Thursday, May 31, 2012

SIAPA “STAKEHOLDER”?


Bandung, 3 Mei 2012, 
Dirangkum oleh: Sobirin 
Gambar: clebervisconti.net 
Banyak pengertian tentang stakeholder, antara lain: stakeholder atau pemangku kepentingan adalah setiap orang, kelompok, organisasi yang dapat menuntut hak dari suatu proyek, sumber daya, atau mereka yang dipengaruhi (terkena dampak) oleh suatu kegiatan (John M. Bryson, 2004). Mengapa perlu dipetakan?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Stakeholder atau pemangku kepentingan adalah setiap orang, kelompok, organisasi yang dapat menuntut hak dari suatu proyek, sumber daya, atau mereka yang dipengaruhi (terkena dampak) oleh suatu kegiatan(John M. Bryson, 2004).

Stakeholder adalah semua pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang terjadi(Freeman, 1984).

Stakeholder adalah setiap orang, kelompok, organisasi yang bisa menjadi positif atau negatif oleh pengaruh suatu kegiatan, atau menyebabkan dampak karena tindakan atau kegiatan yang diusulkan (Christian Nielsen, Live and Learn Environmental Education).

Stakeholders dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi, dan urgensi yang dimilikinya, sebagai berikut (menurut Mitchell, Eagle and Wood, 2006; Vebrina dkk, 2009, Sobirin, 2012):
(1) Dormant stakeholder (yang tertidur): stakeholder yang memiliki power, namun tidak memiliki legitimasi dan urgensi.
(2) Discretionary stakeholder (yang berhati-hati): stakeholder yang memiliki legitimasi, namun tidak memiliki power dan urgensi.
(3) Demanding stakeholder (yang menuntut): stakeholder yang memiliki urgensi, namun tidak memiliki power dan legitimasi.
(4) Dominant stakeholder (yang dominan): stakeholder yang memiliki power dan legitimasi, namun tidak memiliki urgensi.
(5) Dangerous stakeholder (yang berbahaya): stakeholder yang memiliki power dan urgensi, namun tidak memiliki legitimasi.
(6) Dependant stakeholder (yang tergantung pihak lain): stakeholder yang memiliki legitimasi dan urgensi, namun tidak memiliki power.
(7) Ruling stakeholder (yang berkuasa): stakeholder yang memiliki power, legitimasi, dan urgensi.
(8) Indifferent stakeholder (yang masa bodoh): stakeholder yang tidak memiliki power, legitimasi, dan urgensi.

Read More..

Monday, April 30, 2012

DANGDANGRAT

Pikiran Rakyat, 18 April 2012, Opini, Halaman 26
Oleh: Sobirin
Gambar: Musim Pancaroba/ bpbd.pasuruankab.go.id 
Bulan Maret sampai Juni menurut kalender Kala Sunda adalah musim dangdangrat. Dalam Kamus Basa Sunda (R.A.Danadibrata, 2006) disebutkan dangdangrat adalah masa diantara musim hujan dan kemarau. Berikut adalah artikel saya yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 18 April 2012, Halaman 26.




Tulisan lengkapnya adalah sebagai berikut: 

DANGDANGRAT 
SOBIRIN Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda 

Bulan Maret sampai Juni menurut kalender Kala Sunda adalah musim dangdangrat. Dalam Kamus Basa Sunda (R.A.Danadibrata, 2006) disebutkan dangdangrat adalah masa diantara musim hujan dan kemarau. Disebut dangdangrat atau dangdarat karena hujan terkadang turun, terkadang tidak, atau kakapeungan. Dalam kalender tradisional Kala Sunda, satu tahun dibagi dalam 4 (empat) musim, yaitu ngijih, dangdarat, halodo, dan labuh. Dalam Kamus Lengkap Sunda-Indonesia (Budi Rahayu Tamsyah, 1996), istilah labuh dalam Basa Sunda selain berarti jatuh, juga berati masa antara kemarau dan musim hujan, yaitu musim turun ke sawah karena mulai ada hujan. Dalam bahasa Indonesia, dangdangrat dan labuh ini disebut sebagai musim pancaroba, atau musim peralihan, dengan keadaan udara tidak menentu, angin sering bertiup kencang, dan banyak penyakit bermunculan. 

Kalender kearifan 

 Kalau kita gali kembali kearifan tradisional jaman dulu, tentang cara hidup karuhun Sunda dalam kegiatan sehari-hari, maka sebenarnya mereka telah memiliki ilmu ketahanan pangan yang handal, yaitu kearifan diversifikasi pangan yang disesuaikan dengan perubahan musim. Musim panen padi makan nasi, musim panen huwi makan huwi, apalagi jaman dulu tidak ada impor beras seperti sekarang ini yang semakin sering menjadi kebijakan pemerintah. 

Dalam kalender karuhun Kala Sunda, dangdangrat ini umurnya 88 hari, mulai dari 26 Maret hingga 21 Juni, yaitu mulai saat posisi matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada posisi 0 derajat, terus bergerak ke utara sampai paling jauh pada posisi 23,5 derajat Lintang Utara. Sesuai dengan pergerakan posisi matahari tersebut, dangdangrat dibagi dalam 3 mangsa atau sub-musim. 

Pertama, mangsa kasadasa umurnya 24 hari, mulai dari 26 Maret sampai 18 April, angin bertiup kencang dan sering menyebabkan puting beliung yang dapat merobohkan pepohonan dan menerbangkan atap rumah. Serangga turaes atau tonggeret terdengar bernyanyi di pepohonan dan cengkerik mengerik di tegalan. Pada masa ini petani sibuk menghalau burung pipit yang mengganggu tanaman padi. Kedua, mangsa dhesta umurnya 23 hari, mulai dari 19 April sampai 11 Mei, angin masih bertiup keras dan udara terasa mulai kering. Pada masa ini petani sibuk menuai padi di sawah. Ketiga, mangsa sadha, umurnya 41 hari dari 12 Mei sampai 21 Juni, awal musim kemarau, udara kering terasa dingin terutama di pagi hari. Pada masa ini petani selesai memanen padi, lalu menjemurnya dan menyimpannya di lumbung. Petani mulai mengerjakan tanah untuk ditanami palawija. 

Filosofi yang terkandung di dalam Kala Sunda tidak hanya memberikan pedoman menentukan waktu bercocok tanam, tetapi juga sebagai pedoman hidup harmonis bersama lingkungan alam. Kalender Kala Sunda mencerminkan kearifan dan watak karuhun Sunda yang mampu beradaptasi dengan perubahan irama alam, serasi, selaras, dan seimbang dalam kehidupan sehari-hari sepanjang tahun. 

Tetap handal 

Saat ini kedatangan pergantian musim selalu menjadi ancaman dan membuat banyak penduduk khawatir, musim kemarau khawatir kekeringan, musim penghujan khawatir kebanjiran, musim dangdangrat dan labuh khawatir penyakit. 

Pertambahan penduduk yang semakin banyak tidak cukup hanya mengandalkan sawah tadah hujan dengan padi tradisional yang dipanen 6 bulan sekali. Kebijakan tekno-ekonomis yang diambil pemerintah sejak tahun 1970-an, dengan pembangunan jaringan irigasi teknis dan tanaman padi modern yang bisa dipanen 3 bulan sekali, telah menyebabkan pamor Kala Sunda menjadi suram dan hilang dari kehidupan para petani jaman sekarang. Ditambah lagi dengan pesatnya ilmu prakiraan cuaca, isu perubahan iklim global, dan ketahanan pangan yang harus segera diatasi, maka telah membuat Kala Sunda dianggap hanya sebagai mitos jaman dulu yang telah usang, dan tidak cocok sebagai elemen ketahanan pangan. 

Namun ternyata kebijakan tekno-ekonomis ini telah menuai banyak bencana, dan harapan pemenuhan kebutuhan pangan pun sukar terpenuhi. Kebijakan ini ternyata instan, karena lingkungan menjadi rusak, banjir, longsor, kekeringan, waduk penuh sedimen lumpur dan sering tidak berair, serta sawah selalu gagal panen karena puso. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor beras dari luar negeri. 

Menggali kembali kalender tradisional Kala Sunda untuk kehidupan yang harmonis dengan alam adalah pilihan yang bijaksana, dan perlu dukungan kemauan politik, pendidikan, dan perubahan budaya perilaku. Sangat diperlukan perpaduan antara kearifan kalender Kala Sunda dengan ilmu prakiraan cuaca modern, sehingga ketidak cocokan Kala Sunda dapat segera diperbaiki. Kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi para petani di pedesaan, perlu ditekankan untuk memasukkan pengetahuan kalender tradisional Kala Sunda dalam kurikulumnya. 

Dengan kalender tradisional Kala Sunda, diharapkan para petani pedesaan akan mampu meningkatkan pemahaman terhadap berbagai aspek prakiraan cuaca, hubungannya dengan gejala-gejala alam, segera mampu beradaptasi bila terjadi perubahan musim yang tidak menentu, dan gagal panen pun dapat dihindari. Bagaimana pun, bila penerapannya benar, kalender Kala Sunda adalah elemen utama dalam mendukung ketahanan pangan.

Read More..

Friday, March 30, 2012

KETAHANAN SUMBER AIR

Pikiran Rakyat, 22 Maret 2012, Opini, Halaman 26
Oleh: Sobirin

Logo: Hari Air Dunia 2012, antaranews.com

Bulan Maret menjadi sangat istimewa, karena pada tanggal 21 Maret adalah Hari Hutan Dunia, 22 Maret Hari Air Dunia, dan 23 Maret Hari Meteorologi Dunia. Hari Air Dunia 2012 ini dipilih tema ketahanan air dan pangan. Berikut adalah artikel saya yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 22 Maret 2012, Halaman 26.








Tulisan lengkapnya adalah sebagai berikut:
Logo: Hari Air Dunia 2012, antaranews.com

REFORMASI PERAN MASYARAKAT DALAM KETAHANAN SUMBER DAYA AIR


Sobirin
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan

Bulan Maret menjadi sangat istimewa, karena pada tanggal yang berurutan merupakan hari peringatan terkait sumber daya alam, yaitu tanggal 21 Maret dinyatakan sebagai Hari Hutan Dunia, 22 Maret sebagai Hari Air Dunia, dan 23 Maret sebagai Hari Meteorologi Dunia. Hari Air Dunia yang diselenggarakan setiap tahun adalah sebagai peringatan kepada seluruh penduduk dunia yang semakin meningkat jumlahnya, agar selalu berupaya menyelamatkan air yang pada giliran berikutnya berkaitan dengan ketahanan pangan. Sejak awal dicanangkan, tema-tema Hari Air Dunia telah dipilih sesuai situasi dan kondisi yang terjadi, yaitu: peduli sumber daya air adalah urusan setiap orang (1994), wanita dan air (1995), air untuk kota-kota yang haus (1996), air dunia, cukupkah? (1997), air tanah, sumber daya yang tak kelihatan (1998), setiap orang tinggal di bagian hilir (1999), air untuk abad 21 (2000), air untuk kesehatan (2001), air untuk pembangunan (2002), air untuk masa depan (2003), air dan bencana (2004), air untuk kehidupan (2005), air dan budaya (2006), mengatasi kelangkaan air (2007), sanitasi (2008), air bersama, peluang bersama (2009), air bersih untuk dunia yang sehat (2010), air dan urbanisasi (2011). Pada tahun 2012 ini telah dipilih tema yang cukup mengingatkan kita bersama, yaitu ketahanan air dan pangan.


Peran masyarakat masih rendah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan dua hal penting, yaitu pertama bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang, dan kedua bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air.

Kegiatan pengelolaan sumber daya air berbasis masyarakat, yang terdiri dari kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, telah banyak diselenggarakan oleh berbagai pihak dari berbagai sektor. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini, diharapkan daerah tangkapan hujan di hulu semakin berfungsi lindung, masyarakat semakin meningkat kesejahteraannya, wilayah hulu semakin produktif dengan basis jasa lingkungan, wilayah hilir dan kawasan perkotaan terbebas dari ancaman daya rusak air, antara lain bencana banjir dan kekeringan. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa hasilnya belum menampakkan tanda-tanda yang berarti, sementara bencana alam semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan di beberapa daerah tangkapan hujan yang biasanya tidak pernah mengalami bencana banjir dan tanah longsor, beberapa tahun terakhir ini malah sering dilanda bencana tersebut.

Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak, termasuk peran masyarakat, dalam melestarikan ekosistem daerah tangkapan hujan masih rendah, misalya banyak lahan yang seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air ternyata digunakan untuk fungsi budidaya, yang diolah secara intensif atau dibangun untuk pemukiman baik secara legal maupun illegal, yang pada giliran berikutnya dapat meningkatkan resiko erosi, tanah longsor, banjir, dan menurunkan tingkat ketahanan sumber daya air.

Partisipasi merupakan elemen yang sangat penting dalam keberhasilan ketahanan sumber daya air yang pada gilirannya akan menunjang ketahanan pangan. Tidak mudah membuat valuasi terhadap kuantitas dan kualitas partisipasi masyarakat dalam ketahanan sumber daya air. Berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan disebandingkan dengan penelitian dari pihak-pihak lain, diperoleh angka bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya air hanya sekitar 30 persen sampai 60 persen, atau masuk dalam klasifikasi buruk sampai cukup. Hasil penelitian mengatakan bahwa menurut masyarakat, keengganan berpartisipasi bukan lantaran menolak kegiatan pengelolaan sumber daya air, tapi karena proses sosialisasinya tidak jelas.

Reformasi dengan negosiasi

Konsep pengelolaan sumber daya air mempunyai berbagai macam implikasi yang multi komplek dan multi dimensional, terkait dengan keadaan geografi, geologi, ekologi, ekonomi, sosial, politik, dan budaya setempat. Model yang sekarang sedang populer adalah Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, atau dikenal dengan sebutan Integrated Water Resources Management (IWRM). Namun lagi-lagi pelaksanaan di lapangan masih dominan sektoral, sentralistik, dan masyarakat pun belum banyak dilibatkan.

Sebenarnya IWRM ini sangat bisa diharapkan keberhasilannya untuk mencapai ketahanan sumber daya air, antara lain yaitu dengan melakukan reformasi peran masyarakat melalui beberapa pendekatan. Pertama, dengan pendekatan negosiasi, yaitu untuk menciptakan ruang agar masyarakat dapat menggunakan hak dan inisiatifnya secara bottom-up. Kedua, mendorong keterbukaan, yaitu tidak ada agenda yang disembunyikan, tidak ada penipuan, tidak sesaat, dan tidak ditinggalkan begitu saja. Ketiga, memberikan otoritas, yaitu memerankan dan mempercayakan masyarakat sebagai subyek atau pelaku. Keempat, keterpaduan dalam meningkatkan kehidupan, yaitu melalui konsep edukasi, ekologi, dan ekonomi. Kelima, membangun 6 elemen sukses yang terdiri dari visi, misi, program, modal, ketrampilan, insentif dan disinsentif. Tanpa visi, pengembangan tidak jelas arahnya; tanpa misi, pengembangan tersendat; tanpa program, maka setiap gerak hanya pemborosan uang dan waktu; tanpa modal, akan frustasi; tanpa ketrampilan, lambat dan tidak kompetitif; tanpa insentif dan disinsentif, akan menjadikan ragu-ragu dan tidak sepenuh hati.

Sebagai akhir tulisan, berikut adalah esensi reformasi peran masyarakat, yang secara implisit terangkum dalam puisi karya Lao Tzu, seorang pujangga klasik Cina, sebagai berikut: Pergi dan temuilah masyarakatmu/ Hidup dan tinggallah bersama mereka/ Cintai dan berkaryalah dengan mereka/ Mulailah dari apa yang mereka miliki/ Buat rencana dan bangunlah rencana itu/ Dari apa yang mereka ketahui/ Sampai akhirnya ketika pekerjaan usai/ Mereka akan berkata: “Kami yang telah mengerjakannya”.

Read More..

Wednesday, February 29, 2012

HUTANKAN KAREUMBI!

Ketela Cilembu manis oleh sistem Kareumbi
Pikiran Rakyat, 25 Februari 2012, Handri Handriansyah/ PR
Foto: Harry Surjana/PR
Menurut Sobirin, kawasan konservasi TBMK (Taman Buru Masigit Kareumbi) memiliki fungsi penting untuk kehidupan warga Jawa Barat. Sistem hutan dengan tanah volkanik dan mata air yang mengandung unsur hara khusus, menjadi kunci bagi terciptanya varietas ubi Cilembu yang rasa manisnya khas.





Menurut Sobirin, kawasan konservasi TBMK (Taman Buru Masigit Kareumbi) memiliki fungsi penting untuk kehidupan warga Jawa Barat. Berbagai jenis satwa seperti kera, babi hutan, macan tutul, dan kucing hutan masih banyak ditemukan di kawasan ini. Di TBMK juga masih tumbuh aneka tanaman endemik Sunda, seperti pohon pasang, saninten, puspa, rasamala, dan jamuju.

Sistem hutan dengan tanah volkanik dan mata air yang mengandung unsur hara khusus, membuat areal kawasan TBMK menjadi kunci bagi terciptanya varietas ubi cilembu yang rasa manisnya khas. “Karena kondisi alamnya lain, ubi cilembu yang ditanam di tempat lain belum tentu memiliki rasa manis yang sama dengan yang ditanam di TBMK,” katanya/ Cuplikan dari berita PR 25/2-2012, Hutankan Kareumbi!

Read More..

Sunday, January 29, 2012

ACIL, "KEBIJAKAN YANG SALAH"

Galamedia, 27 Januari 2012, kiki/yeni/"GM"
Foto: Google Earth

Pemerhati lingkungan DPKLTS, Sobirin berharap Pemprov Jabar harus ikut turun tangan menyelesaikan masalah yang kini terjadi di Punclut. Pemprov memiliki Perda No. 1/2008 tentang KBU, pembangunan harus dihentikan agar Punclut tidak dipakai untuk pengembangan ekonomi jangka pendek.







Kasus kawasan Punclut sangat sensitif dan bisa menimbulkan aksi anarkis masyarakat. "Yang terbaru kasus penutupan akses jalan oleh pengusaha dan masyarakat di kawasan Punclut, Kota Bandung. Itu bukti, persoalan Punclut sangat sensitif," kata Acil Bimbo, aktivis Bandung Spirit yang dihubungi "GM" melalui telepon, Kamis (26/1).

Menurut Acil, timbulnya gesekan antara pengusaha dan masyarakat karena adanya kebijakan-kebijakan yang salah dari pemerintah. Pemerintah terlalu berpijak pada salah siapa, bukan menjadi fasilitator antara pengusaha dan masyarakat.

"Padahal dalam kasus ini, banyak yang tersinggung dengan kebijakan pemerintah, yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung maupun Pemprov Jabar," ujarnya. Acil menyebutkan, Kawasan Bandung Utara (KBU) sudah lama menjadi perhatian para pemerhati lingkungan sebagai daerah resapan air. Namun adanya kebijakan pemerintah yang salah, KBU menjadi kawasan yang bebas dibangun.

"Tentunya masyarakat dan pemerhati lingkungan sangat tersinggung dengan kebijakan ini," katanya. Apalagi, lanjutnya, pengusaha yang mendapat izin membangun di KBU selalu ngajago, namun sangat mudah tersinggung jika ada yang menanyakan baik dari LSM maupun masyarakat.

Menurut Acil, masyarakat bukan tidak mungkin berlaku anarkis karena tidak diurus oleh pemerintah, apalagi selalu digalak-galakin (dihina) oleh pengusaha. "Bukan tidak mungkin terjadi aksi anarkis masyarakat terhadap pengusaha maupun pemerintah tentang kasus KBU ini," tandasnya.

Berkepanjangan

Sementara itu, pemerhati lingkungan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin berharap Pemprov Jabar harus ikut turun tangan menyelesaikan masalah yang kini terjadi di kawasan Punclut. Karena Pemprov memiliki Perda No 1 Tahun 2008 tentang KBU. Pembangunan harus bisa dihentikan agar Punclut tidak dipakai untuk pengembangan ekonomi jangka pendek.

Menurutnya, dilihat dari kemiringan lereng, curah hujan, dan jenis tanah, Punclut merupakan kawasan lindung yang potensial bagi Kota Bandung. Dengan adanya pengembang di Punclut, kawasan tersebut menjadi terintervensi dan kini menjadi masalah.

"Sebenarnya DPKLTS enggak setuju dengan pembangunan perumahan elite di sana, tapi pengembanganya sudah diberi izin dan sudah telanjur," ujar Sobirin.

Namun terkait kata telanjur ini, kata Sobirin, ada konsesi kebijakan yang bisa dilakukan agar Punclut sebagai kawasan lindung tak semakin parah. Yakni, Pemkot dan Pemprov harus turun tangan menyelesaikan masalah ini dan menegakkan aturan dalam Perda No. 1/2008 tentang KBU. "Kuncinya, Pemprov harus mampu hentikan pembangunan di Punclut," tandasnya.

Kalau tak turun tangan dan masalah dibiarkan, maka konflik akan terus menerus terjadi dan berkepanjangan. Apalagi masalah sertifikat tanah pun keliru, karena disana ada hak para pejuang. "Boleh saja ada sertifikat, asal tetap jadi hutan lindung," tutur Sobirin.

Proaktif

Pemerintah harus proaktif dan menjadi mediator untuk menuntaskan masalah yang terjadi antara warga dan PT DAM di kawasan punclut. Status tanah tersebut pun harus di-clear-kan, apakah tanah milik negara atau dikuasai PT DAM sehingga terdapat kejelasan.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi A DPRD Kota Bandung, Haru Suandharu. Agar tidak berlarut-larut, maka pemerintah harus proaktif dan memediasi masyarakat di kawasan Punclut yang melakukan pemblokiran jalan dengan PT DAM ini. Mediasi bisa dilakukan aparat pemerintah dari mulai lurah atau camat.

"Kita serahkan dulu ke pemerintah. Kalau mereka tak bisa barulah DPRD yang jadi mediator," ujar Haru, kemarin.

Haru mengharapkan masalah ini tak masuk ranah hukum. dan bisa diselesaikan pemkot Bandung. "Kita harap ini bisa diselesaikan oleh pemkot," tandasnya.

Karena bila masuk ranah hukum, maka pihaknya tak bisa ikut campur dan hanya bisa menyerahkan persoalannya pada yang berwenang.

"Aset jalan ini apakah sudah ada serah terima dari pengusaha pada pemerintah. Karena pengusaha harus menyediakan fasilitas sosial dan umum dan nantinya diserahkan pada pemerintah sehingga menjadi aset milik pemerintah," tandasnya.
(kiki/yeni/"GM")**

Read More..

Thursday, December 29, 2011

BENDUNGAN DI TATAR SUNDA, MANGPAAT JEUNG MUDHARAT

Oleh: Sobirin
Gambar: Sobirin

Tanggal 19-22 Desember 2011 yang lalu, diselenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda ke 2, di Bandung. Peserta meluap dari berbagai kelompok masyarakat. Saya kebagian menjadi pemakalah dengan dengan judul: “Bendungan di Tatar Sunda, Mangpaat dan Mudharat”. Klik makalah lengkapnya.





Acara Konferensi Internasional Budaya Sunda ke 2 ini (KIBS 2) diiikuti pula oleh banyak orang Luar Negeri, dan bahkan beberapa dari mereka juga menjadi pemakalah. Bahasa pengantar dalam KIBS 2 ini bisa dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Inggris. Saya sendiri mencoba memaparkan makalah saya dalam bahasa Sunda, kalau teks saya dalam 3 bahasa. Silahkan klik.

Read More..

Sunday, November 27, 2011

KEKURANGAN AIR, MASYARAKAT BISA AJUKAN CLASS ACTION

Oleh: PRFM Bandung pada 17 September 2011 jam 12:03
Logo: PRFM Bandung

Sobirin Supardiyono, Pengamat Lingkungan yang juga Anggota DPKLTS, saat hadir dalam Talkshow Bincang Malam PRFM mengatakan, masyarakat bisa mengajukan class action bila pemerintah tidak mampu memenuhi aturan UU untuk menyediakan air bersih, sehingga terpaksa meminum air kotor.






BANDUNG, (PRFM) - Sobirin Supardiyono, Pengamat Lingkungan yang juga Anggota Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), saat hadir dalam Talkshow Bincang Malam PRFM mengatakan, jika masyarakat bisa mengajukan class action apabila pemerintah tidak mampu memenuhi aturan undang-undang untuk menyediakan air bersih, sehingga masyarakat terpaksa meminum dan menggunakan air kotor untuk kebutuhan sehari hari. Simak kembali penuturannya di PRFM, Minggu 18 September 2011, pukul 08.30, 13.30 dan 19.30 WIB, di 107.5 PRFM Bandung

Read More..