Monday, November 19, 2007

MIMPI PROVINSI TANPA BENCANA

Pikiran Rakyat, Artikel, 21 Desember 2004
Foto: Sobirin 2003, Longsor Mandalawangi Garut

Oleh SOBIRIN
(Artikel saya ini dimuat PR tahun 2004, tetapi masih relevan dirilis kembali di blog ini, sebab bencana terus berulang). Jawa Barat harus memiliki visi menjadi provinsi tanpa bencana atau "zero disaster"? Mungkin terlalu berlebihan. Namun visi seperti itu memang perlu.



Jawa Barat harus memiliki visi menjadi provinsi tanpa bencana atau "zero disaster"? Mungkin terlalu berlebihan. Namun visi seperti itu memang perlu, mengingat dalam dekade 1994 hingga 2003, bencana yang terjadi di Jabar menunjukkan kuantitas dan kualitas yang cenderung terus meningkat.

Informasi dari ahli geologi gerakan tanah, Gatot M. Soedradjat, dari Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG sekarang Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), sejak 1994 hingga 2003, di Jabar terjadi peristiwa tanah longsor sebanyak 462 kali yang merenggut korban meninggal 267 orang. Jadi rata-rata terjadi 46 kali peristiwa longsor dengan korban meninggal 27 orang tiap tahun. Itu baru bencana tanah longsor. Belum banjir, kekeringan, gempa bumi, dan letusan gunung berapi.

Sepanjang tahun 2004, Jawa Barat terus-menerus tertimpa bencana secara bertubi-tubi, dari mulai banjir, tanah longsor, dan angin ribut yang terjadi di musim penghujan, hingga kekeringan yang terjadi di musim kemarau. Bencana di musim hujan tahun 2004 antara lain berupa 10 ribu ha lahan di 15 kecamatan di Kabupaten Bandung terancam banjir, banjir bandang menerjang 2 kecamatan di daerah aliran sungai (DAS) Sarongge di Cianjur, ratusan ha sawah di Desa Padaherang Kecamatan Kalipucang Ciamis tergenang banjir, angin ribut melanda 7 desa di Kecamatan Indramayu dan Sindang Indramayu.

Di samping bencana banjir terjadi pula musibah bencana tanah longsor 21 kali yang menelan korban jiwa 21 orang. Di musim kemarau 2004 muncul pula musibah kekeringan. Hingga akhir Juni 2004, luas sawah yang kekeringan 4.482 hektare, 532 ha di antaranya mengalami puso. Daerah yang paling parah adalah Indramayu 1.815 ha, Ciamis 1.256 ha, dan Sukabumi 845 ha. Di samping itu, terdapat 1.114 ha sawah yang terancam kekeringan tersebar di Majalengka 506 ha, Kuningan 369 ha, serta Cirebon 170 ha. Sampai awal November 2004 sekira 1.000 penduduk di Desa Kamarang Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon kesulitan mendapatkan air bersih untuk minum dan keperluan rumah tangga karena sumur warga yang jumlahnya mencapai 670 buah telah mengering selama 8 bulan terakhir ini.

Selain merenggut korban jiwa, bencana alam juga telah memorak-porandakan harta benda, lahan pertanian dan jalur transportasi dengan kerugian sampai triliunan rupiah. Ujung-ujungnya akan berdampak sebagai ancaman, hambatan, dan kendala dalam merealisasikan visi Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Alih-alih menjadi provinsi termaju, bisa-bisa di tahun 2010 Jabar malah menjadi provinsi terbelakang.

Jabar provinsi sensitif

Dengan letaknya yang sedikit berada di selatan garis khatulistiwa, tanah yang subur beriklim tropis, curah hujan tinggi, dengan angin sepoi-sepoi dari laut dan pegunungan, maka Jabar selayaknya mampu menjadi wilayah yang indah dan makmur. Tidak berlebihan bila pakar budaya dan kemanusiaan M.A.W. Brouwer sempat mengatakan bahwa Jabar diciptakan pada saat Tuhan tersenyum. Namun kenyataannya, alam lingkungan Jabar telah sedemikian berubah, dan bencana rutin seperti banjir, tanah longsor yang silih berganti dengan kekeringan telah menjadi langganan rutin setiap tahun. Ternyata di balik kesuburan dan keindahan alam Jabar terkandung sifat yang sensitif, mudah sekali berubah menjadi wilayah bencana apabila kawasan lindungnya terganggu atau dialihfungsikan.

Peristiwa alam dan lingkungan sebenarnya menunjukkan bahwa alam dan lingkungan selalu mencari keseimbangan baru. Kondisi ini terjadi karena proses alami dan bisa juga terjadi akibat proses penyesuaian diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti mempengaruhinya. Gempa bumi dan letusan gunung berapi adalah proses alami di luar kendali manusia. Sedangkan banjir, longsor, dan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini lebih banyak diakibatkan oleh intervensi manusia antara lain: eksploitasi sumber daya alam berlebihan, laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali, alih fungsi lahan kawasan lindung, pembangunan yang sektoral, teknologi tidak tepat guna, ekonomi politik tidak memihak rakyat, dan lunturnya kearifan budaya lokal.

Proses alam dan lingkungan dalam menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa ditangkap maknanya atau bahkan di luar jangkauan horison manusia, sehingga setelah bencana terjadi dan menelan korban, barulah kita saling menyalahkan bukannya mencari solusi yang arif.

Bencana selama 2004 yang terjadi di Jabar disebabkan oleh dua kelompok faktor yakni faktor alamiah yang tidak bisa dikendalikan manusia, tetapi jauh lebih banyak oleh sebab faktor yang sebetulnya berasal dari intervensi manusia, termasuk arah kebijakan, program, dan projek yang tidak tepat. Curah hujan dengan intensitas tinggi dan angin puting beliung merupakan contoh-contoh faktor alam yang sulit atau bahkan tidak bisa dikendalikan manusia. Sedangkan masalah perambahan dan illegal logging di kawasan hutan, budidaya pertanian di lereng gunung, permukiman, dan industri di kawasan lindung merupakan bentuk intervensi yang sebetulnya tidak perlu terjadi dan seharusnya dapat dikendalikan oleh manusia. Semua itu berpengaruh besar terhadap terjadinya peristiwa banjir bandang dan tanah longsor.

Di samping faktor-faktor yang berpengaruh, bentuk peristiwa alam itu sendiri ada yang bisa diprediksi dan dikendalikan, tetapi ada juga yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikendalikan. Ada wilayah yang berbakat mudah terancam bencana, ada wilayah yang aman dan stabil. Bila peristiwa alam yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikendalikan itu terjadi, maka upaya yang dapat dilakukan adalah mengelak atau menghindar dari daerah yang berbakat bencana tersebut.

Upaya pengendalian maupun upaya penghindaran terhadap peristiwa perubahan keseimbangan alam tersebut perlu pengetahuan tentang fenomena alam yang terjadi. Terkadang kita sebagai generasi modern tidak peka dan tidak lagi bisa membaca tanda-tanda alam, bahkan dengan sengaja beraktivitas di wilayah yang berbakat terancam bencana. Beda dengan nenek moyang kita tempo dulu yang dengan kearifannya malah lebih mampu bersahabat dengan alam, mampu membaca tanda-tanda alam, tidak menempati dan beraktivitas di lahan yang dianggap dapat menimbulkan bencana, dan mampu menghindar dari bencana.

Banjir bandang dan tanah longsor di musim hujan, serta kekeringan di musim kemarau, menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk respons alam atas interaksi alami dan intervensi manusia. Hal ini merupakan suatu fenomena pengelolaan yang keliru atas sumber daya alam oleh manusia, dan telah menimbulkan kerusakan siklus air, sehingga air hujan yang jatuh ke bumi cepat menjadi aliran permukaan langsung ke sungai, dan hanya sedikit yang mampu meresap ke dalam tanah. Kajian mengenai kerusakan siklus air tersebut harus menggunakan konsep satuan daerah aliran sungai (DAS), karena perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di DAS tersebut yang merupakan daerah tangkapan hujannya.

DAS sebagai unsur prosesor

Dalam sistem DAS, hujan adalah unsur masukan (input). DAS itu sendiri sebagai unsur prosesor, dan tata air di hilir sebagai unsur luaran (output). Apabila hujan turun dengan intensitas tinggi dan merupakan unsur masukan yang tidak dapat dikendalikan, maka kemudian kondisi tata air akan sangat bergantung pada kondisi DAS sebagai unsur prosesor. Di dalam DAS itu sendiri terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, persawahan, permukiman, industri, dan lain sebagainya.

Mekanisme jalannya air hujan sampai menjadi air sungai yang terus bermuara di laut adalah mengikuti proses siklus air, dan proses tersebut akan sangat bergantung pada tata guna lahan di DAS tersebut. Bila tata guna lahannya tidak sesuai dengan peruntukan alaminya, maka alam dan lingkungan di dalam DAS akan mencari keseimbangan baru sebagai reaksi terhadap intervensi yang mempengaruhinya, dan bisa berdampak menjadi bencana. Perlu diketahui saat ini dari 40 DAS di Jabar, sejumlah 19 DAS termasuk dalam katagori kritis.

Pengelolaan DAS bukan merupakan satu paket kegiatan yang dikerjakan oleh satu lembaga tertentu saja, tetapi lebih merupakan kesepahaman bersama dari seluruh pihak yang berada di sekitar DAS untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selaras agar tidak melebihi kapasitas daya tampung dan daya dukung DAS, yang ujung-ujungnya akan membahayakan seluruh penghuni DAS tersebut. Daya tampung lingkungan DAS adalah kemampuan lingkungan DAS untuk menyerap air, unsur, zat, energi dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan daya dukung lingkungan DAS adalah kemampuan lingkungan DAS untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dengan segala kebutuhannya.

Aspek kelembagaan DAS kemudian menjadi faktor yang sangat penting dan prioritas manakala kita ingin tidak lagi ada bencana karena salah kebijaksanaan dan salah pengelolaan dan manakala kita ingin merealisasikan visi Jabar tadi. Aspek kelembagaan DAS ini mencakup jaringan kerja lembaga, tugas, dan fungsi masing-masing lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS, dan aturan main antarlembaga yang terlibat.

Konsep pengelolaan DAS harus terpadu dan merupakan kombinasi berbasis kewilayahan dan berbasis fungsi manfaat. Konsep berbasis kewilayahan adalah "satu DAS, satu pandangan menyeluruh, satu visi bersama, satu perencanaan paripurna, dan satu pengelolaan terpadu". Sedangkan konsep berbasis fungsi manfaat adalah "keseimbangan di antara kepentingan para pemanfaat di dalam DAS, optimalisasi penggunaan sumber daya, aspek pelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem, revitalisasi kearifan budaya lokal, dan menebus dosa atau tidak lagi berbuat dosa kepada DAS karena kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif".

Mitigasi berbasis masyarakat

Belum adanya kelembagaan yang mapan sehingga sistem peringatan dini belum bisa ditindaklanjuti secara cepat, tepat, dan bersinergi, dapat dicontohkan dengan kondisi saat ini, yaitu pada peristiwa banjir bandang dan angin ribut. Mungkin sebelumnya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dengan kemampuan lembaganya dapat memprediksi dan memberikan peringatan dini kepada daerah-daerah yang akan terkena dampak. Tetapi kemudian hal ini tidak bisa ditindaklanjuti karena informasi tidak sampai ke daerah, atau masing-masing pihak belum tahu siapa yang harus menindaklanjutinya, bagaimana bentuk tindak lanjutnya, dan siapa melakukan apa. Semua menunggu perintah dari atasannya masing-masing. Akhirnya terlambat, dan masyarakat yang tidak berdosa menjadi korbannya.

Satuan wilayah yang digunakan untuk memformulasikan kelembagaan dalam kesatuan penanganan bencana alam tidak selalu mencakup wilayah yang luas, tetapi bisa dimulai dari satuan yang kecil. Pengalaman menunjukkan bahwa bencana Mandalawangi di Kabupaten Garut hanya menyangkut wilayah sub-DAS seluas kurang lebih 400 ha, sedangkan bencana DAS Bohorok di Sumatra Utara mencakup luasan sekira 18.000 ha. Hal ini juga menunjukkan bahwa bencana alam banjir bandang tidak harus menyangkut DAS yang luas, tetapi juga bisa menyangkut DAS kecil yang letaknya di daerah hulu. Khusus untuk tanah longsor yang terjadi dalam sebuah sub-DAS mungkin kelembagaan setingkat kabupaten sudah cukup untuk menanganinya, bahkan untuk DAS mikro kelembagaan kecamatan atau desa bisa diberdayakan dalam rangka mitigasi bencana berbasis masyarakat (community based disaster mitigation).

Pengelolaan mitigasi bencana seharusnya berfokus kepada upaya mengurangi kerentanan masyarakat yang tinggal di wilayah yang berbakat terjadi bencana. Bila masyarakatnya rentan, tidak memiliki kapasitas fisik atau material, tidak memiliki kapasitas sosial atau kelembagaan, dan tidak memiliki kapasitas motivasi atau sikap, maka walaupun peristiwa alamnya hanya berskala kecil, tetapi bencana yang terjadi bisa berskala besar. Upaya mengurangi kerentanan masyarakat ini adalah membantu masyarakat supaya mampu menolong dirinya sendiri.

Konsep dasarnya adalah mitigasi bencana berbasis masyarakat. Penanganan bencana tidak dapat hanya diselesaikan secara parsial dan sektoral, juga tidak cukup hanya ditangani dengan pendekatan tanggap darurat dengan bantuan super mie dan pakaian bekas saja. Sementara dalam tahap pascabencana tidak ada tindak lanjut pemulihan wilayah bencana dan masyarakat korban dibiarkan menderita atau bahkan dilupakan sama sekali.***
Penulis, anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

No comments: