Thursday, July 31, 2008

ISU-ISU STRATEGIS KOTA BANDUNG

MASUKAN UTK RPJMD KOTA BANDUNG 2008-2013
Foto: www.geocities.com, Pusat Belanja Jeans Jl. Cihampelas

Oleh: SOBIRIN
Menganalisis perkembangan situasi dan kondisi Kota Bandung dalam beberapa tahun ke belakang, maka untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung tahun 2008-2013 perlu rumusan “isu-isu strategis” untuk mendapat perhatian khusus, antara lain:



Pendidikan dan ketahanan budaya
Upaya pendidikan dalam meningkatkan pemerataan, aspek mutu, dan tata kelola pendidikan belum mencapai hasil yang optimal. Beberapa hal yang menyangkut mutu dan relevansi pendidikan perlu menjadi perhatian untuk RPJMD Kota Bandung 2008-2013, antara lain yaitu profesionalisme guru, kesejahteraan guru, kurikulum berbasis kompetensi, globalisasi, teknologi informasi, kerjasama dengan dunia usaha dan industri dalam bidang pendidikan.
Muatan lokal pendidikan lingkungan hidup (mulok LH) merupakan keberhasilan “political will” Pemerintah Kota Bandung, namun dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah masih tersendat.
Juga beberapa hal yang menyangkut tata kelola pendidikan perlu disoroti secara seksama, antara lain yaitu manajemen berbasis sekolah, standardisasi pelayanan pendidikan, partisipasi masyarakat, sistem informasi pendidikan.

Kearifan lokal perlu diangkat dalam dunia pendidikan, mengingat belakangan ini semakin berkurang nilai-nilai agama dan budaya di kalangan generasi muda. Hilangnya nilai-nilai luhur dan jati diri akan menjadi kerugian yang teramat besar bagi generasi yang akan datang.


Kesehatan

Kesehatan di Kota Bandung perlu dianalisis berdasar teori Blum, yaitu didasarkan kepada konsep penyebab, 5% oleh genetika, 20% oleh pelayanan, 30% oleh perlaku, dan 45% oleh kondisi lingkungan hidup. Hal yang paling menonjol hingga saat ini adalah tentang masalah perilaku tidak sehat warga kota sehingga lingkungan-pun menjadi buruk, misalnya dalam mengelola sampah rumah tangganya. Menurut pengamatan, sekitar 90% warga Kota Bandung tidak peduli dengan sampahnya.

Rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin Kota Bandung disebabkan karena rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar dan juga tidak terlepas dari aspek rendahnya pendidikan lingkungan. Adanya Forum Rembug Peduli Bandung Sehat (FRPBS) yang merupakan “political will” pemerintah tahun lalu dengan konsep berbasis masyarakat, perlu lebih ditingkatkan dalam implementasinya.


Pelayanan infrastruktur Kota

Pada aspek transportasi, model pelayanan dengan angkutan kota yang semakin banyak dan melebihi kapasitas, telah membuat lalu lintas tidak teratur dan macet. Apalagi ketika peluang kepemilikan kendaraan bermotor roda dua semakin mudah, dan hampir seluruh warga kota memilikinya, maka dampaknya lalu lintas semakin semrawut.
Perlu dipikirkan “grand design” transportasi massal kota yang nyaman, aman. Disamping itu harus ada insentif dan diinsentif kepada setiap pemakai jalan. Seiiring dengan masalah ini, kenyamanan pejalan kaki juga harus ditingkatkan, yaitu dengan lebih meningkatkan sanksi-sanki kepada PKL atau warung tenda jalanan yang terkesan semakin liar.

Dalam hal pemeliharaan jalan juga harus dipikirkan mengenai aspek drainase pinggir jalan yang nampaknya belum mendapatkan perhatian khusus. Hampir 75% jalan di Kota Bandung tidak memiliki drainase yang berfungsi. Antara drainase yang tidak baik, perlaku warga yang membuang sampah seenaknya, bermuara pada bencana banjir “cileuncang” yang datang secara rutin di musim hujan.

Pada aspek air baku untuk warga, semakin harus mendapat perhatian. Saat ini rata-rata warga Kota Bandung hanya mendapatkan air sebanyak 45 liter/orang/hari, sedangkan kebutuhan rata-rata 200 liter/orang/hari/. Kerusakan lingkungan kawasan lindung kota, terutama di Kawasan Bandung Utara merupakan penyebab hilangnya ketersediaan air baku ini, disamping memang kebutuhan warga semakin besar, karena jumlah penduduk yang semakin banyak.
Budaya panen air hujan yang disimpan dalam tampungan khusus di setiap permukiman perlu segera disosialisasikan. Penyedotan air tanah secara berlebihan juga harus mendapat perhatian khusus dalam RPJMD 2008-2013.


Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Kota Bandung terletak di dalam Cekungan Topografi Bandung. Sirkulasi udara sangat berbeda dengan kota-kota dataran rendah atau pantai. Aliran udara turbulen lebih dominan dari pada aliran udara biasa. Gas buang kendaraan bermotor dan industri tidak dengan segera lepas ke atmosfir.
Perlu pemikiran prioritas dalam hal pencemaran udara yang dapat menimbulkan dampak kesehatan warga, dan juga dampak isu pemanasan global. Ruang Terbuka Hijau (RTH), hutan kota, taman kota perlu lebih memdapat perhatian utk segera dibangun ditempat-tempat sumber pencemar.

Demikian pula dengan aspek pencemaran air oleh sebab limbah industri ataupun limbah penduduk yang langsung dibuang ke badan air atau bahkan ada yang dibuang ke dalam tanah. Konsep instalasi pengolah air limbah (IPAL) baik di rumah tangga ataupun industri perlu segera dicari jalan terobosannya agar timbul kesadaran dari seluruh warga, baik masyarakat biasa maupun dunia industri. Konsep “taman air limbah” atau “eko sanitasi” perlu dikembangkan untuk kawasan-kawasan yang aliran gravitasi kurang.


Pengendalian Jumlah Penduduk
Penduduk Kota Bandung telah mencapai lebih dari 3 juta jiwa, padahal luas kota hanya sekitar 17.000 ha. Alternatif perluasan kota merupakan hal yang tidak mudah, memutuskan Kota Bandung sebagai kota tertutup juga tidak mudah. Namun hal itu perlu pemikiran-pemikiran karena menurut ”National Geographic”, pada tahun 2015 dikhawatirkan jumlah penduduk membengkak hingga 5 juta jiwa.
Perlu dihitung secara kuantitatif berapa daya dukung dan daya tampung Kota Bandung yang sebenarnya. Dari angka tersebut kemudian diambil kebijaksanaan tentang kependudukan Kota Bandung.


Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Tata Ruang adalah sebuah kebijakan yang mengarahkan suatu wilayah, bagian mana yang boleh dibangun, dan bagian mana yang tidak boleh dibangun karena fungsi-fungsinya yang bersifat lindung. Menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa 30% dari wilayah kota harus merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Seluas 20% disiapkan oleh pemerintah, 10% disiapkan oleh warga atau privat. Kesemuanya itu adalah untuk keselamatan kota agar memenuhi azas keberlanjutan. Saat ini RTH Kota Bandung masih jauh di bawah 30%.
Luas kota yang terbatas dan penduduk yang sangat banyak merupakan kendala besar dalam rangka pengendalian tata ruang kota. Oleh sebab itu dalam RPJMD Kota Bandung 2008-2013, hal ini harus dijadikan isu strategis dan prioritas.


Optimalisasi Kinerja Pemerintah Kota

Seiring dengan program-program pemerintah yang cenderung merupakan rutinitas, maka citra birokrasi di mata masyarakat belum optimal. Peningkatan kualitas manajemen pemerintah jangan terkesan “business as usual” dan “wait and see”. Perlu “turn over” dalam rangka memulihkan citra birokrasi yang lamban dan korup.


Bandung, 31 Juli 2008
Sobirin/ Pemerhati Lingkungan

(atas permintaan BAPPEDA Kota Bandung No. 050/1532-Bappeda/24 Juli 2008).

Read More..

BANDUNG MASIH BUTUH HOTEL

WASPADAI KESEIMBANGAN LINGKUNGAN
KOMPAS, Jawa Barat, 31 Juli 2008, GRE
Foto: www.agoda.com, Sukajadi Hotel Bandung
Pemerhati lingkungan DPKLTS, Sobirin, berpendapat, kebutuhan air untuk hotel jauh melebihi kebutuhan air masyarakat umumnya. Standar kebutuhan air rata-rata 200 liter/orang/hari. Karena menjual jasa dan kenyamanan, penyediaan air untuk setiap tamu hotel berlipat ganda mencapai 300-500 liter/hari.



Bandung, KOMPAS - Pembangunan hotel di Kota Bandung masih dimungkinkan untuk menampung wisatawan yang selalu memadati ibu kota Provinsi Jawa Barat ini pada setiap akhir pekan dan hari libur. Jumlah hotel yang tersedia belum mampu menampung seluruh pengunjung yang datang berwisata dan keperluan bisnis.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Askary Wirantaatmadja, Selasa (29/7), mengatakan, tamu yang berkunjung ke Kota Bandung rata-rata 21.000 orang per hari. Jumlah tersebut melonjak pada akhir pekan menjadi rata-rata 61.000 per hari. Padahal, jumlah seluruh hotel di Kota Bandung baru sekitar 246 unit.


"Dengan kapasitas rata-rata setiap hotel sekitar 50 orang, seluruh hotel di Kota Bandung baru mampu menampung 12.500 tamu. Kondisi itu yang memunculkan banyak keluhan dari calon wisatawan yang mengaku kehabisan kamar hotel saat berkunjung ke Kota Bandung," ujar Askary.

Ia mengatakan, sekitar 22 investor sudah mengajukan izin pembangunan hotel baru di Kota Bandung. Dari jumlah itu, empat permohonan sudah disetujui. Permohonan lainnya masih dipelajari dan diteliti sejumlah instansi terkait.


Jangan gegabah


Meski demikian, Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat Nana Supriatna mengingatkan, pembangunan hotel di Kota Bandung berisiko mengganggu keseimbangan lingkungan. Alasannya, pembangunan setiap bangunan komersial, terutama hotel, membutuhkan persediaan air bawah tanah yang besar. Hal itu mengancam ketersediaan air bawah tanah di Kota Bandung.

"Kebutuhan air untuk setiap hotel rata-rata 150 meter kubik per hari. Angka ini jika dikalikan dengan jumlah hotel dan bangunan lain, seperti mal dan restoran, sangatlah besar. Pengeboran yang dilakukan untuk mendapatkan air bawah tanah juga telah mencapai 100 meter. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem," ujar Nana.

Menurut dia, izin pembangunan hotel di Kota Bandung menjadi perhatian khusus BPLHD. Bahkan, di wilayah Bandung tengah, pengajuan perizinan pembangunan hotel seharusnya tidak disetujui lagi kecuali jika ada kerja sama antara pihak hotel dan Perusahaan Daerah Air Minum untuk mencukupi kebutuhan air di hotel tersebut. Selain itu, hotel-hotel baru juga dapat memasok air dari luar wilayah Bandung.


Pemerhati lingkungan hidup dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, berpendapat, kebutuhan air untuk hotel jauh melebihi kebutuhan air masyarakat pada umumnya. Standar kebutuhan air setiap orang rata-rata 200 liter per hari. Karena menjual jasa dan kenyamanan, penyediaan air untuk setiap tamu di hotel berlipat ganda mencapai 300-500 liter per hari.


"Padahal, saat ini setiap orang hanya dapat mengonsumsi air hingga 45 liter per hari. Artinya, ketersediaan air di Kota Bandung sudah sangat memprihatinkan," ujar Sobirin.


Untuk itu, Sobirin meminta Pemerintah Kota Bandung berhati-hati mengeluarkan izin pembangunan hotel baru. Izin tersebut harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, termasuk persediaan air. Penghijauan dan upaya konservasi di wilayah Bandung utara harus dilakukan segera untuk menambah pasokan air resapan yang selanjutnya juga dapat dinikmati di wilayah lain, seperti Bandung tengah. (GRE)

Read More..

WARGA HARUS MEMBUDAYAKAN PANEN AIR HUJAN

KONDISI AIR KOTA BANDUNG MENGKHAWATIRKAN
KOMPAS, Jawa Barat, 29 Juli 2008, MHF
Foto: www.espirituswater.com, Rain Harvesting Installation
Secara terpisah, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, menjelaskan, pasokan air untuk warga Kota Bandung idealnya mencapai 200 liter per hari per orang. Saat ini baru tersedia 45 liter per hari per orang.



Bandung, KOMPAS - Kondisi air bersih di Kota Bandung makin mengkhawatirkan seiring dengan terus berlangsungnya kerusakan lingkungan di wilayah tangkapan air. Saat kemarau seperti sekarang ini, banyak warga kota menderita karena kesulitan mendapatkan air bersih.


Warga di Kelurahan Cisaranten Kulon dan Dungus Cariang, misalnya, selama sebulan terakhir kesulitan mendapatkan air sehingga terpaksa membeli air jeriken. "Sumur di rumah sudah dua bulan ini tidak keluar air. Pokoknya setiap kemarau pasti kering," kata Sutarya (45), warga Kelurahan Cisaranten Kulon, Kecamatan Arcamanik.

Hal serupa dialami Yayah Rokayah (52), warga Dungus Cariang, Kecamatan Andir. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, dia membeli air jeriken. Dalam sehari, paling tidak Yayah harus mengeluarkan uang Rp 5.000 untuk membeli 125 liter air.


Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air Dine Andriani mengatakan, sebenarnya Kota Bandung mampu menyediakan pasokan air sepanjang tahun. Namun, saat ini air sulit didapatkan pada musim kemarau karena lingkungan telah rusak.


Daerah tangkapan air, seperti kawasan Bandung utara, telah banyak beralih fungsi sebagai hunian. Di sana berdiri beragam bangunan permanen, seperti hotel, cottage, vila, restoran, dan kafe. Ini menyebabkan berkurangnya kawasan hutan sehingga alam tidak seimbang.


Ini, kata Dine, diperparah dengan perilaku masyarakat yang mengambil air secara berlebihan. Banyak mal dan hotel di tengah kota mengonsumsi air tanah dalam jumlah melimpah. Selain mengurangi pasokan air sumur untuk masyarakat kelas bawah, pengambilan air ini juga menyebabkan permukaan air tanah menurun hingga 2,43 meter.

Secara terpisah, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, menjelaskan, pasokan air untuk warga Kota Bandung idealnya mencapai 200 liter per hari per orang. Saat ini baru tersedia 45 liter per hari per orang.


Sobirin setuju bahwa penyebab krisis air adalah kerusakan lingkungan. Debit 77 mata air di Kota Bandung berkurang. Bahkan ada yang tidak lagi mengeluarkan air karena daerah aliran sungai telah gundul.


Sumur bor sebagai solusi pemenuhan air bersih juga menimbulkan masalah serius. Sobirin mencatat, permukaan air dangkal menurun hingga 10 meter. Bahkan, di Dayeuhkolot, permukaan tanah menurun hingga 2 meter karena air bawah tanahnya habis disedot.


Menurut Sobirin, pada 1980, jumlah sumur bor di Bandung sekitar 500 lubang. Tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi ribuan. Sekarang jumlahnya diperkirakan meningkat dua kali lipat, karena jika ada yang meminta izin membuat dua sumur bor, realisasinya dia membuat tujuh sumur bor.


Sumur resapan


Dine mengingatkan, semestinya masyarakat turut memelihara air sehingga tidak terjadi krisis, salah satunya dengan membudayakan panen air pada musim hujan. Air hujan yang melimpah dapat ditampung di sumur resapan atau penampung lain. Air ini dapat diolah atau langsung digunakan sesuai dengan keperluannya. Jika budaya panen air sudah memasyarakat, air hujan tidak menjadi banjir, dan saat kemarau masyarakat tidak kekurangan air.

Secara terpisah, Kepala Bagian Humas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung Melianan mengatakan, pasokan air ke PDAM, terutama dari sumber mata air, memang menurun sekitar 5 liter per detik. Akan tetapi, penurunan ini tidak mengurangi pelayanan PDAM kepada masyarakat.


Selama ini PDAM baru bisa menghasilkan 2.500 liter air bersih per detik. Jumlah ini baru bisa mencukupi 65 persen dari kebutuhan 143.000 pelanggan. Selama musim kemarau ini PDAM Kota Bandung menyediakan air sebanyak 380 tangki. (MHF)

Read More..

Wednesday, July 23, 2008

DORONG "ECO-PROVINCE"

JABAR TERAPKAN CDM
Pikiran Rakyat
, 23 Juli 2008, CA-185

Foto: Sobirin 2007, Jabar Eco-Province, Galian C Cirebon

Sementara itu, pemerhati lingkungan anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda DPKLTS, Sobirin, mengatakan bahwa eco-province perlu menekankan kemandirian terhadap kebutuhan pangan. "Ngapain jadi eco-province kalau ketahanan pangannya tidak ada," ujarnya.




BANDUNG, (PR).-
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerapkan clean development mechanism (CDM) untuk mendorong terciptanya Jawa Barat sebagai eco-province (provinsi berwawasan lingkungan). Program eco-province ini menargetkan cakupan kawasan lindung sebesar 45% dan dikuatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sampai dengan tahun 2025.

Hal itu disampaikan Kepala Bapeda Jabar, Deny Juanda Puradimaja, di Bandung, Selasa (22/7). Ia mengatakan, berkembangnya industri pengolahan di daerah Jawa Barat membutuhkan banyak energi untuk memproses bahan baku menjadi barang jadi. Selain itu, berkembangnya industri di Jawa Barat memiliki daya tarik bagi urbanisasi.

Kondisi itu mendorong adanya eksploitasi lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin berkembang. Industrialisasi di Jawa Barat juga menyebabkan aktivitas penduduk semakin dinamis dengan mobilitas yang tinggi. "Seluruh proses tersebut menimbulkan limbah cair dan emisi yang dapat merusak lingkungan," ujarnya.

Menurut Deny, menyadari hal itu pemprov akan mengarahkan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan melalui pogram eco-province. "Apabila kita sudah termasuk dengan eco-province yang didukung dunia, maka kita bisa menawarkan CDM yang dapat mendukung program prioritas serta penciptaan tenaga kerja," tuturnya.

Ia mengatakan, CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang menawarkan solusi menguntungkan bagi negara industri dan berkembang yang bekerja sama dalam perjanjian tersebut. Menurut Deny, Indonesia saat ini hanya memiliki 9 program CDM. Jumlah itu lebih kecil bila dibandingkan dengan negara Brazil sebanyak 111 projek dan India sebanyak 287 projek.

Selain itu untuk mendorong program eco-province, ia mengatakan, saat ini pemerintah juga sedang melakukan upaya untuk merumuskan insentif bagi pelaku industri yang menerapkan pola pembangunan berbasis lingkungan. "Diharapkan Agustus ini sudah selesai dan disosialisasikan kepada DPRD," ujarnya.

Sementara itu, pengamat lingkungan yang juga anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, mengatakan bahwa eco-province tersebut perlu menekankan kemandirian terhadap kebutuhan pangan. "Ngapain jadi eco-province kalau ketahanan pangannya tidak ada," ujarnya.

Salah satu pendukung ketahanan pangan tersebut yaitu dengan adanya ketersediaan air untuk mengairi sawah. Ia mengatakan, saat ini terdapat 766.000 hektar lahan sawah yang membutuhkan 16 miliar m3 air per tahun. Namun air yang tersedia saat ini hanya 14 miliar m3/tahun. "Hal itu menyebabkan ketersediaan air sangat kritis sehingga banyak terjadi kekeringan," ujarnya. (CA-185)***

Read More..

MENGUJI KETANGGUHAN "LALAKON" DENGAN SANTUN

PILWALKOT BANDUNG
KOMPAS, Jawa Barat, 22 Juli 2008, Yulvianus Harjono
Foto: Sobirin 2007, Kota Bandung Bermartabat


"Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya," tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dalam diskusi "Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung".



"Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya," tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dalam diskusi "Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung" yang diadakan harian Kompas bekerja sama dengan KPU Kota Bandung dan Bandung Spirit, Senin (21/7).


Dalam konteks ini, diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung ke depan yang bersifat mengayomi, tegas, visioner melihat persoalan, tetapi santun dan memiliki keberpihakan pada adat tradisi. Sebab, sebagai ibu kota Tatar Priangan, Kota Bandung dikenal memiliki masyarakat yang santun dan ramah serta toleran dan terbuka terhadap ide perubahan.


Maka dari itu, menurut Tjetje Hidayat Padmadinata, pengamat politik, pertarungan dalam pemilihan wali kota (pilwalkot) ini tidak ubahnya kompetisi para lalakon (tokoh) di Kota Bandung. Jadi, bukan sebuah "perang" politik. "Jangan ada kebencian dan permusuhan. Kampanye pun jangan jor-joran," tuturnya. Strategi pemenangan harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan santun, yaitu melalui adu pemikiran, bukan kekuatan massa.


Dalam rangkaian pengalaman pilkada, ketokohan dan pencitraan ini terkadang memang lebih menentukan daripada faktor infrastruktur (kekuatan partai politik). Survei yang dilakukan Litbang Kompas pun menegaskan hal ini. Karakter yang diinginkan responden dari calon wali kota Bandung adalah jujur (27,4 persen), peduli kepada rakyat (23,9 persen), tegas (7,7 persen) dan berwibawa (6,5 persen).

Percaya diri


Kondisi inilah yang menimbulkan kepercayaan diri bagi pasangan E Hudaya Prawira-Nahadi. Secara terang-terangan Hudaya menyatakan, dua kunci strategi kampanyenya ke depan adalah pencitraan di media dan dukungan sukarelawan.

"Makanya, program kami tidak akan berupa orasi di ruang terbuka dan semacamnya," ucapnya. Sistem door to door dalam memikat calon pemilih akan lebih dikedepankan. Ia optimistis, kehadirannya sebagai calon independen pada pilwalkot ini akan memincut segmen calon pemilih apatis alias golongan putih (golput).


Saat ditanya apakah sistem politik tanpa infrastruktur ini otomatis berkonsekuensi pada biaya, ia menjawab, "Justru tidak ada yang berlebihan. Apa adanya saja. Kami kan bukan diusung parpol. Tidak ada deal politik. Yang ada adalah deal agar membawa Bandung ke arah yang lebih baik," tuturnya.


Pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi alias Abu Syauqi pun tidak ketinggalan langkah. Dalam diskusi di Grha Kompas-Gramedia itu, Taufik yang juga merupakan dosen di Institut Teknologi Bandung menyatakan akan meminta dukungan dari elemen perguruan tinggi dan sivitas akademika di dalamnya. Ini tentu akan menambah "amunisi" dukungan mengingat Partai Keadilan Sejahtera merupakan parpol pendulang suara terbesar dalam Pemilu 2004 di Kota Bandung.

Seolah berkaca dari pilkada Jabar, pasangan Dada-Ayi lebih banyak turun ke warga dalam berkampanye. Mereka kian rajin menemui basis pendukungnya di berbagai kelompok masyarakat. Pengalamannya mengenal dan dikenal lebih dulu oleh publik Kota Bandung tentu menjadi modal yang membedakan pasangan ini dengan kedua pasangan calon lainnya.


Namun, hasil akhir tentu akan berpulang kepada masyarakat pemilih. Lakon mana yang akan memenangi kompetisi politik hanya akan diketahui pada hari pencoblosan pada 10 Agustus mendatang. (Yulvianus Harjono)

Read More..

PARA CALON BIDIK LINGKUNGAN

AIR BERSIH MASALAH KRUSIAL KOTA BANDUNG
KOMPAS, Jawa Barat, Selasa, 22 Juli 2008, MHF
Foto: Sobirin 2008, Kota Bandung Penuh Orang

Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, Kota Bandung terancam krisis air. Idealnya, dalam sehari setiap warga membutuhkan 200 liter air. Saat ini Kota Bandung hanya mampu menyediakan 40 liter per hari per orang.



Bandung, Kompas -
Ketiga pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Bandung memiliki perhatian khusus terhadap persoalan lingkungan hidup di Kota Bandung. Mereka telah memetakan permasalahan dan siap melaksanakan jalan keluarnya jika terpilih sebagai wali kota dan wakil wali kota.


Demikian antara lain yang mengemuka dalam dialog antarpasangan calon di Grha Kompas-Gramedia, Senin (21/7). Acara yang digelar oleh harian Kompas, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, dan Bandung Spirit ini menghadirkan tiga pasangan calon, yaitu Dada Rosada-Ayi Vivananda, Taufikurahman-Deni Triesnahadi (Abu Syauqi), dan E Hudaya Prawira-Nahadi. Hadir pula beberapa tokoh dan aktivis lingkungan, seperti Tjetje Hidayat Padmadinata, Ny Popong Djundjunan, Sobirin, Memet Hamdan, dan Rahmat Jabaril.

Dalam kesempatan itu, Dada mengatakan, terdapat 34 permasalahan pokok Kota Bandung. Masalah ini dapat diselesaikan dengan tujuh program prioritas, yang salah satunya adalah lingkungan hidup.

Menurut Dada, beban Kota Bandung terus bertambah karena daya dukung lingkungan tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk. Saat didirikan pada tahun 1930, Kota Bandung hanya diperuntukkan bagi 200.000 orang. Setiap hektar tanah ditempati 60 orang. "Tapi, sekarang ini 1 hektar bisa ditempati 245 orang. Sangat padat," katanya. Luas Kota Bandung saat ini mencapai 16.000 hektar.


Ayi menambahkan, masalah lingkungan hidup dan tata ruang menjadi masalah bersama. Sebab, masalah tersebut tidak muncul begitu saja dalam lima tahun terakhir ini. Untuk itu, jika terpilih nanti, dia akan mengundang pakar lingkungan untuk turut menyelesaikan masalah lingkungan.


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, Kota Bandung terancam krisis air. Idealnya, dalam sehari setiap warga membutuhkan 200 liter air. Saat ini Kota Bandung hanya mampu menyediakan 40 liter per hari per orang.


Menurut Ayi, minimnya air bersih bagi warga terjadi akibat penyedotan air bersih secara berlebihan oleh industri. Oleh karena itu, ke depan harus ada zonasi. "Perlu ditetapkan mana kawasan industri, permukiman, dan ruang terbuka hijau," ujarnya.

Masalah air krusial


Sementara itu, Taufik melihat, jika masalah ekonomi dan lingkungan Kota Bandung teratasi, semua masalah di Kota Bandung tuntas. Untuk mengatasi masalah lingkungan, Taufik menawarkan konsep kerja sama antarpemerintah daerah di kawasan Bandung Raya, yakni Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Keempat pemerintah daerah ini perlu memiliki pandangan yang sama dalam menata lingkungan di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.


Khusus untuk air bersih, Taufik dan Abu Syauqi melihat ini menjadi salah satu masalah krusial Kota Bandung. Masih banyak warga yang memanfaatkan air Sungai Cikapundung. Padahal, sungai ini sudah tercemar, baik oleh limbah industri maupun rumah tangga.


Untuk itu, Taufik mengusulkan perlindungan terhadap daerah tangkapan air, yakni kawasan Bandung utara. "Tujuannya, cadangan air bagi warga tercukupi sehingga tidak menggunakan air yang tercemar," ujarnya.


Hal senada diungkapkan Hudaya dan Nahadi. "Untuk mengamankan debit air, harus mengamankan daerah resapan air. Maka, kebijakan Punclut (kawasan Bandung utara) harus ditinjau kembali," tutur Hudaya. Selain itu, dia mengusulkan penambahan ruang terbuka hijau yang dibarengi dengan perawatan sumber mata air.


Di bidang tata ruang kota, Hudaya sepakat dengan adanya zonasi sehingga kota tidak semrawut. Dia mencontohkan Jalan Ir H Djuanda yang amburadul. Di sana terdapat rumah sakit, factory outlet, bengkel, sekolah, bank, dan rumah makan. "Banyak warga yang ke sana sehingga rawan macet," katanya. (MHF)

Read More..

Thursday, July 17, 2008

HAKEKAT PEMBERDAYAAN

Bahan diskusi C62, 17 Juli 2008
Foto: adhecs.wordpress.com


Oleh: SOBIRIN/ Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit

Asal kata ‘pemberdayaan’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS Poerwadarminta, 1985) adalah ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga, misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya tahan, sudah tak ada dayanya lagi.



Daya juga berarti pengaruh, misalnya: memang tak sedikit daya pendidikan Barat kepada para pujangga angkatan baru. Arti lain dari kata daya adalah akal, jalan (cara, ikhtiar), misalnya: apa daya, seribu daya, bermacam-macam daya, habis segala daya untuk mengatasi kesulitan itu.


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ini, disebutkan daya juga berarti muslihat, misalnya tipu daya. Kata mendaya(kan) atau memperdaya(kan) artinya mengakali, menipu, mengenakan tipu muslihat, misalnya: didaya iblis, orang yang bodoh mudah diperdayakan. Mendayai artinya mengakali, menipu, mempengaruhi. Teperdaya artinya tertipu, sedangkan tidak teperdaya artinya tidak dapat ditipu. Pendayaan artinya penipuan, sedangkan perdayaan artinya tipu daya, tipu muslihat.

Tetapi disebutkan pula dalam kamus ini, kata mendayai juga berarti memberi daya, memberi kekuatan, memberi tenaga. Selanjutnya disebutkan kata berdaya artinya berkekuatan, bertenaga, ada akal. Tidak berdaya artinya tidak ada tenaga lagi, atau hilang akal, putus harapan. Berdaya upaya artinya berusaha atau berikhtiar dengan sungguh-sungguh, misalnya: kita wajib berdaya upaya untuk memperbaiki kehidupan kita.

Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (AS Hornby 1982), kata yang sepadan dengan daya adalah ‘power’ yang diartikan ‘ability to do act’. Sedangkan ‘empower’ adalah ‘give power or authority to act’. Kata ‘empowerment’ tidak muncul dalam kamus Oxford tersebut, tetapi muncul di internet dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Empowerment, yang artinya “empowerment refers to increasing the spiritual, political, social or economic strength of individuals and communities. It often involves the empowered developing confidence in their own capacities”.

Masih banyak yang tidak ‘sreg’ dengan istilah ‘pemberdayaan’, karena maknanya sangat dekat dengan hal-hal yang negatif, yaitu antara lain: pertama, sangat dekat dengan arti pendayaan yang berarti penipuan. Apalagi bila pemberdayaan ini hanya sekedar bernuansa proyek yang ‘hit and run’.

Perlu redefinisi dari makna pemberdayaan yang sesungguhnya, yaitu yang artinya memberikan daya untuk mampu memperbaiki kehidupan. Tidak cukup sekedar redefinisi saja, tetapi juga harus “action-nya sesuai kata ‘empower’, yaitu ‘give power’. Juga tidak cukup hanya ‘give power’ saja, tetapi juga ‘give authority to act’. Pemberdayaan banyak yang gagal karena hanya memberi daya atau kekuatan saja, tetapi otoritas tidak diberikan. Mari kita renungkan, apakah pemberdayaan yang selama ini dilakukan juga lengkap dengan memberikan otoritas untuk melakukan sesuatu?


Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah:

Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke status yang lebih tinggi.

Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya.

Ketiga, pemberdayaan adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan rakyat yang mandiri dan sejahtera.

Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Kelima, pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan.


Jadi pemberdayaan harus dilihat secara komprehensif dengan produk akhir masyarakat menjadi berdaya, memiliki otoritas, menjadi subyek dalam pembangunan, dan kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.


Bandung, 17 Juli 2008

Sobirin Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit
www.sobirin-xyz.blogspot.com [sobirin is back to nature]
www.clearwaste.blogspot.com [sampah diolah menjadi berkah]

Read More..

Saturday, July 12, 2008

DILEMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

KASUS RENCANA WADUK BULU, SAMBOJA
Diskusi METANA Bandung, 26 Juni 2008
Peta: id.wikipedia.org
Oleh: Sobirin
Telah terjadi tumpang tindih kegiatan di Kecamatan Samboja. Di satu pihak ada rencana pembangunan waduk penyediaan air bersih untuk kebutuhan Kecamatan Samboja dan Kota Balikpapan. Di satu pihak yang lain ada keinginan menambang batubara di lokasi yang sama.



Sumber daya alam adalah merupakan unsur input dalam kegiatan ekonomi. Pengertian sumber daya alam tidak terbatas sebagai unsur input saja, karena proses produksinya akan menghasilkan unsur output, antara lain berupa limbah. Pada giliran berikutnya limbah ini akan menjadi unsur input bagi kelangsungan dan ketersediaan sumber daya alam lainnya.

Rencana Waduk Bulu terletak di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Dari Kota Balikpapan menuju lokasi melalui jalan darat Balikpapan-Samboja. Jarak dari Kota Balikpapan sampai lokasi kurang lebih 60 km. Waduk Bulu akan membendung Sungai Bulu, yang merupakan anak Sungai Merdeka. Waduk ini akan menampung air sekitar 9,126 juta m3 dengan luas genangan 323 hektar, tinggi bendungan 11 meter, dan bentang bendungannya 325 meter. Sungai Bulu sendiri mempunyai panjang 17,416 km, dan luas daerah aliran sungainya 53,007 km2.


Pada tahap feasibility study, dijumpai permasalahan lahan yang terkait dengan kegiatan penambangan batubara. Hampir seluruh rencana lokasi bendungan dan genangan waduk berada di daerah kuasa pertambangan. Tiga perusahaan penambang yang mendapat ijin kegiatan di lahan rencana genangan waduk adalah Lembu Suana Perkasa (LSP), Bumi Etam Bebaya (BEB) dan Gunung Harang Sejahtera (GHS). Sejauh ini LSP dan GHS telah meperoleh ijin eksploitasi dengan luas lahan 800 ha (LSP) dan 100 ha (GHS) untuk waktu 10 hingga 20 tahun lebih. Sedangkan BEB masih dalam tahap eksplorasi hingga akhir tahun 2007. Di daerah tangkapan hujan di hulu waduk juga telah banyak perusahan-perusahan penambang yang lain yang akan beroperasi, yaitu Adi Putro, Fajar Utama, Enerji Bumi Kartanegara, Wana Artha, Rizki Jabal Bara, Artha Coal, Rachna Prima Coal, Padang Bara Abadi, dan Dwi Karya.


Telah terjadi tumpang tindih kegiatan di Kecamatan Samboja. Di satu pihak ada rencana pembangunan waduk penyediaan air bersih untuk kebutuhan Kecamatan Samboja dan Kota Balikpapan. Di satu pihak yang lain ada keinginan menambang batubara di lokasi yang sama. LSP dan GHS mulai melakukan eksploitasi sejak akhir tahun 2007. LSP beraktivitas di hulu rencana genangan waduk, sedang GHS di hilir lokasi rencana bendungan. Dalam tempo kurang dari satu tahun setelah berjalan eksploitasi, nampak telah terjadi perubahan pada keadaan bentang alam setempat.


Batubara adalah salah satu sumber daya alam yang penting untuk pembangunan. Eksploitasi sumber daya tersebut dengan cepat dapat memberi keuntungan besar, sehingga dapat membantu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah yang sangat dibutuhkan. Rakyat di sekitar daerah pertambangan ikut menikmati kesejahteraan, menjadi pekerja tambang, membuka toko atau warung untuk keperluan para pekerja. Semua itu kedengarannya sangat logis, dan sangat menjanjikan untuk menunjang pembangunan ekonomi Kecamatan Samboja khususnya dan Kabupaten Kutai Kartanegara pada umumnya.


Namun bila dikaji secara ekonomi berkelanjutan, keuntungan bagi wilayah pertambangan tersebut sesungguhnya hanya sesaat. Secara lingkungan dampak negatifnya lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Bentang alam menjadi menjadi berlubang-lubang besar, penggalian dan pengangkutan menyebabkan kebisingan dan berdebu, limbah tambang mencemari sumber air, merusak kualitas kehidupan. Walau perusahan pertambangan selalu diminta memulihkan kerusakan lingkungan setelah penggalian, namun umumnya tidak pernah dilakukan. Harga kerusakan lingkungan lebih besar dari keuntungan ekonomi yang diperoleh. Ini tentunya berlawanan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya. Juga bertentangan dengan “Brundtland Report” oleh PBB (1987): pembangunan berkelanjutan berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Aspek ekonomi sumber daya alam adalah pemanfaatan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat atau kesejahteraan kepada masyarakat, kepada kemajuan ekonomi wilayah, dan tidak merusak lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi tiga prasyarat: menyejahterakan masyarakat (for people), meningkatkan ekonomi wilayah (for prosperity), dan melestarikan lingkungan (for planet).


Keuntungan dan kerugian penambangan batubara Bulu


Keuntungan dan peluang

Batubara sebagai unsur input mesin pertumbuhan (engine of growth) berupa modal alam (natural capital) yang diubah menjadi modal buatan (man made capital), yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.

Batubara adalah kekayaan alam Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dapat meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) untuk membangun perekonomian wilayah setempat.

Pasar permintaan batubara sangat terbuka baik di dalam maupun di luar negeri seiring dengan kebutuhan energi yang semakin meningkat.


Kerugian dan ancaman

Terkurasnya batu bara sebagai unsur sumber daya alam akan mengganggu ekosistem lingkungan kehidupan daerah aliran sungai setempat, dan akan memunculkan faktor ketidakpastian terhadap kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Produksi batubara akan mengalami “diminishing return”, yaitu diukur dengan output per kapita yang akan terus menurun sepanjang waktu.

Proses “diminishing return” dapat pula diukur dengan kerusakan ekosistem lingkungan kehidupan yang terus semakin mengancam.


Keuntungan dan kerugian Waduk Bulu

Keuntungan dan peluang

Pembangunan Waduk Bulu adalah sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi penduduk Kecamatan Samboja dan Kota Balikpapan, karena air adalah unsur sumber daya alam yang esensial bagi kelangsungan kehidupan dan merupakan hak azasi manusia.

Waduk Bulu merupakan bagian dari konsep pelestarian lingkungan, pemulihan ekosistem, fauna dan flora khas setempat, iklim mikro, dan sebagainya.
Dalam ekonomi klasik, Waduk Bulu merupakan modal sumber daya yang dapat dimasukkan sebagai input proses produksi dalam pembangunan berkelanjutan, yang nilainya dapat diukur dengan unsur jasa lingkungan, antara lain wisata ekologi, kesehatan lingkungan, pendidikan lingkungan, harapan sumber kehidupan bagi generasi yang akan datang.


Kerugian dan ancaman

Secara instan dan kebutuhan mendesak, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari Waduk Bulu sangat kecil bila dibanding dengan penambangan batubara.

Bahkan mungkin operasi dan pemeliharaan Waduk Bulu akan menyedot alokasi anggaran yang tidak sedikit dari APBD atau bahkan APBN.

Kemungkinan air waduk bisa menyusut dan tidak dapat berfungsi sebagai sumber penyediaan air, terutama pada musim-musim kemarau panjang.


Banyak keuntungan dan kerugian dari penambangan batubara, demikian pula banyak keuntungan dan kerugian dari pembangunan Waduk Bulu di Kecamatan samboja, Kabupaten Kartanegara. Namun bila masing-masing unsur keuntungan dan kerugian tersebut dibuatkan pembobotan, maka penambangan batubara akan lebih banyak menimbulkan musibah, karena basisnya adalah kebutuhan ekonomi jangka pendek secara instan. Berbeda dengan pembangunan Waduk Bulu, yang walaupun manfaatnya baru terasa dalam jangka waktu panjang, namun penyediaan air adalah penyediaan sumber daya yang esensial bagi pemenuhan kebutuhan kehidupan sekarang dan generasi yang akan datang.


Pengertian nilai atau “value” suatu sumber daya alam dan lingkungan seperti Waduk Bulu bisa berbeda bila dipandang dari berbagai sisi kebutuhan.

Dari sisi ekologi, Waduk Bulu akan memulihkan ekosistem, fauna dan flora khas wilayah setempat, dan memulihkan iklim mikro.

Dari sisi teknik, Waduk Bulu dapat memberikan pasokan air kepada penduduk Kecamatan Bulu dan Kota Balikpapan. Juga dapat dimanfaatkan sebagai pasokan air pertanian perkotaan, serta peredam ancaman banjir.

Dari sisi pertambangan, Waduk Bulu adalah penghalang kegiatan pertambangan dan juga menghilangkan kesempatan ekonomi berbasis bisnis batubara.


Diusulkan kepada pemerintah Kabupaten Kutai Katanegara dan Provinsi Kalimantan Timur untuk segera mencari dan memutuskan solusi penyelesaiannya. Sangat disarankan hal-hal sebagai berikut:


Mengingat masalah ini menyangkut keberlanjutan ekosistem dan pemenuhan kebutuhan air sebagai hajat hidup dan hak azasi manusia, maka solusinya adalah “YES or NO”, bukan dicari jalan “win-win solution”.


Konsep “YES or NO” adalah menghentikan total penambangan batubara di daerah tangkapan air Sungai Bulu dengan risiko mengganti kerugian kepada perusahaan pertambangan, dan melanjutkan pembangunan Waduk Bulu untuk keberlanjutan kehidupan.


Merevisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai landasan pembangunan berkelanjutan berbasis aspek legal UU No.7 Th 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 26 Th 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengamanatkan antara lain agar sumber daya air tidak boleh diganggu dan dirusak, serta penataan ruang wilayah yang harus mengutamakan fungsi lindung kawasan.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikatakan bahwa untuk kepentingan iklim mikro, esetetika, dan pengendalian air ditetapkan agar setiap daerah aliran sungai memiliki kawasan hutan seluas 30% dari total luas daerah tangkapan air setempat.

Perlu diikuti pelaksanaan menuju paradigma keberlanjutan yang memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
Perilaku generasi masa kini cenderung tidak mendukung kebutuhan generasi yang akan datang. Seharusnya generasi sekarang bertanggung jawab menyiapkan kebutuhan kehidupan bagi generasi yang akan datang. Perlu diperhatikan antara eksploitasi sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tidak menghancurkan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Kekuatan pasar batubara yang berkembang pesat saat ini, perlu diintervensi menggunakan kekuatan non-pasar, yaitu penerapan konsep ekologi, pembangunan iklim mikro, wisata ekologi, pemulihan fauna dan flora khas setempat, pembangunan sumber daya air berkelanjutan, dan sejenisnya. Pemilihan intervensi non-pasar yang tepat merupakan strategi yang sangat penting dalam membangun perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur secara berkelanjutan.


Referensi

Metana. 2008. Laporan Pendahuluan. Pekerjaan DED Bendungan Bulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Paket 26). Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. PT. Metana Engineering Consultant.

Sobirin dan Budi. 2008. Diskusi tentang Lingkungan Rencana Waduk Bulu, Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Metana Bandung.



Bandung, 26 Juni 2008

Sobirin
Pemerhati Lingkungan tinggal di Bandung

Read More..

Tuesday, July 08, 2008

MENCARI LEMBAGA KEHUTANAN JABAR YG SESUAI

Diskusi di Graha Kompas Bandung, 3 Juli 2008
Foto: Sobirin 2007, Hutan Lindung di Kaki Gunung Cikuray


Oleh: Sobirin (Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit)


Apa issue yang tengah terjadi dengan sistem kehutanan di Jawa Barat?
Hutan Jawa Barat dengan luasnya sekitar 22% dari total luas provinsi terus mengalami degradasi akut. Sistem pengelolaan hutan yang ada terbukti tidak mampu mengendalikan penyebab kerusakan hutan.



Jabar semakin terancam bencana iklim yang semakin merusak, musim hujan terjadi banjir dan longsor, musim kemarau terjadi bencana kekeringan yang kerontang. Kerusakan hutan Jawa Barat selalu dikaitkan dengan banyak hal, misalnya:
Pertama, lemahnya pelaksanaan di lapangan terhadap peraturan perundangan kehutanan yang berlaku,

Kedua, intervensi dari para otak dan aktor sponsor pelaksanaan illegal logging,

Ketiga, tingginya permintaan kayu sebagai bahan baku industri, dikatakan permintaan kayu mencapai 5 juta m3/th, sedangkan pengadaan hanya 250 ribu m3/th, dari hutan rakyat mampu menyediakan 1 juta m3/th, sisanya dari kayu-kayu illegal dan spanyol (separoh nyolong),

Keempat, otonomi daerah juga dianggap sebagai salah satu penyebab kehancuran hutan di Jawa Barat, terutama terkait dengan konsep penataan ruang dan PAD (Penerimaan Asli Daerah).


Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Paling tidak ada lima penyebab yang harus kita renungkan bersama:

Pertama, kawasan hutan negara belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari masyarakat.

Kedua, lemahnya hubungan antar lembaga, terutama yang menangani usaha kehutanan, sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.

Ketiga, jalan pintas merusak hutan karena tidak ada jaminan kepastian untuk menjadikan hutan sebagai modal ekonomi dalam jangka panjang
Keempat, kebijakan pemerintah yang saling bertabrakan sehingga terjadi konflik penatan ruang, misalnya salah satunya antara Perda Provinsi Jabar No.2 Th 2003 tentang RTRW dengan SK Menteri Kehutanan No.195 Th 2003 tentang Penunjukan Luas Hutan Jawa Barat.
Kelima, illegal logging dan perambahan hutan dianggap sebagai biang kerusakan hutan. Padahal illegal logging dan perambahan hutan hanya sekedar symptom (gejala yang nampak di permukaan), bukan akar masalah. Mengejar dan menangkap pelaku illegal logging dan perambah hutan tidak menyelesaikan persoalan kerusakan hutan, sebelum kebijakan-kebijakan fundamental yang menimbulkan konflik kehutanan diselesaikan terlebih dahulu.


Kira-kira alternanif upaya penyelesaiannya apa? Kelembagaan sering diartikan hanya dalam lingkup sempit saja, yaitu hanya sebatas tugas pokok/fungsi (tupoksi) Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Daerah, Perum Perhutani, serta hubungan kerja di dalam dan antar lembaga tersebut dengan fundamental sektoral dan rutinitas. Sebenarnya pengertian kelembagaan jauh lebih luas dari pada yang tersebut di atas, yaitu berkenaan dengan komitmen terhadap visi bersama (shared vision) tentang kehutanan, konsep-konsep koordinasi dan integrasi multisektoral, aturan main yang pro 3P (for Prosperity, for People, for Planet), program jangka pendek-menengah-panjang, skills, struktur pasar, insentif dan disinsentif.


Kelembagaan juga menyangkut hubungan sosial masyarakat, saling menghargai hak, saling percaya, sosialisasi - rembug warga - negosiasi, menggali bersama kearifan lokal dalam penyelamatan hutan.


Sistem kerangka pikir (mind set) kehutanan Jawa Barat harus mendapat perhatian untuk terlebih dahulu diubah paradigmanya, sebagai dasar/ fundamental kelembagaan sistem pengelolaan hutan Jawa Barat yang diaku oleh seluruh warga Jawa Barat. Lembaga kehutanan apapun yang sudah ada dan akan dibentuk tidak akan mampu menghentikan kerusakan hutan Jawa Barat bila tidak dilandasi fundamental filosofi kehutanan yang komprehensif.


Perlu digali alternatif kebijakan yang strategis dalam rangka pengelolaan kehutanan Jawa Barat yang lestari.
Memahamkan kepada seluruh warga Jawa Barat, bahwa tanpa hutan dengan luasan tertentu berbasis alam yang khas dan sensitif, maka Jawa Barat akan terus terancam bencana iklim yang semakin merusak.

Memahamkan kepada birokrasi tentang filosofi kelembagaan, mulai dari visi kehutanan Jawa Barat, program ulang kebutuhan industri perkayuan Jawa Barat, pasar jasa kehutanan, koordinasi dan integrasi multisektoral.

Memahamkan konsep land-consolidation untuk kepentingan hutan lestari yang diakui, dihargai dan digugu oleh seluruh warga Jawa Barat.


Pengalaman negara lain yang sukses dalam membangun pengelolaan hutannya, bisa dipakai sebagai bahan acuan, misalnya keberhasilan negara Finlandia (baca: Masalah Pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia, APHI, 2004, halaman 53-56). Dalam makalah APHI tersebut diungkapkan faktor sukses Finlandia antara lain:

Pertama, komitmen pemerintah Finlandia yang secara konsisten memfasilitasi pembangunan kehutanan dan mendorong investasi di sektor kehutanan melalui bantuan keuangan berupa pinjaman atau subsidi. Besar subsidi setiap tahun mencapai 50 juta Euro, atau sekitar 550 milyar rupiah, antara lain untuk: regenerasi hutan, pembibitan, pemeliharaan tegakan muda, pemupukan, pemangkasan, pemanenan kayu bakar, dll.

Kedua, di Finlandia hak atas properti hutan telah terstruktur dan terdeliniasi dengan baik. Masing-masing pihak telah mengetahui apa yang menjadi miliknya, dan masing-masing juga menghargai hak-hak pihak lain dengan baik. Kepemilikan hutan didominasi oleh hutan perorangan yang mencapai 62%, hutan negara 25%, hutan perusahaan 9%, dan lainnya 4%.

Ketiga, hutan juga mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu peraturan perundangan Finlandia memberikan hak kepada semua orang (everyman right) tanpa mengurangi hak ekslusi para pemiliknya (perorangan, negara, dan perusahaan). Setiap orang diberi hak oleh peraturan perundangan untuk menikmati barang publik (public goods) seperti hasil hutan bukan kayu, blue berries, linggo berries, hak untuk lewat atau bermalam di hutan.

Bandung, 3 Juli 2008
Sobirin (Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit)

Read More..

NGAJAGA LEMBUR

MEMBANGUN MASYARAKAT WARGA
Diskusi Bandung Spirit, Lemlit UNPAD, 19 Juni 2008
Foto: Sobirin 2004, Tim Darurat Longsoran Mandalawangi, Garut
Oleh: SOBIRIN

Lembur sering diartikan sebagai desa atau kampung tempat tinggal masyarakat marjinal dengan taraf pendidikan rendah, kesehatan rendah, dan penghasilan rendah. Penyebabnya, paradigma pembangunan tidak pernah menyentuh pembangunan manusia seutuhnya.



Kata lembur sering diartikan sebagai padanan kata desa atau kampung tempat tinggal masyarakat marjinal dengan taraf pendidikan rendah, kesehatan rendah, dan penghasilan rendah. Soedradjat Tisnasasmita (2007), mengatakan bahwa secara kewilayahan masyarakat marjinal ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat marjinal perkotaan yang bersifat hirarkis, dan kelompok masyarakat marjinal pedesaan yang bersifat agraris, termasuk nelayan. Masing-masing kelompok memiliki karakter yang berbeda-beda.

Masyarakat marjinal perkotaan jumlahnya meningkat karena kelahiran dan migrasi dari desa ke kota. Mereka hidup sebagai buruh pabrik, buruh serabutan, pelayan toko, tukang las, tukang batu, tukang kayu, tukang ojeg, sopir oplet, penjaga keamanan, pedagang kaki lima yang selalu dikejar-kejar aparat ketertiban, dan lain sebagainya. Profesi negatif yang kadang terpaksa disandang mereka yang tidak beruntung antara lain menjadi pengemis, pemulung, pencopet, preman kota, pelacur, dan sejenisnya.


Masyarakat marjinal pedesaan jumlahnya meningkat karena kelahiran. Angkatan kerja desa banyak yang melakukan migrasi ke kota. Mata pencaharian mereka yang masih tinggal di desa umumnya sebagi petani, peternak, budidaya ikan air tawar, budi daya pantai, nelayan, pedagang pedesaan, dan lain sebagainya. Kepemilikan lahan para petani semakin sempit, karena telah dikuasai oleh para pemilik modal dari kota, sehingga mereka hanya menjadi petani buruh saja. Profesi negatif yang kadang disandang oleh mereka yang tidak beruntung antara lain menjadi perambah hutan, pencuri kayu, preman desa, dan sejenisnya.


Walaupun karakter secara kewilayahan berbeda, namun baik kelompok marjinal kota maupun kelompok marjinal desa memiliki benang merah nasib yang sama, antara lain yaitu kawasan tempat tinggal mereka merupakan kawasan kritis, kumuh, tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Pudarnya kearifan lokal dan jiwa gotong royong. Pendidikan dan ketrampilan mereka sangat rendah sehingga kurang menunjang keberlanjutan kehidupan, kesehatan fisik dan lingkunan tidak terpelihara, akses terhadap sumber daya alam, modal, teknologi, informasi sangat sulit mereka peroleh. Juga akses pasar untuk menjual hasil produksi mereka sangat sulit didapatkan, apalagi mutu hasil produksi dan jasa mereka umumnya jauh di bawah standar.

Jumlah kelompok marjinal, baik di kota maupun di desa, yang terus semakin bertambah akibat daya beli mereka yang semakin turun, menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu dan tidak memiliki terobosan-terobosan dalam rangka mengentaskan mereka dari dunia kehidupan yang marjinal.

Upaya normatif sering disampaikan oleh para advokator dengan perumpamaan: jangan beri ikan kepada masyarakat ini, tetapi berilah pancingnya agar mereka ada usaha. Kemudian berkembang menjadi: jangan beri pancing kepada mereka, tetapi berilah ketrampilan agar mereka juga mampu membuat pancing sendiri. Tetapi muncul akar masalah, ketika masyarakat ini hendak memancing, ternyata kolam dan sungainya dikuasai oleh pihak lain yang tidak mengijinkan mereka untuk memancing di kolam dan sungai tersebut. Ini fakta yang sebenarnya, bahwa umumnya kemiskinan ini sebenarnya bukan kemiskinan absolut atau turunan, tetapi lebih karena kemiskinan struktural yang mengakibatkan masyarakat sulit mengakses kepada sumber daya sebagai modal kehidupan.


Penyebab utama semakin berkembangnya jumlah masyarakat marjinal ini karena paradigma pembangunan sangat sedikit atau boleh dikatakan tidak pernah menyentuh pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini nampak pada jumlah alokasi anggaran tahunan baik APBN maupun ABPD, yang lebih mendahulukan anggaran untuk keperluan birokrasi dan proyek fisik. Lebih mengutamakan infrastruktur di hilir, yang nota bene mengutamakan pertumbuhan ekonomi dari pada pemerataan ekonomi. Alhasil infrastruktur di hulu terabaikan. Pembinaan manusia, pengentasan kemiskinan, pemulihan lingkungan hanya merupakan embel-embel pemantas belaka yang tidak menyelesaikan masalah.


Upaya mengajak dunia usaha untuk ikut peduli dengan konsep “corporate social responsibilty” (CSR) memang cukup bagus, namun karena masing-masing dunia usaha juga mempunyai “interest” sendiri demi kemajuan korporasinya, maka upaya ini hanya “spotted” saja di beberapa lokasi dan situasi tergantung keinginan dunia usaha tersebut.


Kunci sukses pada inisiator dan mediator


Dari banyak cerita sukses peristiwa membangun masyarakat menjadi warga yang berkapasitas dan mandiri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, selalu terdapat kesamaan perilaku aktor atau agen sebagai subyek dan obyek dalam peristiwa ini. Walaupun wilayah dan kehidupan sosial budayanya berbeda-beda, ada kelompok masyarakat yang marjinal yang sulit mengakses sumber daya dan selalu terancam potensi bencana, baik bencana alam, bencana iklim, dan bencana sosial. Selain itu ada pula kelompok masyarakat lain yang berkuasa, yang memiliki agenda tersembunyi untuk kepentingan sendiri, memeras dan mengeksploitasi sumber daya alam dengan dalih demi kesejahteraan bersama. Kemudian muncul kelompok inisiator dan mediator yang bermaksud menyelamatkan lingkungan hidup setempat.


Dalam cerita sukses, kelompok inisiator dan mediator ini memiliki konsep matang sehingga disegani dan dituruti oleh semua pihak. Kelompok ini didukung secara moral dan material oleh pihak-pihak lain yang empati. Kelompok ini mampu mengajak masyarakat marjinal secara kesemestaan, mengangkat derajat masyarakat marjinal sehingga berani bernegosiasi menuntut hak-haknya. Akhirnya pemerintah memberikan dukungan political will dan political action serta fasilitas-fasilitas dalam gerakan pengentasan masyarakat marjinal ini. Demikian alur cerita sukses semacam ini selalu memiliki pola skenario yang sama.

Inisiator dan mediator sering pula mengalami kegagalan oleh sebab antara lain tidak memiliki konsep yang matang, tidak mengetahui struktur dan kultur masyarakat setempat, tidak memiliki “net working” dengan pihak-pihak lain yang berpotensi, selalu “hit and run”, dan selalu menggunakan satu model penyelesaian tanpa alternatif skenario.

Rembug warga “bottom up” di antara para anggota kelompok masyarakat marjinal, negosiasi antara kelompok masyarakat marjinal dengan kelompok masyarakat penguasa, adalah kunci sukses menuju diakuinya hak-hak kehidupan bersama.

Ngajaga lembur membangun masyarakat warga yang mandiri adalah membangun kelompok marjinal untuk memiliki kelembagaan dengan struktur organisasi dan aturan main yang jelas,mampu menjalankan fungsi perencanaan, pelaksananan dan pengawasan, memiliki unsur-unsur visi dan misi bersama, program kerja, modal, ketrampilan, dan mampu menjalankan reward dan punishment.

Menurut Pri Joewo Guntoro (2007), dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebagai sebuah proses perubahan dari status rendah ke status lebih tinggi. Pemberdayaan dikatakan pula sebagai sebuah metode pendekatan untuk mencapai hasil menuju masyarakat yang sejahtera. Pemberdayaan juga merupakan program aksi atau kegiatan yang membuka peluang lebar bagi partisipasi masyarakat. Pemberdayaan adalah sebuah gerakan yang dapat membentuk komitmen masyarakat, sehingga ada keterikatan emosional demi terciptanya struktur dan kultur yang lebih kuat.


Berdasar hal tersebut di atas, kunci sukses adalah peran aktif dari aktor inisiator dan mediator, yang harus memiliki konsep-konsep yang matang dan handal dalam rangka keberhasilan pemberdayaan masyarakat marginal.


Salah satu contoh bekal konsep yang bagus untuk inisiator dan mediator dalam rangka keberhasilan pemberdayaan masyarakat marjinal telah dibuat oleh Yayasan IDEP yang berpusat di Bali. Yayasan ini dikenal memiliki jaringan kerja yang luas dan memiliki konsep-konsep yang dituangkan dalam buku-buku panduan sederhana untuk masyarakat marginal. Salah satu buku panduan yang menarik adalah “Buku Panduan Untuk Permakultur Menuju Hidup Lestari”.


Buku panduan yang diterbitkan oleh Yayasan IDEP ini bertujuan menawarkan pengetahuan dan teknologi sederhana untuk membangun lingkungan yang baik dan berkelanjutan, menguatkan kelembagaan dan memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Isi buku panduan didasarkan pada konsep-konsep ekologi sejati, kearifan lokal, hubungan antara lingkungan dan budaya, serta prinsip-prinsip kemandirian dan etika pembangunan berkelanjutan. Beberapa modul menarik dari buku panduan ini antar lain: modul rumah sehat, modul lahan dan air sehat, modul kompos dan pertanian organik, modul hutan rakyat, modul ternak desa, modul teknologi pedesaan, misalnya mikrohidro, biogas, bahan bakar alternatif, dan lain-lainya.


Ngajaga lembur membangun masyarakat warga adalah bagian dari “community based development”, mendorong masyarakat untuk mampu mandiri, mampu menolong diri sendiri, mampu melaksanakan survei kampung sendiri untuk mengenali situasi dan kondisi kampung sendiri menuju pembangunan kawasan yang lebih sehat dan sejahtera secara berkelanjutan.

Pustaka


Pri Joewo Guntoro. 2007. Konservasi Wilayah Sungai Dalam Rangka Pelestarian Sumber Daya Air Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Studi Kasus SubSub DAS Kalong, Kabupaten Kebumen. Lokakarya Nasional II Kaji Ulang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air. Jakarta 20 November 2007. Ruang Rapat SG 1-5 BAPPENAS.

Sobirin. 2008. Peran Ganda Masyarakat Sebagai Pemakai dan Penyelamat Air. Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air: Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Di Era Globalisasi. Penyelenggara: UNJANI, UNPAR, ITENAS, PUSAIR, HATHI, Bandung 29 Juli 2008.


Soedradjat Tisnasasmita. 2007. Pendekatan Evaluatif Komprehensif Dalam Menganalisis Usulan Program dan Aktvitas Pembangunan Dilingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Komite Perencana Provinsi Jawa Barat. BAPEDA Jawa Barat.


Yayasan IDEP. 2006. Buku Panduan Untuk Permakultur Menuju Hidup Lestari. Dibuat oleh Permatil (Permakultur Timur Lorosa’e). Disesuaikan untuk Indonesia dan Diterbitkan oleh Yayasan IDEP. PO BOX 160 Ubud 80571, Bali, Indonesia. www.idepfoundation.org. ISBN 979-15305-0-5.

Read More..

Monday, July 07, 2008

PLATFORM MENUJU INDONESIA SEJAHTERA

FORUM C62, 6 Juli 2008, LEMLIT UNPAD dan BANDUNG SPIRIT
Gambar: http://sawali.files.wordpress.com/2007/11/petruk-dadi-ratu.jpg

Oleh: Sobirin - Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit

Perlu sense of crisis, sense of urgency. Indonesia saat ini dalam tatanan “Petruk jadi Ratu”, “kere munggah bale”, pungnak-pungno (pumpung enak - pumpung ono), komplit dengan “aji mumpung”-nya. Sumber daya alam dikuras semaunya, KKN merajalela.



Sindhunata (2006), mengupas pandangan Rene Girard ilmuwan masyhur kelahiran Perancis 1923, yaitu bahwa tatanan masyarakat berasal dari kekerasan dan dibangun untuk meredam kekerasan. Inilah paradoks tatanan sosial menurut Rene Girard: masyarakat dipertahankan dan dijamin justru oleh kekerasan. Kekerasan menghasilkan pelbagai tatanan sosial. Orde Lama berasal dari revolusi kemerdekaan 1945-1949. Tragedi berdarah 1965 menghasilkan Orde Baru berasal dari tragedi berdarah 1965. Orde Reformasi berasal dari kerusuhan Mei 1998.

Bila terjadi kegagalan selalu menyalahkan pihak lain sebagai Kambing Hitam. Akibat budaya Kambing Hitam ini, kita selalu terjebak masa lalu dan sifat tidak bertanggung jawab. Budaya Kambing Hitam yang berkembang ini adalah karena kita sangat lemah dalam kemandirian dan sangat lemah menetapkan masa depan.


Sentimen agama, kecemburuan primordial, dendam sejarah, bencana alam, globalisasi, dan lain-lainnya, semua itu adalah sekumpulan Kambing Hitam karena kelemahan kemandirian kita.


Bagaimanapun Indonesia tidak seharusnya melangkah mundur, karena tantangan berada di depan. Krisis multidimensi seharusnya bisa didekati dengan konsep kebencanaan, setelah pasca bencana perlu ada konsep mitigasi, adaptasi, dan kesiap-siagaan, sehingga ancaman krisis dapat diwaspadai dengan persiapan dini.


Perlu sense of crisis, sense of urgency. Indonesia saat ini sepertinya dalam tatanan “Petruk jadi Ratu”, atau “kere munggah bale”, pungnak-pungno (pumpung enak - pumpung ono), komplit dengan “aji mumpung”nya. Pengurasan sumber daya alam semau-maunya dan KKN merajalela.


Bangsa Indonesia harus tahu karakter alam negara Indonesia yang khas: sebagai benua maritim, rentan ancaman bencana alam, kaya kandungan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam harus berbasis karakter alam Indonesia. Salah pengelolaan bisa menjadi bencana. Sebagai contoh: luas Jawa Barat hanya kira-kira 2% dari luas total Indonesia, cadangan air tawar Jawa Barat kira-kira hanya 2% dari total air tawar Indonesia, tetapi Jawa Barat ditempati oleh 20% total penduduk Indonesia. Daya dukung dan daya tampung Jawa Barat telah tidak seimbang lagi. Bencana alam akan selalu mengancam Jawa Barat, musim hujan banjir dan longsor, musim kemarau kekeringan. Belum lagi bila terjadi bencana gempa, tsunami, atau gunung meletus.


Contoh bangsa sukses perlu kita renungkan, barangkali bisa kita pakai sebagai acuan. Pertama: Singapura: dengan visi melayani kebutuhan dunia, mengutamakan membangun manusia Singapura, karena tidak memiliki sumber daya alam.

Perlu waktu 1 generasi (30 th) untuk menjadi Singapura sekarang. Kedua, Findlandia: supremasi hukum tinggi, rakyat tidak suka hidup berlebihan, hidup bersih, korupsi nol, investasi besar-besaran di sektor kehutanan. Berkomitmen membangun hutan sebagai komoditas ekonominya.


Seharusnya: "Kesuksesan Indonesia dan kebahagiaan Indonesia adalah tanggung jawab bangsa Indonesia. Bukan dari keadaan dan bukan juga bangsa lain." Tetapi orang Indonesia belum bisa hidup berbangsa. Jadi masih dalam tahap ego sendiri atau ego kelompok: "Kesuksesanku dan kebahagiaanku adalah tanggung jawabku. Bukan keadaan dan bukan juga orang lain."


Seharusnya pemerintah mampu sebagai inisiator. Membangun trust dan awareness: yakin dan sadar untuk mampu membangun masa depan. Pembangunan berkelanjutan: for people, for planet, for prosperity. Sekarang lebih kepada pro profit katimbang pro benefit.


Sekelompok kecil orang yang memiliki pikiran terbuka jauh ke depan, hati lapang, kemauan keras, bisa berperan sebagai inisiator dan mediator, menetapkan visi bangsa yang bisa diaplikasikan dengan membangun etos yang handal. Contoh sekelompok orang ini adalah kelompok dari Afrika Selatan dan Guatemala, yang telah mampu menyusun skenario masa depan negaranya. Ada prasyarat bagi sekelompok orang ini yang agar menjadi inisiator dan mediator, yaitu harus memiliki 6 unsur sukses: visi, misi, program, modal, skill, insentif/disinsentif. SEMOGA KELOMPOK ATAU FORUM C62 ATAU APAPUN NAMANYA TIDAK: GELEDUG CES, BUBAR KATAWURAN, PAEH DI TENGAH JALAN.


Saya percaya local wisdom dan local genuine kita yang sangat banyak, bisa dimanfaatkan sebagai modal menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia. Perlu kita renungkan konsep kebersamaan: One Indonesia, One Comprehensive view, One Shared Vision, One Overall Planning, One Integrated Management.


Sekian dulu, rampes….., salam: Sobirin.

Read More..