yang berbunyi "Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami, dan atas oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkelanjutan".

Dalam kaitan ini cagar alam termasuk wilayah sistem penyangga kehidupan, namun sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaannya. Untuk sementara, payung hukum yang kemungkinan bisa dipakai adalah Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang memasukan antara lain, cagar alam sebagai salah satu bentuk kawasan lindung. Di luar cagar alam, rehabilitasi di hutan konservasi lainnya dilakukan dengan jenis endemik (asli dan terbatas), dengan menitikberatkan penutupan lahan yang mensinergikan keseimbangan ekosistem, sehingga fungsinya kembali ke semula (restorasi). Sampai tahun 2006 telah dilakukan restorasi di hutan konservasi Jawa Barat seluas kurang lebih 1.857 ha, dengan biaya Rp 6.646.855.334 (enam miliar enam ratus empat puluh enam juta delapan ratus lima puluh lima ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah).

"Global warming"

Pada tanggal 3-14 Desember 2007 nanti di Bali akan diselenggarakan perhelatan akbar United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan dihadiri 191 negara. Dalam konvensi itu bakal ada 800 sesi negoisasi. Ada empat keputusan penting yang diharapkan Indonesia, di antaranya adalah kesepakatan mengenai definisi, metodologi, dan mekanisme terhadap upaya pencegahan deforestrasi yang sekaligus pencegahan lepasnya gas rumah kaca (GRK). Jika disepakati, maka tahun depan akan ada fasilitas pendanaan untuk negara-negara pemilik hutan yang bisa dipakai untuk mencegah kerusakan hutan. Menurut Menteri KLH menyebutkan bahwa hutan dalam kondisi baik yang bisa "dijual" terkait mitigasi dan perubahan iklim ini, total mencapai 370 juta dolar AS (Agro Indonesia, 18-24 September 2007).
Kegiatan yang penting dilaksanakan adalah pemahaman tentang citra Indonesia di mata para peserta konferensi, dalam hal ini akan dilakukan kegiatan aksi penanaman serentak Indonesia dan pekan pemeliharaan pohon yang akan dilaksanakan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang waktunya tidak terpaut lama dengan pelaksanaan konferensi.

Penyelenggaraan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 28 November 2007 di wilayah Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Cianjur) dengan lokasi penanaman masing-masing daerah akan ditetapkan kemudian. Sebaiknya Pemda Jawa Barat mempersiapkan sejak dini, sehingga citra Jawa Barat yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat tergambar dengan baik di mata dunia. Semoga.***
Penulis, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat/dosen pada Program Studi Teknik dan Manajemen Lingkungan, Direktorat Program Diploma Institut Pertanian Bogor.

Read More..

CEKUNGAN BANDUNG DI AMBANG “KIAMAT”

IKLIM MIKRO HANCUR, AIR TANAH DISEDOT HABIS
Pikiran Rakyat
, 5 Agustus 2004, A-129
Gambar: Sobirin dan Tjoek 2007, Cekungan Bandung


Sebaliknya, Sobirin mengatakan hutan di Indonesia malah dibabat habis. ”Ya wajar saja, begitu musim kemarau tiba, sawah selalu mengalami kekeringan. Keadaan menjadi sangat fatal bila datangnya bersamaan dengan fenomena el nino.



Akibat Penyedotan Air Tanah yang tak Terkendali
CEKUNGAN BANDUNG DIAMBANG ”KIAMAT”

BANDUNG, (PR).-
Cekungan Bandung diambang catastrophic atau “kiamat” karena mengalami krisis air yang diperkirakan tak lama lagi terjadi. Krisis air itu disebabkan musim kemarau, el nino, kutub panas di Samudera Hindia, dan habisnya cadangan air tanah, yang muncul secara bersamaan.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Dr. Ir. Mubiar Purwasamita, M.Sc, Rabu (4/8). ”Di saat musim kemarau saja, potensi air cekungan Bandung hanya sekira 1,2 miliar m3/tahun atau kekurangan 6,8 miliar m3/tahun dari kebutuhan 8 miliar m3/tahun.”

Untuk menutupi kekurangan itu, Mubiar mengatakan, masyarakat terutama industri harus menyedot air tanah. ”Penyedotan air tanah yang berlangsung secara berlebihan dan tak terkendali mengakibatkan air tanah dalam waktu tak lama lagi akan habis. Di saat itu tiba, kebutuhan air 6,8 miliar m3/tahun harus dipenuhi dari mana?”

Ditegaskan Mubyar, apabila itu terjadi, jangankan harus menunggu el nino dan kutub panas di Samudera Hindia, datangnya musim kemarau saja sudah bisa mematikan kehidupan di cekungan Bandung. ”Apalagi jika musim kemarau dan habisnya air tanah itu datangnya bersamaan dengan fenomena el nino dan kutub panas di Samudera Hindia. Keadaan itu bisa mengakibatkan cekungan Bandung ”kiamat”. Bagaimana warga mau hidup kalau air saja tak ada,” katanya.

Kehadiran el nino dan kutub panas Samudera Hindia, lanjutnya, bisa bersamaan karena siklus keduanya mengalami perubahan. ”Siklus el nino yang dahulu biasanya 5 s.d 7 tahunan, sekarang menjadi 4 tahunan. Begitu pula dengan kutub panas di Samudera Hidia yang dahulunya 3 s.d 4 tahun, sekarang menjadi 15 bulanan. Kondisi itu tentu mengakibatkan keduanya bisa hadir secara bersamaan. Saya memperkirakan saat itu tak lama lagi bakal terjadi,” katanya dengan enggan menyebutkan waktu pastinya.

Dicontohkan Mubyar, fenomena musim kemarau selama 6 bulan saja telah mengakibatkan ribuan hektare sawah mengalami kekeringan. ”Bila itu terjadi bersamaan dengan datangnya el nino dan kutub panas di Samudera Hindia, kita tidak tahu akan berlangusung berapa lama musim kemarau? Bisa saja menjadi sangat panjang seperti 1 tahun atau lebih. Berdasarkan itu, bukan hanya sawah saja yang kekeringan, manusia di cekungan Bandung juga tak akan bisa minum.”

Perluasan hutan

Disebutkan, satu-satunya jalan untuk mengatasi kekhawatiran itu adalah segera memulihkan iklim mikro di cekungan Bandung dengan cara meluaskan hutan kota dan mengurangi polusi. ”Selain itu, seluruh industri yang menyedot air tanah harus dikeluarkan terlebih dahulu dari cekungan Bandung,” katanya.

Pemulihan iklim mikro seperti pada kondisi Bandung tempo dulu dipastikan bakal mampu mengatasi efek buruk dari hadirnya el nino dan kutub panas dari Samudera Hindia. “Hutan saja bisa menyerap 25% air hujan ke dalam tanah. Selain itu, 75% lainnya menguap lagi ke angkasa yang berfungsi untuk menjaga siklus hujan. Jadi, dengan adanya hutan, hujan bisa lebih sering terjadi dan kelestarian air tanah pun terjaga.” katanya.

Sementara itu, anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, mencontohkan Jepang merupakan negara yang sukses menjaga iklim mikronya. ”Meskipun ada fenomena el nino sekalipun, Jepang tak terlalu terpengaruh. Kelestarian hutan-hutan di Jepang yang sangat terjaga mengakibatkan siklus air berjalan lancar,” katanya.

Namun, sebaliknya, Sobirin mengatakan hutan-hutan di Indonesia malah dibabat habis. ”Ya wajar saja, begitu musim kemarau tiba, sawah selalu mengalami kekeringan. Keadaan itu bisa menjadi sangat fatal bila datangnya bersamaan dengan fenomena el nino dan kutub panas di Samudera Hindia. cekungan Bandung yang dipenuhi manusia ini bisa benar-benar ‘kiamat’,” tegasnya. (A-129)***

Read More..

Monday, November 19, 2007

MIMPI PROVINSI TANPA BENCANA

Pikiran Rakyat, Artikel, 21 Desember 2004
Foto: Sobirin 2003, Longsor Mandalawangi Garut

Oleh SOBIRIN
(Artikel saya ini dimuat PR tahun 2004, tetapi masih relevan dirilis kembali di blog ini, sebab bencana terus berulang). Jawa Barat harus memiliki visi menjadi provinsi tanpa bencana atau "zero disaster"? Mungkin terlalu berlebihan. Namun visi seperti itu memang perlu.



Jawa Barat harus memiliki visi menjadi provinsi tanpa bencana atau "zero disaster"? Mungkin terlalu berlebihan. Namun visi seperti itu memang perlu, mengingat dalam dekade 1994 hingga 2003, bencana yang terjadi di Jabar menunjukkan kuantitas dan kualitas yang cenderung terus meningkat.

Informasi dari ahli geologi gerakan tanah, Gatot M. Soedradjat, dari Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG sekarang Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), sejak 1994 hingga 2003, di Jabar terjadi peristiwa tanah longsor sebanyak 462 kali yang merenggut korban meninggal 267 orang. Jadi rata-rata terjadi 46 kali peristiwa longsor dengan korban meninggal 27 orang tiap tahun. Itu baru bencana tanah longsor. Belum banjir, kekeringan, gempa bumi, dan letusan gunung berapi.

Sepanjang tahun 2004, Jawa Barat terus-menerus tertimpa bencana secara bertubi-tubi, dari mulai banjir, tanah longsor, dan angin ribut yang terjadi di musim penghujan, hingga kekeringan yang terjadi di musim kemarau. Bencana di musim hujan tahun 2004 antara lain berupa 10 ribu ha lahan di 15 kecamatan di Kabupaten Bandung terancam banjir, banjir bandang menerjang 2 kecamatan di daerah aliran sungai (DAS) Sarongge di Cianjur, ratusan ha sawah di Desa Padaherang Kecamatan Kalipucang Ciamis tergenang banjir, angin ribut melanda 7 desa di Kecamatan Indramayu dan Sindang Indramayu.

Di samping bencana banjir terjadi pula musibah bencana tanah longsor 21 kali yang menelan korban jiwa 21 orang. Di musim kemarau 2004 muncul pula musibah kekeringan. Hingga akhir Juni 2004, luas sawah yang kekeringan 4.482 hektare, 532 ha di antaranya mengalami puso. Daerah yang paling parah adalah Indramayu 1.815 ha, Ciamis 1.256 ha, dan Sukabumi 845 ha. Di samping itu, terdapat 1.114 ha sawah yang terancam kekeringan tersebar di Majalengka 506 ha, Kuningan 369 ha, serta Cirebon 170 ha. Sampai awal November 2004 sekira 1.000 penduduk di Desa Kamarang Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon kesulitan mendapatkan air bersih untuk minum dan keperluan rumah tangga karena sumur warga yang jumlahnya mencapai 670 buah telah mengering selama 8 bulan terakhir ini.

Selain merenggut korban jiwa, bencana alam juga telah memorak-porandakan harta benda, lahan pertanian dan jalur transportasi dengan kerugian sampai triliunan rupiah. Ujung-ujungnya akan berdampak sebagai ancaman, hambatan, dan kendala dalam merealisasikan visi Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Alih-alih menjadi provinsi termaju, bisa-bisa di tahun 2010 Jabar malah menjadi provinsi terbelakang.

Jabar provinsi sensitif

Dengan letaknya yang sedikit berada di selatan garis khatulistiwa, tanah yang subur beriklim tropis, curah hujan tinggi, dengan angin sepoi-sepoi dari laut dan pegunungan, maka Jabar selayaknya mampu menjadi wilayah yang indah dan makmur. Tidak berlebihan bila pakar budaya dan kemanusiaan M.A.W. Brouwer sempat mengatakan bahwa Jabar diciptakan pada saat Tuhan tersenyum. Namun kenyataannya, alam lingkungan Jabar telah sedemikian berubah, dan bencana rutin seperti banjir, tanah longsor yang silih berganti dengan kekeringan telah menjadi langganan rutin setiap tahun. Ternyata di balik kesuburan dan keindahan alam Jabar terkandung sifat yang sensitif, mudah sekali berubah menjadi wilayah bencana apabila kawasan lindungnya terganggu atau dialihfungsikan.

Peristiwa alam dan lingkungan sebenarnya menunjukkan bahwa alam dan lingkungan selalu mencari keseimbangan baru. Kondisi ini terjadi karena proses alami dan bisa juga terjadi akibat proses penyesuaian diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti mempengaruhinya. Gempa bumi dan letusan gunung berapi adalah proses alami di luar kendali manusia. Sedangkan banjir, longsor, dan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini lebih banyak diakibatkan oleh intervensi manusia antara lain: eksploitasi sumber daya alam berlebihan, laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali, alih fungsi lahan kawasan lindung, pembangunan yang sektoral, teknologi tidak tepat guna, ekonomi politik tidak memihak rakyat, dan lunturnya kearifan budaya lokal.

Proses alam dan lingkungan dalam menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa ditangkap maknanya atau bahkan di luar jangkauan horison manusia, sehingga setelah bencana terjadi dan menelan korban, barulah kita saling menyalahkan bukannya mencari solusi yang arif.

Bencana selama 2004 yang terjadi di Jabar disebabkan oleh dua kelompok faktor yakni faktor alamiah yang tidak bisa dikendalikan manusia, tetapi jauh lebih banyak oleh sebab faktor yang sebetulnya berasal dari intervensi manusia, termasuk arah kebijakan, program, dan projek yang tidak tepat. Curah hujan dengan intensitas tinggi dan angin puting beliung merupakan contoh-contoh faktor alam yang sulit atau bahkan tidak bisa dikendalikan manusia. Sedangkan masalah perambahan dan illegal logging di kawasan hutan, budidaya pertanian di lereng gunung, permukiman, dan industri di kawasan lindung merupakan bentuk intervensi yang sebetulnya tidak perlu terjadi dan seharusnya dapat dikendalikan oleh manusia. Semua itu berpengaruh besar terhadap terjadinya peristiwa banjir bandang dan tanah longsor.

Di samping faktor-faktor yang berpengaruh, bentuk peristiwa alam itu sendiri ada yang bisa diprediksi dan dikendalikan, tetapi ada juga yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikendalikan. Ada wilayah yang berbakat mudah terancam bencana, ada wilayah yang aman dan stabil. Bila peristiwa alam yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikendalikan itu terjadi, maka upaya yang dapat dilakukan adalah mengelak atau menghindar dari daerah yang berbakat bencana tersebut.

Upaya pengendalian maupun upaya penghindaran terhadap peristiwa perubahan keseimbangan alam tersebut perlu pengetahuan tentang fenomena alam yang terjadi. Terkadang kita sebagai generasi modern tidak peka dan tidak lagi bisa membaca tanda-tanda alam, bahkan dengan sengaja beraktivitas di wilayah yang berbakat terancam bencana. Beda dengan nenek moyang kita tempo dulu yang dengan kearifannya malah lebih mampu bersahabat dengan alam, mampu membaca tanda-tanda alam, tidak menempati dan beraktivitas di lahan yang dianggap dapat menimbulkan bencana, dan mampu menghindar dari bencana.

Banjir bandang dan tanah longsor di musim hujan, serta kekeringan di musim kemarau, menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk respons alam atas interaksi alami dan intervensi manusia. Hal ini merupakan suatu fenomena pengelolaan yang keliru atas sumber daya alam oleh manusia, dan telah menimbulkan kerusakan siklus air, sehingga air hujan yang jatuh ke bumi cepat menjadi aliran permukaan langsung ke sungai, dan hanya sedikit yang mampu meresap ke dalam tanah. Kajian mengenai kerusakan siklus air tersebut harus menggunakan konsep satuan daerah aliran sungai (DAS), karena perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di DAS tersebut yang merupakan daerah tangkapan hujannya.

DAS sebagai unsur prosesor

Dalam sistem DAS, hujan adalah unsur masukan (input). DAS itu sendiri sebagai unsur prosesor, dan tata air di hilir sebagai unsur luaran (output). Apabila hujan turun dengan intensitas tinggi dan merupakan unsur masukan yang tidak dapat dikendalikan, maka kemudian kondisi tata air akan sangat bergantung pada kondisi DAS sebagai unsur prosesor. Di dalam DAS itu sendiri terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, persawahan, permukiman, industri, dan lain sebagainya.

Mekanisme jalannya air hujan sampai menjadi air sungai yang terus bermuara di laut adalah mengikuti proses siklus air, dan proses tersebut akan sangat bergantung pada tata guna lahan di DAS tersebut. Bila tata guna lahannya tidak sesuai dengan peruntukan alaminya, maka alam dan lingkungan di dalam DAS akan mencari keseimbangan baru sebagai reaksi terhadap intervensi yang mempengaruhinya, dan bisa berdampak menjadi bencana. Perlu diketahui saat ini dari 40 DAS di Jabar, sejumlah 19 DAS termasuk dalam katagori kritis.

Pengelolaan DAS bukan merupakan satu paket kegiatan yang dikerjakan oleh satu lembaga tertentu saja, tetapi lebih merupakan kesepahaman bersama dari seluruh pihak yang berada di sekitar DAS untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selaras agar tidak melebihi kapasitas daya tampung dan daya dukung DAS, yang ujung-ujungnya akan membahayakan seluruh penghuni DAS tersebut. Daya tampung lingkungan DAS adalah kemampuan lingkungan DAS untuk menyerap air, unsur, zat, energi dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan daya dukung lingkungan DAS adalah kemampuan lingkungan DAS untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dengan segala kebutuhannya.

Aspek kelembagaan DAS kemudian menjadi faktor yang sangat penting dan prioritas manakala kita ingin tidak lagi ada bencana karena salah kebijaksanaan dan salah pengelolaan dan manakala kita ingin merealisasikan visi Jabar tadi. Aspek kelembagaan DAS ini mencakup jaringan kerja lembaga, tugas, dan fungsi masing-masing lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS, dan aturan main antarlembaga yang terlibat.

Konsep pengelolaan DAS harus terpadu dan merupakan kombinasi berbasis kewilayahan dan berbasis fungsi manfaat. Konsep berbasis kewilayahan adalah "satu DAS, satu pandangan menyeluruh, satu visi bersama, satu perencanaan paripurna, dan satu pengelolaan terpadu". Sedangkan konsep berbasis fungsi manfaat adalah "keseimbangan di antara kepentingan para pemanfaat di dalam DAS, optimalisasi penggunaan sumber daya, aspek pelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem, revitalisasi kearifan budaya lokal, dan menebus dosa atau tidak lagi berbuat dosa kepada DAS karena kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif".

Mitigasi berbasis masyarakat

Belum adanya kelembagaan yang mapan sehingga sistem peringatan dini belum bisa ditindaklanjuti secara cepat, tepat, dan bersinergi, dapat dicontohkan dengan kondisi saat ini, yaitu pada peristiwa banjir bandang dan angin ribut. Mungkin sebelumnya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dengan kemampuan lembaganya dapat memprediksi dan memberikan peringatan dini kepada daerah-daerah yang akan terkena dampak. Tetapi kemudian hal ini tidak bisa ditindaklanjuti karena informasi tidak sampai ke daerah, atau masing-masing pihak belum tahu siapa yang harus menindaklanjutinya, bagaimana bentuk tindak lanjutnya, dan siapa melakukan apa. Semua menunggu perintah dari atasannya masing-masing. Akhirnya terlambat, dan masyarakat yang tidak berdosa menjadi korbannya.

Satuan wilayah yang digunakan untuk memformulasikan kelembagaan dalam kesatuan penanganan bencana alam tidak selalu mencakup wilayah yang luas, tetapi bisa dimulai dari satuan yang kecil. Pengalaman menunjukkan bahwa bencana Mandalawangi di Kabupaten Garut hanya menyangkut wilayah sub-DAS seluas kurang lebih 400 ha, sedangkan bencana DAS Bohorok di Sumatra Utara mencakup luasan sekira 18.000 ha. Hal ini juga menunjukkan bahwa bencana alam banjir bandang tidak harus menyangkut DAS yang luas, tetapi juga bisa menyangkut DAS kecil yang letaknya di daerah hulu. Khusus untuk tanah longsor yang terjadi dalam sebuah sub-DAS mungkin kelembagaan setingkat kabupaten sudah cukup untuk menanganinya, bahkan untuk DAS mikro kelembagaan kecamatan atau desa bisa diberdayakan dalam rangka mitigasi bencana berbasis masyarakat (community based disaster mitigation).

Pengelolaan mitigasi bencana seharusnya berfokus kepada upaya mengurangi kerentanan masyarakat yang tinggal di wilayah yang berbakat terjadi bencana. Bila masyarakatnya rentan, tidak memiliki kapasitas fisik atau material, tidak memiliki kapasitas sosial atau kelembagaan, dan tidak memiliki kapasitas motivasi atau sikap, maka walaupun peristiwa alamnya hanya berskala kecil, tetapi bencana yang terjadi bisa berskala besar. Upaya mengurangi kerentanan masyarakat ini adalah membantu masyarakat supaya mampu menolong dirinya sendiri.

Konsep dasarnya adalah mitigasi bencana berbasis masyarakat. Penanganan bencana tidak dapat hanya diselesaikan secara parsial dan sektoral, juga tidak cukup hanya ditangani dengan pendekatan tanggap darurat dengan bantuan super mie dan pakaian bekas saja. Sementara dalam tahap pascabencana tidak ada tindak lanjut pemulihan wilayah bencana dan masyarakat korban dibiarkan menderita atau bahkan dilupakan sama sekali.***
Penulis, anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

Read More..

Sunday, November 18, 2007

PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN SEBABKAN BANJIR

3 CARA ATASI BANJIR YANG SELALU BERULANG
REPUBLIKA
, Online, 05-11-2007, ren/san/lis

Foto: Sobirin 2007, Bandung Utara Lahan Lindung Penuh Villa

''Penyebab utama paling dominan dibanding dengan yang lain adalah perubahan tata guna lahan,'' ujar Supardiyono Sobirin, anggota Dewan Pakar DPKLTS, kepada REPUBLIKA, Sabtu (3/11).




BANDUNG -- Musim hujan datang, banjir cileuncang (genangan air usai hujan) kembali menjadi persoalan. Walaupun sebelumnya Pemkot Bandung mengklaim telah melakukan perbaikan, tapi banjir tetap terjadi di sejumlah lokasi.

Dari pantauan REPUBLIKA, daerah rawan banjir cileuncang antara lain Jalan Kopo, Buahbatu, Lombok, Aceh, Soekarno-Hatta, Cibiru, Madura, LL RE Martadinata, Dipati Ukur, Tegallega, Gatot Subroto, dan Pelajar Pejuang 45. Ketinggian banjir cileuncang beragam mulai dari beberapa centimeter hingga di atas mata kaki orang dewasa.


''Penyebab utama paling dominan dibanding dengan yang lain adalah perubahan tata guna lahan,'' ujar Supardiyono Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), kepada REPUBLIKA, Sabtu (3/11).


Sobirin
mengungkapkan, secara kasat mata, kita bisa melihat penggundulan hutan dan pendirian bangunan di sana-sini di wilayah Bandung. Ia menambahkan, cileuncang di suatu tempat bisa saja disebabkan oleh hujan lokal karena kawasan tersebut kedap air dan tidak memiliki pematus yang baik.


Dijelaskan Sobirin, sebuah kawasan menjadi kedap air karena lapisan tanahnya tertutup benda sehingga run-off/ limpasan menjadi sangat besar. Kata dia, banjir merupakan masalah yang kompleks. Walaupun aturan hukum dan panduan teknis sudah ada, sambung dia, tapi praktek di lapangan hampir selalu tidak dapat diterapkan. Setiap keputusan yang diambil, kata dia, ternyata menimbulkan konsekuensi persoalan baru.


Dikatakan Sobirin, ada tiga konsep penanggulangan banjir, yaitu take away people from water seperti transmigrasi yang biayanya mahal. Kedua,
take away water from people seperti sodetan, banjir kanal yang juga berbiaya mahal. Sedangkan cara yang ketiga dan murah adalah living harmony together between people and nature.

Menurut Sobirin, menghadapi musim hujan, pemerintah dan warga harus siap siaga. Selain itu, lanjut dia, diperlukan terobosan anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotong-royongan mengatasi cileuncang. Ia menganjurkan agar para pengusaha, pihak swasta dan pengembang yang berdekatan dengan lokasi cileuncang ikut berpartisipasi dalam gotong royong.


Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung, Muchsin Al Fikri, mengatakan, koordinasi yang buruk antar dinas terkait menyebabkan banjir selalu datang ketika musim hujan. ''Ini persoalan lama yang selalu berulang,'' katanya.


Kerahkan alat berat


Sepanjang musim hujan, bupati dan wali kota di Jawa Barat diminta mengerahkan alat berat di jalur rawan longsor. Gubernur Jabar, Danny Setiawan, mengatakan, sudah menjadi rutinitas bagi bupati dan wali kota untuk mengantisipasi dampak bencana alam saat musim hujan.


''Saya sudah minta bupati dan wali kota untuk mengerahkan alat beratnya. Tanpa diminta pun, itu sudah otomatis menjadi tanggung jawabnya,'' ujar Danny seusai mengikuti acara pencanangan Jabar 100 di GOR Koni Jabar, Sabtu (3/11).


Danny menjelaskan, jalur rawan longsor yang perlu disiagakan alat beratnya antara lain Nagreg (Bandung), Sindangbarang (Cianjur), Cadas Pangeran (Sumedang), Malangbong (Tasikmalaya), Puncak (Cianjur), dan sejumlah jalur di Pantura.


Diungkapkan Danny, bila diantisipasi lebih awal maka dampak bencana alam pada jalur inti tidak akan terlalu parah. Ia juga mengharapkan agar tidak ada jalur kendaraan yang terputus karena bencana longsor. ''Bila ada alat berat, longsoran itu bisa langsung disapu,'' kata dia menambahkan.


Selain pada jalur kendaraan, lanjut Danny, Satkorlak dan Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (PBP) sudah disiagakan di daerah rawan banjir. Kata dia, sepanjang musim hujan, Satkorlak dan Satlak diminta siaga 24 jam.


Danny menjelaskan, Pemprov Jabar siap membantu pendanaan kabupaten/kota dalam menanggulangi dampak bencana alam. ''Anggarannya ada dan cukup. Kami simpan pada pos tak terduga APBD Jabar,'' cetus dia.

(ren/san/lis )

Read More..

Saturday, November 17, 2007

JAWA BARAT SELATAN MEMANG TERTINGGAL

Kunjungan Lapangan Tim BAPEDA Jawa Barat dan ITB
Foto: Sobirin, 2007, Pantai APRA Sindangbarang yang merana

Oleh: SOBIRIN
Tanggal 2 dan 3 November 2007 saya diajak oleh BAPEDA Jawa Barat dan ITB meninjau situasi Jawa Barat bagian selatan. Dari BAPEDA: pak Eko, pak Dedi, dan pak Slamet, sedangkan dari ITB: pak Budi Brahmantyo, pak Rubiyanto, dan pak Totok. Saya dikelompokkan sebagai tim ITB.



J
awa Barat bagian selatan disepakati merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat yang terbentang di sebelah selatan “water divide” Jawa Barat. Di wilayah Jawa Barat bagian selatan ini semua Daerah Aliran Sungai (DAS)-nya menghadap ke seleatan, semua sungai yang mengalir dalam DAS tersebut bermuara di Samudera Indonesia.


Perjalanan dimulai dari Bandung menuju Ciwidey, Situ Patengan, Naringgul, sampai pantai Cidaun. Terus ke Timur menuju pelabuhan ikan Jayanti terus ke jembatan Cisela yang sedang dibangun. Malam itu menginap di penginapan sederhana di Cidaun. Esok harinya perjalanan dilanjutkan dari Cidaun ke arah barat menuju Sindangbarang, Agrabinta, Tegalbuleud, Jampang Kulon, Pelabuhan Ratu dan Cisolok.

Kesan yang terasa dan terlihat adalah bahwa hingga tahun 2007 ini Jawa Barat bagian selatan memang sangat tertinggal dalam pembangunan. Keter-isolasi-an dan kemiskinan nampak nyata dibanding dengan Jawa Barat bagian tengah dan utara.

Di bawah ini disampaikan catatan singkat mengenai kondisi yang terpotret saat peninjauan lapangan, sedikit analisis, dan beberapa alternatif penanganan serta rekomendasi operasional, antara lain sebagai berikut:

Issue:
Jawa Barat bagian selatan sangat tertinggal dalam pembangunan

Kondisi saat ini:
Pertama: Infrastruktur sangat kurang, yg ada tdk terpelihara
Kedua: Indek pembangunan manusia sangat rendah
Ketiga: Kawasan lindung mengalami degradasi kelas berat, yang terdiri dari perambahan dan alih fungsi di hutan negara, serta konflik fungsi lahan di kawasan lahan milik masyarakat
Keempat: Potensi ancaman kebencanaan besar

Analisis:
Pertama: Luas Jawa Barat bagian selatan 40% dari total luas Provinsi Jawa Barat, atau kurang lebih 1.500.000 ha.
Kedua: Berdasar kemiringan lereng topografi, jenis tanah, dan curah hujan, maka secara alami wilayah ini menuntut kawasan yang harus berfungsi lindung seluas 75% atau kurang lebih 1.125.000 ha.
Ketiga: Ternyata dari wilayah seluas itu, yang milik negara hanya sekitar 337.500 ha dalam bentuk hutan konservasi dan hutan lindung, sedangkann sisanya yang lebih luas, yaitu sekitar 787.500 ha adalah milik masyarakat dalam bentuk perkebunan, tanah rakyat setempat yang sebagian besar telah dijual kepada pemodal besar yang umumnya sekarang berubah menjadi tanah kosong, gundul, bahkan kritis.
Keempat: Dari pengamatan lapangan dan dibantu citra satelit, hampir 50% kerusakan terjadi di lahan negara, dan 100% kerusakan terjadi di lahan masyarakat.
Kelima: Potensi Jawa Barat bagian selatan memang sangat menjanjikan, namun bila dibiarkan “dijarah” maka Jawa Barat bagian selatan akan semakin hancur.

Alternatif penanganan:
Pertama: Membuka isolasi dg tetap melestarikan fungsi lindung.
Kedua: Percepatan pemulihan kawasan lindung.
Ketiga: Membatasi ketat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Keempat: Insentif dan disinsentif di kawasan lindung lahan milik masyarakat.
Kelima: Pembangunan berbasis konservasi dan kearifan lokal (antara lain: agropolitan, wisata agro, wisata ekologi, wisata minat khusus).
Keenam: Sebagai referensi dapat dikaji aspek kelembagaan: UU No. 41 Tahun 2003 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Perda Provinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2003 tentang RTRW Provinsi, Perda Provinsi No. 2 Tahun 2006 tentang Kawasan Lindung, dan beberapa lagi yang lain.

Rekomendasi Operasional:
Pertama: Bentuk tim percepatan pembangunan Jawa Barat bagian selatan berbasis konservasi.
Kedua: Catur Bina (bina manusia, bina lingkungan, bina usaha, bina pasar)
Ketiga: Jawa Barat bagian selatan di lahan milik masyarakat dikembangkan sebagai Pusat Hutan Rakyat (Community Forestry Center).
Keempat: Bentuk Kelompok Riset Jawa Barat Selatan.

Read More..

Wednesday, November 14, 2007

MENJADI BANGSA BERDAYA

KOMPAS, Opini, 31Desember 2005
Foto: http://plus.maths.org - Black Sheep

Oleh MT Zen
Sobirin dkk (2005) mengatakan, bangsa Indonesia itu miskin karena tidak memiliki sikap dan tidak memiliki kemauan untuk melaksanakan serta mengajarkan prinsip-prinsip fungsional dari masyarakat maju dan kaya.


Di Indonesia sangat sukar berbicara tentang hewan-hewan yang dulu lazim banyak terlihat berkeliaran di sekeliling kita. Ini dikarenakan wabah flu-setan. Misalnya sapi, kambing, kelinci, domba, dan banteng. Sebab, sapi sudah berubah menjadi sapi perah; kambing menjadi kambing hitam; kelinci menjadi kelinci percobaan.

Domba? Adu domba. Kalau banteng? Oh, banteng biasa sudah langka, yang banyak banteng moncong putih. Indonesia mengalami metamorfosis menjadi animal farm.


Negara kambing hitam


Hewan paling favorit adalah kambing hitam. Kadang kala sangat menguntungkan bagi yang berkepentingan. Contohnya kekacauan di animal farm kita sekarang.


Bayangkan, seandainya di Indonesia ini tidak pernah terjadi tsunami Aceh, tidak ada busung lapar, demam berdarah, polio, flu burung, dan harga minyak bumi di pasaran internasional tidak mengamuk naik, matilah kita karena kambing hitam tidak laku. Sebab, siapa lagi yang mau disalahkan. Coba!


Kambing hitam paling perkasa kini adalah Amerika Serikat, Eropa, dan lain-lain. Awal-awal Orde Baru dulu, komunis menjadi kambing hitam terbesar dan laku dijual. Kini kalau ada bom meletus, mesti Amerika yang mau mengadu domba.

Negara-negara ASEAN, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina senasib dengan Indonesia. Vietnam itu baru selesai perang. Namun, perangnya itu bukan dengan Belanda yang mengirimkan KNIL, melainkan Amerika Serikat yang mengirimkan B-52 dan bom napalm. Vietnam itu hancur luluh. Kini dia bangkit. Pada SEA Games 2005, Vietnam menduduki tempat ketiga. Lima tahun yang lalu Vietnam sudah memiliki sarjana fisika bergelar PhD sebanyak 15.000 orang. Bayangkan, fisikawan saja 15.000 orang, sedangkan sejarahnya diwarnai penuh pergolakan. Sebentar lagi ia menjadi singa-ekonomi.


Hal lain lagi, harga minyak pernah mencapai 70 dollar AS/barrel. Vietnam tidak punya minyak sama sekali, tetapi tidak merengek-rengek seperti bangsa Indonesia dengan menipu bangsa sendiri. Mereka tidak mencoba menyihir minyak bumi menjadi kambing hitam. Namun, mereka berpikir, mengerahkan segala daya upaya, mengatur taktik dan strategi berjangka panjang, serta berpikir jauh ke depan. Tidak mencoba mencari jalan pintas dengan menunggang kambing hitam.

Apa yang dimiliki negara-negara ASEAN lain yang tidak kita punyai? Penduduk Malaysia itu sepertiganya Melayu, sepertiga lagi keturunan India, selebihnya keturunan China. Keturunan India dan keturunan China lebih besar jumlahnya dari Melayu. Mereka itu rajin, hemat, suka menabung, dan kerja keras; mereka itu yang membuat Malaysia maju.


Kenapa kita miskin?


Kenapa bangsa-bangsa ASEAN lain maju, sedangkan bangsa Indonesia itu miskin dan ketinggalan dalam banyak hal?


Hal ini banyak diperdebatkan oleh banyak ahli. Berbicara tentang soal ini tak habis-habisnya. Singkatnya, beberapa ciri dapat dikemukakan sebagai prasyarat kemajuan, antara lain: 1. Berpegang pada prinsip-prinsip etika yang kuat; 2. Berdisiplin tinggi; 3. Bertanggung jawab (accountable); 4. Menghormati hukum dan peraturan; 5. Menghargai hak warga lain; 6. Senang bekerja (Kerja itu Mulia); 7. Bekerja keras untuk dapat menabung dan berinvestasi; 8. Berkemauan untuk bertindak hebat; 9. Menghargai waktu; 10. Betul-betul memanfaatkan sains dan teknologi. Ini yang disebut sepuluh prasyarat untuk maju, sejahtera. dan kaya.


Sobirin dkk (2005) mengatakan, bangsa Indonesia itu miskin karena tidak memiliki sikap dan tidak memiliki kemauan untuk melaksanakan serta mengajarkan prinsip-prinsip fungsional dari masyarakat maju dan kaya.


Salah satu sikap dan kebiasaan yang sangat perlu dipupuk sejak kecil adalah kebiasaan menabung. Kita lihat sewaktu krisis moneter menerpa beberapa negara Asia di tahun 1997, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan cepat bangkit kem- bali karena mereka punya tabungan yang besar.


Pada saat ini cadangan devisa RRC sudah mencapai 769 miliar dollar AS, Hongkong 122 miliar; sementara Indonesia cuma 31,2 miliar (The Economist, 10/12/2005). Negara-negara seperti RRC, India, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, dan Hongkong semuanya dicirikan oleh tabungan yang besar.


Bangsa Indonesia itu boros, sangat boros, tidak suka menabung, complacent (cepat puas diri dan menjadi lengah), suka menganggap semua masalah itu enteng dan mudah (taking things easy); hanya puas dengan formalitas saja (jika ada masalah antara dua kelompok masyarakat, masalah tersebut diselesaikan dengan acara yang sangat formal dan superfisial, seperti menandatangani piagam bersama atau doa bersama tanpa mencoba mengerti dan memecahkan masalah dasarnya).


Semasa Orde Baru muncul sikap arogan dan berkeyakinan bahwa kita bangsa super: paling beragama dan paling rukun; paling luhur budi pekertinya, paling ramah, Tanah Air kita paling kaya, paling indah; UUD-45 itu adalah suatu masterpiece (tanpa menyadari bahwa UUD-45 tidak lain dari jiplakan konstitusi Belanda tahun 1814).


Langkah ke depan


Sekarang kita terpuruk menjadi salah satu negara paling korup di dunia; dikenal sebagai negara paling birokratik (in the worse sense), pegawai pemerintahan hanya tahu memeras/minta uang jasa saja; jiwa dan semangat melayani masyarakat tidak ada pada birokrasi pemerintahan. Ini yang perlu dirombak secara total. Dari jiwa pemeras menjadi jiwa pelayan masyarakat. Pegawai negeri kita, terutama yang di atas, dikatakan paling arogan dan manja (tas sekecil apa pun, sampai ke kacamata saja harus dibawakan ajudannya), sementara pemimpin negara-negara maju lain tidak berbuat seperti itu.


Padahal, kita bukan apa-apa. Ini diakui dulu. Namun, kita harus sadar bahwa kita mempunyai banyak hal yang dapat membuat kita menjadi bangsa yang mandiri, berdaya, dan jaya asal saja kita jujur (kenal diri kita). Kita mempunyai tradisi dan budaya yang dapat dikembangkan. Ketahuilah, kita mendiami suatu Tanah Air berupa suatu benua maritim yang amat besar dengan letak yang sangat strategik. Benua maritim Indonesia itu dicirikan oleh keanekaragaman yang amat besar, yakni bio-geo-ethno-socio-cultural diversity. Keanekaragaman itu dapat dijadikan modal dan tempat berpijak awal untuk berkembang.


Jika itu yang dikembangkan, Indonesia akan menjadi suatu pusat penelitian ilmiah dunia dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Itu yang dilakukan oleh orang-orang Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain. Mereka meneliti kekhasan kepulauan Indonesia dan menjadi ilmuan ternama, seperti Vening Meinesz, Umbgrove, Kuenen, Du Bois, Weidenreich, Von Koeningswald, Eijkman, dan Wallace. Itu jauh lebih besar nilainya dari sumber daya minyak, gas, dan batubara karena sumber daya alam itu suatu waktu akan habis.


Pengetahuan yang dikembangkan untuk mengembangkan sumber daya alam itu tak habis dipakai, bahkan semakin bertambah. Itu perbedaan antara sumber daya alam dan pengetahuan. Semakin banyak dipakai, pengetahuan itu kian berkembang, sumber daya yang tak habis-habisnya.


Negara-negara maju berteriak sumber daya alam tidak penting lagi, yang penting kemampuan teknologi. Sikap kita seharusnya sebagai berikut: Kita kembangkan teknologi sambil kita kembangkan sumber daya alam dan lingkungan alam yang ada di sekitar kita secara optimum. Jangan sekali-kali kita berkata, sumber daya alam tidak penting lagi. Jangan sekali-kali! Bersyukurlah bahwa kita masih punya sumber daya alam yang sedikit itu.


Kita harus tahu dengan sebenar-benarnya apa yang kita miliki, apa yang tidak kita miliki. Itu perlu pengetahuan, perlu sains, dan perlu teknologi. Kita harus belajar menjadi anggota masyarakat dunia karena kita hidup di Bumi.


Kita harus insaf. Abad ke-21 ini sarat dan kental dengan sains dan teknologi. Masyarakat manusia memasuki kultur abad ke-21 di mana muncul modal dan industri virtual (maya); reduksionisme digantikan oleh sinergisme yang tinggi; fraktal dan kompleksitas menggantikan pikiran-pikiran yang linier dan geometrikal. Perubahan itu tidak menunggu kita. MT Zen Guru Besar ITB

Read More..

Tuesday, November 06, 2007

PERDA KBU HARUS JADI KENDALI LINGKUNGAN

MASYARAKAT DIMINTA TURUT MENGAWAL
Pikiran Rakyat
, 07 Oktober 2006, A-64

Foto: Andri Gurnita, PR, 14-01-2007, Perumahan Bandung Utara

Hal senada disampaikan Sobirin. Setiap aspek penataan ruang, bersifat hierarkis dari nasional, provinsi, kabupaten/kota. “Bukan kebalikannya. Sebab, di kabupaten/kota, selalu pendekatannya ekonomi jangka pendek. Apalagi, dalam menggali PAD”.



BANDUNG, (PR).-
Masyarakat harus terus mengawal proses penyusunan Raperda Kawasan Bandung Utara (KBU) yang saat ini memasuki pembahasan di tingkat panitia legislasi DPRD Jabar.

Perda KBU yang dihasilkan nanti harus benar-benar memunculkan ketegasan pengendalian lingkungan, alih-alih kompromis terhadap kepentingan ekonomi.

Pakar lingkungan Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita dan Ir. Sobirin mengungkapkan demikian di Bandung, Jumat (6/10). Keduanya dimintai pendapat tentang keinginan pemerintah kota/kabupaten di Cekungan Bandung agar Raperda KBU yang disusun Pemerintah Provinsi Jabar tetap mengakomodasi kepentingan sosial ekonomi.

Menurut Mubiar, praktik penyimpangan aturan justru terjadi kabupaten/kota. “Dalam kondisi status quo di KBU, provinsi berusaha mempertegas rujukan operasional di lapangan. Raperda KBUjustru menjadi instrumen pemahaman bagi kabupaten/kota agar kepentingan lingkungan tidak dikalahkan kepentingan bisnis sesaat.”

Raperda KBU nanti harus benar-benar memberikan otoritas yang kuat kepada provinsi untuk mengatur persoalan lingkungan di KBU. “Karena itu, publik harus terus mengawal proses pembahasan raperda ini, jangan sampai substansinya bertolak belakang dengan aspek pengendalian lingkungan,” katanya.

Hierarki

Hal senada disampaikan Sobirin. Setiap aspek penataan ruang, peraturan perundangannya bersifat hierarkis dari nasional, provinsi, kota/kabupaten. “Bukan kebalikannya. Sebab, kalau di tingkat daerah (kota/kabupaten), selalu pendekatannya ekonomi jangka pendek. Apalagi, dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD).”

Yang terpenting, menurut Sobirin, konsep perda-perda tentang penataan ruang dan kawasan lindung harus mengacu pada konsep alam, kemiringan lereng, dan curah hujan. Saat ini, kawasan lindung di Jabar yang dimiliki negara itu sebanyak 22%. Sementara, kawasan lindung di luar hutan yang dimiliki masyarakat atau perkebunan sebanyak 23 % dari 45% kawasan lindung yang harus ada di Provinsi Jabar.

“Masyarakat boleh memiliki kawasan lindung yang 23% itu, tapi tidak boleh melakukan alih fungsi lahan. Fungsinya harus tetap kawasan lindung,” kata Sobirin, menegaskan.

Anggota Panitia Legislasi Raperda KBU DPRD Jabar, Yazid Salman berjanji akan berupaya menghasilkan produk hukum yang benar-benar menegaskan pengendalian lingkungan di KBU.

“Perda KBU nanti justru harus bisa memperbaiki kerusakan dan penyimpangan yang telanjur berlangsung di kawasan itu.” (A-64)***

Read More..

Saturday, November 03, 2007

HUTAN TAK MAMPU LAGI PENUHI KEBUTUHAN

808 BATANG PINUS ILLEGAL
KOMPAS
Jawa Barat, 31 Oktober 2007, BAY

Foto: Sobirin, 2007, Potensi Hutan Rakyat Jabar Selatan

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, pencurian kayu di Jabar belum benar-benar berhenti. Akar masalahnya adalah kemampuan hutan untuk menyediakan kayu yang tidak mencukupi kebutuhan.



Bandung, Kompas - Polisi Hutan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan atau KPH Garut bersama Kepolisian Resor Garut menangkap 10 tersangka pencuri kayu di petak 46f dan 47b. Operasi itu juga mengamankan 808 batang kayu pinus ilegal.

Demikian dikatakan Kepala Humas dan Informasi Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten Ronald G Suitela di Bandung, Selasa (30/10). Para tersangka berasal dari Kampung Godogmakam, Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut.

Dua tersangka di antaranya bekerja di Perum Perhutani KPH Garut, masing-masing pegawai Resor Polisi Hutan (RPH) Karang Pawitan dan mandor tanam.

Para tersangka kini berada di tahanan Kepolisian Resor (Polres) Garut untuk penyidikan lebih lanjut. Barang bukti yang diperoleh dari tersangka adalah 808 batang kayu pinus bermacam ukuran dengan volume 15 meter kubik, 2 unit chainsaw, dan 1 gergaji tangan.

Penangkapan bermula dari informasi dari Distrik Militer 0611 Garut tentang dugaan penebangan liar di hutan Karangpawitan. Laporan diteruskan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Garut dan Perum Perhutani KPH Garut.

Berdasarkan pengecekan di lapangan, yaitu petak 46f dan 47b, informasi tersebut benar. Sekitar 20 hektar areal hutan negara rusak ditebangi. Temuan itu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan (sweeping) ke rumah-rumah penduduk Kampung Godogmakam.

Ronald mengatakan masih diselidiki kemungkinan para tersangka pernah melakukan pencurian pada waktu-waktu sebelumnya.

Ditinjau dari kasus-kasus yang pernah terjadi, beberapa oknum petugas telah dipecat dengan tidak hormat karena melakukan kesalahan dan menyelewengkan wewenang. Selain dipecat, mereka juga mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pelanggaran hukum semacam itu terakhir berlangsung lima tahun lalu. Tersangka dihukum penjara tiga tahun. Bila pencurian dilakukan petugas, biasanya tidak dilakukan sendiri, tetapi melibatkan orang lain. Kemampuan hutan

KEMAMPUAN HUTAN JAWA BARAT

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, pencurian kayu di Jabar belum benar-benar berhenti. Akar masalahnya adalah kemampuan hutan untuk menyediakan kayu yang tidak mencukupi kebutuhan.

Kebutuhan industri terkait di Jabar 4-5 juta meter kubik kayu per tahun. Kayu yang dapat disediakan hutan negara dan rakyat masing-masing hanya 250.000 meter kubik dan 1-1,25 juta meter kubik.

"Sementara hutan negara di Jabar seluas 800.000 hektar tidak lebih dari separuhnya dalam kondisi bagus," kata Sobirin.

Hutan negara seyogianya tidak ditebang dulu selama beberapa waktu. Pola hutan rakyat harus dikembangkan karena memiliki prospek, selain untuk merehabilitasi lahan kritis. Restrukturisasi industri perkayuan di Jabar juga dibutuhkan. (bay)

PENCURIAN KAYU DI JAWA BARAT
VID/ LITBANG KOMPAS, GRAFIS: LUHUR, KOMPAS Jawa Barat, 31-10-2007
Sumber: Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten

Setiap tahun rata-rata 12.990 batang pohon dicuri dari hutan Jawa Barat dengan kerugian negara mencapai Rp. 3,9 miliar per tahun. Hingga April 2007, pencurian kayu mencapai 1.275 batang dengan nilai kerugian Rp. 388,34 juta. Pencurian tersebut makin menghancurkan ekosistem hutan di Jabar.

Tahun 2003, dicuri 28.553 batang, kerugian Rp. 8.274,20 juta.
Tahun 2004, dicuri 9.131 batang, kerugian Rp. 2.882,39 juta.
Tahun 2005, dicuri 6.955 batang, kerugian Rp. 2.485,31 juta.
Tahun 2006, dicuri 7.321 batang, kerugian Rp. 1.989,11 juta.
Tahun 2007, dicuri 1.275 batang, kerugian Rp. 388,34 juta (sampai Aprl 2007).

Read More..

Thursday, November 01, 2007

CILEUNCANG TAK TERATASI

KOORDINASI ANTAR SKPD BURUK
KOMPAS
Jawa Barat, 25 Oktober 2007, MHF

FOTO: Harry Surjana, PR, 26-04-2007, Cileuncang Bandung

Sobirin menjelaskan, diperlukan terobosan anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotong-royongan mengatasi cileuncang.




BANDUNG, KOMPAS –
Memasuki musim hujan, Kota Bandung kembali diserbu banjir cileuncang. Ketidakmampuan Pemerintah Kota Bandung mengatasi banjir cileuncang disebabkan koordinasi yang buruk antar satuan kerja perangkat daerah atau SKPD.


Demikian dikatakan Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung Muchsin Al-Fikri di Bandung, Rabu (24/10). “Tidak ada koordinasi. Semua berjalan sendiri-sendiri dan parsial,” ujarnya.

Muchsin menjelaskan, ketika terjadi banjir cileuncang, Dinas Pengairan, Dinas Bina Marga, dan dinas lainnya tidak bekerja sama dengan baik.

Padahal, jika SKPD mau bekerja bersama, bencana cileuncang dapat diantisipasi sejak jauh hari. Sebab, banjir cileuncang selalu terjadi setiap musim hujan sehingga dapat dipelajari karakteristiknya dan dicari jalan keluarnya.

Daerah yang rawan cileuncang antara lain Jalan Kopo, Buahbatu, Lombok, Aceh, Soekarno-Hatta, Madura, LL RE Martadinata, Dipati Ukur, Tegallega, Gatot Subroto, dan Pelajar Pejuang 45. “Hampir semua jalan di Kota Bandung rawan banjir cileuncang,” papar Muchsin.

Untuk membahas penanganan cileuncang, Muchsin berencana memanggil Dinas Bina Marga dan Dinas Pengairan Kota Bandung.

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, cileuncang di suatu tempat bisa saja disebabkan hanya oleh hujan lokal, karena kawasan tersebut kedap air dan tidak memiliki pematus yang baik. Sebuah kawasan menjadi kedap air karena lapisan tanahnya tertutup benda, sehingga run-off limpasan menjadi sangat besar.

Menurut Sobirin, menghadapi musim hujan, pemerintah dan warga harus siap siaga. Upaya yang bisa dilakukan ialah mengeruk sampah dan endapan dari selokan, terutama di kawasan yang sering terjadi banjir cileuncang, serta memperbaiki riul yang menyumbat.

Selain itu, memperbaiki drainase agar gradien hidrauliknya mampu mematus genangan hingga ke anak sungai terdekat.

Di samping itu, kata Sobirin, di tempat-tempat tertentu di kawasan yang kerap dilanda cileuncang, segera dibuat sumur resapan sesuai ketentuan standar. Siapkan pompa air dan selang secukupnya untuk membantu mematus air yang tergenang menuju anak sungai atau drainase terdekat.

Sobirin menjelaskan, diperlukan terobosan anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotong-royongan mengatasi cileuncang.

“Dari para pengusaha, pihak swasta dan pengembang yang berdekatan dengan lokasi cileuncang diminta ikut berpartisipasi dalam gotong royong ini,” ujarnya.

Wali Kota Bandung Dada Rosada meminta Dinas Pengairan dan Dinas Bina Marga memperbaiki drainase menjelang musim hujan. Camat dan aparat terkait diinstruksikan menambah sumur resapan.

Kepala Dinas Bina Marga Kota Bandung Rusjaf Adimanggala mengatakan, pihaknya telah membersihkan gorong-gorong dan memperbaiki jalan untuk mengantisipasi cileuncang.

“Tapi semua itu tidak ada artinya kalau masyarakat tetap membuang sampah sembarangan. Sebab, itu akan menyumbat saluran air,” ujarnya. (MHF)

Read More..