Wednesday, July 23, 2008

MENGUJI KETANGGUHAN "LALAKON" DENGAN SANTUN

PILWALKOT BANDUNG
KOMPAS, Jawa Barat, 22 Juli 2008, Yulvianus Harjono
Foto: Sobirin 2007, Kota Bandung Bermartabat


"Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya," tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dalam diskusi "Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung".



"Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya," tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dalam diskusi "Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung" yang diadakan harian Kompas bekerja sama dengan KPU Kota Bandung dan Bandung Spirit, Senin (21/7).


Dalam konteks ini, diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung ke depan yang bersifat mengayomi, tegas, visioner melihat persoalan, tetapi santun dan memiliki keberpihakan pada adat tradisi. Sebab, sebagai ibu kota Tatar Priangan, Kota Bandung dikenal memiliki masyarakat yang santun dan ramah serta toleran dan terbuka terhadap ide perubahan.


Maka dari itu, menurut Tjetje Hidayat Padmadinata, pengamat politik, pertarungan dalam pemilihan wali kota (pilwalkot) ini tidak ubahnya kompetisi para lalakon (tokoh) di Kota Bandung. Jadi, bukan sebuah "perang" politik. "Jangan ada kebencian dan permusuhan. Kampanye pun jangan jor-joran," tuturnya. Strategi pemenangan harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan santun, yaitu melalui adu pemikiran, bukan kekuatan massa.


Dalam rangkaian pengalaman pilkada, ketokohan dan pencitraan ini terkadang memang lebih menentukan daripada faktor infrastruktur (kekuatan partai politik). Survei yang dilakukan Litbang Kompas pun menegaskan hal ini. Karakter yang diinginkan responden dari calon wali kota Bandung adalah jujur (27,4 persen), peduli kepada rakyat (23,9 persen), tegas (7,7 persen) dan berwibawa (6,5 persen).

Percaya diri


Kondisi inilah yang menimbulkan kepercayaan diri bagi pasangan E Hudaya Prawira-Nahadi. Secara terang-terangan Hudaya menyatakan, dua kunci strategi kampanyenya ke depan adalah pencitraan di media dan dukungan sukarelawan.

"Makanya, program kami tidak akan berupa orasi di ruang terbuka dan semacamnya," ucapnya. Sistem door to door dalam memikat calon pemilih akan lebih dikedepankan. Ia optimistis, kehadirannya sebagai calon independen pada pilwalkot ini akan memincut segmen calon pemilih apatis alias golongan putih (golput).


Saat ditanya apakah sistem politik tanpa infrastruktur ini otomatis berkonsekuensi pada biaya, ia menjawab, "Justru tidak ada yang berlebihan. Apa adanya saja. Kami kan bukan diusung parpol. Tidak ada deal politik. Yang ada adalah deal agar membawa Bandung ke arah yang lebih baik," tuturnya.


Pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi alias Abu Syauqi pun tidak ketinggalan langkah. Dalam diskusi di Grha Kompas-Gramedia itu, Taufik yang juga merupakan dosen di Institut Teknologi Bandung menyatakan akan meminta dukungan dari elemen perguruan tinggi dan sivitas akademika di dalamnya. Ini tentu akan menambah "amunisi" dukungan mengingat Partai Keadilan Sejahtera merupakan parpol pendulang suara terbesar dalam Pemilu 2004 di Kota Bandung.

Seolah berkaca dari pilkada Jabar, pasangan Dada-Ayi lebih banyak turun ke warga dalam berkampanye. Mereka kian rajin menemui basis pendukungnya di berbagai kelompok masyarakat. Pengalamannya mengenal dan dikenal lebih dulu oleh publik Kota Bandung tentu menjadi modal yang membedakan pasangan ini dengan kedua pasangan calon lainnya.


Namun, hasil akhir tentu akan berpulang kepada masyarakat pemilih. Lakon mana yang akan memenangi kompetisi politik hanya akan diketahui pada hari pencoblosan pada 10 Agustus mendatang. (Yulvianus Harjono)

No comments: