Friday, June 20, 2008

BURUK, KUALITAS TANAH DI JABAR

IRIGASI TERGANGGU DAN KETAHANAN PANGAN TERANCAM
KOMPAS
Jawa Barat, 16 Juni 2008, A15

Foto: Sobirin 2008, Lahan Budidaya Buruk, Subang, Jawa Barat

"Kualitas tanah dipengaruhi oleh tata guna lahan. Oleh karena itu, lahan harus digunakan sesuai peruntukannya," ujar anggota DPKLTS Sobirin. Sekitar 45 persen luas Jabar seharusnya berfungsi lindung sebagai daerah resapan air.



Bandung, Kompas -
Kekeringan yang melanda berbagai daerah di Jawa Barat dipicu oleh buruknya kualitas tanah di kawasan hutan lindung. Daya serap air permukaan tanah yang buruk sangat rendah sehingga Jabar kerap kebanjiran saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.


"Kualitas tanah dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan harus digunakan sesuai peruntukannya," ujar Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin di Bandung, Minggu (15/6).


Dari luas lahan se-Jabar 3.709.529 hektar, sekitar 45 persen atau 1.669.288 hektar merupakan kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah serapan air. Dari kawasan lindung yang seharusnya menjadi daerah penyerapan air, hampir setengahnya digunakan untuk permukiman dan pembudidayaan tanaman yang tidak tepat dengan fungsi penyerapan air.


Sementara itu, kawasan budidaya sawah mencapai 21 persen atau 766.219 hektar dan budidaya lain di kawasan lahan kering mencapai 34 persen atau 1.274.022 hektar.


Ahli lingkungan dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, mencatat, penyimpangan penggunaan lahan pada tahun 1995 hanya 13 persen dari kawasan lindung. Pada akhir 2005 penyimpangan tersebut sebesar 33 persen atau 550.770 hektar.


"Hutan di kawasan utara dan selatan Kota Bandung, misalnya, yang seharusnya menjadi kawasan penyerapan air kini lebih banyak dibuka untuk perumahan di utara Bandung dan penanaman tanaman hortikultura di selatan Bandung," kata Sobirin.


Menurut Sobirin, akibat penyalahgunaan fungsi lahan seperti itu, kini hanya tersisa 650.000 hektar kawasan lindung di Jabar yang memiliki kualitas tanah serap air yang baik.


Ketahanan pangan


Sobirin menjelaskan, rusaknya kualitas tanah menyebabkan persediaan air saat ini mengancam hampir seluruh cabang vital di Jabar, termasuk irigasi untuk mencapai ketahanan pangan Jabar.

Untuk memenuhi konsumsi beras di Jabar sebesar 5.525.000 ton per tahun atau setara dengan 9.208.333 ton gabah kering panen, dibutuhkan ketersediaan air hingga 16 miliar meter kubik per tahun.

"Dengan hitungan kawasan lindung benar-benar tersedia dengan baik, kita hanya bisa menyediakan air sebesar 14 miliar meter kubik per tahun. Padahal, tanah yang kualitasnya baik untuk menyerap air pada kawasan lindung pun hanya tinggal setengah," kata Sobirin.


Chay mengatakan, untuk menjamin ketersediaan air guna mencapai ketahanan pangan ini, perlu disediakan penampungan air buatan berupa dam atau waduk. "Dengan begitu, ketika musim kemarau datang, air irigasi hingga kebutuhan sehari-hari dapat diambil dari waduk," kata Chay.


Meski demikian, ia mengakui, solusi ini membutuhkan waktu dan biaya besar. Ia mengimbau masyarakat membuat sumur resapan guna setidaknya menjamin ketersediaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.


Mantan Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim mengatakan perlu bagi Gubernur Ahmad Heryawan untuk menegaskan kedudukan Badan Koordinasi Tata Ruang Provinsi Jabar sebagai satu-satunya badan yang memberikan perizinan alih fungsi lahan.


"Badan ini harus memiliki kewenagan menjatuhkan sanksi pencabutan izin bila sampai ada pemerintah kabupaten/kota yang mengizinkan alih fungsi lahan hingga mengganggu daya dukung lingkungan," kata Nu'man.


Pascapelantikan, Heryawan mengatakan, mengantisipasi kekeringan yang melanda wilayah pantai utara Jawa, seperti Karawang, Indramayu, dan Cirebon, menjadi salah satu program utamanya dalam 100 hari ke depan. (A15)

Read More..

NASIB KAWASAN LINDUNG JABAR

KOMPAS Jawa Barat, 5 Juni 2008, Forum
Foto: Sobirin 2008, Kawasan Lindung Bandung Utara Hancur
Oleh Sobirin
Bila diamati berdasar citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasar citra satelit hanya 18 persen yang sehat.



Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati hari ini, 5 Juni 2008, mengambil tema "Kick the Habit! Towards a Low Carbon Economy" (Tendang Kebiasaan Buruk! Menuju Suatu Ekonomi Karbon Rendah). Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNEP meminta kepada seluruh warga di muka bumi ini untuk mengenali isu perubahan iklim yang sedang terjadi, memusatkan perhatian pada emisi gas rumah kaca yang berlebihan, dan bagaimana cara menguranginya.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia akan menyoroti semua upaya dan prakarsa untuk mempromosikan gerakan ekonomi karbon rendah dan perubahan perilaku manusia, seperti konservasi kawasan lindung, gerakan penyelamatan air, peningkatan efisiensi energi, pencarian sumber energi terbarukan, dan gaya hidup ramah lingkungan.


Sebenarnya, jauh sebelumnya, Provinsi Jawa Barat telah menyusun program terkait masalah lingkungan sesuai dengan semboyan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2008 tersebut. Sejak tahun 2003 Jabar telah meletakkan pola dasar pembangunan hingga tahun 2010 yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2003 dengan visi menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota negara.
Pencapaian visi tersebut identik dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam, yang harus dilakukan melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan serta didasarkan pada keseimbangan lingkungan dan keadilan sosial.

Selanjutnya, terbit perda-perda berikutnya yang terkait dengan pemulihan kawasan lindung, yaitu Perda No 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengamanatkan bahwa Jabar harus memiliki kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, Perda No 7/2005 tentang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, Perda No 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan terakhir Perda No 1/2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.


Pada waktu Perda No 2/2003 diundangkan, luas kawasan lindung yang dianggap masih berfungsi hanya 13 persen. Setiap tahun direncanakan kawasan lindung akan meningkat terus, tahun 2004 menjadi 17 persen, tahun 2005 menjadi 21 persen, tahun 2006 menjadi 25 persen, tahun 2007 menjadi 29 persen, tahun 2008 menjadi 34 persen, tahun 2009 menjadi 39 persen, dan tahun 2010 menjadi 45 persen.


Rehabilitasi lahan


Membangun kawasan lindung Jabar seluas 45 persen dari total wilayah provinsi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Upaya provinsi melakukan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), ditambah upaya pemerintah pusat dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA), tampaknya belum berhasil meningkatkan luas kawasan lindung sesuai rencana.


Bila diamati berdasarkan citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung telah direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasarkan pengamatan citra satelit tampak hanya 18 persen yang dapat dianggap sehat.


Banyak akar masalah yang telah menghambat tercapainya pemulihan kawasan lindung, antara lain, pertama, hampir semua RTRW kabupaten/ kota tidak sinkron dengan RTRW provinsi. Suatu kawasan oleh provinsi dikatakan sebagai kawasan lindung, tetapi oleh kabupaten/kota bukan kawasan lindung. Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dipersepsikan secara berlebihan oleh kabupaten/kota dalam hal penataan ruang wilayahnya.


Kedua, penunjukan luas kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan (SK) No 195/KPTS/2003 berbeda filosofi dengan Perda No 2/2003 tentang RTRW Provinsi Jabar. Seharusnya SK Menteri Kehutanan mengacu pada Perda RTRW provinsi.

Ketiga, kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, separuhnya berada di kawasan hutan negara, dan separuhnya lagi berada di lahan perkebunan dan lahan milik masyarakat. Hampir semua kawasan lindung di lahan milik masyarakat tidak lagi berfungsi lindung, bahkan telah menjadi lahan kritis, karena pemahaman masyarakat tentang kawasan lindung sangat minim.

Keempat, di dalam kawasan lindung banyak terkandung bahan galian tambang berharga, termasuk energi panas bumi. Di satu pihak bahan galian ini bisa menjadi berkah, tetapi di pihak lain bisa menjadi bencana karena akan mengganggu kestabilan kawasan lindung.


Sangat sensitif


Secara geologis dan klimatologis, Jabar adalah wilayah yang sangat sensitif. Sedikit saja kawasan lindung terganggu, bisa timbul bencana alam yang dapat menelan banyak korban jiwa dan harta.
Nasib kawasan lindung Jabar berada di tangan kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru lalu, dengan harapan mereka mampu membuat terobosan-terobosan untuk mempercepat pemulihan kawasan lindung.

Banyak alternatif yang dapat dilakukan, tetapi salah satu yang harus diprioritaskan adalah meminta kabupaten/kota untuk merevisi Perda RTRW di wilayah masing-masing agar sinkron dengan Perda RTRW provinsi. Otonomi daerah bukan segala-galanya. Bagaimanapun, kabupaten/kota adalah bagian integral dari provinsi.


Semoga peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dapat menjadi bahan inspirasi bagi gubernur dan wakil gubernur baru untuk membangun keberanian politik pemulihan kawasan lindung Jabar.


SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit.

Read More..