Saturday, March 29, 2008

TIGA PROJEK CITARUM TAK PECAHKAN MASALAH

Pikiran Rakyat, 29 Maret 2008, CA-164
Foto: Sobirin 2004, Utamakan Rembug Warga DAS Citarum

Anggota DPKLTS Sobirin mengatakan, dana yang demikian besar sebaiknya digunakan juga untuk mengikutsertakan masyarakat di dalamnya. Yang perlu diperhatikan pemerintah adalah penyediaan anggaran pembangunan nonfisik kesadaran masyarakat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis.



SOREANG, (PR).- Tiga projek besar Sungai Citarum yang digulirkan pemerintah pusat dinilai tak dapat memecahkan persoalan secara menyeluruh di Kabupaten Bandung. Sebab, pembangunan yang memakan biaya jutaan dolar AS tersebut hanya bersifat fisik dengan kemungkinan gagal cukup besar.

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. Soepardiyono Sobirin mengatakan, dana yang demikian besar sebaiknya digunakan juga untuk membuat kebijakan dengan mengikutsertakan masyarakat di dalamnya. "Segala hal yang dilakukan untuk mengatasi persoalan Citarum adalah sebuah kebaikan. Namun, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah adanya penyediaan anggaran untuk pembangunan nonfisik yakni pembentukan kesadaran masyarakat untuk hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Sayang sekali kalau dana yang begitu besar tidak menghasilkan apa-apa," tutur pakar lingkungan ini, Jumat (28/3).

Tak sesuai harapan


Sekretaris Komisi C DPRD Kab. Bandung Moch. Ikhsan menuturkan, pertemuannya dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tak sesuai dengan harapan. "Bappenas hanya mengungkapkan projek-projek beserta anggarannya. Padahal yang kami inginkan, rencana untuk menangani faktor nonstruktural juga. Sehingga masyarakat Citarum pun akan terlibat di dalamnya," tuturnya saat bertemu anggota Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK), di kantor DPRD, Jumat (28/3).


Menurut dia, penanganan Sungai Citarum tidak boleh terbatas pada pembenahan banjir yang kerap terjadi setiap musim hujan. Sungai Citarum adalah sistem hidrologi dan masyarakat yang hidup dan mengelola lahan di sekitarnya harus terlibat dalam memperbaiki segala persoalan di sana.

Ketidakpuasan mengenai projek penanganan Sungai Citarum membuat anggota DPRD komisi C berencana mengadakan pertemuan dengan beberapa pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan persoalan tersebut di Majalaya, Senin (7/4). Dalam pertemuan itu, akan dibahas penanganan yang efektif untuk mengatasi persoalan fisik dan nonfisik Sungai Citarum. (CA-164)***

Read More..

NORMALISASI CITARUM KEMUNGKINAN JUNI

Pikiran Rakyat, 27 Maret 2008, CA-164
Foto: Trijono 2005, PBPP-BBWS Citarum, Banjir Citarum

Pembuatan terowongan air ini, dianggap masih mengundang kontroversi. Anggota DPKLTS, Sobirin, tidak setuju dengan hal itu. Menurut Sobirin, pembangunan terowongan air di Sungai Citarum dapat melahirkan masalah baru.


SOREANG, (PR).- Normalisasi lima Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yakni Cirasea, Cisangkuy, Citarik, Ciwidey, dan Cihaur segera dilakukan tahun ini, melalui program "Citarum Water River Basin Project". Hal itu, sebagai usaha penanggulangan bencana banjir di lima kecamatan di Kabupaten Bandung, yang kerap terjadi setiap musim hujan.

"Citarum Water River Basin Project ini diharapkan dapat dikerjakan sekitar Juni," ujar Sekretaris Komisi C DPRD Kab. Bandung Moch. Ikhsan, Rabu (26/3).


Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), tengah melakukan penelitian mengenai penanganan yang cocok untuk Sub DAS Sungai Citarum. Pembuatan terowongan serta polder penampungan air di pinggir Sungai Citarum, menjadi opsi penanganan yang masih dikaji. "Bappenas masih mempertimbangkan efektivitas serta efisiensi dana dari pembangunan keduanya," ujar Ikhsan.


Pembuatan terowongan air ini, dianggap masih mengundang kontroversi. Anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. Soepardiyono Sobirin, tidak setuju dengan hal itu. Menurut Sobirin, pembangunan terowongan air di Sungai Citarum dapat melahirkan masalah baru bagi Jawa Barat.


Menanggapi itu, Ikhsan menyatakan, hal tersebut akan terus diteliti sehingga persoalan baru tak akan muncul. "Kemungkinan pembuatan polder penampungan air yang akan dipilih," ujarnya.
Namun, ia menyadari pembuatan polder penampungan air di pinggir Sungai Citarum membutuhkan dana yang sangat besar.

Bantuan dari pemerintah Kabupaten Bandung, mutlak diperlukan untuk merelokasi warga yang tinggal di sekitar Sungai Citarum. "Sepertinya, akan ada peminjaman dana dari Asia Development Bank (ADP)," katanya. (CA-164)***

Read More..

Monday, March 24, 2008

BANJIR AKAN DIBAHAS DI BAPPENAS

TEROWONGAN AIR DI CITARUM DAPAT MENGATASI?
Pikiran Rakyat, 24 Maret 2008, CA-164
Foto: Trijono 2005, PBPP-BBWS Citarum, Banjir Citarum
Menanggapi rencana terowongan air, Sobirin, anggota DPKLTS, menyatakan ketidaksetujuannya. Terowongan air di Citarum tidak akan menyelesaikan masalah. Ia berkaca dari gagalnya projek pelurusan Citarum yang pernah dikerjakan pemerintah untuk mengatasi bencana banjir setiap tahun di Kabupaten Bandung.



SOREANG, (PR).- Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung akan menemui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (25/3), untuk membicarakan penanganan bencana banjir dan longsor yang kerap terjadi di lima kecamatan di Kab. Bandung.

Sejak tahun lalu Bappenas mencanangkan pembuatan terowongan air di Sungai Citarum yang diperkirakan dapat mengatasi banjir dan longsor.
"Kami akan menanyakan perkembangan rencana pembuatan terowongan air. Selama ini, mereka telah melakukan riset mengenai hal itu. Jika terowongan air benar-benar efektif untuk mengatasi bencana, kami ingin agar projek tersebut cepat terlaksana," ujar Sekretaris Komisi C DPRD Kab. Bandung, Moch. Ikhsan, Minggu (23/3).

Ia menuturkan, persoalan sungai Citarum merupakan masalah nasional. Sehingga 70% rencana utama Sungai Citarum ada di Bappenas. "Selain itu, kami pun akan menemui Dirjen Sumber Daya Air setelah ke Bappeda untuk membicarakan rencana penanganan bencana di Kabupaten Bandung juga," tutur Ikhsan.

Tidak setuju


Menanggapi rencana pembuatan terowongan air, pakar lingkungan, Ir. Soepardiyono Sobirin, anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menyatakan ketidaksetujuannya mengenai hal tersebut. Pembangunan terowongan air di Sungai Citarum tidak akan menyelesaikan masalah. "Nantinya bisa jadi masalah baru untuk Jawa Barat," katanya, Minggu (23/3).


Ia mengungkapkan hal itu karena berkaca dari gagalnya projek pelurusan Sungai Citarum yang pernah dikerjakan pemerintah untuk mengatasi bencana banjir setiap tahun di Kabupaten Bandung.


Namun, Sobirin menyatakan, sebenarnya pelurusan sungai merupakan satu alternatif yang baik untuk mengatasi masalah Citarum. "Tapi butuh biaya yang sangat besar untuk mewujudkan hal tersebut karena pemerintah tidak siap dari sisi pendanaan, rencana itu malah memperparah kondisi sungai Citarum," tuturnya.


Selain pelurusan Sungai Citarum, cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi bencana banjir dan longsor. Pertama, merelokasi warga yang tinggal di sekitar Sungai Citarum. Kedua, menjalankan kehidupan secara harmonis dan bersahabat dengan alam.

"Cara pertama tidaklah efektif karena biaya dan keengganan warga untuk dipindahkan yang mungkin terjadi. Namun bersahabat dengan alam bisa jadi alternatif terbaik," tuturnya.

Ia mengatakan, manusia harus menyesuaikan diri dengan tempat tinggalnya. Misalnya, warga yang tinggal di pinggir sungai harus membuat rumah panggung agar terhindar dari genangan air sewaktu curah hujan tinggi.

Bersahabat dengan alam berarti menyeimbangkan kehidupan dengan memerhatikan kelestarian alam sekitar. "Saat ini dialog antara pemerintah, pengusaha, dan warga hampir tidak ada. Padahal hal itu harus dilakukan sekarang juga," kata Sobirin. (CA-164)***

Read More..

Sunday, March 23, 2008

KONDISI AIR DI NEGARA KITA

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 23 Maret 2008
Gambar: PUSAIR 2008, Indek Ketersediaan Air Indonesia

Oleh: Sobirin (DPKLTS) dan Putuhena (PUSAIR)
Ketersediaan air di daratan Indonesia saat ini sesungguhnya sangat besar yaitu 16.800 m3/kapita/tahun. Angka ini lebih 2 kali dari rata-rata ketersediaan per kapita dunia yaitu 7.600 m3/kapita/tahun. Atau lebih dari 4 kali dari rata-rata ketersediaan di Asia yang hanya sebesar 4.000 m3/kapita/tahun.




Ketersediaan Air

Secara makro ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, tetapi keberlimpahan tersebut keberadaannya tidak merata secara ruang dan waktu. Secara ruang karena bentang Indonesia yang sangat luas, secara waktu karena adanya musim yang berbeda setiap tahunnya.

Secara ruang, Pulau Jawa mempunyai ketersediaan air yang paling kecil yaitu hanya 1.600 m3/kapita/tahun, sebaliknya Papua mempunyai ketersediaan paling banyak yaitu 25.500 m3/kapita/tahun. Sebagai ilustrasi, pulau Jawa luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, dan pulau ini hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar Indonesia. Permasalahannya yaitu bahhwa pulau ini harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Oleh sebab itu pulau Jawa merupakan pulau yang mengalami tekanan ketersediaan air yang harus diwaspadai. Daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa telah sangat melampaui batas.

Jawa Barat memiliki luas hanya 2% dari daratan Indonesia, dan pulau ini hanya memilik 2% dari seluruh potensi air tawar Indonesia. Jawa Barat menampung 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Pada musim penghujan potensi air Jawa Barat mencapai 80 milyar m3/tahun. Pada musim penghujan, air berlebihan, kawasan lindung yang telah kritis tidak mampu mengendalikan air, maka terjadilah bencana banjir dan longsor. Bila kawasan lindung sesuai tata ruang aturan alam, maka dari 80 milyar m3/tahun ini yang bisa dimanfaatkan manusia adalah seperempatnya, yaitu 20 milyar m3/tahun, sisanya yang tiga perempat kembali ke udara oleh proses evapotranspirasi yang bermanfaat menjaga iklim mikro. Ketika musim kemarau, potensi air Jawa Barat tinggal 8 milyar m3/tahun, kualitasnyapun sangat buruk karena adanya pencemaran-pencemaran. Alhasil di musim hujan selalu terjadi bencana banjir dan longsor, di musim kemarau selalu terjadi kekeringan yang kerontang. Mengacu kepada klasifikasi Indek Ketersediaan Air (IKA) kelas menengah yaitu 5.000 m3/kapita/tahun, maka idealnya penduduk Jawa Barat yang adalah hanya 4 juta orang. Bandingkan dengan kenyataan jumlah penduduk Jawa Barat saat ini, yang telah mendekati 40 juta jiwa. Saat ini IKA Jawa Barat adalah 20 milyar m3/tahun dibagi 40 juta jiwa sama dengan 500 m3/kapita/tahun, sangat sangat kurang.

Rumus logika banjir dan longsor yaitu: (banjir ditambah longsor) sama dengan (curah hujan ditambah kualitas lingkungan). Manakala kita belum mampu mengendalikan curah hujan, maka tugas kita semua adalah menjaga kualitas lingkungan, agar dapat mengurangi ancaman bencana iklim banjir dan longsor.


Indonesia terdiri atas ± 17.000 pulau dengan curah hujan yang berbeda-beda. Ada pulau yang mempunyai curah hujan tahunan tinggi dan ada yang curah hujan tahunannya rendah. Berdasar curah hujan, pulau-pulau di bagian barat sangat melimpah air sedangkan di bagian timur, terutama pulau-pulau kecil, sangat kekurangan air.

Secara waktu, pada musim hujan debit air sungai Cimanuk di Jawa Barat dapat mencapai 600 m3/det, sebaliknya pada musim kemarau hanya mencapai 20 m3/det. Ini berarti terdapat fluktuasi yang sangat besar antara musim hujan dan musim kemarau, dan sungai semacam ini dinyatakan dalam keadaan sakit.


Daftar Index Ketersediaan Air (IKA)


Dunia : 7.600 m3/kapita/tahun
Amerika Utara*) : 17.000 m3/kapita/tahun
Amerika Selatan : 38.000 m3/kapita/tahun
Asia : 4.000 m3/kapita/tahun
Indonesia : 16.800 m3/kapita/tahun
Indonesia proyeksi th 2025 : 9.200 m3/kapita/tahun
Papua/Maluku : 25.500 m3/kapita/tahun
Jawa : 1.600 m3/kapita/tahun

*) Catatan: budaya hemat air di Amerika Utara sudah dimulai sejak 30 tahun lalu


Kategori IKA yang dianut dunia (m3/kapita/tahun)

< 1.000 sangat kurang
1.000- 5.000 kurang
5.000- 10.000 menengah
> 10.000 tinggi



Kebutuhan air

Kebutuhan dasar air untuk kehidupan berkelanjutan antara lain untuk air domestik (minum, pangan, perkotaan) , industri, irigasi, kesehatan, transportasi, perikanan, pembangkit tenaga listrik, transportasi, estetika, religi, budaya, dll. Total kebutuhan dasar pesimistis 2.000 m3/kapita/tahun, optimistis 5.000 m3/kapita/tahun.

Dalam skala yang lebih sempit, tercatat IPA (Indek Penggunaan Air) yaitu rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air di WS Ciliwung Cisadane tahun 1995 saja sudah melampaui angka 1 yaitu 1,29 (atau 129.4%). Kondisi ini berdampak terjadinya potensi konflik.

Hasil kajian tentang krisis air dunia pada World Water Forum tahun 2003, mengingatkan banyak negara akan mengalami krisis air pada tahun 2025 termasuk Indonesia. Jumlah penduduk bertambah, kebutuhan airpun akan bertambah pula. Di lain pihak unsur lingkungan hidup pengendali air (hutan) semakin berkurang dan rusak. Selain itu masalah air semakin besar karena adanya kelemahan dalam manajemen air, antara lain kelembagaan, peraturan perundangan, budaya boros air, pencemaran air, dan lain-lainnya. Muncul tiga masalah klasik tentang air: ”too much” menjadi bencana banjir, ”to little” menjadi bencana kekeringan, ”to dirty” menjadi bencana penyakit.


DAS Kritis

DAS disebut kritis apabila Index Penggunaan Air > 0,5. Kalau kita percaya bahwa masalah kekurangan air pada musim kemarau dan banjir berlebihan di musim hujan menjadi banjir terjadi karena kerusakan DAS akibat penggundulan hutan, dan bila kita tidak berbuat apa-apa, maka dalam 20 tahun mendatang Indonesia mungkin akan mengalami kenyataan krisis air hebat, bahkan sebagian wilayah berubah menjadi padang pasir. Dari hasil pencatatan terlihat bahwa dari 136 DAS besar yang ada di Indonesia, 22 DAS kritis pada tahun 1984, meluas menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1992, semakin bertambah menjadi 62 DAS kritis pada tahun 1998.


Kualitas Air

Pemanfaatan air untuk berbagai keperluan dibagi dalam beberapa kategori sesuai kualitasnya sebagai berikut:
Kelas I : air baku air minum
Kelas II : rekreasi, perikanan, peternakan, pertanaman
Kelas III : perikanan, peternakanir, pertanaman
Kelas IV : pertanaman

Sungai-sungai di Indonesia umumnya tercemar air limbah penduduk dan air limbah industri, hasil kajian menunjukan 46.1% tercemar ringan sampai berat. Bila hanya dilihat pada sungai-sungai ”penting” saja, kurang lebih 80% telah tercemar sangat berat. Sebagai contoh S. Ciliwung, Citarum, Cisadane, Kali surabaya, Kali Garang umumnya tercemar amonia, phenol, deterjen, bakteri coli, logam, dan limbah padat berupa sampah.

Perihal air tanah di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dll, umumnya telah tercemar limbah penduduk dan di beberapa lokasi tercemar limbah industri. Di Jakarta, dari 303 sumur dangkal yang di survey, 99% tercemar oleh bakteri golongan coliform group, dan 66% tercemar oleh deterjen. Di Bandung, dari 48 sumur dangkal, 85% tercemar oleh bakteri golongan coliformgroup dan 90 % tercemar oleh deterjen dengan pH yang rendah.

Read More..

Thursday, March 13, 2008

22 MARET HARI AIR SEDUNIA

BANDUNG DALAM STADIUM KRISIS AIR
Pikiran Rakyat, 22-03-2007, Feby Syarifah
Gambar: www.solve.csiro.au/ Krisis Air
"Di musim hujan, terpaksa engkau kutenggelamkan dalam nestapa. Di musim kemarau, terpaksa engkau kutinggalkan dalam kehausan. Karena engkau telah merampas hak-hak azasiku". PENGGALAN puisi berjudul “Hak Azasi Air” itu adalah ciptaan Sobirin, anggota DPKLTS.




DI musim hujan,terpaksa engkau kutenggelamkan dalam nestapa. Di musim kemarau, terpaksa engkau kutinggalkan dalam kehausan. Karena engkau telah merampas hak-hak azasiku.

PENGGALAN puisi berjudul “Air Yang Menuntut Hak Azasinya” itu adalah ciptaan pakar lingkungan, Ir. Soepardiyono Sobirin, anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).


Menurut Sobirin, Kota Bandung sudah masuk stadium krisis air. Di musim hujan banjir di mana-mana, tapi saat kemarau kesulitan air bersih.
Ditemui di Kantor Puslit Sumber Daya Air Jln. Ir. H. Djuanda, Bandung, Rabu (21/3), ia menegaskan, jika perbaikan lingkungan tidak dilakukan dengan kesungguhan, Kota Bandung akan semakin terancam bencana iklim dan bencana lingkungan.

”Musim hujan terjadi banjir cileuncang dan musim kemarau kering kerontang. Kota Bandung menuju ajal,” tuturnya. Sobirin dimintai pendapatnya, berkaitan Hari Air Sedunia, Kamis (22/3) ini.
Jika dibandingkan keadaan Kota Bandung sekarang dengan era 1920-1940 ketika dijuluki sebagai Parijs van Java, sangat jauh berbeda. “Luas Kota Bandung saat itu kira-kira hanya 3.000 hektare dengan jumlah penduduk kurang lebih 250.000 jiwa. Daerah tangkapan hujannya hanya sub-DAS Cibeureum dan Cikapundung seluas 15.000 hektare,” ucapnya.

Menurut Hidayat Pawitan (2002) yang dikutip Rizaldi Boer (2004), curah hujan di Citarum Hulu pada awal abad ke-20 kira-kira 3.000 mm/ tahun. Walaupun waktu itu perkebunan sudah banyak terdapat di utara Kota Bandung, lingkungan hijaunya masih mendominasi kawasan tersebut.

Sedangkan saat ini, akibat kondisi kawasan lindung di Kawasan Bandung Utara (KBU) sudah sangat rusak, Kota Bandung defisit air. Berdasarkan penelitian, potensi air yang bisa dimanfaatkan, khususnya di musim kemarau tinggal 10% atau 28.750.000 m3/tahun.


“Itu pun kualitasnya sangat jelek karena tercemar limbah. Padahal kebutuhan air per tahun 182.500.000 meter kubik. Jadi sudah sangat defisit,” tuturnya. (Feby Syarifah/”PR”)***

Read More..

ADAKAH YANG TAHU SEKARANG HARI AIR?

Pikiran Rakyat, 22-03-2005, Eriyanti N. Dewi/ Erwin Kustiman
Foto: Andri Gurnita/ PR 2005: Air adalah kristalisasi nilai Sunda
Tanggal 22 Maret adalah Hari Air Sedunia. Artikel Pikiran Rakyat 3 tahun lalu masih hangat untuk dibaca kembali.....Anggota DPKLTS Sobirin menguraikan data yang membuat kita prihatin. "Potensi air Jawa Barat 80 miliar m3/tahun, namun saat kemarau hanya 8 miliar m3/tahun, mutunyapun jelek. Padahal, kebutuhan masyarakat 17 miliar m3/tahun."



"WATER FOR LIFE" atau air untuk kehidupan. Itulah tema peringatan Hari Air Sedunia (HAS) 2005. Tema ini diusung sejalan dengan adanya permasalahan air yang mendorong dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian perlunya upaya bersama dari seluruh komponen bangsa, bahkan dunia, untuk memanfaatkan dan melestarikan sumber daya air (SDA) secara berkelanjutan.

Hari Air Sedunia (World Water Day) diperingati setiap 22 Maret. Peringatan ini sebagai wahana untuk memperbarui tekad kita untuk melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada tahun 1992 dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, atau secara populer disebut sebagai Earth Summit (KTT Bumi).


Pada Sidang Umum PBB ke 47 tanggal 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993, usulan Agenda 21 diterima dan sekaligus ditetapkan pelaksanaan Hari Air Dunia pada setiap tanggal 22 Maret mulai tahun 1993 di setiap anggota PBB. Tema-tema yang dipilih tiap tahun sejak tahun 1994 meliputi Peduli Akan Sumber daya Air adalah Urusan Setiap Orang (1994), Wanita dan Air (1995), Air untuk Kota-kota yang Haus (1996), Air Dunia Cukupkah? (1997), Air Tanah-Sumber Daya yang tak Kelihatan (1998), Setiap Orang Tinggal di Bagian Hilir (1999), Air untuk Abad 21 (2000), Air untuk Kesehatan (2001), Air untuk Pembangunan (2002), Air untuk Masa Depan (2003), dan Air dan Bencana (2004).


Cukup berasalan jika peringatan HAS 2005 adalah Water for Life. Karena menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Pusat, jumlah volume air total di Bumi adalah sekira 1,4 miliar km3. Namun jumlah yang sungguh besar tersebut, tidak banyak yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, karena 97,3% di antaranya merupakan air laut. Hanya 2,7% jumlah air yang tersedia di permukaan bumi dapat dimanfaatkan oleh manusia, yaitu yang merupakan air tawar yang terdapat di daratan.


Namun jumlah air tawar yang tersedia di planet ini, sebanyak 37,8 juta km3 air tawar tersebut adalah berupa lapisan es di puncak-puncak gunung dan gleyser, dengan porsi 77,3%. Sementara air tanah dan resapan hanyalah 22,4%, serta air danau dan rawa hanya 0,35%, lalu uap air di atmosfir sebanyak 0,04%, dan sisanya merupakan air sungai sebanyak 0,01%.


Air tanah merupakan timbunan air yang meresap melalui pori-pori tanah selama berabad-abad ke lapisan bawah dari ekosistem yang ada di atasnya, dan bagian terbesar ada di kedalaman lebih dari 800 meter, di luar jangkauan manusia untuk dapat mengeksploitasinya. Dewasa ini, hanya 0,3 juta km3 atau sekira 0,79% dari keseluruhan air tawar yang dapat dijangkau. Teknologi untuk memompa air lebih dari kedalaman 800 meter masih membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karenanya masih banyak orang yang memanfaatkan air permukaan dan sebagian air tanah untuk memenuhi kebutuhannya akan air.


Sedangkan menurut Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI), Indonesia memiliki 6% potensi air dunia atau 21% potensi air di Asia Pasifik. Namun dari waktu ke waktu Indonesia mengalami krisis air bersih, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.


Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% perkapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak.


Sumber bahan baku air bersih di Indonesia berasal dari sungai, sumur, air artesis, mata air, dll. Sumber air perusahaan daerah air minum (PDAM) berasal dari 201 sungai, 248 mata air, dan 91 artesis. Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.


Pada umumnya sungai-sungai di Jawa berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagian besar sungai, yang merupakan sumber air bagi masyarakat, telah tercemar oleh limbah industri maupun domestik.


**


SEPERTI juga yang berlaku bagi banyak suku bangsa di dunia, air bagi masyarakat Sunda memiliki kedekatan tersendiri. Air tidak dipandang sebatas fungsi dan kegunaan. Tetapi air dalam filosofi kesundaan menurut sejarawan Dr. Nina Lubis adalah kristalisasi nilai-nilai yang pesan dan amanatnya akan selalu aktual sepanjang masa.


"Seperti yang dapat disimak pada peribahasa-peribahasa yang berbunyi, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak. Caina herang beunang laukna, Pindah cai pindah tampian, dan masih banyak lagi," kata Nina.


Dalam peribahasa itu tercermin kearifan lokal (local wisdom) bagaimana urang Sunda yang merupakan bagian dari masyarakat dunia, merasa begitu dekat dan bergantung pada air. "Bahkan dalam penyebutan lemah cai, air menjadi semacam pengikat. Jika di Belanda dikenal vaderland, maka di Sunda dikenal sebutan lemah cai (tanah air)."


Dalam kehidupan keseharian, air bagi orang Sunda juga dikenal sebagai tempat-tempat yang disakralkan. Sebutan sirah cai mengisyaratkan sebuah tempat yang angker. Bila dilihat sepintas, penamaan tersebut terkesan berbau animisme. Padahal justru di balik penamaan itu tersimpan pesan-pesan lingkungan agar tempat tersebut tetap terjaga kelestariannya.


Kedekatan lain masyarakat Sunda dengan air, dapat dilihat dalam penamaan tempat secara legendaris. Seperti penamaan suatu daerah/wilayah yang mengacu pada nama sungai. Bukan sebaliknya, penamaan sungai berdasarkan tempat. Seperti dalam penamaan Kota Cimahi. Disebut Cimahi karena dulunya di kawasan tersebut terdapat sungai (ci dari cai) Cimahi. Berbeda dengan yang berlaku di Jawa, meski esensinya sama penamaan digunakan kali seperti Kali Opak, dst.


Begitu juga dalam aspek politis masyarakat Sunda. Air sering dipergunakan sebagai batas wilayah administratif. Bahkan kebiasaan ini menurut Nina Lubis, diadopsi pula oleh Belanda seperti pada Perjanjian No.05. Dalam perjanjian yang berisi penyerahan wilayah Priangan dari Mataram ke VOC itu disebutkan, bahwa wilayah yang diserahkan dibatasi Citanduy di bagian barat dan Cimanuk di timur sampai ke selatan dibatasi Cidonan.


Bukan itu saja, kedekatan orang Sunda dengan air juga tampak letak-letak ibu kota kerajaan yang berlokasi selalu berada di tepi sungai. Di mana air bukan saja menjadi sumber kehidupan tetapi juga menjadi sumber transformasi yang membawa perubahan bagi kerajaan tersebut.


**


SAYANGNYA, kearifan lokal yang terbukti menjadi pengikat harmoni antara alam dan lingkungannya, kini hanya sebatas manuskrip masa lalu yang tidak pernah menjadi uswah atau refleksi masa kini. Cara pandang pengelolaan lingkungan yang terjebak pada "antroposentrisme" yang sekadar memandang manusia sebagai pusat dunia, terbukti telah mendegradasi kualitas lingkungan pada titik nadirnya. Termasuk air.


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. S. Sobirin menguraikan data yang semakin membuat kita prihatin tentang kondisi air di provinsi ini. "Neraca air memang telah hancur. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Barat sebetulnya memiliki potensi air sampai 80 miliar m3/tahun. Namun, kenyataannya yang dapat dimanfaatkan hanya 8 miliar m3/tahun. Padahal, kebutuhan air masyarakat Jabar adalah 17 miliar m3/tahun," urai Sobirin.


Berarti, setiap tahun potensi air Jabar terbuang percuma (run off) sebanyak 70 miliar m3! "Potensi air sebesar 81 miliar meter kubik itu pada musim hujan tidak tertahan dan tersimpan di hutan dan kawasan hutan. Penyebabnya tak lain karena kawasan hutan di Jabar mengalami degradasi parah, sehingga tidak mampu lagi menahan limpasan air. Dampak nyata lainnya adalah banjir di musim penghujan dan sebaliknya kering kerontang kekurangan air ketika kemarau," paparnya.


Sobirin mengungkapkan erosi kolosal sebagai dampak gundulnya hutan juga telah mencapai 33 juta ton per tahun. "Angka tersebut setara dengan 1 juta truk tronton berkapasitas 30 ton. Erosi mengangkut lapisan tanah subur di gunung-gunung, di hulu lalu terbawa ke daratan rendah hingga ke laut. Akibatnya potensi sumber daya laut pun terancam karena pelumpuran," jelas Sobirin.


Bagaimana kondisi pada musim kemarau? Pada musim ini potensi air yang bisa dinikmati masyarakat Jabar hanya sisa 8 miliar meter kubik (10 persen). Penyebabnya, cadangan dan simpanan air tidak ada lagi, sehingga terjadi defisit kebutuhan air.


Ironisnya di tengah gejala alam yang semakin tidak bersahabat bagi manusia penghuninya itu, praktik-praktik perusakan alam atas nama keuntungan material tetap saja dilakukan. Kawasan Bandung Utara (KBU) yang sejatinya telah ditetapkan sebagai wilayah konservasi, misalnya, selalu saja menimbulkan kontroversi karena lemahnya konsistensi penegakan aturan. Seribu kilah bisa dikedepankan hanya demi kuasa modal.


Akankah semua praktik perusakan alam itu terus dilakukan, hingga alam menebarkan "azab"-nya sendiri? Semoga, momen Hari Air Sedunia tidak sekadar berlalu sebatas seremoni belaka. Kuasa modal sungguh tidak sebanding dengan risiko kerusakan dan bencana alam yang kian hari kian menggayuti pelupuk mata.(Eriyanti N. Dewi/Erwin Kustiman/"PR")***

Read More..