Friday, September 28, 2007

FATAL, JIKA CURUG JOMPONG DIPANGKAS

Pikiran Rakyat, 07 Maret 2006, A-128
Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong di hulu Waduk Saguling


Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) berpendapat lain. “Pada intinya, permasalahan terdapat di hulu Sungai Citarum,” paparnya.





FATAL, JIKA CURUG JOMPONG DIPANGKAS

Dr. Budi, ”Jembatan-jembatan di Sungai Citarum Sangat Berisiko Roboh”

BANDUNG, (PR).-

Curug Jompong (Air Terjun Jompong) di Sungai Citarum, agar dipangkas menimbulkan pro dan kontra. Sedangkan usulan agar curug tersebut diratakan disampaikan Sekretaris Komisi D DPRD Prov. Jabar Dadang Nasser beberapa waktu lalu, dengan maksud untuk menanggulangi banjir.

Anggota Kelompok Keil¬muan Geologi Terapan Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, Dr. Ir. Budi Brahmantyo, mengatakan, dipapasnya Curug Jompong justru akan menimbulkan permasalahan baru.
”Jika Curug Jompong dipapas, maka arus Citarum makin cepat. Gradien sungai akan berubah, sehingga terjadi erosi vertikal. Erosi ini akan menimbulkan penggerusan di dasar dan dinding sungai yang luar biasa,” ujar Budi, kepada ”PR”, Kamis (2/3).

Diungkapkan Budi, penggerusan akan berakibat fatal jika menimpa dasar dan dinding sungai yang dijadikan pondasi jembatan. “Bayangkan jika itu terjadi, maka jembatan-jembatan tersebut sangat berisiko untuk rubuh. Belum lagi perubahan karakteristik anak-anak sungai,” kata Budi, yang juga aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung.


Tergerusnya dasar Sungai Citarum, menurut Budi, memang akan membuat muka air sungai turun. ”Tapi, itu juga berakibat pada menurunnya muka air permukaan di cekungan Bandung.
Satu hal lagi, menurut dia, yang tidak disadari bahwa pemapasan Curug Jompong tidak akan mengurangi endapan di Sungai Citarum. Akan tetapi, justru bakal terjadi endapan yang lebih banyak karena erosi yang luar biasa.

Berbeda dengan Budi Brahmantyo, pakar hidrologi dari Teknik Sipil ITB, Dr. Ir. Sugandar Soemawiganda, justru mendukung pemangkasan Curug Jompong. ”Dengan adanya curug itu kan membuat sungai terkena pengaruh pengempangan. Ya, seperti empang,” katanya.


Meski demikian, Sugandar mengingatkan, sebelum dilakukan pemangkasan harus ada persiapan tertentu di beberapa titik, khususnya yang terdapat jembatan.
”Persiapannya seperti memperkuat pondasi-pondasi jembatan itu. Untuk jembatan besar, diberi beberapa tiang pancang setinggi 10 meter. Nah, untuk jembatan-jembatan kecil, cukup tiang pancang yang 5-6 meter,” katanya.

Sugandar menjelaskan, pemangkasan bisa dilakukan dengan cara peledakan. Pengerjaan sebaiknya dilakukan di musim kering. ”Yang dipangkas tidak perlu bannya, cukup 500 meter kubik saja, dan diperlukan sekitar 220 kg bahan peledak. Saya kira, 3 bulan sudah beres,” ujarnya.
Dengan pemangkasan tersebut, menurut dia, permukaan air sungai diperkirakan akan turun 4-5 meter. Seluruh anak Sungai Citarum pun akan terpengaruh sehingga terbentuk profil keseimbangan baru.

Tak perlu dikeruk


Sugandar menambahkan, dengan terjadinya penggerusan dasar sungai karena pemangkasan Curug Jompong, maka pengerukan tidak perlu dilakukan lagi. ”Pengerukan itu perbuatan bodoh dan buang-buang duit,” katanya.
Jika Citarum dikeruk pun, tutur Sugandar, pengendapan bakal terjadi lagi dalam waktu singkat. Pendangkalan dipastikan terjadi lagi dalam tempo 3-5 tahun, karena sungai kembali ke kesetimbangan - awal. ”Kalau dilakukan pemangkasan, kan terbentuk kesetimbangan baru. Makanya, pengerukan itu hanya buang duit dan waktu. Kasusnya sama seperti projek sodetan Citanduy. Mereka tidak melihat persoalan dengan jelas,” katanya.

Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) berpendapat lain. ”Pemangkasan Curug Jompong bisa berdampak positif dan negatif. Namun, pada intinya, permasalahan terdapat di hulu Sungai Citarum,” paparnya.
Menurutnya, langkah pengerukan sungai dan pemangkasan Curug Jompong tidak akan menuntaskan masalah. ”Kalau dataran di hulu sungai dan kawasan lindung di cincin cekungan Bandung masih gersang, tetap saja akan terjadi endapan. Tentunya bakal ada projek pengerukan-pengerukan kembali yang memakan banyak biaya. Dan yang untung di sini siapa? Pimpronya,” ujar Sobirin.

Dataran di hulu Citarum, saat ini luasnya sekira 350 ribu hektare. Yang berfungsi sebagai kawasan lindung, semestinya sekira 54% yang setara dengan 200 ribu hektare.
”Saat ini, dari 200 ribu hektare itu, 90 hektare dimiliki Perhutani, dan 110 hektare dimiliki rakyat. Nah, yang dimiliki rakyat inilah semestinya menjadi perhatian para pimpro penataan Citarum, untuk dijadikan kawasan lindung. Bukan dengan pengerukan besar-besaran,” katanya. (A-128)***

No comments: