Thursday, December 29, 2011

BENDUNGAN DI TATAR SUNDA, MANGPAAT JEUNG MUDHARAT

Oleh: Sobirin
Gambar: Sobirin

Tanggal 19-22 Desember 2011 yang lalu, diselenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda ke 2, di Bandung. Peserta meluap dari berbagai kelompok masyarakat. Saya kebagian menjadi pemakalah dengan dengan judul: “Bendungan di Tatar Sunda, Mangpaat dan Mudharat”. Klik makalah lengkapnya.





Acara Konferensi Internasional Budaya Sunda ke 2 ini (KIBS 2) diiikuti pula oleh banyak orang Luar Negeri, dan bahkan beberapa dari mereka juga menjadi pemakalah. Bahasa pengantar dalam KIBS 2 ini bisa dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Inggris. Saya sendiri mencoba memaparkan makalah saya dalam bahasa Sunda, kalau teks saya dalam 3 bahasa. Silahkan klik.

Read More..

Sunday, November 27, 2011

KEKURANGAN AIR, MASYARAKAT BISA AJUKAN CLASS ACTION

Oleh: PRFM Bandung pada 17 September 2011 jam 12:03
Logo: PRFM Bandung

Sobirin Supardiyono, Pengamat Lingkungan yang juga Anggota DPKLTS, saat hadir dalam Talkshow Bincang Malam PRFM mengatakan, masyarakat bisa mengajukan class action bila pemerintah tidak mampu memenuhi aturan UU untuk menyediakan air bersih, sehingga terpaksa meminum air kotor.






BANDUNG, (PRFM) - Sobirin Supardiyono, Pengamat Lingkungan yang juga Anggota Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), saat hadir dalam Talkshow Bincang Malam PRFM mengatakan, jika masyarakat bisa mengajukan class action apabila pemerintah tidak mampu memenuhi aturan undang-undang untuk menyediakan air bersih, sehingga masyarakat terpaksa meminum dan menggunakan air kotor untuk kebutuhan sehari hari. Simak kembali penuturannya di PRFM, Minggu 18 September 2011, pukul 08.30, 13.30 dan 19.30 WIB, di 107.5 PRFM Bandung

Read More..

Sunday, October 30, 2011

INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT

bataviase.co.id, 14 Nov 2010, (M-l)miweekend® mediaindonesia.com
Foto: Sobirin 2010, Cabai Hijau dalam Pot

Di belakang rumah, pot tanaman makin banyak. Mulai cabai sampai sosin. Pernah juga, ditanam padi di dalam pot. "Semua ini pakai kompos sendiri," kata Sobirin Supardiyono, pemilik rumah. Pria berusia 66 tahun itu mulai mengolah sampah rumah tangga sejak Bandung dilanda tsunami sampah pada 2005.






Mereduksi sampah rumah tangga tak membutuhkan waktu sepanjang durasi film di bioskop per hari. Hasilnya, kompos dan bahan kerajinan daur ulang. (Sica Harum)

RUMAH berhalangan luas di kawasan Cigadung, Bandung, Jawa Barat, itu tampak senyap. Beberapa pohon besar memayungi tanah yang berum-put itu. Sejumlah pot tanaman diletakkan berjejer, dekat ke beranda. Salah satunya memuat tomat clierry kuning.
Di belakang rumah, pot tanaman bertambah banyak. Mulai cabai sampai sosin. Pernah juga, ditanam padi di dalam pot. Hasilnya bagus.

"Semua ini ya pakai kompos sendiri. Komposisi dengan tanah, se tengah-setengah," kata Sobirin Supardiyono, pemilik rumah.
Ia mengaku bukan pecinta tanaman. "Ada tanaman itu, ya sebetulnya karena memanfaatkan kompos saja," katanya. Pria berusia 66 tahun itu mulai mengolah sampah rumah tangga sejak Bandung dilanda tsunami sampah pada 2005.

"Waktu itu Bandung sampai disebut kota terkotor. Nah, saya pikir kenapa enggak coba mengolah sampah rumah tangga," ujarnya.
Rata-rata keluarga menghasilkan sampah rumah tangga mulai dari 0,5 -2 kilogram per hari. Sebanyak 65% sampah tersebut merupakan sampah basah, mulai dari daun kering sampai sisa makanan. Lantaran itu, Sobirin fokus mengolah sampah organik. "Karena enggak tau ilmunya, setahun pertama saya gagal," ujar mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung ini.

Kini Sobirin punya tujuh tempat pembuat kompos di rumahnya. Di halaman depan terdapat tiga lubang pembuat kompos metode anaerob dan satu komposter metode aerob yang terbuat dari batu bata. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut litbang itu sengaja dibeton, agar tidak longsor. Namun bagian dalam lubang tetap ber dindingkan tanah telanjang.

Sobirin melangkah mendekati salah satu lubang lalu meminta asistennya-ia panggil Ndut-membuka tutup lubang yang terbuat dari beton tipis, berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 60 cm. Terlihat tumpukan sampah daun, hampir mendekati mulut lubang berkedalaman 1 meter itu. "Nah, ada cecunguknya (kecoa). Bagus., bagus," ujar Sobirin, lalu memerintahkan Ndut untuk mengambil cairan MOL (mikroorganisme lokal).


Resep manjur


MOL buatan Sobirin disimpan di dalam tong plastik berkapasitas 25 liter, juga diletakkan di halaman depan. Ia membuat MOL sendiri dari campuran 2 kilogram tapai singkong, 1 kilogram gula, dan 5 gelas air kelapa muda yang
dilarutkan dalam 25 liter air. "Bisa juga tanpa air kelapa. Tapi lebih bagus menggunakan air kelapa, atau bisa diganti dengan air nira." Cairan itu dibiarkan empat hari. Tutup tong plastik dilubangi kecil-kecil untuk jalur udara. Lalu di atasnya ditutupi lagi agar rapi. Ketika tong itu dibuka, tercium bau khas alkohol.

Ndut tangkas mengambil penyendok besar, menciduk MOL dan menumpahkan ke dalam lubang perlahan. "MOL ini berfungsi menguraikan bahan kompos. Tinggal dicampur saja saat kita mengaduk bahan kompos tiga hari sekali. Hasil-nya, satu bulan saja kompos sudah bisa dipanen. Tanpa MOL, sampah organik tetap bisa jadi kompos, tapi lama," jelas pria yang kini aktif di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ini.


Sobirin mendapat ilmu MOL dari seorang petani di Tasikmalaya, Jawa Barat. Menurutnya, MOL bisa juga dibuat dari sampah sisa makanan. "Campurannya ya jijiklah. Sekarang saya pakai peuyeum (tapai singkong) saja. Saya juga ada urine kelinci, tapi ya baunya menyengat sekali," ujarnya sembari mendekat ke komposter aerob.


Komposter aerob milik Sobirin dibangun dari batu bata yang disemen. Sengaja, celah udara dibuat di dinding kom-posler setinggi satu meter. Pada bagian bawah, dibuat semacam gua untuk memanen kompos. Di atas, Sobirin menggunakan asbes sebagai penutup.
Saat asbes disingkap Ndut, tak tercium bau busuk, sama halnya dengan komposter anaerob. Sobirin meminta Ndut menambahkan bahan kompos. "Kalau yang aerob seperti ini, bahan kompos harus dicacah lebih dulu. Makanya saya sebetulnya enggak terlalu suka dengan metode ini (aerob). Kalau yang itu kan langsung dimasukkan saja," kata Sobirin yang asli Magelang Jawa Tengah ini seraya menengok ke komposter anaerob.

Tak lama mencacah, Ndut lantas memasukkan irisan daun-daun kering berwarna cokelat, juga daun hijau. Perbandingannya, kira-kira 1:1. Daun yang telah cokelat memiliki unsur karbon dan daun hijau mengandung banyak nitrogen, bagus untuk kompos.
Dia juga menambahkan MOL, lalu mengaduk bahan kompos yang baru agar bercampur sempurna dengan tumpukan lama. Seekor cacing terlihat di lapisan bawah, menggeliat. Ndut mengambil saringan, mengayak kompos agar tersisa yang halus saja untuk media tanam.

Zero waste


Berhasil dengan kompos, Sobirin seperti keranjingan menihilkan buangan limbah rumah tangga. Sampah plastik ia cuci bersih sebelum diserahkan kepada pemulung.
Adapun sampah kertas, dihancurkan menjadi bubur dan disimpan di dalam tong plastik. Kelak, bisa dicampur dengan lem putih dan dikeringkan menjadi bahan dasar kerajinan tangan. Sifatnya seperti clay.

Ia bilang, cuma butuh 30 menit sehari untuk memilah sampah. Hasilnya, sampah yang benar-benar menjadi urusan dinas kebersihan kota hanyalah sampah elektronika, misalnya batu baterai bekas. "Waktu yang dibutuhkan enggak lama, milih sampah juga enggak susah. Tapi yang penting, ada satu anggota keluarga yang diserahi tanggung jawab," saran Sobirin.

Bukan cuma sampah yang digarap Sobirin. Begitu juga dengan air hujan. Di halaman belakang rumah Sobirin, torrent berkapasitas 650 liter siap memanen air hujan dari talang, diletakkan tak jauh dari kandang kelinci dan dua lubang komposter anaerob. "Sebetulnya sederhana saja kan, enggak ada yang aneh," kata ahli geologi lingkungan ini.
Pengalaman mengelola sampah sendiri dituliskan Sobirin di blognya, www.clearwaste.blogspot.com yang kini jarang diperbarui lagi. "Sekarang lebih aktif di facebook," ujar kakek lima cucu yang juga menulis di sobirin-xyz.blosgpot.com ini. Berkat internet, semakin banyak orang yang terinspirasi. (M-l)miweekend® mediaindonesia.com

Read More..

Thursday, September 01, 2011

GREEN SABO DAN PENATAAN RUANG

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS dan Bandung Spirit
Gambar: Sobirin
Tekno sabo merupakan salah satu infrastruktur pekerjaan umum yang mampu dan handal dalam membantu keberlanjutan penataan ruang wilayah, mampu mengendalikan gerakan tanah, melindungi kehidupan di kawasan bawahannya dari ancaman longsoran. Lalu apakah Green Sabo itu? Klik.





Segala upaya rekayasa pengendalian gerakan tanah baik skala kecil maupun skala besar, untuk maksud melindungi kehidupan dan lingkungan dari ancaman kebencanaan, semuanya sebenarnya adalah dalam klasifikasi kegiatan tekno sabo. Jenis tekno sabo pun bisa berbentuk tekno sabo fisik struktural (hard sabo) dan tekno sabo non fisik atau non struktural (soft sabo atau green sabo). Tidak mustahil membangun tekno sabo bisa mengajak partisipasi masyarakat, karena masyarakat ingin menyelamatkan kehidupannya dari ancaman bencana. Klik.

Read More..

Tuesday, August 30, 2011

BISAKAH SUNGAI CIKAPUNDUNG BERSIH LESTARI?

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS dan Bandung Spirit
Gambar: Sobirin
Pada peringatan Hari Air Sedunia, saya memberikan presentasi di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, dengan judul: “Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sungai di Perkotaan”. Sejak Kota Bandung semakin dipadati oleh manusia, S. Cikapundung semakin keruh tercemar. Klik.




Apakah S. Cikapundung bisa bersih kembali seperti dulu? Manusia harus bersedia memelihara lingkungan dan berkolaborasi dengan sifat alami S. Cikapundung. Klik.

Read More..

KEARIFAN TRADISIONAL DAN PERUBAHAN IKLIM

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS dan Bandung Spirit
Gambar: Sobirin

Beberapa waktu berselang, saya diminta oleh bapak Dr. Hidayat Pawitan dari IPB, bekerjasama dengan Kantor Menristek, untuk menyampaikan makalah tentang “Kearifan Tradisional dan Perubahan Iklim”. Apakah kearifan tradisional masih ada? Mampukah menghadapi perubahan iklim? Klik.





Banyak kalangan ahli mengatakan bahwa kearifan tradisional itu tinggal merupakan dongeng dan mitos, sebab tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang. Sebenarnya kalau tidak cocok, seberapa besar ketidak-cocokannya itu? Menurut saya kearifan tradisional ini masih tangguh untuk menghadapi perubahan iklim. Hanya memang perlu digali kembali.Klik.

Read More..

Monday, August 29, 2011

MISTERI AIR KEHIDUPAN

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS
Gambar: Sobirin

Waktu ada perhelatan Pasar Seni ITB beberapa waktu lalu, sobat saya, kang Tisna Sanjaya dosen Seni Rupa ITB, meminta saya ceramah tentang "Misteri Air Kehidupan". Air memang penuh misteri, manusia yang tidak bisa dipisahkan dari air. Ini terlampir "file"nya. Silahkan klik untuk berbagi informasi.





Benarkah bumi adalah planet air? Berapa banyak jumlah air yang bisa dikonsumsi manusia dibumi? Bisakah air berkomunikasi dengan makhluk lain? Silahkan klik.

Read More..

NEGOSIASI KONFLIK LINGKUNGAN

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS
Gambar: Sobirin

Beberapa kali saya diminta ceramah di School of Business and Management (SBM)-ITB, melengkapi perkuliahan bapak Dr. Utomo Sarjono Putro, tentang fakta di lapangan mengenai "NEGOSIASI KONFLIK LINGKUNGAN”. Pembangunan justru sebaliknya bisa menyebabkan konflik dan kerusakan lingkungan. Klik.





Pembangunan belum tentu pro rakyat dan juga pro lingkungan. Sebaliknya bisa terjadi konflik dengan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Padahal yang dinamakan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berdasar 3P (for people, for prosperity, for planet). Untuk kesejahteraan masyarakat, untuk kemajuan ekonomi bangsa, dan untuk kelestarian lingkungan. Klik.

Read More..

BENCANA DAN KEARIFAN LOKAL

Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS
Gambar: Sobirin

Ketika peringatan Hari Lingkungan 5 Juni 2011 yang lalu, saya menyampaikan presentasi: “Bencana dan Kearifan Lokal”. UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan jenis bencana terdiri dari Bencana Alam, Bencana Non-Alam, dan Bencana Sosial. Presentasi saya dapat diklik di sini.





Kearifan lokal yang selama ini banyak ditinggalkan, karena banyak ahli yang mengatakan hanya sekedar mitos, ternyata bila ditelaah secara mendalam, masih cukup handal dalam rangka penanggulangan bencana, apalagi dalam implementasinya berbasis masyarakat. Sekali lagi silhkan klik, dan semoga ada manfaatnya

Read More..

Thursday, August 25, 2011

NGAJAGA LEMBUR, MENJAGA LINGKUNGAN

MENJAGA KETENTERAMAN LINGKUNGAN
Oleh: Supardiyono Sobirin/ DPKLTS

Foto: Sobirin

Dalam seminar di hotel mewah, rapat di kantor, diskusi di kelompok, perdebatan di warung kopi selalu kita temui kegagapan dan kegagalan komunikasi, tidak menyambung, dan apa yang dibahas tidak sampai kepada sasaran, ujung-ujungnya tidak ada hasil apa pun, bahkan bisa timbul pertengkaran.





NGAJAGA LEMBUR
Oleh: Sobirin/ Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda/ 25 Juni 2011
Berkiprah tanpa ijasah - Berkibar tanpa gelar - Bermartabat tanpa pangkat


ISSUE:

Bencana telah banyak melanda dan mengganggu kehidupan masyarakat:
- Bencana alam oleh peristiwa gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah langsor.

- Bencana non-alam oleh peristiwa gagal teknologi, gagal modernisasi, wabah penyakit.

- Bencana sosial oleh peristiwa ulah manusia, konflik sosial, teror, narkoba, geng anak tanggung.


Ketika bencana datang, semua terkaget-kaget, merasa kecolongan. Ketika bencana datang, para ahli ribut, berteori, dan saling menyalahkan. Ketika bencana surut, maka surut pula perhatian akan bencana yang telah berlalu. Ketika bencana datang lagi, kita terkaget-kaget kembali………..!!


AKAR MASALAH:


- Masyarakat: tidak menghargai budaya di mana mereka tinggal

- Masyarakat: lupa waktu, lupa musim, lupa kalender
- Masyarakat: hilang ikatan dengan sesama

- Masyarakat: hilang silaturahmi dengan alam

- Masyarakat: mengalami gagap komunikasi.


ANALISIS:


Emha Ainun Najib (2007) dalam bukunya: Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (Kompas 2007) menuliskan tentang kegagapan dan kegagalan komunikasi:

Dua orang berpapasan, saling menyapa:

- Mau ke mana kang? Mancing ya?

+ O enggak kok. Saya mau mancing kok!

- O ya sudah. Saya kira mau mancing.


Dalam seminar, rapat, diskusi, perdebatan di warung kopi selalu kita temui kegagapan dan kegagalan komunikasi, tidak menyambung, dan apa yang dibahas tidak sampai kepada sasaran, ujung-ujungnya tidak ada hasil apa-apa, bahkan bisa timbul pertengkaran, “pasea”.


Di satu peristiwa mungkin masyarakat lega atau tdk peduli, yg penting telah bicara tentang “mancing”, walau dialognya asal-asalan sekedarnya.

Tapi di peristiwa lain, bisa terjadi salah paham, sampai tawuran.
“Mancing” pun tidak jadi, keburu ikannya diambil orang lain.

Bisa jadi kekacauan pembangunan, kebobrokan mengurus negeri, oleh sebab kegagalan komunikasi, apalagi dibumbui dengan:

- tidak transparan

- tidak sesuai hukum
- tidak partisipatif

BAGAIMANA UPAYA:


Kembali ke PITUTUR TILU UGA KARUHUN (basa Sunda: Tiga Nasehat Nenek Moyang)

Tata Wayah:

Mencatat kalender jadwal alam, kapan halodo, kapan labuh, kapan ngijih, kapan dangdangrat.


Fenomena alam apa yg terjadi pd musim-musim tersebut: banjir, kekeringan, turaes berbunyi, kunang2 muncul, gempa, gunung meletus, gerhana, peta panonpoe, peta bulan, peta bentang.


Kegiatan apa yg dilakukan di kampung: kapan hari raya, kapan musim mantu, kapan menanam, kapan panen, kapan harus menabung.

Urutan waktu karuhun: Kongkorongok hayam, SUBUH, Balebat, Carangcang tihang, Meletek panonpoe, Isuk-isuk, Haneut moyan, Pecat sawed, Tangange, LOHOR, Lingsir, Tunggang gunung, Sore, Sariak layung, ASAR, Ngampih laleur, Burit, Sandekala, Sareupna, MAGRIB, Harieum beungeut, ISYA, Sareureuh budak, Sareureuh kolot, Tengah peuting, Janari leutik, Janari gede, Kongkorongok hayam.


Tata Wilayah:


-Gunung Kaian

-Gawir Awian

-Cinyusu Rumateun

-Pasir Talunan

-Sampalan Kebonan
-Dataran Sawahan

-Legok Balongan
-Walungan Pulasaraen

-Basisir Jagaeun

-Kalakay Angoneun

-Tunggul Pelakeun

-Kabuyutan Sucikeun

Tata Lampah:


-Urus Lembur: transparan, keterbukaan
-Panceg Dina Galur, sesuai aturan yg berlaku
-Akur Jeung Dulur, partisipasi, kebersamaan.

Desa Kuat Negara Kuat:
-Ketahanan pangan, energi, lingkungan, dan budaya lokal

-Gerakan moral, reformasi moral, etos kerja

-SKS (Studi Kampung Sendiri)

-Peta Rawan Bencana Desa buatan masyarakat sendiri

-Mengurangi ancaman bencana (mitigasi)

-Siap Siaga bila bencana datang tiba-tiba

-Mendorong warga mampu menolong diri-sendiri

-Daur ulang sampah (kompos, dll), desa bersih, desa sehat

-Pertanian rumah tangga, pertanian kampung, talun, wanatani

-Bersihkan selokan di kampung, berikan ruang lebih banyak untuk air bersih.
-Pembangun tidak merusak lingkungan (Low Impact Development)
-Koperasi perdesaan yang jujur untuk kesekjahteraan warga.
-Jangan geledug ces, bubar katawuran, paeh di tengah jalan.


Esensi pendekatan partisipatif masyarakat dalam ngajaga lembur secara implisit terangkum dalam puisi karya pujangga klasik Cina, yaitu Lao Tzu:

Pergi dan temuilah masyarakatmu,
Hiduplah dan tinggallah bersama mereka,
Cintai dan berkaryalah dengan mereka,
Mulailah dari apa yang mereka miliki,

Buatlah rencana dan bangunlah rencana itu,

Dari apa yang mereka ketahui,

Sampai akhirnya ketika pekerjaan usai,

Mereka akan berkata:

“Kami yang telah mengerjakannya!”.

Mari sedulur-sedulur, kita ngajaga lembur!

Read More..

Sunday, August 21, 2011

MENGAKRABKAN MASYARAKAT KEPADA SAMPAH

Majalah Keluarga MUZAKKI, Edisi 70 Tahun ke VI April 2011, halaman 10
Peliput: JH, www.muzakki.com

Foto: Sobirin 2011

Sobirin Supardiyono bukan orang yang memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya sekarang. Ia lulusan Teknik Geologi di sebuah universitas ternama di Bandung. Masalah sampah yang tak kunjung usai, membuatnya menjadi sesuatu yang harus ditangani secara serius.







“Jika sebuah Desa itu kuat, maka akan melahirkan sebuah Negara yang kuat pula.” Itulah yang dikatakan Sobirin Supardiyono, seorang pemerhati lingkungan yang peduli dengan daur ulang sampah dan kini dapat memetik hasil yang manis dari perjuangannnya untuk masyarakat.

Sobirin Supardiyono bukan orang yang memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya sekarang. Ia lulusan Teknik Geologi di sebuah universitas ternama di Bandung. Dengan masalah sampah yang tak kunjung usai, minimnya pengetahuan masyarakat tentang pengolahan sampah, ditambah makin menumpuknya sampah rumah tangga, membuatnya menjadi sesuatu yang harus ditangani secara serius. Hal inilah yang membuatnya terjun untuk mengolah sampah menjadi barang bernilai.


Dengan motto mewakafkan sisa umur untuk kemaslahatan sosial dan lingkungan, Ia mengajak semua lapisan masyarakat dan instasi manapun, untuk ikut menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Dukungan dari keluarga pun sangat mempengaruhi keberhasilannya. Ditambah kemauan dan tekad yang tinggi, serta sikap pantang menyerah. Meskipun awalnya ia dicemooh warga sekitar karena mengumpulkan sampah, namun pada akhirnya semuanya menjadi baik.

Sobirin Supardiyono adalah penggagas rumah sehat dan mengelola sampah menjadi bernilai. Cara yang digunakannya dengan jalan mengubah beberapa jenis sampah rumah tangga menjadi pupuk kompos dan handy craft. Untuk mengolahnya, Ia membentuk struktur keluarga peduli sampah; dan masing-masing bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungannya. Selanjutnya, sampah-sampah itu dipisah antara sampah organik dan non organik. Lalu ditimbun dalam tanah dengan alat yang disebut komposter organik. Setelah beberapa hari, sampah berubah menjadi pupuk kompos yang berkualitas, dapat digunakan untuk pertanian rumah tangga atau dijual.


Dengan memanfaatkan halaman rumah yang cukup luas, Ia pun menggunakannya untuk pertanian rumah tangga. “Untuk sampah plastik, saya membersihkannya terlebih dahulu. Setelah itu dijemur dan diberikan ke pemulung. Air hasil pencucian sampah juga tidak dibuang begitu saja, tapi saya gunakan sebagai pupuk cair setelah disaring dari sisa-sisa kotoran, dan bisa langsung disiram ke tanamannya,”ungkap lelaki yang selalu tampil bersahaja ini.


Cara ini ternyata banyak mengundang perhatian masyarakat luas. Tidak hanya dari masyarakat biasa, namun dari artis hingga masyarakat luar negeri juga datang berkunjung ke kediamannya di Jl. Alfa Cigadung Bandung Jawa Barat. Beberapa hal yang membuatnya tetap eksis dalam kegiatannya ini, ia yakin akan kemampuan, membangun kesadaran diri peduli lingkungan, membangun korelasi pada masyarakat, juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

“Saya dengar, saya ingat. Saya lihat, saya lupa. Saya melihat, dan saya mengerjakannya. Kemudian saya mampu melakukannya,”ujarnya. Tidak lupa, kegiatan yang dilakukan haruslah menjadi budaya diri sendiri. Dengan terciptanya keselarasan dan kebersihan terhadap lingkungan, maka segala bentuk penyakit dan bencana dari sampah akan teratasi. (jh)


Nama : Sobirin Supardiyono

TTL : Gombong, 4 Februari 1944
Profesi : Praktisi Lingkungan (anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat)

Pendidikan : Teknik Geologi, ITB Bandung (1962-1970)

Blog : www.clearwaste.blogspot.com

Read More..

Thursday, July 28, 2011

DRAMA AND DILEMMAS ON THE BANKS OF THE CIKAPUNDUNG RIVER

By: Supardiyono Sobirin
Photo: www.panoramio.com
Developing the Cikapundung Basin into a clean, pleasant and sustainable amenity is not only achieved by physical infrastructure but should also consider non-physical and negotiable aspects. An integrated and bottom-up approach will certainly add value as a supplement to the traditional top-down concept.





Summary


The small Cikapundung River intersects the city of Bandung, West Java from north to south. Its banks are densely settled, and its water quality is poor. The need to upgrade the river and its surroundings is broadly acknowledged, and several initiatives are in preparation.

Developing the Cikapundung Basin into a clean, pleasant and sustainable amenity is not only achieved by physical infrastructure but should also consider non-physical and negotiable aspects.

An integrated and bottom-up approach will certainly add value as a supplement to the traditional top-down concept.


This paper considers the preferences and concerns of development agents and the local community.

The compatibilities between them are examined by a drama and dilemma analysis, providing information about the interaction that is required for compromise or conciliation.


It is believed that a clean and pleasant Cikapundung River can be strongly supported by agreement among the involved parties on a sustainable and beneficial development.

(see full paper: http://www.crbom.org/SPS/Docs/SPS31-Drama-dilemmas.pdf)

Read More..

Sunday, June 05, 2011

TAK ADA LAGI KOMUNIKASI MANUSIA-ALAM

KOMPAS.com, 5 Juni 2011, Dedi Muhtadi, Benny N Joewono
Foto: KOMPAS/ Adi Sucipto/ Ilusttrasi
Pengamat lingkungan yang juga anggota DPKLTS Sobirin Supardiyono menyatakan, kini tidak ada lagi ketabuan yang ditaati oleh masyarakat. Ini yang menyebabkan bencana lingkungan bertubi-tubi terjadi khususnya di Jawa Barat yang potensi ancaman bencananya lebih besar di banding daerah lainnya.





BANDUNG, KOMPAS.com - Hubungan komunikasi atau silaturahim antara alam dengan manusia kini telah putus sehingga kearifan lokal banyak yang dilanggar dan tidak dijalankan. Ini yang menyebabkan bencana lingkungan bertubi-tubi terjadi khususnya di Jawa Barat yang potensi ancaman bencananya lebih besar di banding daerah lainnya.

Hal itu mengemuka dalam peringatan lingkungan hidup yang mengusung tema pengarusutamaan budaya di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Bandung Minggu (5/6/2011).
Pengamat lingkungan yang juga anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono menyatakan, kini tidak ada lagi ketabuan yang ditaati oleh masyarakat. Padahal ketabuan (pamali-Sunda) merupakan kearifan lokal untuk memelihara alam.

Misalnya kawasan pegunungan yang seharusnya dihutankan, malah digunduli dan dijadikan lahan pertanian semusim, jangka pendek.
Tebing-tebing tidak lagi ditanami pohon bambu dan mata air banyak yang ditutup oleh hutan beton, misalnya di Bandung Utara. Akibat semua itu, akhirnya alam mengatur dirinya sendiri.

Ini seperti pepatah aliran air yang disampaikan oleh seorang seniman Sunda, kami moal ngelehan, kami moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura bisi aya nu kalabrak, kasered kabawa palid, kabanjiran jeung kakeueum, da bongan ngalahangan jeung aya dina jajalaneun kami. (Kami tidak akan mengalah, kami tidak akan mengalahkan, tapi pasti sampai tujuan. Namun maaf kalau ada yang ketabrak, terbawa arus banjir dan terendam, sebab menghalangi jalan kami).


Sobirin mencontohkan, luas kawasan lindung sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu harusnya 52 persen dari total luas sekitar 340.000 hektar. Namun yang ada kini hanya sekitar 39.000 hektar atau sekitar 11 persen. Dari luas itu pun hutan yang sehat hanya 10.000 hektar, sisanya sudah berubah fungsi mulai dari ladang, lahan pertanian hingga villa.

Akibatnya, bencana (banjir) terus menerus terjadi. Pasalnya dari curah hujan 108 meter kubik/detik/tahun meluncur ke Sungai Citarum yang kapasitasnya hanya mampu menampung debit 41 meter kubik per detik.
Jika kawasan lindung di daerah tangkapan air itu mencapai 52 persen, maka sekitar 67 meter kubik/detik/tahun air hujan yang turun bisa tersimpan di hutan dan diserap masuk dalam tanah.

"Sekarang tinggal pilih, mau melebarkan penampang sungai hingga kapasitasnya bisa menampung debit air hujan yang berarti memindahkan penduduk, atau mengoptimalkan kawasan lindung," tegasnya.

Fakta lain adalah sebanyak 17 persen dari kawasan lindung di luar kawasan hutan yang ada sekarang terus diincar oleh investor. Penguasaannya dilakukan melalui iming-iming, intervensi, dan intimidasi.
Karena kedua pilihan itu sangat dilematis, ia menyarankan agar dilakukan rekayasa sosial yang melibatkan warga agar mengubah perilaku menjadi berwawasan lingkungan. Misalnya setiap rumah harus memiliki sumur resapan. Kemudian, setengah dari jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah tangga di wilayah DAS diwajibkan menanam masing-masing sebatang pohon untuk memenuhi fungsi lindung wilayah tangkapan air sehingga memadai.

Read More..

Sunday, May 08, 2011

PENGAMAT: REGULASI TATA RUANG KBU SELALU DILANGGAR

bisnis-jabar.com/ Bisnis Indonesia/ oleh: Herdiyan, 8 Mei 2011
Foto: Longsor Parongpong, Kab. Bandung Barat/ Harry Surjana/ PR/ 24-11-2010

Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menuturkan: “KBU telah dijadikan kawasan lindung melalui peraturan baik pusat maupun provinsi. Namun, percuma saja bila peraturan itu dilanggar oleh pemerintah setempat,” ujarnya kepada bisnis-jabar.com hari ini.





BANDUNG (bisnis-jabar.com):
oleh: Herdiyan

S
ejumlah regulasi telah dibuat pemerintah terkait untuk menjaga lingkungan Kawasan Bandung Utara, tetapi terus dilanggar.

Sobirin
Supardiyono, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), menuturkan beberapa peraturan yang mengatur kawasan tersebut, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, antara lain Perda No.1/2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang di KBU dan Perda No.22/2010 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Jawa Barat.

“KBU telah dijadikan sebagai kawasan lindung melalui beberapa peraturan. Namun, percuma saja bila peraturan yang telah dibuat itu diabaikan dan dilanggar oleh pemerintah setempat,” ujarnya kepada bisnis-jabar.com hari ini.

Bila KBU terus disalahgunakan, dia khawatir akan terjadi bencana seperti halnya bencana banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
Data sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, jumlah korban yang meninggal sebanyak tujuh orang. Setidaknya lima orang masih dinyatakan hilang dan dalam proses pencarian, serta lima orang lainnya mengalami luka berat dan dirawat di Puskesmas DTP Pamengpeuk.

“Oleh karena itu, kesadaran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi peristiwa bencana itu,” tuturnya. Akibat penyalahgunaan lahan di KBU, tutur dia, sejumlah bencana tanah longsor pernah terjadi di kawasan itu beberapa waktu lalu, seperti di Parongpong (KBB), Lembang (KBB), dan Dago (Kota Bandung). (Yanto Rachmat Iskandar)

Read More..

CITARUM BAGAI PELANGI

KOMPAS.com, 26 April 2011, Sandro Gatra, Hertanto Soebijoto
Foto: Roderick Adrian Mozes/KOMPAS IMAGES, Limbah di S. Citarum/22-3-2011
Dadan Ramdan, aktivis WALHI Jawa Barat, Sobirin anggota Dewan Pemerhati Kelestarian dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T.Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, menilai ada pembiaran pelanggaran oleh penegak hukum di Majalaya.





BANDUNG, KOMPAS.com - Tepat di bawah tembok belakang pabrik di Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, limbah tekstil berwarna merah keluar dari pipa kecil yang menghubungkan ke bagian dalam pabrik. Limbah berbusa itu terus mengalir bersamaan deru mesin pabrik. Limbah dari perusahaan yang tak bertanggung jawab itu lalu mengalir ke Sungai Ciwalengke, anak Sungai Citarum, yang melintas di belakang pabrik.

Limbah lalu bercampur dengan air sungai yang telah tercemar mulai dari hulu di sekitar Situ Cisanti, Bandung Selatan.
Pemandangan itu tak seberapa "ngeri". Sekitar dua kilometer dari lokasi itu, tepatnya di seberang Kampung Pondang, Kompas.com melihat kondisi yang jauh lebih memprihatinkan.

Limbah berwarna hitam pekat dan berbau keluar dari pipa selebar satu meter.
Air berwarna hitam pekat lantaran telah tercampur berbagai warna sisa celupan tekstil pabrik serta limbah rumah tangga. "Limbah keluar kadang malam, kadang siang. Warna limbah macem-macem, ada merah, hijau, biru, kadang kuning," Kata Adang Suhendar, petugas pemantau muka air setempat.

Air yang telah tercemar bahan kimia itu dimanfaatkan oleh sebagian warga untuk mandi, cuci, kakus. Warga hanya menyaring dengan tumpukan ijuk dan kain bekas. Akibatnya, warga harus berhadapan dengan penyakit kulit.


Dadan Ramdan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Sobirin Supardiyono anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, menilai ada pembiaran pelanggaran oleh penegak hukum di Majalaya.


Dadan mengatakan, sekitar 500 pabrik berdiri di beberapa daerah di hulu Citarum. Mayoritas adalah pabrik tekstil. Dari seluruh pabrik yang berdiri, kata dia, hanya 20 persen yang mengolah limbah melalui Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Sisanya langsung dibuang ke anak-anak Sungai Citarum.

Sobirin menambahkan, selain memindahkan kawasan industri dari Majalaya, solusi lain mengatasi pencemaran yang telah terjadi sejak belasan tahun lalu itu yakni dengan membangun IPAL terpadu seperti di kawasan Cisirung. "IPAL bersama untuk menampung 80 industri. Diawasi pelaksanannya oleh berbagai pihak," ucap dia. Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/04/26/11435489/Citarum.Bagai.Pelangi

Read More..

Saturday, May 07, 2011

INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT

Media Indonesia dan Bataviase.co.id, http://bataviase.co.id/node/458057
Foto: Komposter Aerob, Sobirin 2010

Kini Sobirin punya tujuh komposter di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang komposter anaerob dan satu komposter aerob. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang anaerob sengaja dibeton, agar tidak longsor, namun didalamnya tetap tanah telanjang.






INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT

14 Nov 2010, Lingkungan - Media Indonesia

Mereduksi sampah rumah tangga tak membutuhkan waktu sepanjang durasi film di bioskop per hari. Hasilnya, kompos dan bahan kerajinan daur ulang.
Sica Harum

Rumah berhalaman luas di kawasan Cigadung, Bandung, Jawa Barat, itu tampak senyap-segar. Beberapa pohon besar memayungi tanah yang berumput itu. Sejumlah pot tanaman diletakkan berjejer, dekat ke beranda. Salah satunya memuat tomat cherry kuning.
Di belakang rumah, pot tanaman bertambah banyak. Mulai cabai sampai sosin. Pernah juga, ditanam padi di dalam pot. Hasilnya bagus.

"Semua ini ya pakai kompos sendiri. Komposisi dengan tanah, setengah-setengah," kata Sobirin Supardiyono, pemilik rumah.
Ia mengaku bukan pecinta tanaman. "Ada tanaman itu, ya sebetulnya karena memanfaatkan kompos saja," katanya.

Pria berusia 66 tahun itu mulai mengolah sampah rumah tangga sejak Bandung dilanda tsunami sampah pada 2005. "Waktu itu Bandung sampai disebut kota terkotor. Nah, saya pikir kenapa enggak coba mengolah sampah rumah tangga," ujarnya.

Rata-rata keluarga menghasilkan sampah rumah tangga mulai dari 0,5 -2 kilogram per hari. Sebanyak 65% sampah tersebut merupakansampah basah, mulai dari daun kering sampai sisa makanan.
Lantaran itu, Sobirin fokus mengolah sampah organik. "Karena enggak tau ilmunya, setahun pertama saya gagal," ujar mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung ini.

Kini Sobirin punya tujuh tempat pembuat kompos di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang pembuat kompos metode anaerob dan satu komposter metode aerob yang terbuat dari batu bata. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang itu sengaja dibeton, agar tidak longsor. Namun bagian dalam lubang tetap berdindingkan tanah telanjang.


Sobirin melangkah mendekati salah satu lubang lalu meminta asistennya - ia panggil Ndut - membuka tutup lubang yang terbuat dari beton tipis, berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 60 cm. Terlihat tumpukan sampah daun, hampir mendekati mulut lubang berkedalaman 1 meter itu. "Nah, ada cecunguknya (kecoa). Bagus, bagus," ujar Sobirin, lalu memerintahkan Ndut untuk mengambil cairan MOL (mikro-organisme lokal).


Resep manjur

MOL buatan Sobirin disimpan di dalam tong plastik berkapasitas 25 liter, juga diletakkan di halaman depan. Ia membuat MOL sendiri dari campuran 2 kilogram tapai singkong, 1 kilogram gula, dan 5 gelas air kelapa muda yang dilarutkan dalam 25 liter air. "Bisa juga tanpa air kelapa. Tapi lebih bagus menggunakan air kelapa, atau bisa diganti dengan air nira."


Cairan itu dibiarkan empat hari. Tutup tong plastik dilubangi kecil-kecil untuk jalur udara. Lalu di atasnya ditutupi lagi agar rapi. Ketika tong itu dibuka, tercium bau khas alkohol. Ndut tangkas mengambil penyendok besar, menciduk MOL dan menumpahkan ke dalam lubang perlahan. "MOL ini berfungsi menguraikan bahan kompos. Tinggal dicampur saja saat kita mengaduk bahan kompos tiga hari sekali. Hasil-nya, satu bulan saja kompos sudah bisa dipanen. Tanpa MOL, sampah organik tetap bisa jadi kompos, tapi lama," jelas pria yang kini aktif di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ini.

Sobirin mendapat ilmu MOL dari seorang petani di Tasikmalaya, Jawa Barat. Menurutnya, MOL bisa juga dibuat dari sampah sisa makanan. "Campurannya ya jijiklah. Sekarang saya pakai peyeum (tapai singkong) saja. Saya juga ada urine kelinci, tapi ya baunya menyengat sekali," ujarnya sembari mendekat ke komposter aerob.


Komposter aerob milik Sobirin dibangun dari batu bata yang disemen. Sengaja, celah udara dibuat di dinding komposter setinggi satu meter. Pada bagian bawah, dibuat semacam gua untuk memanen kompos. Di atas, Sobirin menggunakan asbes sebagai penutup.
Saat asbes disingkap Ndut, tak tercium bau busuk, sama halnya dengan komposter anaerob.

Sobirin meminta Ndut menambahkan bahan kompos. "Kalau yang aerob seperti ini, bahan kompos harus dicacah lebih dulu. Makanya saya sebetulnya enggak terlalu suka dengan metode ini (aerob). Kalau yang itu kan langsung dimasukkan saja," kata Sobirin yang asli Magelang, Jawa Tengah, ini seraya menengok ke komposter anaerob.
Tak lama mencacah, Ndut lantas memasukkan irisan daun-daun kering berwarna cokelat, juga daun hijau. Perbandingannya, kira-kira 1:1.

Daun yang telah cokelat memiliki unsur karbon dan daun hijau mengandung banyak nitrogen, bagus untuk kompos. Dia juga menambahkan MOL, lalu mengaduk bahan kompos yang baru agar bercampur sempurna dengan tumpukan lama. Seekor cacing terlihat di lapisan bawah, menggeliat. Ndut mengambil saringan, mengayak kompos agar tersisa yang halus saja untuk media tanam.


Zero waste

Berhasil dengan kompos, Sobirin seperti keranjingan menihilkan buangan limbah rumah tangga. Sampah plastik ia cuci bersih sebelum diserahkan kepada pemulung. Adapun sampah kertas, dihancurkan menjadi bubur dan disimpan di dalam tong plastik. Kelak, bisa dicampur dengan lem putih dan dikeringkan menjadi bahan dasar kerajinan tangan. Sifatnya seperti “clay” (tanah lempung).

Ia bilang, cuma butuh 30 menit sehari untuk memilah sampah. Hasilnya, sampah yang benar-benar menjadi urusan dinas kebersihan kota hanyalah sampah elektronika, misalnya batu baterai bekas. "Waktu yang dibutuhkan enggak lama, milih sampah juga enggak susah. Tapi yang penting, ada satu anggota keluarga yang diserahi tanggung jawab," saran Sobirin.

Bukan cuma sampah yang digarap Sobirin. Begitu juga dengan air hujan. Di halaman belakang rumah Sobirin, toren (water storage) berkapasitas 1.000 liter (1 m3) siap memanen air hujan dari talang, diletakkan tak jauh dari kandang kelinci dan dua lubang komposter anaerob. "Sebetulnya sederhana saja kan, enggak ada yang aneh," kata ahli geologi lingkungan ini.


Pengalaman mengelola sampah sendiri dituliskan Sobirin di blognya, www.clearwaste.blogspot.com yang kini jarang diperbarui lagi. "Sekarang lebih aktif di facebook," ujar kakek lima cucu, yang juga menulis di www.sobirin-xyz.blosgpot.com. Berkat internet, semakin banyak orang yang terinspirasi. (M-l)miweekend® mediaindonesia.com

Read More..

Sunday, April 17, 2011

PENAMBANGAN PASIR BESI JABAR SELATAN RUSAK LINGKUNGAN

RRI Bandung, 14 April 2011, http://rribandung.co.id/ Lestari Justian
Foto: lintasberita.com

Sementara itu menurut pemerhati lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono, penambangan pasir illegal dari sisi lingkungan sudah jelas merusak lingkungan karena terjadi abrasi, amblasan, dan mundurnya garis pantai. Gubernur harus segera turun tangan karena kerusakan berdampak ke wilayah lain.







PENAMBANGAN PASIR BESI ILLEGAL DI JAWA BARAT SELATAN MERUSAK LINGKUNGAN

Sekjen Duta Sawala atau Masyarakat Adat Tatar Sunda, Eka Santosa menyatakan prihatin jika harus dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang memilukan karena kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa akibat penambangan pasir besi illegal di wilayah Jabar Selatan terutama di daerah Cipatujah dan Cikalong Kabupaten Tasikmalaya.


Dalam dialog RRI menyoroti penambangan pasir besi illegal di wilayah jabar selatan, Eka Santosa mantan Ketua DPRD Jawa Barat periode 2004-2009 ini menegaskan sebagai Sekjen Duta Sawala, dirinya mendapat amanat dari para sesepuh adat se Tatar Sunda yakni bagaimana menjaga tata nilai termasuk didalamnya yang berkaitan dengan kearifan lokal dan masalah lingkungan agar tetap dipertahankan antara kebutuhan manusia dengan keadaan alam.

“Jadi saya tidak tahu bagaimana awal berpikir pemerintah walaupun menurut undang-undang memang ada koridor hukum dimana bumi dan air atau kekayaan negeri ini digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat untuk kemakmuran rakyat dan kesejahteraan rakyat, namun demikian saya kira ada aturan main yang secara konstitusi diatur sedemikian rupa”.

Sementara itu menurut pemerhati lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono, penambangan pasir illegal dari sisi lingkungan sudah jelas merusak lingkungan karena terjadi abrasi, amblasan, dan mundurnya garis pantai. “Saya melihat Gubernur harus segera turun tangan karena kerusakan satu titik di pantai bisa merusak sampai kepada titik pantai yang lain, jadi pantai Cikalong dan Cipatujah itu rusak bisa berdampak sampai ke Ciamis di pantai Pangandaran segala, itu nanti terasanya setelah setahun,dua tahun dan seterusnya.
Kemudian penambangan di lahan masyarakat adat, dan ada juga yang di kawasan hutan, itu sangat memprihatinkan, karena berjalan terus walaupun SK penutupan dari Bupati sudah ada”.

Melihat kondisi tersebut, Sobirin yang juga aktifis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda DPKLTS, ini juga menegaskan bahwa para penyelamat lingkungan sering tidak digubris, seolah ada sesuatu, meskipun banyak masyarakat menyoroti pelanggaran terhadap lingkungan. Oleh sebab itu Sobirin menyarankan agar dicari akar permasalahannya,diantaranya mengapa kajian amdal maupun lingkungan strategis masih sangat lemah tetapi ijin sudah keluar. (Lestari Justian)

Read More..

Sunday, March 27, 2011

PENEGAKKAN HUKUM TAK JALAN DI CITARUM

KOMPAS.com, 26 Maret 2011, Sandro Gatra – Asep Candra
http://m.kompas.com/news/read/data/2011.03.26.0821295
Foto: komhukum.com/ Citarum Kotor

Demikian dikatakan Dadan Ramdan aktivis Walhi Jawa Barat, Sobirin anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang dengan Kompas.com di Bandung.



BANDUNG, KOMPAS.com - Penegakkan hukum terhadap perusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum dinilai tak berjalan. Pembiaran oleh pihak-pihak yang seharusnya menindak dinilai terus terjadi selama belasan tahun hingga kondisi Sungai Citarum memprihatinkan.

Demikian dikatakan Dadan Ramdan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Sobirin Supardiyono, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang-bincang dengan Kompas.com di Bandung.

Dadan mengatakan, sekitar 500 pabrik berdiri di beberapa daerah di hulu Citarum. Mayoritas adalah pabrik tekstil. Dari seluruh pabrik yang berdiri, kata dia, hanya 20 persen yang mengolah limbah melalui Instalasi Pengolah Air Limbah (Ipal). "Sisanya dibuang ke sub-sub DAS yang larinya ke Citarum," ucap dia.
Walhi, kata Dadan, pernah mendampingi tiga kasus pencemaran serius di Rancaekek, Majalaya, dan Saguling. Namun, tambah dia, tidak ada satu pun kasus itu yang masuk ke pengadilan. "Artinya penegakkan hukum untuk penjahat lingkungan sangat lemah," lontarnya.

"Komunitas peduli lingkungan berkali-kali laporkan pencemaran ke Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat. Tapi mereka tidak pernah melakukan penyelidikan secara serius. Mereka ke lapangan, tapi hasilnya disimpulkan tidak ada pencemaran. Padahal jelas-jelas kelihatan warna sungai berubah. Kepolisian tidak bisa lakukan apa-apa," tambahnya.

Sobirin
mengatakan, kebanyakan langkah dari BPLHD hanya memberikan teguran kepada para pengusaha yang terbukti melanggar. "Hanya surat teguran. Diikutin boleh, ngga diikutin boleh," ucap dia.
Akibat dari pembiaran atas laporan pencemaran, kata Sobirin, masyarakat semakin tak peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka. "Kini terjadi keputusasaan masyarakat. Ketika dia lapor tapi tidak ditanggapi, yah biarlah seperti ini," katanya.

Melihat pembiaran pencemaran sungai yang terus terjadi, Bachtiar mengatakan, "Kepala BPLHD bisa diajukan ke pengadilan,".
Dadan, Sobirin, dan Bachtiar mencurigai adanya suap dari para pengusaha nakal kepada pihak-pihak yang seharusnya menindak. "Masalah selesai ketika ada sogok atau suap dari pihak pabrik," tegas Dadan. (Penulis: Sandro Gatra, Editor: Asep Candra)

Read More..

Friday, January 28, 2011

SISTEM DRAINASE KOTA BANDUNG TAK LAYAK

Pikiran Rakyat ONLINE, Rabu, 01/12/2010, A-175/A-26
Foto: Sobirin, 2010, Cileuncang Jl Supratman Bandung

Sistem drainase di Kota Bandung saat ini dinilai tidak layak. Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin kepada "PRLM", Selasa (30/11) malam mengatakan, kondisi drainase di Kota Bandung saat ini tidak sebanding dengan pembangunan di Kota Bandung.



BANDUNG, (PRLM).-
Sistem drainase di Kota Bandung saat ini dinilai tidak layak. Kondisi drainase yang hanya dimiliki oleh 25% jaringan jalan di Kota Bandung, dianggap tidak akan pernah menyelesaikan persoalan banjir cileuncang yang semakin meluas.


Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono kepada "PRLM", Selasa (30/11) malam mengatakan, kondisi drainase di Kota Bandung saat ini tidak sebanding dengan pembangunan di Kota Bandung.

Dia memperkirakan, hanya sekitar lima persen air hujan yang mampu tertampung melalui saluran drainase. "Begitu hujan, ruas jalan yang menjadi jalan air," ujarnya.

Penghijauan yang kini gencar dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, kata dia, tak mampu mengurangi debit cileuncang. "Penghijauan bagus untuk dilakukan, tapi sayangnya tak mampu menangani cileuncang, karena harus ada sistem penanganan terpadu, mulai hal teknis sampai perubahan perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan," kata Sobirin.

Dia menekankan, perlu adanya peta drainase di Kota Bandung, untuk mempermudah penataan.

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kota Bandung Iming Ahmad mengatakan, saat ini pihaknya telah memiliki peta drainase. "Hanya saja datanya memang tidak memuaskan, makanya kami perlu membuat peta drainase yang lebih spesifik," katanya.Iming mengakui, dimensi drainase yang ada saat ini kurang dapat menampung air hujan. "Ada yang kurang lebar, dan ada juga yang kedalamannya kurang, tergantung kondisi jalan," ujarnya.

Saat ini, rata-rata lebar drainase di Kota Bandung hanya 50-80 cm, padahal idealnya sekitar 1 meter.Kondisi itu diperparah dengan adanya sampah yang menyumbat saluran air, sedimentasi sungai, dan penutupan saluran oleh pedagang dan kios-kios "nakal". Hal itu dikatakan Iming menjadi kendala pemeliharaan drainase.

DBMP Kota Bandung mencatat ada 68 titik genangan atau banjir cileuncang setinggi 10-50 sentimeter bila hujan lebat turun. Ketika itulah, hampir seluruh badan jalan terendam air berwarna cokelat dengan membawa beragam material sampah, tanah dan pasir kedalam gorong-gorong. (A-175/A-26)***

Read More..