Friday, September 28, 2007

JANGAN PAPAS CURUG JOMPONG

Pikiran Rakyat, 27 Februari 2007, Opini
Foto: Suharsono BPLHD Jabar 2006, Curug Jompong Citarum

Oleh T. BACHTIAR

Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air.



KALAU kita tidak mau disebut sebagai bangsa pelupa, periksalah proposal penanggulangan bajir di Bandung Selatan dengan jalan meluruskan meander (tikungan sungai yang bentuknya berkelok-kelok setengah lingkaran) di Citarum, seperti upaya meluruskan dua meander di daerah Mahmud dan Daraulin, Kabupaten Bandung beberapa tahun yang lalu.

Apa yang terjadi setelah 4-5 tahun setelah meluruskan meander itu? Pernahkah masyarakat membandingkan antara tujuan pelurusan dengan apa yang terjadi di lapangan saat ini? Sudah sekian meander di Citarum diluruskan, banjir di Bandung Selatan malah terasa semakin parah dan lama.

Kemudian proposal penanggulangan banjir Bandung Selatan diajukan ulang, kali ini dengan cara pengerukan aliran Citarum sepanjang 30 kilometer, antara Curug Jompong hingga Dayeuhkolot yang dilaksanakan akhir 2006 hingga awal 2007. Hasilnya? Banjir masih menggenang Bandung Selatan, bahkan kali ini bertambah menggenang Bandung Timur.

Setelah meluruskan meander, penanggulangan banjir dilanjutkan dengan memperdalam Citarum dengan menghabiskan sekian juta dolar uang pinjaman. Upaya ini juga gagal menanggulangi banjir di Bandung Selatan. Kini para pengelola Citarum mengusulkan projek baru berupa pemangkasan batuan terobosan (intrusif) yang berumur 4 juta tahun, sedalam 3 meter di Curug Jompong.

Betulkah keinginan mulia untuk memapas Curug Jompong di daerah Korehkotok, Kabupaten Bandung itu murni untuk menanggulangi di Bandung Selatan dan Timur secara terintegrasi ataukah karena ada niatan lain yang lebih kuat di balik pemapasan yang akan menelan biaya sangat besar itu?

Yang sudah lama ngotot untuk memapas Curug Jompong adalah Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. (Pikiran Rakyat, 7/3/2006). Sebelumnya, dalam rapat kerja antara DPRD Jawa Barat dan Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air di Jln. Diponegoro (1/3/2006), keinginan untuk memapas sudah dianggap sebagai cara untuk menanggulangi permasalahan banjir di Bandung Selatan.

Projek pemangkasan ini tampaknya sudah sangat dipahami oleh anggota DPRD Jawa Barat seperti diungkapkan oleh sekretaris Komisi D DPRD Jawa Barat, Dadang Nasser (Pikiran Rakyat,2/3/2006) yang berkata, "Yang paling penting dalam penanganan banjir adalah pemapasan Curug Jompong yang saat ini menjulang setinggi 6 meter. Karena pada dasarnya banjir disebabkan adanya Curug Jompong yang mengakibatkan air Sungai Citarum tidak bisa mengalir deras."

Keinginan untuk memangkas Curug Jompong mengemuka kembali saat Gubernur Jawa Barat mengunjungi kawasan yang tergenang banjir di Bandung Selatan, pada hari Kamis (22/2/2007). Danny Setiawan berkata, "Kita telah meminta pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum agar Curug Jompong diturunkan. Kalau dipangkas, air akan lebih cepat dan tidak akan menggenang di Bandung Selatan." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).

Tampaknya alasan itu bersumber dari Kasubdin Operasional dan Pemeliharaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, Iding Prihadi. Ia berkata, "Hasil simulasi menunjukkan, jika Curug Jompong diturunkan 3 meter, permukaan air di Dayeuhkolot akan turun 1,68 meter." Lebih lanjut Iding berkata, "Tidak ada jalan lain untuk mengatasi banjir ini. Kalau banjir, upayanya harus mengeluarkan air, dan pemangkasan Curug Jompong adalah salah satu upayanya." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).

Bila belajar dari kegagalan upaya dua projek penanggulangan banjir Bandung Selatan yang berupa pelurusan meander dan pengerukan Citarum, ini artinya, seharusnya penanggulangan banjir di Bandung Selatan itu bukan sekadar mengotak-atik wadah/sungainya yang memang kapasitas/volumenya hanya segitu-gitunya.

Ingin tahu berapa dana pengerukan Citarum? Kepala Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Ruchimat, saat rapat kerja dengan DPRD Jawa Barat (1/3/2006) mengemukakan pengerukan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi banjir di daerah-daerah sekitar Sungai Citarum yang selama ini selalu terjadi. Lebih lanjut Ruchimat mengemukakan dana tahun sebelumnya untuk pelaksanaan pengerukan Sungai Citarum itu sebesar Rp 108 miliar dan tahun ini (2006/2007) akan meningkat (Pikiran Rakyat, 2/3/2006).

Hasilnya? Pengerukan endapan lumpur Citarum antara Desember 2006 hingga Januari 2007 yang telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 108 miliar itu tak membuahkan hasil. Februari 2007 ini, Bandung Selatan, bahkan meluas ke Bandung Timur masih terus tergenang banjir.

Kalau mau peduli kepada masyarakat Bandung yang selalu terendam banjir secara sungguh-sungguh, mestinya bukan sekadar mengotak-atik Citarum, yang kali ini akan memapas Curug Jompong. Permasalahan sesungguhnya adalah karena telah terjadinya perusakan hutan di Jawa Barat, khususnya di Bandung Utara dan di Bandung Selatan yang termasuk ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Kehancuran hutan itu sudah mencapai lebih dari setengah total hutan yang seharusnya ada. Lahan kritis sudah sangat meluas sehingga kawasan yang sangat peka erosi semakin meluas, dengan kawasan yang terancam bencana tanah longsor semakin meluas pula. Inilah sesungguhnya inti dari permasalahan banjir di Cekungan Bandung.

Upaya penanggulangan yang sungguh-sungguh itu seharusnya meningkatkan upaya penghutanan kembali DAS hulu dan tengah, penataan pengelolaan pertanian di DAS hulu dan tengah, serta perubahan perilaku masyarakatnya.

Mengapa penghutanan kembali DAS hulu Citarum serta DAS hulu dari seluruh anak-anak Citarum itu sangat penting dan strategis bagi penanggulangan banjir di Bandung Selatan? Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air. Kalau di suatu tempat ada 5.000 pohon, misalnya, artinya di bawah tegakan pohon itu terdapat 5.000 pohon x 7 m3 air = 35.000 m3 air.

Bila hal ini terjadi di DAS hulu, ini sama artinya dengan danau tak tampak, yang airnya akan dikeluarkan secara teratur dari sumber-sumber mata air. Tegakan pohon di hutan itu berfungsi sebagai pengatur tata air, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, mengurangi erosi, mengurangi banjir, mengatur fluktuasi aliran sungai, dan meningkatkan mutu pasokan air.

Tegakan pohon dalam hutan itu mampu mengikat air yang berlebihan saat hujan sehingga tidak mengalir di permukaan dan menghilang bersama tanah pucuk yang subur, yang kemudian mengendap di sungai, danau, dan muara sungai. Bila hutan itu menghilang, bencana akan segera datang. Bencana yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir, 40%-nya adalah bencana banjir. Hal ini karena air sudah tidak diikat lagi karena tegakan pohon sudah menghilang di hutan-hutan di Tatar Sunda.

Lebih lanjut Sobirin (2007) mengemukakan, kerusakan ini akan berpengaruh terhadap sumber daya air. Pada musim hujan potensi sumber daya air di Jawa Barat mencapai 81 miliar meter kubik per tahun (banjir), tetapi pada musim kemarau potensinya tinggal 8 miliar meter kubik saja (bencana kekeringan di musim kemarau).

Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS, 2003), mengemukakan bahwa luas hutan negara Jawa Barat kurang lebih 917.900 hektare atau sekira 22% dari luas provinsi. Akibat kehancuran kawasan lindung, tahun 2003 di Jawa Barat tercatat 608.813 hektare lahan kritis sehingga terjadi erosi kolosal. Tanah subur dari puncak-puncak gunung hanyut dan mengendap di sungai, danau, dan laut, dengan jumlah 32.931.061 ton atau setara dengan satu juta truk tronton ukuran 30 ton per tahun.

Betulkah Curug Jompong, tempat bedahnya Danau Bandung purba timur 16.000 tahun yang lalu itu merupakan biang masalah dari segala permasalahan banjir di Bandung Selatan sehingga keberadaannya perlu dipapas? Betulkah Curug Jompong dengan ketinggiannya seperti saat ini tidak mempunyai manfaat lain selain mengakibatkan banjir di Bandung Selatan?

Sampai saat ini salah satu fungsi dari Curug Jompong adalah sebagai base level, penahan erosi mudik yang dapat diandalkan karena batuan terobosan (intrusif) ini berupa batuan dasit, andesit, dan basalt yang sangat kuat. Bila pemapasan Curug Jompong benar-benar dilakukan, dipapas sedalam 3 meter, maka sedalam itu pula dasar Citarum akan tergerus ke arah hulu. Apa yang diakibatkan dari derasnya erosi mudik tersebut? Dasar sungai akan menyesuaikan diri secara alami dengan kedalaman pemapasan di Curug Jompong sehingga fondasi sepanjang sungai itu akan menggantung!

Akibat berikutnya, karena kuatnya erosi mudik sepanjang sungai itu ke arah hulu, semua lumpur yang ada sepanjang sungai akan segera berpindah ke Danau Saguling. Kalau sekian juta kubik lumpur tiba-tiba mengendap di Danau Saguling sehingga volume air danau akan berkurang, dan kapasitas listriknya menjadi berkurang pula, akankah pengaruhnya terhadap perekonomian di Jawa-Bali-Madura yang sebagian besar energinya dipasok dari Danau Saguling?

Bila rencana ini tetap dilakukan karena berselimut jutaan dolar yang membalut projek ini, apakah besaran banjir di kemudian hari di Cekungan Bandung sebanding dengan kerusakan bentang alam dan bentang budaya yang tiba-tiba, tapi dibangun oleh masyarakat Cekungan Bandung dengan susah payah dan dalam waktu yang lama?

Apakah pernyataan anggota DPRD Jawa Barat Dadang Nasser dan Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. seperti dikutip Pikiran Rakyat akan begitu saja dilupakan, setelah Curug Jompong, salah satu situs alam Bandung dipapas, sementara banjir terus berlangsung nantinya?

Sangat mungkin, warga Bandung akan cepat lupa, seperti melupakan propaganda saat akan meluruskan meander di beberapa tempat di Citarum. Akan tetapi, saya yakin, malaikat tidak akan pernah lupa dan keliru mencatat!***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Read More..

FATAL, JIKA CURUG JOMPONG DIPANGKAS

Pikiran Rakyat, 07 Maret 2006, A-128
Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong di hulu Waduk Saguling


Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) berpendapat lain. “Pada intinya, permasalahan terdapat di hulu Sungai Citarum,” paparnya.





FATAL, JIKA CURUG JOMPONG DIPANGKAS

Dr. Budi, ”Jembatan-jembatan di Sungai Citarum Sangat Berisiko Roboh”

BANDUNG, (PR).-

Curug Jompong (Air Terjun Jompong) di Sungai Citarum, agar dipangkas menimbulkan pro dan kontra. Sedangkan usulan agar curug tersebut diratakan disampaikan Sekretaris Komisi D DPRD Prov. Jabar Dadang Nasser beberapa waktu lalu, dengan maksud untuk menanggulangi banjir.

Anggota Kelompok Keil¬muan Geologi Terapan Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, Dr. Ir. Budi Brahmantyo, mengatakan, dipapasnya Curug Jompong justru akan menimbulkan permasalahan baru.
”Jika Curug Jompong dipapas, maka arus Citarum makin cepat. Gradien sungai akan berubah, sehingga terjadi erosi vertikal. Erosi ini akan menimbulkan penggerusan di dasar dan dinding sungai yang luar biasa,” ujar Budi, kepada ”PR”, Kamis (2/3).

Diungkapkan Budi, penggerusan akan berakibat fatal jika menimpa dasar dan dinding sungai yang dijadikan pondasi jembatan. “Bayangkan jika itu terjadi, maka jembatan-jembatan tersebut sangat berisiko untuk rubuh. Belum lagi perubahan karakteristik anak-anak sungai,” kata Budi, yang juga aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung.


Tergerusnya dasar Sungai Citarum, menurut Budi, memang akan membuat muka air sungai turun. ”Tapi, itu juga berakibat pada menurunnya muka air permukaan di cekungan Bandung.
Satu hal lagi, menurut dia, yang tidak disadari bahwa pemapasan Curug Jompong tidak akan mengurangi endapan di Sungai Citarum. Akan tetapi, justru bakal terjadi endapan yang lebih banyak karena erosi yang luar biasa.

Berbeda dengan Budi Brahmantyo, pakar hidrologi dari Teknik Sipil ITB, Dr. Ir. Sugandar Soemawiganda, justru mendukung pemangkasan Curug Jompong. ”Dengan adanya curug itu kan membuat sungai terkena pengaruh pengempangan. Ya, seperti empang,” katanya.


Meski demikian, Sugandar mengingatkan, sebelum dilakukan pemangkasan harus ada persiapan tertentu di beberapa titik, khususnya yang terdapat jembatan.
”Persiapannya seperti memperkuat pondasi-pondasi jembatan itu. Untuk jembatan besar, diberi beberapa tiang pancang setinggi 10 meter. Nah, untuk jembatan-jembatan kecil, cukup tiang pancang yang 5-6 meter,” katanya.

Sugandar menjelaskan, pemangkasan bisa dilakukan dengan cara peledakan. Pengerjaan sebaiknya dilakukan di musim kering. ”Yang dipangkas tidak perlu bannya, cukup 500 meter kubik saja, dan diperlukan sekitar 220 kg bahan peledak. Saya kira, 3 bulan sudah beres,” ujarnya.
Dengan pemangkasan tersebut, menurut dia, permukaan air sungai diperkirakan akan turun 4-5 meter. Seluruh anak Sungai Citarum pun akan terpengaruh sehingga terbentuk profil keseimbangan baru.

Tak perlu dikeruk


Sugandar menambahkan, dengan terjadinya penggerusan dasar sungai karena pemangkasan Curug Jompong, maka pengerukan tidak perlu dilakukan lagi. ”Pengerukan itu perbuatan bodoh dan buang-buang duit,” katanya.
Jika Citarum dikeruk pun, tutur Sugandar, pengendapan bakal terjadi lagi dalam waktu singkat. Pendangkalan dipastikan terjadi lagi dalam tempo 3-5 tahun, karena sungai kembali ke kesetimbangan - awal. ”Kalau dilakukan pemangkasan, kan terbentuk kesetimbangan baru. Makanya, pengerukan itu hanya buang duit dan waktu. Kasusnya sama seperti projek sodetan Citanduy. Mereka tidak melihat persoalan dengan jelas,” katanya.

Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) berpendapat lain. ”Pemangkasan Curug Jompong bisa berdampak positif dan negatif. Namun, pada intinya, permasalahan terdapat di hulu Sungai Citarum,” paparnya.
Menurutnya, langkah pengerukan sungai dan pemangkasan Curug Jompong tidak akan menuntaskan masalah. ”Kalau dataran di hulu sungai dan kawasan lindung di cincin cekungan Bandung masih gersang, tetap saja akan terjadi endapan. Tentunya bakal ada projek pengerukan-pengerukan kembali yang memakan banyak biaya. Dan yang untung di sini siapa? Pimpronya,” ujar Sobirin.

Dataran di hulu Citarum, saat ini luasnya sekira 350 ribu hektare. Yang berfungsi sebagai kawasan lindung, semestinya sekira 54% yang setara dengan 200 ribu hektare.
”Saat ini, dari 200 ribu hektare itu, 90 hektare dimiliki Perhutani, dan 110 hektare dimiliki rakyat. Nah, yang dimiliki rakyat inilah semestinya menjadi perhatian para pimpro penataan Citarum, untuk dijadikan kawasan lindung. Bukan dengan pengerukan besar-besaran,” katanya. (A-128)***

Read More..

Tuesday, September 25, 2007

BANDUNG DAN KEKERINGAN PERKOTAAN

KOMPAS, Jawa Barat, 25-09-2007, Forum
Foto: Sobirin 2006, Bandung Kemarau, Cikapundung Mengering

Oleh Sobirin

Saya berencana mengajak Pak Dadang, teman saya dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung, berkeliling kota melihat taman-taman kota. Pak Dadang mengatakan, jangan sekarang, musim kemarau, rerumputan dan tanaman gersang kurang air.




Suatu hari di bulan Agustus 2007 saya bertemu seorang teman, Pak Dadang, dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung. Saya berencana mengajak teman tersebut berkeliling Kota Bandung melihat taman-taman kota. Pak Dadang mengatakan supaya jangan saat musim kemarau sebab rerumputan dan tanaman gersang karena kurang air.

Saya merenung, apakah setiap tahun akan terus rutin demikian? Di musim hujan tanaman menghijau, tetapi air berlebih menjadi banjir cileuncang, dan di musim kemarau tanaman mengering, gersang, dan kerontang. Bisakah sepanjang tahun, baik musim hujan maupun musim kemarau, Kota Bandung memiliki taman-taman yang tetap menghijau, dengan sumber daya air alami yang berkecukupan?

Hari ini, Selasa (25/9-2007), Kota Bandung merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-197. HUT Kota Bandung dihitung sejak tahun 1810 ketika Bupati Wiranatakusumah II secara resmi memindahkan Kota Bandung dari Krapyak di tepi Sungai Citarum ke sekitar tempat yang sekarang ini menjadi pendopo kota. Pindahnya Kota Bandung ini dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) pada tanggal 25 September 1810, yang sekarang ini disepakati bersama sebagai tanggal HUT Kota Bandung, dan Bupati Wiranatakusumah II ditetapkan sebagai the founding father of Bandung.

Di akhir abad ke-19, ketika warga Kota Bandung keturunan Eropa semakin banyak, mereka menuntut zelfbestuur (lembaga pemerintahan otonom). Berdasarkan
Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) Tahun 1903, sejak tanggal 1 April 1906 Kota Bandung ditetapkan sebagai gemeente (kota praja) yang otonom. Sejak itu Kota Bandung telah mengalami paling tidak 26 kali pergantian gemeenteraad, burgemeester, atau wali kota, yaitu dari mulai EA Maurenbrecher (1906-1907) hingga Dada Rosada (2004-sekarang).

Dalam perkembangannya, banyak sekali julukan, pujian, dan ejekan yang pernah diterima Kota Bandung, misalnya Paradise in Exile, Bandung Excelsior, De Bloem van Bersteden, Parijs van Java, Bandung Kota Kembang, Bandung Ibu Kota Asia-Afrika, Bandung Kota Lubang, Bandung Kota FO, Bandung Kota Sampah. Masih banyak lagi sebutan lain sebagai dampak dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ketidakpuasan warga

Kecenderungan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota yang selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman, udara semakin panas dan berdebu, jumlah pohon masih kurang, banyak pohon yang mati, menjadi lautan sampah, kurang air bersih, sungainya sekarat, dan lain-lain. Kota Bandung di zaman Parijs van Java tentunya sangat berbeda dengan zaman sekarang yang amburadul.

Dulu penduduknya masih ratusan ribu jiwa yang patuh karena tekanan aturan. Sekarang jumlah tersebut sudah menjadi jutaan jiwa yang bebas, merdeka, semau gue. Dulu sumber daya alamnya masih cukup bahkan berlebih, sekarang sudah sangat minim bahkan minus. Saya yakin, jika wali kota zaman dulu sekaliber B Coops (1920-1921) atau SA Reitsma (1921-1928) ditunjuk sebagai wali kota di zaman sekarang, dipastikan sama puyengnya dengan Dada Rosada dalam menghadapi masalah penduduk yang terus bertambah, pedagang kaki lima, kemacetan kota, banjir cileuncang, Saritem, dan masih banyak lagi yang lain.

Sampai dengan HUT ke-197, banyak warga kota tidak peduli bahwa air adalah sumber daya primer bagi perkotaan. Selain itu, warga juga tidak menyadari bahwa Kota Bandung telah memasuki tahap rawan kekeringan. Kekeringan perkotaan (urban drought) adalah sebuah fenomena kompleks antara masalah hidrologi perkotaan dan manajemen perkotaan.

Berbeda dengan fenomena alam gempa bumi yang datangnya tiba-tiba, kekeringan perkotaan datangnya perlahan sehingga disebut sebagai bencana yang merayap (creeping disaster). Warga kota kelas menengah dan bawah baru sadar dan kebingungan ketika air ledeng mati, air sumur habis, aliran listrik digilir, selokan mengering berbau penuh sampah, dan jalanan berdebu.

Akan tetapi, warga kota kelas atas tetap saja tidak memiliki sense of crisis karena masih mampu membeli air dalam kemasan, menggunakan generator bila aliran listrik digilir, yang juga dipakai untuk menyedot air tanah. Selain itu, mereka juga menggunakan AC di mobil dan di rumah, serta dengan tenangnya mencuci mobil dan menyiram halaman rumah mewahnya dengan air menggunakan selang.

Mari kita renungkan bersama, betapa sesungguhnya Kota Bandung ini dalam tahap sangat rawan kekeringan. Pada zaman ketika dijuluki Parijs van Java dan julukan lain di masa keemasan (1920-1940), luas Kota Bandung lebih kurang 3.000 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa. Daerah tangkapan hujan Kota Bandung waktu itu sekitar 15.000 hektar dengan curah hujan sekitar 3.000 milimeter per tahun.

Dengan perhitungan sederhana mengenai potensi air hujan, evapotranspirasi dan kebutuhan air baku waktu itu diperoleh nilai faktor keamanan (FK) air baku kota mencapai angka enam. Sebagai perbandingan, bila nilai FK sama dengan satu, artinya kota dalam klasifikasi kritis. Jadi, nilai FK sama dengan enam artinya sangat aman. Cur cor caina, hejo tatangkalanana, recet manukna, genah jeung merenah dayeuhna.

Kota adalah Kita

Pada awal-awal kemerdekaan (1950), luas Kota Bandung lebih kurang 8.000 hektar dan daerah tangkapan hujannya sekitar 20.000 hektar. Dengan jumlah penduduk yang meningkat menjadi lebih kurang 650.000 jiwa, nilai FK air baku turun menjadi 2,6 yang artinya masih agak aman.

Sekarang pada tahun 2007, luas Kota Bandung mencapai hampir 17.000 hektar. Walaupun daerah tangkapan hujannya meningkat menjadi sekitar 50.000 hektar, kawasan lindung gundul dan jumlah penduduknya pun telah membengkak mendekati tiga juta jiwa. Alhasil, nilai FK air baku menurun drastis hanya tinggal 0,1 yang artinya sangat sangat kritis. Andaikan kawasan lindung di hulu dapat dipulihkan fungsi lindungnya, nilai FK air baku memang bisa meningkat, tetapi maksimum hanya bisa mencapai angka dua. Artinya, agak aman, tetapi mendekati kritis.

Sudah saatnya seluruh warga Kota Bandung prak-prung-der melakukan gerakan budaya rakyat dan kemitraan peduli kota. Bersama-sama panen air di musim hujan, hemat air di musim kemarau, menanam pohon perkotaan, dan tidak membuang sampah sembarangan.

Siapa pun wali kotanya, Kota Bandung adalah milik kita bersama. Kota adalah kita. Seorang ahli perkotaan berkata, "Tunjukkan kepadaku sebuah kota. Maka, saya akan tahu bagaimana perilaku warganya." Selamat HUT Ke-197 Kota Bandung.

SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Bandung Spirit

Read More..

MAKIN SESAKNYA "PARISJ VAN JAVA"

HUT KE-197 BANDUNG
KOMPAS
, Berita Utama, 25-09-2007

Foto: Sobirin, 2004, Bandung Heurin Ku Tangtung

Oleh: Dedi Muhtadi, KOMPAS
Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menyatakan, persoalan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota. Mereka selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman.


Nelengneng gung, geura gede geura jangkung. Geura sakola ka Bandung … (Cepat-cepatlah besar dan bersekolahlah di Bandung)
.


Sepenggal nyanyian yang dulu digunakan orangtua Sunda untuk meninabobokan anaknya sekarang mungkin harus ditambahi wanti-wanti bila harus sekolah di Bandung yang saat ini sudah heurin ku tangtung (makin sesak).

Kota yang dirancang untuk 0,5 juta jiwa penduduk itu kini sudah berpenghuni hampir 3 juta jiwa. Sebab, kota yang secara resmi dipindahkan Bupati Wiranatakusumah II dari Krapyak di tepi Sungai Citarum ke sekitar pendopo Kota Bandung pada 25 September 1810 itu telah berkembang tidak hanya sebagai kota pendidikan. Pemindahan ini pulalah yang menjadi pijakan HUT Kota Bandung.

Sebagai dampak pesatnya perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, tak hanya julukan pujian yang banyak, tetapi juga ejekan terhadap kota ini. Sebut saja julukan Paradise in Exile, Bandung Excelsior, De Bloem van Bersteden, Parijs van Java, Bandung Kota Kembang, Bandung Ibu Kota Asia-Afrika, juga sebutan Bandung Kota Lubang, Bandung Kota FO (factory outlet), dan Bandung Kota Sampah.

Kota yang dijuluki Parijs van Java karena kesejukannya itu kini tidak lagi nyaman. "Sulit mencari udara segar di tengah kota seperti ini. Napas rasanya semakin sesak," papar Sunjaya (30), seorang calon penumpang bus kota, saat menunggu di Alun-alun Bandung, pertengahan September lalu.

Sekarang, hampir semua jalan di Kota Bandung dikepung kepulan asap dari knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran udara seperti ini semakin menggila pada siang hari, saat aktivitas warga kota memuncak.

Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan, pencemaran udara sudah melebihi ambang batas. Di Alun-alun Kota Bandung, misalnya, kadar hidrokarbon (HC) mencapai 1,557 ppm, timbal (Pb) 2,03 Ugr/m3, dan partikel debu yang mengambang di udara (SPM) 152,4 Ugr/m3. Ambang batas untuk HC 0,24 ppm, Pb hanya 2 Ugr/m3, dan SPM 150 Ugr/m3.

Ahli polusi udara dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Puji Lestari bahkan menyodorkan data yang lebih mengerikan. Berdasarkan penelitiannya pada Agustus 2004, kadar nitrogen (NOx) sempat mencapai 0,12 ppm. Padahal, ambang baku untuk Indonesia hanya 0,05 ppm. Polutan NOx paling banyak dihasilkan sektor transportasi, 51,68 persen.

Demikian juga kadar karbon monoksida yang disumbang oleh transportasi. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Ajun Komisaris Besar Martinus Sitompul menyebutkan, pertambahan kendaraan bermotor di Bandung mencapai 150-200 unit per hari atau 6.000 unit per bulan.

Itu baru di Bandung saja. Belum dari daerah sekitar dan Jakarta. Seperti diketahui, setelah dioperasikannya Jalan Tol Cipularang, Bandung yang dikenal sebagai pusat mode dan pusat aneka jajanan itu kini menjadi tujuan utama pelesiran warga Jakarta. Setiap akhir pekan setidaknya 36.000 kendaraan masuk ke Bandung dari Jakarta.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya ruang terbuka hijau (RTH), yakni hanya 6,7 persen dari total luas kota 16.730 hektar. Bahkan, Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Mubiar Purwasasmita mengatakan, RTH Kota Bandung hanya 1,5 persen. Padahal, RTH dipercaya mampu menyerap pencemaran udara hingga 40 persen.

Untuk menekan polusi, Kepala BPLH Kota Bandung Nana Supriatna berjanji akan memberlakukan uji emisi gas buang dan menata ulang pola penyebaran lalu lintas ke Bandung timur agar tidak terkonsentrasi di Bandung bagian barat.

Semau gue

Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menyatakan, persoalan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota. Mereka selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman.

Pada zaman Parijs van Java, warga yang masih ratusan ribu jiwa patuh karena tekanan aturan. Sekarang "amburadul" karena jumlahnya jutaan jiwa yang sikapnya semau gue. Salah satunya adalah terdegradasinya kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan lindung.

Tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba mengendalikan pembangunan di KBU, tetapi semuanya dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kalau wali kota zaman dulu sekaliber B Coops (1920-1921) atau SA Reitsma (1921-1928) disuruh menertibkan Kota Bandung sekarang, dipastikan sama pusingnya dengan Dada Rosada, wali kota saat ini. (MHF/YNT)

Read More..

Saturday, September 22, 2007

PELANGGAR KBU HARUS DITINDAK

Koran SINDO, SEPUTAR INDONESIA, 16-09-2007, Yogi Pasha
Foto: Sobirin, 2005, Hampir Semua Mata Air KBU Sekarat

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin mengatakan, rusaknya kawasan KBU (Kawasan Bandung Utara) telah mengakibatkan kurang lebih 60 anak sungai tidak berfungsi dengan baik.




BANDUNG (SINDO)
– Komisi D DPRD Jabar mendesak Pemprov Jabar untuk menindak tegas pemerintah kabupaten/kota yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) KBU (Kawasan Bandung Utara).

Pasalnya, Perda KBU yang dikeluarkan DPRD Jabar awal 2007, telah disahkan Mendagri awal September ini. Anggota Komisi D DPRD Jabar Ani Rukmini mengatakan, persoalan yang terjadi di KBU saat ini karena lemahnya supremasi hukum. Selain itu, pemprov juga dinilai tidak tegas terhadap pelanggar perda tersebut.

”Saat ini, pembangunan di KBU terus berlangsung. Ke depan, setelah perda ini diloloskan Mendagri, pemprov harus segera merumuskan kajian teknis dengan Pemkab Bandung, Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi, dan Pemkab Bandung Barat,” kata Ani kepada wartawan, kemarin. Selama ini, dia menilai, pemprov belum bisa menghentikan laju pembangunan fisik di KBU. Padahal KBU merupakan lokasi strategis yang ditetapkan sebagai daerah konservasi oleh Pemprov Jabar.

”Seharusnya, pemprov berhak mengendalikan kawasan strategis itu. Tapi yang terjadi, kebijakan pemkab dan pemkot tidak selaras dengan ketetapan yang dikeluarkan Pemprov Jabar”, tandas Ani. Karena itu, kata Ani, pemprov harus bisa mengendalikan pembangunan fisik di KBU terutama yang dipandang melanggar ketentuan perda. Dia menjelaskan, keberadaan KBU menyangkut nasib daerah lainnya. Sebab, KBU merupakan daerah serapan air yang sangat dibutuhkan bagi tiga kawasan di cekungan Bandung. ”Jika KBU rusak, maka akan ada daerah yang terkena dampaknya seperti banjir dan kekurangan air”, pungkasnya.

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin mengatakan, rusaknya kawasan KBU telah mengakibatkan kurang lebih 60 anak sungai tidak berfungsi dengan baik. Hal tersebut bisa terlihat ketika musim hujan tiba yang mengakibatkan banjir di Kota Bandung. ”Banyak infrastruktur dan anak sungai yang mengalirkan air dari KBU sudah rusak. Jika hal ini dibiarkan terus akan memperparah kondisi lingkungan yang ada,”ujar Sobirin.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (DPLHD) Jabar Agus Rachmat mengatakan,pengesahan Perda KBU yang dilakukan Mendagri ini masih dalam prasyarat. Artinya, pemprov harus segera membicarakan mekanisme dan teknis implementasi perda tersebut dengan pemkab/pemkot.

”Sekda telah menyurati sejumlah SKPD untuk membicarakan hal ini, terutama soal implementasi koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), dan sebagainya, secara detail”, kata Agus kepada wartawan seusai menghadiri diskusi dengan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), beberapa waktu lalu. Surat yang diterbitkan Sekda Jabar Lex Laksamana, 14 September lalu, jelas Agus,akan segera dibahas dengan dinas dan pemkab/pemkot terkait untuk pelaksanaannya.

Saat ini, kilah Agus, Perda KBU belum bisa diimplementasikan di daerah karena masih terbentur Perda RTRW kabupaten/kota masingmasing. ”Kawasan Bandung Utara berada di dua wilayah yakni Kab Bandung dan Kota Bandung. Jika pembahasannya sudah selesai, tentu akan segera diimplementasikan. Daerah tak bisa seenaknya memberikan izin kepada pengembang untuk mendirikan bangunan di kawasan itu”, tegas Agus. (yogi pasha)

Read More..

IRIGASI TEKNIS MASIH MINIM

DAERAH HULU HARUS DIHIJAUKAN LEBIH DAHULU
KOMPAS
, Jawa Barat, 22 September 2007, BAY

Foto: Sobirin, 2006, Sawah Kekeringan Puso di Subang

Anggota DPKLTS Sobirin mengatakan, sebelum dibangun Waduk Jatigede, daerah hulunya perlu dihijaukan terlebih dahulu. “Jika dilakukan berbasis masyarakat, tidak membutuhkan waktu lama”, kata Sobirin.



BANDUNG, KOMPAS-
Hanya 42 persen sawah di Jawa Barat atau sekitar 383.000 hektar yang mendapat air dari irigasi teknis Waduk Jatiluhur. Dari jumlah sawah itu, 90 persen atau sekitar 340.000 hektar berada di wilayah pantai utara Jabar.

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar Asep Abdie di Bandung, Jumat (21/9), mengatakan, daerah yang areal sawahnya banyak terairi irigasi teknis antara lain Kabupaten Subang, Karawang, dan Indramayu.

Oleh karena itu, lahan yang kekeringan pada musim kemarau biasanya berada di luar kawasan pantai utara (pantura). Lahan di luar irigasi teknis diairi setengah teknis sekitar 120.000 hektar, irigasi sederhana pekerjaan umum (PU) 96.000 hektar, sederhana non-PU atau pedesaan 158.900 hektar, dan tadah hujan 169.000 hektar.

Bila Waduk Jatigede sudah dibangun, lebih dari 40.000 ha sawah akan terairi irigasi teknis. Produktivitas lahan yang dilalui saluran itu akan meningkat 1-2 ton per hektar, tergantung pada teknologi yang digunakan.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Daerah Jabar Oo Sutisna mengatakan, secara nasional luas sawah yang sudah terairi irigasi teknis kurang dari 10 persen. Luas sawah seluruhnya sekitar 11 juta hektar, sedangkan yang dilalui irigasi teknis hanya 1 juta hektar.

Sebagian besar irigasi teknis berada di Pulau Jawa. Di Jabar, irigasi tersebut terbanyak berada di Kabupaten Indramayu, Karawang, Subang, dan sebagian Majalengka.

Padi di sawah yang memanfaatkan irigasi teknis dapat dipanen tiga kali setahun. Sawah dengan irigasi non-teknis sangat tergantung pada persediaan air di daerah setempat. Bila air mencukupi, panen dilakukan tiga kali setahun.

Petani di Tanjungsari, Kapbupaten Sumedang, misalnya, mengandalkan mata air yang selalu tersedia sehingga produktivitas lahannya tinggi. Ini berbeda dengan petani di beberapa daerah lain yang persediaan airnya terbatas. Mereka hanya bisa panen sekali dalam setahun.

“Ada petani yang suplai air ke lahannya berkurang. Penyebabnya, kebutuhan itu diambil untuk air kemasan”, katanya.

Petani dengan produktivitas lahan rendah biasanya tinggal di daerah perbukitan atau hutan. Daerah semacam itu terdapat di beberapa kawasan Kabupaten Garut atau Indramayu.

Menurut Oo, jika Waduk Jatigede sudah dioperasikan, sawah yang terairi akan lebih luas. Daerah yang dilalui irigasi tersebut di antaranya kabupaten Majalengka, Cirebon, dan Indramayu.

Bila sistem pengairan sudah cukup baik, perlu diperhatikan juga saluran pembuangan ke sungai-sungai agar tidak terjadi banjir.

Oo memaparkan, produktivitas lahan di Jabar termasuk tinggi dan berpotensi untuk terus ditingkatkan.

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, sebelum dibangun Waduk Jatigede, daerah hulunya perlu dihijaukan terlebih dahulu.

“Jika dilakukan berbasis masyarakat, program itu tidak membutuhkan waktu lama”, kata Sobirin. (BAY)

Read More..

Friday, September 21, 2007

PERUNDANGAN DIMENTAHKAN EKONOMI JANGKA PENDEK

KBU RUSAK, BANDUNG DALAM INCARAN BENCANA
KOMPAS, Jawa Barat, 21 September 2007, mhf/ynt
Foto: Sobirin 2005, KBU Sangat Rawan Longsor

Sobirin
mengungkapkan, tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba mengendalikan pembangunan di KBU. Namun, semua itu dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.



PERUNDANGAN DIMENTAHKAN KEPENTINGAN EKONOMI JANGKA PENDEK

KBU RUSAK, BANDUNG DALAM INCARAN BENCANA

Bandung, Kompas -
Bandung semakin terancam kesinambungannya. Salah satunya karena lingkungan hidup kawasan Bandung utara atau KBU sebagai kawasan lindung telah terdegradasi.
Hal ini diungkapkan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin di Bandung, Kamis (20/9). "Sebenarnya, KBU yang terletak lebih tinggi dari Kota Bandung sangat strategis sebagai benteng lingkungan kota," ujarnya.

Musim kemarau akan segera berakhir, berganti dengan musim hujan, tetapi daerah seputar Bandung utara makin gundul. Jika curah hujannya sangat tinggi, bahaya mengancam masyarakat di kawasan resapan air tersebut. Waktu bersiap menghadapi bencana yang mungkin timbul tinggal sebulan.

Kegundulan daerah Bandung utara tampak jelas dari kawasan Punclut dan Dago, Kota Bandung. Berhektar-hektar lahan berwarna coklat karena tidak ditumbuhi pepohonan. Padahal, di seputar wilayah tersebut, dari mulai puncak hingga tebingnya, terdapat permukiman warga. Dikhawatirkan ketika musim hujan tiba, terjadi longsor yang mengancam jiwa penduduk.

Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Bandung Henri Surbakti, kemarin, musim hujan akan terjadi pada pertengahan Oktober 2007. Namun, dibandingkan dengan Bandung utara, timur, dan barat, karena perbedaan vegetasi dan tipe hujannya, Bandung selatan akan lebih dulu hujan. Curah hujan di Bandung pada pertengahan Oktober sekitar 85-115 persen dari rata-rata curah hujan daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada Desember hingga Februari 2008.

Luas KBU mencapai 38.550 hektar. Daerah ini mencakup 21 kecamatan dan 111 desa/kelurahan di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.

Perundangan dimentahkan

Sobirin mengungkapkan, tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba untuk mengendalikan pembangunan di KBU. Namun, semua itu dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Menurut dia, terdapat salah pemahaman tentang KBU. Beberapa pihak, terutama pemerintah, mengatakan pembangunan di KBU diperbolehkan karena daerah tersebut bukan resapan air. Akibatnya, 75 persen KBU rusak dan gundul karena intervensi pertanian dan permukiman.

Bagi Sobirin, KBU harus dilindungi karena merupakan daerah tangkapan hujan yang dapat menjaga kesinambungan kota. Jika pembangunan di KBU dibiarkan, Kota Bandung terancam bencana iklim dan lingkungan. "Saat musim hujan, terjadi banjir. Saat musim kemarau, terjadi kekeringan," katanya.

Hal senada dikatakan Ketua DPKLTS Mubiar Purwasasmita. KBU memiliki panorama dan pemandangan indah. Ini kemudian mendorong warga dan pengembang untuk membangun hotel berbintang, restoran internasional, tempat rekreasi, dan bahkan permukiman.

Mubiar mencatat, lebih dari 2.000 hektar lahan konservasi di Kecamatan Lembang telah dipenuhi bangunan. Bahkan, tahun 2001, Situ Persatuan Perikanan Indonesia (PPI) telah diuruk. Bila mengacu pada rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, yang diizinkan menjadi bangunan hanya 1.035 hektar.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat Dadang Sudarja mengatakan, persoalan utama yang menyelimuti RTRW Kota Bandung adalah kurang pahamnya pelaku pembangunan atas substansi RTRW.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Tjetje Soebrata menuturkan, pembangunan di KBU memang diperbolehkan, tetapi harus sesuai dengan aturan. Bangunan tidak boleh berdiri di lahan yang kemiringannya lebih dari 20 derajat. Kedua, luas bangunan hanya 20 persen dari lahan yang dimiliki. (mhf/ynt)

Read More..

Wednesday, September 19, 2007

BABAKAN SILIWANGI, HUTAN KOTA YANG HILANG

KOMPAS, 04-02-2003, Nusantara, IYA/EVI
Foto: Sobirin 2004, Sisa Hutan Kota Bandung, Babakan Siliwangi

"Idealnya daerah Bandung Utara dan Barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.



Di antara rimbunnya pepohonan yang berdiri kokoh di sisi kiri dan kanan jalan yang lebarnya sekitar empat meter, dua anak perempuan berlari-lari sambil bergandengan tangan. Di sebelah kanan kedua gadis cilik yang masih mengenakan seragam sekolah dasar (SD) itu berdiri beberapa bangunan yang di depannya terpampang sebuah papan nama "Sanggar Mitra Wisata".

Di dinding bangunan-bangunan itu tertempel puluhan lukisan yang umumnya beraliran realisme karya para pelukis lokal Kota Bandung.
Masih di sisi jalan yang sama, sekitar 10 meter dari sanggar yang berdiri tahun 1976 itu, berdiri pula bangunan lain yang juga dihiasi berbagai lukisan di dindingnya.

Dalam sebuah bangunan yang berbentuk saung itu, beberapa seniman muda yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) itu asyik melukis, mengekspresikan kemampuan mereka di atas kanvas.


Ada kesamaan di antara kedua sanggar itu. Keduanya adalah sebuah "sanggar terbuka" yang disediakan bagi mereka yang memiliki perhatian di bidang seni. "Siapa pun orangnya, boleh datang ke sini untuk menyalurkan bakat seni mereka.

Komunitas di sini memang diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni, tetapi punya bakat," ujar Aming D Rachman dari Forum Apresiasi Bandung.
Aming mengatakan, meskipun seni yang konsisten berkembang di sanggar itu adalah seni lukis, namun di komunitas SOS, yang berdiri sejak tahun 1960-an itu, tidak tertutup peluang bagi mereka yang memiliki bakat seni lain, seperti teater, seni suara, dan lain-lain.

SELAIN sebagai komunitas yang membuka diri bagi siapa pun, kedua sanggar itu memiliki kesamaan lain. Keduanya berada di Babakan Siliwangi, sebuah ruang terbuka hijau (RTH) berupa hutan kota yang terletak di Jalan Siliwangi, Bandung, Jawa Barat (Jabar). Tempat yang dibangun sejak tahun 1960-an ini ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti angsana, palem, duku, dan berbagai jenis pohon lain yang biasanya tumbuh di hutan.

Bahkan, terdapat puluhan titik mata air yang salah satunya memiliki debit 0,7 liter per detik.
Atas dasar itulah, ditambah data yang terdapat dalam peta geologi Bandung, daerah yang berada pada ketinggian hampir 800 meter di atas permukaan laut (dpl) ini termasuk ke dalam daerah inti resapan air. Menurut peta tersebut, sebagian besar daerah Bandung di wilayah utara dan barat, yang tanahnya mengandung tufa berbatu apung dan tufa pasiran, adalah daerah inti resapan air, termasuk kawasan Babakan Siliwangi.

"Dengan kondisi tanah yang seperti itu, idealnya daerah Bandung utara dan barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.


Namun, kondisi itu tampaknya tidak terlihat di lapangan. Banyak ruang terbuka hijau yang sudah beralih fungsi menjadi permukiman dan industri, termasuk daerah Babakan Siliwangi yang sudah direncanakan akan diubah menjadi bangunan apartemen, hotel, mal, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda.

Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Edi Siswadi mengungkapkan, saat ini Kota Bandung telah berkembang pesat dari sisi ekonomi maupun kependudukan. "Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menilai kawasan Babakan Siliwangi yang selama ini masih memiliki banyak ruang terbuka dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha masyarakat. Jadi, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola kawasan itu," kilah Edi Siswadi.


"Berdasarkan data yang kami peroleh, sebenarnya fungsi resapan air di kawasan itu sudah merosot tajam karena berkembangnya permukiman di sekitar daerah itu. Jadi, kami justru mengharapkan peran investor untuk mengembalikan fungsi resapan air di kawasan itu dengan teknologi tinggi," tutur Edi.

Selanjutnya, di hadapan para anggota DPRD Kota Bandung beberapa waktu lalu, para calon investor mengemukakan rencana pembangunan kawasan itu yang telah disepakati Pemkot Bandung melalui Bappeda Bandung.

Dalam rencana itu, 20 persen dari luas lahan akan dibangun menjadi apartemen untuk para mahasiswa, mal, hotel, butik, pusat seni dan amfiteater, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda. Sementara itu, sisa luas lahan di kawasan itu tetap dikuasai Pemkot Bandung, tetapi investor mempunyai hak untuk mengelolanya.


BEBERAPA saat setelah Pemkot Bandung mengemukakan rencana itu, reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan. Umumnya mereka menyayangkan rencana itu, apalagi jika melihat kondisi RTH di Kota Bandung kian berkurang saja dari waktu ke waktu.
"Kami khawatir jika pembangunan di kawasan itu menjadi tidak terkendali.

Memang investor hanya boleh membangun 20 persen dari luas lahan di daerah itu, namun mereka kan diperkenankan untuk mengelola sisa lahan yang lain. Ini bisa merusak lingkungan di daerah itu. Seharusnya, Pemkot Bandung mewajibkan investor memelihara 80 persen kawasan itu yang merupakan hutan Kota Bandung," kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali.


Data dari DPKLTS memperlihatkan, dari 16.726 hektar luas Kota Bandung dengan jumlah penduduk 2,5 juta, luas RTH-nya hanya sekitar 1,44 persen. Selain itu, jumlah pohon yang ada di Bandung hanya sekitar 650.000, padahal idealnya 1.250.000 pohon. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8 Ayat 3 disebutkan bahwa persentase luas hutan kotanya saja-tidak termasuk taman kota dan peka(Arangan rumah-paling sedikit harus mencapai 10 persen dari luas seluruh wilayah kota. (Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan Ruang Terbuka Hijau luasnya 30% dari total luas Kota/ Sobirin).

Aming sebagai perwakilan dari kelompok budayawan menyatakan rasa penyesalannya yang begitu mendalam. Menurut dia, pemikiran orang-orang yang membuat rencana untuk mengubah Babakan Siliwangi ini hanya berlandaskan pada faktor legalitas dan mengejar pemasukan untuk pendapatan asli daerah (PAD), tanpa berlandaskan pada moral.
"Kalau mereka berpikir dengan berlandaskan pada moral, mereka tidak akan menghilangkan sebuah daerah dan komunitas budayawan yang berkonsep natural system ini dengan seenaknya," ujar Aming dengan geram. (IYA/EVY)

Read More..

BABAKAN SILIWANGI LEBIH COCOK HUTAN KOTA

KOMPAS, 06-11-2004, Nusantara, j15
Foto: Sobirin 2004, Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi


Ketika ditanyakan rencana yang cocok untuk Babakan Siliwangi, Sobirin (DPKLTS) dengan spontan menjawab daerah itu paling cocok untuk hutan kota.




SENIMAN Tisna Sanjaya sungguh tak habis pikir. Pada 5 Februari 2004, karya seninya yang berjudul Special Prayer for The Death dibakar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung. Delapan bulan kemudian, tepatnya 15 Oktober 2004, tempat memamerkan karya seninya, yaitu Babakan Siliwangi, terbakar pula.


APAKAH kebakaran di bekas restoran yang terletak di Jalan Siliwangi itu disengaja? Bagi Tisna dan teman-teman seniman lain memang terlintas rasa curiga bahwa ada pihak-pihak yang ingin memusnahkan Babakan Siliwangi.


Banyak kalangan yang menyangsikan dugaan bahwa kebakaran disebabkan hubungan listrik arus pendek. Ketua Bandung Art Project, Yana Purakusuma, mengemukakan bahwa pada bangunan tersebut tidak terdapat jaringan listrik.


Apalagi di sela-sela aktivitasnya di Babakan Siliwangi, Yana sempat melihat seseorang yang mencurigakan setengah jam sebelum peristiwa kebakaran terjadi. Orang itu berpakaian rapi dan sedang memotret ketika Yana hendak mendatanginya. Anehnya waktu didekati, orang itu masuk ke dalam mobil Daihatsu Taft berwarna hitam dan langsung tancap gas.


Ketua Sanggar Olah Seni (SOS) Tomi Dermawan menyebutkan, ada seseorang yang melempar sesuatu ke bangunan Babakan Siliwangi. Keyakinan Tomi itu didasarkan pengamatannya disertai keterangan yang dia himpun dari orang-orang yang beraktivitas di Babakan Siliwangi.


Kecurigaan kalangan seniman itu mengingat dua tahun yang lalu beredar isu di Babakan Siliwangi akan dibangun kondominium dan mal. Para seniman berupaya menghalangi niat Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dengan melakukan berbagai pementasan seni atau sekadar berkumpul di Babakan Siliwangi.


TISNA Sanjaya sama sekali tidak mengharapkan di Babakan Siliwangi akan didirikan bangunan, tidak juga galeri seni. Itu biasanya hanya jadi dalih Pemkot Bandung untuk membuat bangunan lain yang bakal menambah kesemrawutan sosial maupun lingkungan, misalnya pasar swalayan, factory outlet.


"Kami kaum seniman sudah muak pada pola-pola pembangunan seenaknya seperti itu di Kota Bandung," ujar Tisna. Babakan Siliwangi, menurut Tisna, lebih cocok dijadikan ruang publik seperti hutan kota.


Lagi pula, sambungnya, Kota Bandung sudah memiliki banyak sekali ajang untuk berkesenian, seperti Gedung Rumentang Siang atau Dago Pakar. Belum lagi tempat-tempat khusus seperti Selasar Sunaryo dan Nyoman Nuarta New Art.


Kontribusi satu-satunya yang diharapkan para seniman, seandainya Babakan Siliwangi dijadikan hutan kota, daerah itu hendaknya dapat memberikan inspirasi.

Tisna berharap, Pemkot Bandung akan mendengarkan aspirasi kalangan seniman. Kebijakan yang dikeluarkan seharusnya didialogkan, jangan hanya dipertimbangkan dari satu sudut pandang saja.

Melalui diskusi, lanjut Tisna, bisa menjadi satu bentuk "perlawanan", sebab dengan diskusi akan ada transparansi. Dari situ masyarakat akan bisa melihat bila sampai terjadi kejanggalan atau penyimpangan. Bentuk "perlawanan" lainnya, yaitu menyalurkan aspirasi seniman melalui DPRD Jawa Barat.


Menurut Tisna, perjuangan kalangan seniman Bandung untuk mempertahankan Babakan Siliwangi sebagai hutan kota ini pada dasarnya juga mengacu pada prinsip-prinsip estetika.


PERNYATAAN senada diungkapkan oleh pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) S Sobirin. Ketika ditanyakan rencana yang cocok untuk Babakan Siliwangi, Sobirin dengan spontan menjawab daerah itu paling cocok untuk hutan kota.

Ia menyebutkan, luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandung jauh dari memadai, hanya 167 hektar (ha). Adapun RTH yang dibutuhkan sedikitnya seluas 1.670 ha dari luas total Kota Bandung, 16.700 ha.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Hutan Kota. Dalam peraturan itu disebutkan, setiap kota harus memiliki hutan kota setidaknya seluas 10 persen dari luas kota itu.
(Catatan: dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas RTH paling tidak 30% dari luas kota, sekitar 5.000 ha/ Sobirin)

"Ini kesempatan yang baik untuk menambah hutan kota karena kawasan hijau yang sudah ada pun pohonnya jarang-jarang. Idealnya, di Babakan Siliwangi harus ada 3.000 pohon. Tetapi, kalau ada 1.500 pohon saja saya sudah senang," ujar Sobirin.


Dengan hutan kota, panas sinar matahari dapat direduksi sebanyak 80 persen dan pasokan oksigen juga meningkat. Hutan kota, menurut Sobirin, diperlukan untuk estetika kota, kenyamanan penduduk, serta meningkatkan mutu lingkungan hidup.


Sekretaris Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat, Tigor Sinaga, sepakat Babakan Siliwangi dijadikan hutan kota. Apalagi bila mengingat tingginya resistensi masyarakat terhadap pembangunan kondominium.
"Kami bahkan bersikeras supaya Babakan Siliwangi dijadikan hutan kota," ujar Tigor menegaskan.

Dibandingkan pembangunan kondominium atau mal, investasi sosial dari ruang publik untuk masyarakat akan jauh lebih menguntungkan. Selain meningkatkan sumber daya manusia, lanjut Tigor, ruang publik juga membentuk citra yang positif untuk Kota Bandung.


Tigor terakhir kali melihat Babakan Siliwangi Oktober 2003. Dalam pandangannya, Babakan Siliwangi lebih baik tidak dieksploitasi karena memiliki sejarah tersendiri. Sangat disayangkan apabila daerah yang memiliki kekhasan budaya Sunda itu digantikan dengan bangunan modern.


Menurut Tigor, konsep ideal untuk Babakan Siliwangi adalah tempat untuk berkumpul warga dengan fasilitas perpustakaan, ruang kesenian, lahan parkir, dan sebuah restoran. Komersialisasi untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) boleh saja dilakukan asal tidak berlebihan.


Pembangunan kondominium, menurut Tigor, juga akan mengubah kontur tanah, tidak hanya di Babakan Siliwangi tetapi juga di sisi kanan kiri Jalan Siliwangi. Pada gilirannya, hal ini akan ikut mengubah tata lingkungan yang sudah sangat mengkhawatirkan.


REI Jabar sudah menyiapkan sebuah konsep RTH untuk Pemkot Bandung. Menjadikan Babakan Siliwangi sebagai RTH, demikian Tigor, adalah hal yang tidak bisa dikompromikan lagi. (j15)

Read More..

KONTROVERSI PENATAAN BABAKAN SILIWANGI

RUANG PUBLIK, MEDIA PERUBAHAN KEBIJAKAN
Sumber: UNIKOM, 2004, Develop by : Gov. Science Web Dept.
Foto: Sobirin, 2004, Babakan Siliwangi Malah Terbakar
Oleh: Caroline Paskarina *)
Diskusi salah satu kelompok aktor: Diskusi masyarakat peduli lingkungan Kota Bandung (22-01-2003), hadir antara lain Dindin S. Maolani, Budi Radjab, Deden Sambas, Mubiar, Sobirin, serta Acil Bimbo. Hasil diskusi menolak rencana pengembangan Babakan Siliwangi terkait dengan RTH.


Selengkapnya:
RUANG PUBLIK SEBAGAI MEDIA PERUBAHAN KEBIJAKAN:

TINJAUAN TERHADAP KONTROVERSI
PENATAAN KAWASAN BABAKAN SILIWANGI BANDUNG


Oleh: Caroline Paskarina *)
*) Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNIKOM dan Staf Peneliti pada Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UNPAD.
Sumber, UNIKOM, 2004.


Pendahuluan

Studi kebijakan publik sesungguhnya tidak hanya menggambarkan proses formulasi, implementasi, dan evaluasi suatu kebijakan. Secara implisit, studi kebijakan publik dapat memberikan suatu gambaran mengenai interaksi antara negara (pemerintah) dengan masyarakat. Kebijakan merupakan produk dari interaksi tersebut sehingga karakteristik kebijakan akan sangat ditentukan oleh pola relasi kekuasaan di antara para stakeholders yang terlibat.

Oleh karena itu, pandangan tentang studi kebijakan sebagai proses birokratis-administratif yang hanya menjadi domain dari institusi pemerintah menjadi sulit digunakan untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung dalam keseluruhan tahap proses kebijakan. Lahirnya suatu produk kebijakan tidaklah otomatis mencapai idealisasinya meskipun telah melalui keseluruhan tahap sebagaimana dikemukakan dalam konsep rasional-komprehensif yang dianut oleh kaum positivis.

Dalam pandangan kritis, studi kebijakan publik sebagai proses politik berkaitan erat dengan konsep demokrasi karena proses kebijakan pada dasarnya berorientasi pada akomodasi kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud jelas merupakan proses tarik-menarik dari berbagai kepentingan di masyarakat yang kemudian membentuk opini publik. Dengan demikian, proses kebijakan harus dimaknai sebagai proses dialogis di antara berbagai stakeholders dengan kepentingannya masing-masing yang kemudian hasil kesepakatan dari proses dialog itulah yang akan menentukan isi dari kebijakan tersebut. Dalam banyak kasus, proses dialogis ini seringkali hanya berlangsung dii tingkat elit para pengambil keputusan tanpa melibatkan kelompok-kelompok masyarakat lain yang sebenarnya juga terkena dampak dari kebijakan tersebut.

Sebagai proses dialogis, kebijakan dapat dianalisis dari pertarungan wacana dan argumentative turn yang dikemukakan oleh berbagai stakeholders yang terlibat. Fenomena inilah yang menonjol dalam kasus penataan kawasan Babakan Siliwangi. Proses dialogis yang semula relatif lancar dalam tahap-tahap proses kebijakan yang “normal” ternyata kemudian menimbulkan kontroversi ketika isu substantif dari kebijakan tersebut keluar dari “arena” pembuatan keputusan dan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Adu argumentasi dalam ruang publik kemudian mengarah pada munculnya perubahan substansi kebijakan, meskipun baru mencapai tahap formulasi kebijakan.


Latar Belakang Kasus

Kontroversi mengenai penataan kawasan Babakan Siliwangi sebenarnya sudah muncul sejak lama. Babakan Siliwangi merupakan suatu ruang hijau terbuka alamiah atau hutan kota yang berada di pusat Kota Bandung. Konflik mengenai Babakan Siliwangi terutama berkaitan dengan tarik-menarik kepentingan tentang siapa yang paling berhak menguasai atau mengelola kawasan tersebut. Pada tahun 1970-an, tarik-menarik kepentingan ini melibatkan Pemerintah Kota Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB) namun kemudian berangsung mencapai titik temu sehingga pada awal tahun 1990-an kawasan tersebut dapat dibangun sebagai kawasan wisata alam yang penggunaannya juga bersifat umum dan tidak eksklusif bagi ITB.

Konsep pengembangan dan penataan ulang kawasan Babakan Siliwangi tidak hanya melibatkan pihak Pemerintah Kota sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator tapi juga publik secara keseluruhan sebagai pemilik dari kawasan tersebut. Sebagai kawasan yang unik, Babakan Siliwangi rentan dengan isu-isu ekologi, transportasi, sosial, ekonomi, sampai pada isu budaya. Babakan Siliwangi dapat dikatakan sebagai kawasan yang sensitif bagi setiap upaya pengembangan walaupun sebagai bagian dari wilayah kota, kemungkinan persentuhan dengan upaya pengembangan merupakan suatu keniscayaan yang tidak terelakkan.

Pada tahun 1980-an, rencana pengelolaan Babakan Siliwangi dititikberatkan pada pembangunan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) sebagai gedung yang berfungsi seperti jembatan yang menghubungkan dua tepian lembah Sungai Cikapundung. Bagian yang menjadi lokasi Sabuga sampai ke tepi Sungai Cikapundung dirancang sebagai ruang air terbuka (danau buatan) yang memiliki fungsi estetis dan hidrologis. Sementara pada desain yang dibuat akhir tahun 1990-an, mencoba memasukkan fungsi ruang air (di depan Sabuga) sebagai bagian dari penataan elemen landscape di kawasan Babakan Siliwangi.

Secara umum, berbagai gagasan yang dikembangkan selama periode 1970 sampai dengan 1990-an berkisar pada upaya memadukan unsur budaya dan unsur alam dalam pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi. Perubahan mendasar dalam desain penataan kawasan Babakan Siliwangi mulai tampak ketika Walikota Aa Tarmana melontarkan gagasan untuk mengembangkan Babakan Siliwangi sebagai kawasan wisata terpadu (one stop Bandung art centre) yang di dalamnya memasukkan pula unsur komersial yakni pusat mode, bangunan apartemen (kondominium), wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.

Gagasan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Penataan Kawasan Babakan Siliwangi melalui SK Walikota No. 593/2001. Tim ini beranggotakan Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Bangunan, Badan Penanaman Modal Daerah, Bagian Hukum, serta Dinas Pariwisata. Tim ini bertugas mempertimbangkan setiap proposal yang masuk dari para investor[1]. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul konsep pengembangan kawasan Babakan Siliwangi dari Bappeda Kota Bandung yang kemudian masuk ke DPRD Kota Bandung berikut investor yang akan bekerja sama dalam pengelolaannya, yakni PT Esa Gemilang Indah (Group Istana) yang telah menyatakan siap memberikan kontribusi sebesar Rp 22,5 milyar bagi Pemerintah Kota Bandung. Nota kesepakatan kerja sama antara Pemerintah Kota Bandung dengan PT EGI ini dinyatakan dalam Lembaran Kota (LK) No. 17 Tahun 2002 tentang Penataan Kawasan Babakan Siliwangi.

Tahap selanjutnya, LK ini dibahas dalam Pansus DPRD namun tidak berhasil menghasilkan kesepakatan karena adanya pertentangan pendapat di kalangan anggota Pansus. Pertentangan pendapat ini disebabkan ketidakjelasan rancangan yang diajukan oleh Bappeda, bahkan kemudian terungkap bahwa Bappeda tidak pernah membuat rancangan sendiri tapi hanya mengajukan rancangan yang dibuat oleh PT EGI. Pansus kemudian memutuskan untuk memanggil investor (PT EGI) untuk melakukan ekspose di hadapan Pansus mengenai rencana detail penataan kawasan Babakan Siliwangi[2].

Selanjutnya, pembahasan dalam Pansus kemudian diajukan kepada Panitia Musyawarah (Pamus) yang beranggotakan para ketua fraksi dan ketua komisi. Pada tahap ini pun pembahasan belum menghasilkan keputusan yang bulat sehingga permasalahan ini terpaksa diputuskan di tingkat paripurna. Dalam rapat paripurna, hampir semua fraksi menyepakati dikembangkannya kawasan Babakan Siliwangi sesuai dengan konsep yang diajukan Bappeda (dan PT EGI), kecuali Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) yang menyatakan menolak dan Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yang setuju tapi dengan beberapa catatan[3].

Rapat paripurna tidak sampai pada tahap voting untuk pengambilan keputusannya melainkan menempuh jalur lobi agar persetujuan bisa sepenuhnya utuh. Untuk itulah, masalah persetujuan dewan terhadap rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi ditangguhkan untuk sementara waktu sehingga masih ada waktu untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam, baik di kalangan dewan sendiri maupun dengan pihak luar.

Dalam selang waktu itulah, masalah rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi ternyata mampu muncul ke permukaan dan keluar dari “arena” dewan hingga menimbulkan polemik dan perdebatan panjang. Perdebatan ini justru dipicu dari kalangan akademisi ITB sendiri yang sebenarnya turut dilibatkan dalam proses konsultasi kelayakan pengembangan kawasan Babakan Siliwangi. Isu yang memicu kontroversi di kalangan publik adalah isu bahwa kawasan Babakan Siliwangi merupakan daerah resapan air sehingga di atasnya tidak boleh dilakukan pembangunan dalam skala besar[4]. Tetapi isu ini kemudian di-counter oleh kalangan akademisi ITB lainnya yang menyatakan bahwa kawasan Babakan Siliwangi bukan merupakan daerah resapan air melainkan daerah luahan air[5].

Demikianlah arus tuntutan publik justru baru muncul ketika proses formulasi kebijakan sudah hampir mencapai tahap final. Sementara dari kronologis pembahasan rancangan kebijakan sejak diajukan Bappeda sampai dengan pembahasan dalam rapat paripurna DPRD, isu tersebut tidak pernah muncul. Kritik yang diajukan para pemerhati lingkungan hidup inilah yang justru membawa alur proses kebijakan keluar dari “arena” pengambilan keputusan dan masuk dalam ruang publik melalui adu argumentasi yang panjang di berbagai media massa.


Pertarungan Wacana dalam Kasus Babakan Siliwangi

Kontroversi mengenai pengembangan kawasan Babakan Siliwangi melibatkan berbagai stakeholders yang berbeda. Namun, pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan ini dapat diklasifikasikan menjadi empat pihak, yakni DPRD Kota Bandung sebagai aktor utama pengambil keputusan, Pemerintah Kota Bandung yang berkepentingan untuk mempertahankan rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi, PT EGI (investor) yang berkepentingan untuk memenangkan tender pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi, dan kelompok-kelompok masyarakat yang menuntut agar kebijakan pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi sebagai pusat perdagangan komersil dibatalkan. Kelompok-kelompok masyarakat ini antara lain terdiri dari kalangan akademisi dari ITB dan UNPAD, kalangan tokoh masyarakat (Sesepuh Kota Bandung), dan kalangan budayawan, antara lain Acil Bimbo (LSM Bandung Spirit), Hawe Setiawan, dan Harry Roesli.

Namun menarik untuk dicermati bahwa pertarungan kepentingan di antara pihak-pihak tersebut bukanlah pertarungan antara pihak elit (eksekutif dan legislatif) dengan pihak massa karena di dalam tubuh legislatif sendiri tidak semuanya pro maupun kontra dengan kebijakan tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh Fraksi PAN dan Fraksi KBB yang tidak sepenuhnya setuju. Demikian pula di pihak massa, kalangan akademisi ada menyetujui dan ada pula yang menolak. Dengan demikian, pertarungan kepentingan yang berlangsung adalah antara pihak yang pro dan pihak yang kontra dengan kebijakan pengembangan kawasan Babakan Siliwangi. Masing-masing pihak kemudian membentuk koalisi untuk memperjuangkan diadopsinya kebijakan pilihannya.

Dalam konteks inilah, pertarungan wacana kemudian menjadi relevan untuk digunakan sebagai perspektif dalam analisis kebijakan. Proses kebijakan kemudian dimaknai sebagai proses argumentative turn[6], di mana masing-masing pihak saling mengemukakan argumentasinya untuk memperjuangkan agar kepentingannya diadopsi dalam kebijakan.

Posisi DPRD dalam kasus ini sebenarnya lebih sebagai pengambil kebijakan untuk menentukan dilanjutkan atau tidaknya nota kerja sama antara Pemerintah Kota Bandung dengan PT EGI. Namun justru posisi strategis inilah yang menempatkan DPRD menjadi rentan akan proses negosiasi dan lobby yang mengarah pada oligarkhi pengambilan keputusan. Oleh karena itu, kajian mengenai pertarungan wacana yang terjadi selama pembahasan di DPRD menjadi relevan untuk melihat sejauhmana DPRD mampu bersikap netral dan menempatkan dirinya sebagai arena pertarungan berbagai kepentingan untuk menghasilkan kepentingan publik[7].

Pemerintah Kota Bandung memiliki kepentingan dalam penataan kawasan Babakan Siliwangi, terutama kepentingan ekonomi untuk meningkatkan PAD dari sektor perdagangan. Materi argumen yang diajukan Pemerintah Kota Bandung adalah kenyataan bahwa selama ini Rumah Makan Babakan Siliwangi yang dikelola Pemerintah Kota tidak menghasilkan keuntungan bahkan sebaliknya memerlukan subsidi setiap tahunnya. Dalam gagasan yang dikemukakan Walikota secara eksplisit dinyatakan keinginan untuk mengembangkan kawasan Babakan Siliwangi sebagai pusat perdagangan komersial yang bernuansa alam. Target utama dari konsep ini adalah mengembangkan Babakan Siliwangi sebagai lahan yang luas untuk memajang produk-produk seni dan mode[8]. Bahkan kemudian juga dilengkapi dengan pembangunan kawasan apartemen (kondominium) dan gelanggang kawula muda. Namun, pada prinsipnya, Pemerintah Kota Bandung tetap mempertahankan kelestarian alam di kawasan Babakan Siliwangi yang diperlukan sebagai nilai tambah untuk meningkatkan daya tarik kawasan tersebut.

Kepentingan inilah yang kemudian mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk mencari investor yang mampu memberi modal bagi realisasi gagasan yang diajukan Pemerintah Kota. Adalah wajar jika Pemerintah Kota kemudian memilih PT EGI sebagai mitra berdasarkan tawaran kontribusi yang sangat menggiurkan bagi PAD Kota Bandung sebesar Rp 2,5 milyar pada lima tahun pertama dan terus bertambah 10% pada lima tahun berikutnya dalam jangka waktu 25 tahun. PT EGI sebagai penanam modal jelas berkepentingan untuk memperoleh laba dari investasi ini. Namun kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan di kawasan Babakan Siliwangi patut dipertanyakan ketika dalam presentasinya di hadapan Pansus DPRD, ternyata PT EGI mendesakkan perlunya dilakukan pengendalian atau penataan pohon-pohon di kawasan Babakan Siliwangi[9]. Hal ini perlu dilakukan untuk menghasilkan lahan yang cukup luas dan lapang bagi pembangunan kompleks cottage. Selain ada rumah makan dan pusat kesenian, juga akan dibangun hunian untuk mahasiswa dan dosen yang bernama Graha Priangan. Bangunan ini berupa kondominium (apartemen) berlantai 24. Penggunaan istilah pengendalian atau penataan pepohonan di Babakan Siliwangi inilah yang kemudian memicu persepsi negatif di kalangan pemerhati lingkungan hidup sehingga timbul kekhawatiran terjadinya pengrusakan hutan kota tersebut.

Kekhawatiran ini ternyata tidak terungkap dalam pembahasan di DPRD. Rapat Pansus maupun Pamus hanya membahas dan menghasilkan keputusan mengenai luas lahan yang diperbolehkan dibangun (sebesar 7.375 m² dari luas keseluruhan sebesar 38.214 m²), besaran kontribusi yang disepakati, dan aturan main yang harus disepakati antara Pemerintah Kota dengan PT EGI. Berdasarkan poin-poin keputusan ini, tampak bahwa permasalahan subtantif berkenaan dengan isu ekologis belum mendapatkan ruang yang memadai dalam pembahasan. Sejumlah anggota DPRD sepakat dengan gagasan untuk mengelola Babakan Siliwangi sebagai salah satu aset Pemerintah Kota untuk menambah PAD, sebagaimana digambarkan dalam pernyataan berikut ini “Sayang kan kalau aset Pemkot Bandung tersebut hanya terhampar tanpa ada hasil maksimal yang dapat memberikan manfaat bagi proses pembangunan Kota Bandung”[10]. Dari pernyataan ini, secara implisit terkandung makna adanya pandangan bahwa kawasan Babakan Siliwangi merupakan kawasan yang tidak terurus dan tidak dapat memberikan keuntungan yang maksimal secara ekonomi. Persepsi dari sudut ekonomi ini tidak mempertimbangkan kegunaan Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau yang penting bagi paru-paru kota. Hal inilah yang menimbulkan pertentangan dengan beberapa anggota DPRD lainnya yang keberatan dengan rencana pengembangan kawasan Babakan Siliwangi karena menganggap kawasan tersebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang di atasnya tidak boleh didirikan bangunan apalagi bangunan tinggi seperti hotel atau apartemen[11]. Persepsi ini berangkat dari kepentingan ekologis yang tidak memandang kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan terlantar tapi lebih sebagai hutan kota sehingga wajar jika terdapat banyak hamparan pepohonan. Itulah sebabnya baik dalam Pansus maupun Pamus tidak berhasil dicapai kesepakatan penuh. Pro dan kontra di kalangan anggota DPRD ini juga dibenarkan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, H.E. Warso, melalui pernyataannya “Saya tahu banyak anggota DPRD Kota Bandung yang setuju dengan rencana penataan ini, namun ada juga beberapa yang tidak setuju”[12]. Pernyataan ini mengandung makna bahwa sesungguhnya DPRD sebagai arena pengambilan keputusan juga ternyata tidak sepenuhnya netral dan otonom dari berbagai kepentingan. Bahkan mayoritas anggota DPRD ternyata lebih memandang kebijakan penataan Babakan Siliwangi dari perspektif pragmatis-ekonomis. Hal ini diperkuat oleh pernyataan H.E. Warso, bahwa jika dalam pengambilan keputusan di DPRD digunakan voting maka kemungkinan besar akan dimenangkan oleh pihak yang setuju[13].

Wacana perdebatan kemudian berkembang menjadi pertentangan antara isu ekonomi dengan isu ekologi. Isu ekologi yang berkembang tidak lagi sebatas Babakan Siliwangi sebagai ruang hijau terbuka namun melebar menjadi daerah resapan air. Pihak Pemerintah Kota (c.q Bappeda) dan anggota DPRD yang pro berkoalisi dan mencari dukungan ilmiah dari kalangan akademisi. Demikian pula, anggota-anggota DPRD yang kontra berkoalisi dan membangun opini publik melalui pemberitaan di media massa untuk memobilisasi dukungan dari kalangan pemerhati lingkungan. Terbentuknya koalisi ini tersirat dari pernyataan anggota DPRD Hj. Uce Salya, yang mengatakan “Karena saya merasa akan ‘kalah’ di DPRD, saya akhirnya berkonsultasi dengan Bandung Spirit untuk masalah rencana penataan kawasan Babakan Siliwangi…”[14] (garis bawah dari penulis). Penggunaan kata “berkonsultasi” dalam pernyataan di atas secara implisit mengandung makna yang lebih dari sekedar meminta masukan jika dikaitkan dengan konteks kalimat sebelumnya, yakni adanya perasaan akan ‘kalah’ dalam perdebatan di DPRD. Dalam konteks ini, konsultasi dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk memperoleh dukungan agar ‘menang’ di DPRD.

Perdebatan antara koalisi yang pro dan yang kontra ini tampak dalam dengar pendapat (hearing) yang diselenggarakan DPRD. Dalam hearing tersebut, Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD, Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A., Ph.D menolak rencana pembangunan di Babakan Siliwangi karena jelas akan mengurangi ruang terbuka hijau di Kota Bandung dan implikasinya terhadap peningkatan PAD pun belum dapat dipastikan karena harus diperhitungkan apakah hasil yang diperoleh dari Babakan Siliwangi itu adalah PAD “bersih” atau “kotor” (belum termasuk biaya-biaya bagi dampak sosial, budaya, dan lingkungan)[15]. Pendapat ini kemudian didukung oleh kelompok-kelompok masyarakat seperti Sesepuh Kota Bandung, kalangan akademisi, mantan anggota DPR RI, dan seniman yang kembali mempertegas penolakan pembangunan kawasan Babakan Siliwangi karena daerah tersebut merupakan daerah resapan air. Sebagai counter dari opini yang berkembang, Bappeda kemudian mengundang pakar dari ITB untuk memaparkan hasil kajian ilmiah mengenai kondisi Babakan Siliwangi. Hasil kajian para pakar ITB ternyata mengungkapkan bahwa Babakan Siliwangi bukan daerah resapan air melainkan daerah I atau tempat keluarnya air karena lapisan tanah di Babakan Siliwangi merupakan sejenis tanah lempung yang membuat air tidak menyerap ke lapisan bawah. Jadi air hujan yang turun di daerah tersebut akan langsung dialirkan ke bawah menuju Sungai Cikapundung[16].

Dalam tahapan ini, wacana perdebatan mulai bergeser menjadi apakah Babakan Siliwangi merupakan daerah resapan air atau bukan. Namun, ada wacana yang kemudian menjadi terpinggirkan yakni dampak yang akan ditimbulkan apabila isi (content) dari kebijakan tersebut diterapkan. Wacana inilah yang kemudian dibangkitkan oleh kelompok akademisi, antara lain dari UNPAD, ITB, dan UNPAS beserta LSM-LSM pemerhati lingkungan, seperti Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, yang mengungkapkan bahwa pembangunan kondominium di Babakan Siliwangi dapat merusak kawasan sekitar yang merupakan lembah alam. Selain itu, rencana pembangunan kondominium di daerah tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan, antara lain PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang mengharuskan persentase hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan; Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Konservasi yang menyatakan bahwa sekitar 100 meter dari sungai tidak boleh ada bangunan. Jadi, pembangunan kondominium itu jelas melanggar aturan karena lokasinya tidak sampai 100 meter dari Sungai Cikapundung. Kenyataan ini membuktikan bahwa proses formulasi kebijakan seringkali tidak memperhatikan kebijakan-kebijakan yang telah ada, apalagi jika kemudian kebijakan yang telah ada ternyata bertentangan dengan kepentingan yang ingin dicapai pada masa sekarang, baik kepentingan investor maupun kepentingan Pemerintah Kota. Aspek legalitas-administratif yang seringkali digunakan sebagai landasan oleh Pemerintah Kota ternyata terbentur dengan materi kebijakan yang telah ada, bahkan dengan kebijakan di tingkat lokal, seperti Rencana Dasar Tata Ruang Kota Bandung No. 2 Tahun 1992, 1996, dan 2002 yang mengatur peruntukkan lahan di Kota Bandung dan semestinya diketahui oleh Bappeda sebagai lembaga yang paling berperan dalam penyusunannya.

Berkembangnya kontroversi penataan Babakan Siliwangi dalam ruang publik ini drespon oleh Pemerintah Kota Bandung dengan menyurati dua lembaga pendidikan tinggi negeri di Bandung, yakni ITB dan UNPAD, yang isinya permintaan bantuan berupa masukan untuk masalah Babakan Siliwangi. Akademisi ITB diminta memberi masukan dalam hal penataan dan pemanfaatan tata ruang sedangkan UNPAD diminta memberi masukan masalah yang berkaitan dengan dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam surat bernomor 650/695-Bapp (4 Maret 2003) disebutkan bahwa rencana Pemerintah Kota dalam penataan Babakan Siliwangi dilakukan dengan mempertahankan semaksimal mungkin kondisi hijau yang telah ada, mengefektifkan lahan yang telah terbangun serta mengembangkan nilai tambah bagi PAD Kota Bandung. Ditinjau dari materi suratnya, tampak ada upaya Pemerintah Kota untuk mengakomodasi tuntutan publik yang berkaitan dengan isu ekologis dan dampak kebijakan namun di sisi lain, tidak menjelaskan mengenai kelanjutan rencana pembangunan kondominium. Padahal isu tersebut merupakan salah satu wacana yang menimbulkan kontroversi dan penolakan publik yang tersirat dari jargon yang dikemukakan kalangan seniman “kondom yes, kondominium no”. Jargon ini memang terkesan sinis namun mengandung makna yang jelas akan penolakan gagasan pembangunan kondominium yang akan menganggu arus hidrologis.

Pihak DPRD sendiri dalam menyikapi berkembangnya pertarungan wacana di ruang publik ini kemudian berinisiatif mengistirahatkan Pansus untuk selanjutnya pembahasan mengenai LK Penataan Kawasan Babakan Siliwangi itu akan diambil alih oleh Panmus agar pembahasan menjadi lebih komprehensif karena melibatkan seluruh ketua komisi dan fraksi serta pimpinan DPRD[17]. Selanjutnya, sebagai respon terhadap banyaknya tuntutan public hearing maka DPRD akan mengadakan uji publik dengan mengundang para pihak yang terkait, termasuk para seniman yang selama ini berada di lingkungan Babakan Siliwangi. Pelaksanaan uji publik ini akan dilakukan setelah ada masukan dari ITB dan UNPAD[18].

Berdasarkan proses pertarungan wacana (argumentative turn) yang diuraikan di atas, tampak bahwa proses kebijakan bukanlah proses yang berlangsung dalam black box (arena DPRD), akan tetapi juga sangat kental dengan nuansa pertarungan kepentingan antar aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa proses kebijakan merupakan complexly inter-active process without beginning or end[19]. Pertarungan kepentingan dalam perspektif argumentative turn tidak dilihat dari penggunaan atribut kekuasaan, seperti jabatan atau kewenangan tapi lebih pada kompetensi keilmuan yang digunakan para akademisi dan pemerhati lingkungan untuk membangun opini publik melalui isu lingkungan.


Identifikasi Ruang Publik dalam Proses Argumentative Turn

Di samping berlangsungnya pertarungan wacana, juga menarik untuk dikaji mengenai ketersediaan ruang publik yang terbuka dalam memfasilitasi proses argumentative turn dari pihak DPRD, Pemerintah Kota, maupun kelompok masyarakat yang secara bebas menggunakan berbagai media untuk mengemukakan argumentasinya.

Dari sejumlah ruang publik yang tersedia, beberapa di antaranya yang dapat teridentifikasi adalah[20] :

1. Pemberitaan di media cetak (surat kabar lokal).

Isu kebijakan penataan kawasan Babakan Siliwangi telah mulai dipublikasikan di media cetak sejak September 2002 dalam bentuk pemberitaan mengenai pembentukan Pansus Babakan Siliwangi untuk membahas berbagai hal yang berhubungan dengan rencana penataan kawasan tersebut termasuk kontribusi pengelola kepada Pemerintah Kota sebagai pemilik lahan. Dalam artikel yang dimuat Pikiran Rakyat tanggal 17 September 2002, juga sudah mulai muncul isu ekologis yang dikemukakan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung (H. Idris Yusuf Lubis) yang mengatakan agar penataan kawasan Babakan Siliwangi tidak disertai dengan penebangan satu pohon pun dan tidak membuat bangunan yang mengurangi wilayah tangkapan air. Media cetak juga secara rutin memuat perkembangan pembahasan kebijakan di DPRD termasuk adu argumentasi yang dikemukakan, mulai dari isu ekonomi (peningkatan PAD) yang direspon dengan isu ekologis (masalah RTH, daerah resapan air atau bukan), dan pada akhirnya berkembang isu baru berkaitan dengan dampak (efek samping) dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dalam periode September 2002 – 28 Maret 2003, dimuat sejumlah artikel mengenai Babakan Siliwangi dengan tema yang hampir sama yakni berkaitan dengan pelestarian alamnya dan konsep pengembangan Babakan Siliwangi sebagai kawasan wisata alam[21]. Penulis artikel pun berasal dari latar belakang yang beragam, namun umumnya akademisi.

Meskipun demikian, ditinjau dari penempatan berita atau artikelnya hampir semuanya tidak sebagai headline namun tetap menarik perhatian pembaca karena dimuat dalam lembaran khusus Bandung Raya dengan ukuran judul yang besar, kecuali pemberitaan mengenai diskusi dan jajak pendapat yang dilakukan Pikiran Rakyat dimuat di halaman depan. Posisi penempatan ini dapat diinterpretasikan sebagai ukuran kepedulian media cetak terhadap isu tersebut.

2. Hearing dengan DPRD Kota Bandung (20 Januari 2003).

Wacana yang muncul dalam hearing adalah pembangunan Babakan Siliwangi akan mengurangi ruang terbuka hijau. PPSDAL UNPAD yang diundang dalam hearing tersebut mengemukakan argumen bahwa pembangunan hotel, apartemen, restoran, butik, gelanggang remaja, dan gedung budaya di kawasan tersebut akan mengubah penggunaan lahan yang ada, yang semula RTH dengan sedikit bangunan menjadi RTH dengan banyak bangunan dan banyak kegiatan. Implikasinya adalah penyempitan RTH/taman, berkembangnya usaha di sekitar Babakan Siliwangi yang akan menimbulkan kekacauan tata ruang dan berpotensi menimbulkan kemacetan.

Wacana lain yang muncul berkaitan dengan potensi ekonomi Babakan Siliwangi. Pengembangan Babakan Siliwangi dan tumbuhnya usaha komersil di daerah sekitarnya dipastikan akan memberikan nilai tambah bagi PAD, tapi harus dianalisis lebih rinci apakah PAD yang masuk adalah PAD “bersih” atau “kotor”. Hal ini harus dilakukan agar jangan sampai PAD yang diterima tidak sebanding dengan biaya kerusakan lingkungan yang diakibatkan.

3. Diskusi tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dengan pembangunan dan lingkungan Kota Bandung (22 Januari 2003).

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, antara lain Dindin S. Maolani (pakar hukum), Budi Radjab (UNPAD), Deden Sambas (Ketua Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi), Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, M.Sc. (ITB), S. Sobirin (anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda), serta Acil Bimbo (budayawan - Ketua Bandung Spirit).

Hasil pertemuan ini adalah penolakan terhadap rencana pengembangan Babakan Siliwangi dengan argumen tentang RTH dan keterkaitan antara PAD dengan lingkungan.

4. Pertemuan para seniman Kota Bandung dengan Komisi D DPRD Kota Bandung di Gedung DPRD (3 Februari 2003).

Kedatangan para seniman[22] dimaksudkan untuk meminta kesediaan anggota dewan memfasilitasi rapat dengar pendapat (hearing) secara terbuka untuk umum dan bersifat transparan mengenai rencana pengembangan Babakan Siliwangi. Hearing yang dihadiri seluruh pihak terkait ini diperlukan agar ada kejelasan mengenai rencana Pemerintah Kota sehingga keputusan yang diambil bisa kredibel dan akuntabel.

5. Pertemuan Bappeda Kota Bandung dengan para pakar ITB di Kantor Bappeda (14 Februari 2003).

Acara ini diselenggarakan untuk mengetahui hasil kajian ilmiah yang dilakukan ITB mengenai kondisi Babakan Siliwangi. Dalam pertemuan ini, muncul counter argument dari Lambok Hutasoit bahwa Babakan Siliwangi bukan daerah resapan air. Demikian pula, bahwa hutan kota Babakan Siliwangi bukan merupakan hutan alami melainkan hutan buatan sehingga jika dilakukan penebangan maka bisa dilakukan penanaman kembali atau dilakukan dengan cara memindahkan pohon tanpa penebangan (menggunakan crane). Hasil kajian ilmiah inilah yang kemudian digunakan oleh Bappeda sebagai dasar teoretis untuk memperkuat konsep yang diajukannya. Hasil kajian ini diinterpretasikan sepintas bahwa pembangunan kondominium tidak akan mengganggu pasokan air bagi warga Bandung. Tapi sesungguhnya counter argument ini tidak merespon isu tentang penyempitan RTH maupun dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan bila dilakukan pembangunan di kawasan tersebut.

6. Diskusi “Mimbar Keprihatinan Babakan Siliwangi” yang diadakan Solidaritas Seniman Siliwangi (16 Februari 2003).

Diskusi ini dihadiri oleh kalangan LSM, legislatif, dan akademisi. Wacana baru dimunculkan dengan mengaitkan rencana pembangunan kondominium dengan pelanggaran terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ada mengenai persentase hutan kota, konservasi, dan tata ruang kota (perspektif yuridis terhadap rancangan kebijakan Babakan Siliwangi).

7. Diskusi “Tinjauan Kritis terhadap Rencana Pengembangan Babakan Siliwangi” yang diadakan HU Pikiran Rakyat (22 Februari 2003).

Kegiatan ini dihadiri oleh unsur akademisi, Bappeda, anggota DPRD, pemerhati lingkungan hidup, dan kalangan budayawan.

Dalam diskusi ini, wacana perdebatan mulai bergeser tidak lagi sekedar isu ekologis tapi juga mulai membahas mengenai dampak yang ditimbulkan, termasuk biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus diperhitungkan sebagai konsekuensi pelaksanaan kebijakan, termasuk rencana pembangunan kondominium.

8. Jajak pendapat (pooling) melalui telepon terhadap masyarakat Kota Bandung yang diadakan oleh Litbang Redaksi HU Pikiran Rakyat (23 Februari 2003).

Jajak pendapat terhadap 500 responden warga Kota Bandung dimaksudkan untuk mengetahui penilaian publik terhadap rencana pembangunan kondominium termasuk alasannya bagi yang pro maupun yang kontra.

Hasil yang cukup menarik dari jajak pendapat ini adalah masyarakat sebenarnya menyesalkan terjadinya silang pendapat para ahli mengenai Babakan Siliwangi yang berkaitan dengan resapan air atau bukan. Muncul dugaan dari masyarakat bahwa Pemerintah Kota tidak memiliki data yang jelas mengenai kondisi kawasan Babakan Siliwangi. Namun di sisi lain, ada juga dugaan bahwa Pemerintah Kota sengaja tidak mengungkapkan data yang sebenarnya untuk kepentingan pemerintah sendiri.

Dari segi kuantitatif, ruang publik yang tersedia cukup memadai untuk menampung adu argumentasi dari berbagai pihak. Pihak yang terlibat dalam ruang publik tidak hanya dibatasi pada kalangan elit (eksekutif, legislatif, akademisi, budayawan, LSM) tapi juga masyarakat umum yang aspirasinya tertampung melalui jajak pendapat. Di sisi lain, sikap pengambil keputusan (DPRD) juga cukup akomodatif dalam mengakomodasi aspirasi yang masuk. Hal ini tampak dari diadakannya hearing dan penerimaan delegasi kelompok masyarakat oleh DPRD, termasuk rencana pelaksanaan public hearing. Ada satu keputusan yang cukup penting namun akomodatif yang diambil DPRD yakni dengan mengistirahatkan Pansus dan menggantinya dengan Pamus sehingga pembahasan tidak terjebak dalam oligarkhi pengambilan keputusan.


Penutup :
Proses Perubahan Kebijakan Penataan Kawasan Babakan Siliwangi


Pergeseran dan kompleksitas wacana yang berkembang menunjukkan perspektif yang beragam dari publik mengenai suatu kebijakan. Dalam formulasi kebijakan, hal ini sangat penting sebab pengenalan publik atas kenyataan kebijakan yang beragam kemudian akan memperkaya sudut pandang dari kebijakan yang dibuat[23]. Tahap ini memberi ruang bagi akomodasi pengenalan publik terhadap konteks kebijakan yang akan dibuat.

Ketersediaan ruang publik juga dapat dimaknai sebagai proses advokasi terhadap materi kebijakan. Peran inisiator dalam advokasi substansi kebijakan dilakukan oleh kalangan akademisi dengan memunculkan counter issue sehingga pembahasan dalam DPRD tidak terjebak dalam aspek teknis yang cenderung mengarah pada pertimbangan ekonomis-pragmatis. Di sisi lain, advokasi juga dilakukan dalam bentuk merumuskan dan menyampaikan konsep-konsep tandingan yang membekali para aktivis berpartisipasi dalam merumuskan ulang kebijakan[24].

Peran broker (mediator) antara koalisi pro dan koalisi kontra terhadap kebijakan justru difasilitasi oleh media cetak, antara lain Pikiran Rakyat yang cukup berperan dalam mengadakan diskusi dan jajak pendapat sebagai wadah yang mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Proses pertarungan wacana yang berlangsung secara lisan maupun tulisan yang kemudian dimuat dalam media cetak dapat digunakan oleh para pihak yang berkonflik sebagai media untuk melakukan respon sehingga wacana yang berkembang tidak terhegemoni oleh salah satu pihak.

Masuknya ide di luar pemerintah dalam agenda kebijakan juga menunjukkan tidak adanya hegemoni dalam proses politik. Peran kalangan akademisi sebagai kaum intelektual sangat besar dalam menciptakan counter hegemony terhadap konsep yang disampaikan pemerintah. Dalam kasus ini, isu penyempitan RTH dan dampak pembangunan kondominium merupakan wacana yang berhasil dimasukkan ke dalam agenda pembahasan DPRD untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Masuknya wacana ini membawa perubahan dalam proses pembahasan maupun substansi kebijakan. Dalam pembahasan semula, DPRD sudah hampir menyetujui Lembaran Kota kemitraan antara Pemerintah Kota dan PT EGI dengan pertimbangan keuntungan finansial namun masuknya isu penyempitan RTH dan dampak pembangunan kondominium menyebabkan Pemerintah Kota kemudian meminta masukan lanjut dari kalangan akademisi untuk memperbaiki substansi kebijakan.

Belajar dari kasus ini, proses kebijakan ternyata juga dapat dipahami sebagai proses pertarungan wacana antara pihak-pihak yang berkepentingan. Proses formulasi kebijakan tidak hanya mencakup negosiasi antar elit dalam arena DPRD karena ternyata wacana dan perdebatan yang berkembang di tingkat publik dapat menarik keluar proses pembahasan tersebut ke dalam ruang publik dan pada akhirnya publik dapat mendesakkan masuknya kepentingan publik yang lebih rasional ke dalam kebijakan tersebut. Pertarungan wacana ini juga sekaligus merefleksikan pertarungan rasionalitas antara pihak yang pro maupun yang kontra terhadap substansi kebijakan. Dan konsensus yang ditempuh untuk melakukan uji publik yang lebih komprehensif merupakan jalan tengah yang membuka peluang bagi proses kebijakan yang lebih partisipatif.


Pustaka Rujukan

Anonim. “Menguak Rencana Babakan Siliwangi”. Artikel Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

Fadillah Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Glendon Schubert. 1966. Is There a Public Interest Theory ?. New York : Atherton Press.

Mansour Fakih, Roem Topatimasang, dan Rahardjo (eds). 2000. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Peter deLeon. “The Policy Science Redux : New Roads to Postpositivism”. Policy Studies Journal Vol. 22 No. 1. 1994.

Purwo Santoso. “Proses Kebijakan, Karakteristik, dan Advokasinya”. Makalah. Disampaikan dalam Pelatihan Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World Bank, 11 – 20 September 2002.

Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2002.

_____, 18 Desember 2002.

_____, 21 Januari 2003.

_____, 15 Februari 2003.

_____, 18 Februari 2003.

_____, 20 Februari 2003.

_____, 11 Maret 2003.

_____, 28 Maret 2003.

[1] Tercatat ada 8 proposal yang masuk dengan berbagai macam penawaran bagi hasil keuntungan, mulai dari kontribusi sebesar Rp 100 sampai dengan 125 juta per tahun. Bahkan ada pula investor yang tertarik untuk mengembangkan kawasan tersebut sesuai dengan proposal yang diajukan oleh konsultan Pemerintah Kota Bandung dari ITB dengan kontribusi bagi Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 500 juta per tahun untuk lima tahun pertama dan sebesar Rp 800 juta per tahun untuk 25 tahun berikutnya sehingga kontrak tersebut berlaku selama 30 tahun dengan total kontribusi sebesar Rp 22,5 milyar. (“Menguak Rencana Babakan Siliwangi”. Artikel Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[2] Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2002.

[3] Pikiran Rakyat, 18 Desember 2002.

[4] Isu ini antara lain dikemukakan oleh Prof. Surna T. Djayadiningrat (Guru Besar ITB), Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A., PhD (Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan UNPAD), Prof. Otto Soemarwoto (pakar lingkungan hidup), dan didukung oleh berbagai kalangan akademisi, tokoh masyarakat, bahkan kalangan budayawan.

[5] Sebagaimana dikemukakan Lambok M. Hutasoit (Ketua Departemen Teknik Geologi ITB), Sudarto Nitisiswoyo (Dosen Departemen Teknik Pertambangan ITB), Budi Rijanto (Staf Ahli Wakil Rektor ITB Bidang UMR), Dr. Taufikurhaman (Departemen Biologi ITB), serta Prof. M. Danisworo (Ketua Pusat Studi Urban Desain ITB).

[6] Pendekatan ini dikemukakan oleh Fischer dan Forester untuk menganalisis kebijakan sebagai proses praktis dari argumentasi. Analisis kebijakan ditekankan pada pengertian-pengertian istilah sosiologis, yaitu karakter retorika dalam konteks spesifik yang meliputi makna dari argumen maupun isu yang dikemukakan. Lebih lanjut dapat dibaca dalam Peter deLeon. “The Policy Science Redux : New Roads to Postpositivism”. Policy Studies Journal Vol. 22 No. 1. 1994.

[7] Konsepsi kepentingan publik memiliki banyak makna tergantung dari perspektif yang digunakan. Glendon Schubert (1966) menawarkan 3 perspektif untuk mengidentifikasikan kepentingan publik, yakni (1) perspektif rasionalis yang mengatakan bahwa kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada (kepentingan publik sama dengan kepentingan mayoritas); (2) perspektif idealis yang mengatakan bahwa kepentingan publik adalah hal yang luhur sehingga tidak boleh direka-reka; (3) perspektif realis yang memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan sehingga tidak ada kepentingan yang lebih dominan. Lihat lebih lanjut dalam Glendon Schubert. Is There a Public Interest Theory ?. New York : Atherton Press. 1966.

[8] Pernyataan Walikota Aa Tarmana dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[9] Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003.

[10] Pernyataan anggota Fraksi Partai Golkar, H. Yod Mintaraga (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[11] Sebagaimana dinyatakan oleh Hj. Uce Salya, anggota Pansus dan Pamus Babakan Siliwangi dalam Pikiran Rakyat, 18 Desember 2002.

[12] Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[13] Ibid.

[14] Dalam Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003.

[15] Pikiran Rakyat, 21 Januari 2003.

[16] Sebagaimana dinyatakan Ir. Lambok M. Hutasoit, Ph.D (Ketua Departemen Teknik Geologi ITB) yang dikutip oleh Pikiran Rakyat, 15 Februari 2003.

[17] Pikiran Rakyat, 18 Februari 2003.

[18] Hingga makalah ini ditulis (akhir Mei 2003), uji publik tersebut belum dilaksanakan karena masih menunggu masukan dari kedua PTN.

[19] Parsons sebagaimana dikutip Fadillah Putra. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001, hal. 166.

[20] Dalam makalah ini tidak semua ruang publik yang berlangsung dapat diidentifikasi mengingat keterbatasan data dan informasi yang bisa diperoleh penulis, terutama yang berlangsung melalui media radio atau televisi lokal.

[21] Beberapa artikel tersebut adalah Mimpi Babakan Siliwangi (Sampurno - akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 30 Desember 2002); Surat untuk Masyarakat Kota Bandung : Keprihatinan Babakan Siliwangi (Setiaji Purnasatmoko - seniman, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003); Babakan Siliwangi sebagai Kawasan Publik (Budi Rijanto – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Fenruari 2003); Mari Menata Hutan di Kota Kita (Taufikurahman – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Februari 2003); Babakan Siliwangi : Daerah Resapan Air atau Bukan ? (Lambok M. Hutasoit dan Sudarto Nitisiswoyo – akademisi, dimuat di Pikiran Rakyat, 25 Februari 2003).

[22] Di antaranya dihadiri oleh Hawe Setiawan, Benny Yohanes, dan Wawan S. Husin.

[23] Putra, op,cit., hal. 194.

[24] Antara lain konsep yang diajukan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB. Konsep yang diajukan meliputi grand scenario untuk pengembangan kawasan Babakan Siliwangi dengan didasarkan pada studi kelayakan dan kelaikan rencana dalam skala ekonomi mikro sekaligus makro untuk melihat kaitan dengan pengembangan kawasan lain. Dalam hal ini termasuk penetapan ultimate goal dari setiap unsur yang berkegiatan dalam ukuran pencapaian prestasi yang diharapkan. Juga dianalisis mengenai alternatif peruntukkan sarana/prasarana sesuai struktur tata ruang dan karakter lingkungan yang memberikan manfaat berkelanjutan (dalam Budi Rijanto, op.cit).

UNIKOM, 2004
Develop by : Government Science Web Department
Copyright@DS.2004 - All Right Reserved


Read More..