Wednesday, April 30, 2008

BERAPA JUMLAH IDEAL PENDUDUK JAWA BARAT?

DPKLTS, 1 Mei 2008, Sobirin
Peta: Sobirin dan Tjoek 2007, Provinsi Jabar dan DAS Jabar
Oleh: Sobirin
Menurut BPLHD Jawa Barat (2002), potensi air Jawa Barat di waktu musim hujan 80 milyar m3/tahun, di musim kemarau hanya 8 milyar m3/tahun dengan kualitas buruk karena pencemaran. Musim penghujan menjadi bencana banjir dan longsor. Kemarau menjadi bencana kekeringan yang kerontang.



Menurut BPLHD Jawa Barat (2002), potensi air Jawa Barat di waktu musim hujan 80 milyar m3/tahun, di musim kemarau hanya 8 milyar m3/tahun dengan kualitas buruk karena pencemaran. Musim penghujan berlebihan tidak tertampung menjadi bencana banjir dan longsor. Musim kemarau tidak ada tabungan air, sangat kekurangan menjadi bencana kekeringan yang kerontang.

Mengacu kepada penelitian Dr. Salati (1998) seorang ahli hidrologi yang mendalami hutan Amazon di Brazilia, dikatakan bahwa rata-rata evapotranspirasi lahan dan hutan adalah sekitar 75 persen, maka analogi di Jawa Barat pada musim penghujan terjadi sekitar 60 milyar m3 ter-evapotranspirasi menjadi uap air kembali ke angkasa. Tinggal sekitar 20 milyar m3 air yang tersimpan didaratan menjadi air permukaan dan air tanah.


Penduduk Jawa Barat pada tahun 2008 ini diperkirakan sekitar 40 juta jiwa, belum termasuk makhluk hidup lainnya seperti kehidupan fauna dan floranya. Menurut Pusat Litbang Sumber Daya Air (2006) tentang kebutuhan dasar air manusia, baik untuk keperluan domestik, industri dan irigasi, disebutkan pesimistis sekitar 2.000 m3/orang/tahun, dan optimistik sekitar 5.000 m3/orang/tahun.

Berdasar ketersediaan sumber daya air ini, maka jumlah ideal pendududuk Jawa Barat dengan konsep pesimis hanya 10 juta jiwa, dan bahkan dengan konsep optimis hanya 4 juta jiwa. Padahal sekarang jumlahnya telah mencapai hampir 40 juta jiwa.

Daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan Jawa Barat telah melampaui batas
Luas Jawa Barat hanya 2% dari total luas Indonesia, potensi air tawar Jawa Barat hanya 2% dari total potensi Indonesia, tetapi jumlah penduduk Jawa Barat 20% dari total penuduk Indonesia

Bagaimana upaya? Harus segera ada political action, educational action, dan cultural action untuk memulihkan kawasan lindung Jawa Barat yang luasnya 45% bahkan lebih dari luas total Jawa Barat.

Read More..

Friday, April 25, 2008

KEARIFAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN KOTA

Workshop Nasional Pelestarian Lingkungan Kota
Cimahi 25-26 April 2008, Yayasan Bitari
Foto: http://www.cirrusimage.com/, Garengpung, muncul bulan Maret-April
Oleh: Sobirin
Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya sebagai suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH.



MENGGALANG KEMITRAAN
PELESTARIAN LINGKUNGAN KOTA

MELALUI GERAKAN KEARIFAN BUDAYA

Oleh: SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)


Workshop Nasional Pelestarian Lingkungan Perkotaan Tahun 2008
Penyelenggara Yayasan Bitari

Kota Cimahi, Jawa Barat, 25-26 April 2008



Batasan pembahasan


Semula judul yang diberikan panitia adalah “Memperkuat Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Budaya”. Bila diartikan kata demi kata adalah sebagai berikut:

Lingkungan Kota: adalah kesatuan ruang kota dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain yang berada di dalam dan di sekitar kota tersebut.

Pelestarian: adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Kemitraan: adalah kerjasama antar beberapa pihak disertai pembinaan dan pengembangan oleh pihak yang lebih mampu dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Memperkuat: membuat semakin kuat, sebelumnya dalam keadaan telah kuat kemudian dibuat lebih kuat.

Gerakan: perbuatan bergerak, proses menuju peralihan atau perubahan.

Kearifan: kebijakan, kepintaran, kepandaian, kecerdikan, kecerdasan
.
Budaya: adab, budi, pekerti, perilaku, cipta rasa, cipta batin
.

Kembali kepada judul yang diberikan oleh panitia, secara harifiah dapat diartikan: “membuat semakin kuat mengenai kerjasama antara beberapa pihak pelaku dalam rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan kesatuan ruang kota dan seisinya melalui proses perubahan perilaku warga kota”
.

Istilah memperkuat dapat diartikan bahwa sudah ada kemitraan tetapi dianggap kurang kuat kemudian dibuat semakin kuat. Padahal dari pengamatan selama ini, penulis menganggap bahwa “kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan budaya” masih belum muncul. Oleh sebab itu penulis mengganti judul menjadi “Menggalang Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Kearifan Budaya”, dengan didahului kata “menggalang” yang artinya membangun atau menegakkan.


Kota adalah Kita


Kota adalah Kita, City is Citizen, City is People, wajah sebuah Kota adalah cermin perilaku warganya. Tunjukkanlah padaku sebuah kota, maka aku akan tahu seperti apa kepemimpinan birokrasinya, seperti apa perilaku warganya, dan seperti apa perangai dunia usahanya.


Sebuah kota yang ideal memiliki infrastruktur alami atau mendekati alami dan infrastruktur buatan. Infrastruktur alami atau mendekati alami berfungsi sebagai pelindung kota, menjaga iklim mikro kota, misalnya ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, sungai dalam kota dan danau dalam kota. Sedangkan infrastruktur buatan berfungsi sebagai sarana prasarana perekonomian Kota, misalnya jalan, jembatan, drainase, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sejenisnya. Infrastruktur alami atau mendekati alami disebut sebagai “city’s natural hardware”, sedangkan infrastruktur buatan disebut sebagai “city’s man made hardware”.


Baik “city’s natural hardware” maupun “city’s man made hardware” diselenggarakan dan dipelihara secara proporsional oleh seluruh warga kota sebagai “city’s human ware” atau “city’s heart ware” atau “city’s software”. Sebuah kota dapat diibaratkan seekor siput dengan cangkangnya. Warga yang tidak peduli terhadap kota-nya, bagaikan siput yang sedang merusak cangkangnya sendiri.



Siapa Kita?


Kita sering mengucapkan istilah “stake holders” yang kita tujukan kepada mereka yang berperan dalam penyelenggaraan keberadaban wilayah atau kota. Banyak yang beranggapan bahwa “stake holders” ini hanya dari kalangan birokrasi, karena golongan birokrasi ini adalah golongan yang sedang “berkuasa” dalam pemerintahan. Sehingga muncul anggapan bahwa golongan yang bukan birokrasi hanyalah warga biasa yang tidak jelas perannya, dan bahkan sering dikatagorikan sebagai “obyek” pembangunan.

Kalau kita mengamati seluruh warga kota, kita dapat mengelompokkan warga kota ke dalam beberapa golongan, sebagai berikut:

“Space holders”: mereka yang menghuni, baik yang legal maupun illegal
“Knowledge holders”: mereka yang memiliki pengetahuan

“Share holders”: mereka yang merasa sebagai pemilik waris
“Interest holders”: mereka yang bermaksud mengambil keuntungan
“Status holder”: mereka yan terlibat karena aturan jabatan

Multi holders yang heterogen tersebut di atas, yang nota bene juga memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda, adalah merupakan warga kota yang diharapkan sebagai satu kesatuan “citizen” yang seharusnya berfungsi sebagai “city’s heart ware”.

“Space holders” juga beragam, ada kelompok yang masih menganut paham kearifan tradisional, ekosentris, sederhana, terbuka, berbasis alam sekitar, dan ada pula kelompok modern, antroposentris, konsumtif, tertutup. Berapa persen jumlah masing-masing kelompok tersebut dalam sebuah kota? Umumnya tergantung dari locus kota.

Berdasar pengamatan, kota di kawasan lindung atau pedalaman yang belum terkontaminasi oleh banyak pendatang, kelompok yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak dan bisa mencapai 75% dari total warga kota, dan yang menganut paham modern hanya 25% itupun kebanyakan pendatang. Untuk kota di kawasan budidaya, kelompok yang menganut paham tradisional mungkin kurang dari 25%, dan sisanya lebih dari 75% menganut paham modern yang konsumtif dan antroposentris.



Pelestarian Lingkungan Kota dan Penataan Ruang Kota


Salah satu upaya pelestarian kota adalah dengan membangun kembali iklim mikro kota antara lain dengan membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diamanatkan bahwa penataan ruang kota harus menyiapkan RTH minimum seluas 30% dari total luas kota, yang terdiri dari 20% di siapkan oleh pemerintah dan yang 10% disiapkan oleh warga atau privat.


Fungsi RTH adalah sebagai sarana bagi warga kota untuk berinteraksi, sedangkan manfaat RTH adalah untuk membangun iklim mikro kota, sarana pendidikan dan penelitian, sarana rekreasi dan aktivitas sosial, menumbuhkan rasa kebanggaan kota, meningkatkan nilai prestise kota, ruang evakuasi dalam keadaan darurat.


Membangun RTH tidak sekedar menunjuk suatu lokasi dan menanaminya dengan pepohonan. Membangun RTH harus disesuaikan dengan bentang alam kota berdasar aspek biogeografis yaitu kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan. Selain itu RTH juga harus disesuaikan dengan struktur ruang kota dan estetika. RTH harus dapat mencerminkan budaya setempat yang bernilai ekologis dan historis. Jadi RTH adalah ruang yang benar, di lokasi yang benar, dengan tanaman dan pepohonan yang benar.



Kearifan Budaya Menjelang Ajal


Kearifan budaya sifatnya universal, istilah dan bentuknya mungkin berbeda untuk berbagai belahan bumi, tetapi pemahaman tetap satu, yaitu bahwa alam ini adalah sahabat kehidupan.


Penulis akan memberi contoh tentang kearifan budaya di wilayah Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten), yaitu tentang “tri tangtu di buana” atau “pitutur tilu”, atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia adalah “tiga ketentuan di bumi” atau “nasihat tiga hal”, yaitu: “tata wilayah” (atau tata ruang, tata wilayah, tata kawasan), “tata lampah” (atau tata laku), dan “tata wayah” (atau tata waktu).


“Tata wilayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita paham betul bagaimana mengelola kawasan untuk kesejaheraan warga dan kelestarian lingkungan, antara lain yaitu: gunung ditanami pepohonan, tebing ditanami bambu, tanah kosong dijadikan kebun, bukit untuk wanatani, dataran untuk sawah, mata air di pelihara, sungai di rawat dan sebagainya. Mereka sangat patuh terhadap aturan yang tidak tertulis tersebut, dan bahkan merupakan pantangan yang bila dilanggar akan mendapat musibah atau bencana.

“Tata lampah” menunjukkan bahwa komunitas nenek moyang kita adalah sangat akrab dan akur satu sama lain, mampu mengurus desa, taat dan patuh kepada hukum yang dibuat oleh komunitasnya.

“Tata wayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita sangat menghargai waktu, walaupun jaman dulu belum ada arloji atau jam tangan. Nenek moyang kita menandai waktu dengan istilah-istilah khusus ketika matahari terbit, matahari tepat di atas langit, matahari di ufuk barat, matahari terbenam. Demikian juga di kala malam menjelang pagi ditandai dengan bunyi ayam jantan berkokok. Semua itu memiliki istilah-istilah khusus sendiri-sendiri sebagai penanda waktu.

“Tata wayah” ini tidak hanya dalam skala harian, tetapi juga bulanan dan tahunan, yang kemudian menjadi kalender tradisional yang menerangkan pemahaman siklus alam disekitar tempat tinggal nenek moyang dari waktu ke waktu. Kalender tradisional ini menjadi patokan penanda waktu kehidupan bagi nenek moyang kita. Kapan waktu harus bercocok tanam, kapan suatu jenis pohon berbunga dan berbuah, perilaku hewan setiap waktu, ke mana arah angin pada suatu waktu, semua menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan antara alam dan nanek moyang waktu itu.

Di beberapa tempat di Indonesia masih ada satu atau dua pemahaman kearifan tradisional ini dalam bentuk kalender tradisional, baik yang berbasis posisi bulan terhadap bumi, posisi matahari terhadap bumi, maupun posisi bintang terhadap bumi. Beberapa kalender tradisional yang menarik untuk dikaji dan digali kembali manfaatnya antara lain “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat dan Banten, “wariga” di Bali.


Dapat diyakini bahwa setiap daerah di Indonesia ini memiliki kearifan budaya yang sama seperti tersebut di atas sebagai peninggalan nenek moyang masing-masing daerah. Sebagian telah hilang, punah oleh kemajuan jaman, sebagian masih tersisa sepotong-sepotong menunggu ajal, karena sedikit sekali peninggalan tertulis dari nenek moyang kita. Selain itu banyak yang mengatakan bahwa kearifan tersebut tidak cocok lagi dengan kondisi iklim sekarang yang telah banyak berubah.



Kearifan Alam Penanda Waktu dan Iklim Mikro Kota

Kalender tradisional seperti “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat, diyakini pasti ada di daerah-daerah lain di Indonesia dengan nama-nama yang lain.


Kalender tradisional terutama yang berbasis posisi matahari terhadap bumi ini tentu berbeda karakternya antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena Indonesia sangat luas terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur. Perilaku alam, baik fauna dan flora di setiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu masing-masing daerah seyogyanya perlu menggali kembali kearifan budaya ini untuk membangun dan menghayati iklim mikro di daerah masing-masing.


Sebagai gambaran, penulis mengambil contoh Pulau Jawa yang memiliki posisi 7 sampai 8 derajat lintang selatan, memiliki karakter fauna dan flora yang dapat dipakai sebagai pegangan membangun iklim mikro. Jenis-jenis pepohonan tertentu bisa dipakai sebagai penanda waktu untuk memperkaya dan menghayati RTH, misalnya:


Sekitar bulan Juni sampai Agustus:
jambu, durian, manggis, nangka sedang berbunga
jeruk, sawo kecik sedang berbuah
telur binatang melata seperti ular mulai menetas

Sekitar bulan September sampai Oktober:

kepel (burahol), asam, bungur sedang berbunga

durian, randu, petai mulai berbuah

binatang: burung pipit bersarang, binatang berkaki empat kawin

Sekitar bulan Oktober sampai November:
pohon asam berdaun muda
mangga, durian, cempedak mulai berbuah

binatang melata keluar dari sarang, lalat bertebaran


Sekitar bulan November sampai Desember:
mangga, durian, rambutan berbuah masak
lipas dan kumbang air berkembang biak di parit-parit


Sekitar bulan Desember sampai Februari:

sawo manila berbunga

durian, kepundung, salak, sirsak, kelengkeng, gandaria berbuah
burung-burung sulit mencari makan, kunang-kunang bertebaran


Sekitar bulan Maret sampai April:

durian, kawista berbunga

kepundung, advokat, duku berbuah
tonggeret dan jengkerik berbunyi, burung berkicau mengerami telurnya

Sekitar bulan April sampai Mei:

umbi-umbian siap dipanen

telor burung menetas


Sekitar bulan Mei sampai Juni:

nanas, kesemek berbuah


Catatan tersebut perlu dikaji dan dikembangkan lebih mendalam kembali, karena setiap daerah memiliki karakter fauna dan flora yang berbeda.



Menggalang Kemitraan Gerakan Kearifan Budaya


Seyogyanya ada pihak yang berminat melakukan penelitian lanjutan tentang kaitan antara kearifan budaya kalender tradisional dengan unsur-unsur meteorologi, kaitan sifat masing-masing bulan dengan radiasi matahari, lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban, curah hujan, ancaman angin ribut, dan lain-lainnya.

Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal mikro atau lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH. Apalagi bila kalender tradisional ini bisa benar-benar dikembangkan menjadi kalender fenologi, yaitu mengkaitkan antara proses yang terjadi secara periodik pada flora dan fauna dikaitkan dengan cuaca dan lingkungan sekitar, akan lebih besar lagi manfaatnya.

Hal itulah yang menjadi alasan untuk “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”. Ada dua hal yang dapat diselamatkan, yaitu pelestarian lingkungan kota dan menyelamatkan budaya warisan nenek moyang.

Untuk kota di kawasan lindung atau pedalaman dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak akan lebih mudah dalam menggalang kemitraan, karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin.

Namun, akan lain halnya dengan kota di kawasan budidaya dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan budaya hanya beberapa gilintir saja. Sebagian besar warga kota di kawasan budidaya hanya ingin gampangnya saja dan tidak mudah untuk diajak guyub. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi dan rembug warga melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek, berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung, PKL, dan sejenisnya.



Kontrak Ekologi

Gerakan kearifan budaya ini tidak akan berhasil bila tidak ada “political will” dari pemerintah, dan juga diperlukan langkah nyata dalam bidang pendidikan lingkungan kota, baik formal maupun informal.


Diperlukan paling tidak 6 langkah dalam “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”, yaitu:


Trust (kepercayaan): membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa pelestarian lingkungan kota dapat dicapai dengan cara menggalang kemitraan gerakan kearifan budaya.

Awareness (kesadaran): menggugah kesadaran dan kepekaan terhadap pentingnya kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.

Interest (keuntungan): menggali keuntungan bersama berbasis kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.

Decision (keputusan): membuat keputusan bersama berupa kontrak moral atau kontrak ekologi menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.


Action (tindak nyata): melaksanakan kontrak moral kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.


Culture (budaya): Berperilaku arif, guyub dalam kemitraan pelestarian kota, menjadi “city’s heart ware” menuju kota yang bermartabat dan berkelanjutan.


Pustaka


Indrowuryanto. 1999. Pranata Mangsa Dalam Aktivitas Pertanian di Jawa. Petani merajut tradisi era globalisasi. Editor: Kusnaka Adimihardja. Humaniora Utama Press Bandung.

Sobirin. 2006. Kala Sunda dan Antisipasi Bencana. Bandung: Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.


Sobirin. 2006. Kala Sunda Kala Lingkungan Hidup, Diskusi Terbatas tentang Kala Sunda di Institut Teknologi Bandung, 18 Januari 2006.


Sobirin, 2007, Tragedi Kawasan Lindung dan Hilangnya Hak Azasi Alam, Sundalana, Majalah Budaya dan Ilmiah Sunda, Seri Menyelamatkan Alam Sunda.

Read More..

Tuesday, April 22, 2008

PANAS BUMI: JANGAN TONJOLKAN EKONOMI SAJA

PENDAPAT MEREKA TENTANG PANAS BUMI
Pikiran Rakyat, 22 April 2008, Catur Ratna Wulandari
Foto: www.inforse.dk, Geothermal Power Plant, USA
Sobirin Supardiyono, DPKLTS: Masyarakat masih awam terhadap panas bumi untuk dikelola menjadi energi alternatif sehingga muncul kehawatiran. Terutama, karena pada umumnya lokasi geotermal berada di daerah sensitif, baik secara alam maupun sosial.


Padahal, konsep pengelolaan panas bumi harus mampu menggunakan konsep "3P". P (pertama) "for people", untuk kesejahteraan rakyat. P (kedua) "for profit", untuk memberikan keuntungan kepada daerah. P (ketiga) "for planet", untuk kelestarian lingkungan.


Namun, selama ini undang-undang kita cenderung masih menonjolkan ekonomi saja dan meninggalkan kesejahteraan rakyat serta lingkungan. Oleh karena itu, saya sangat setuju jika ada pengawasan terhadap regulasi yang ada.

Sering kali dalam menerjemahkan kebijakan tidak ada pengawasan sehingga terjadi gap antara konsep dan pelaksanaannya. Ini yang menyebabkan operasionalnya gagal jika dibandingkan dengan konsepnya.


Satu lagi, kita sering melupakan "kekuasaan" ekologi. Padahal kalau alam rusak, atau penataannya tidak benar akan menimbulkan bencana. Oleh karena itu, sumber daya alam harus dimanfaatkan dengan asas kehati-hatian, termasuk tidak lupa meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lingkungannya. (Catur Ratna Wulandari)***

Read More..

Monday, April 21, 2008

HIDUP TANPA SAMPAH TERKENDALA SIKAP FEODAL

DAGO WALKING DAY DIGELAR MINGGU PAGI
KOMPAS, Jawa Barat, 21 April 2008, YNT
Gambar: Sobirin, 2008, logo blogspot clearwaste

Kampanye hidup tanpa sampah juga dilakukan Sobirin dari DPKLTS. Ia mengampanyekan pemanfaatan sampah melalui blog di internet, yaitu http://clearwaste.blogspot.com. Dalam enam bulan, blog tersebut telah dikunjungi sebanyak 26.000 pengunjung.



Bandung, Kompas - Hidup tanpa sampah atau zero waste bukan hal mudah untuk dikampanyekan di Indonesia. Paradigma masyarakat Asia, termasuk Indonesia, yang masih feodal membuat gerakan penyadaran akan pentingnya lingkungan bersih tanpa sampah sulit diterapkan. Hal itu diungkapkan David Sutasurya, pendiri Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Minggu (20/4) di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), dalam acara Dago Walking Day. Acara yang diprakarsai Republic of Entertainment itu digelar untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh pada Selasa besok.

Dago Walking Day diikuti lebih dari 100 orang yang terdiri dari mahasiswa dan keluarga. Peserta berjalan kaki dari Taman Cikapayang di Jalan Ir H Djuanda menuju Sabuga di Jalan Tamansari. Peserta juga diajak menanam pohon. Di sepanjang perjalanan mereka diharuskan memunguti sampah. Ironisnya, pada acara itu justru tampak beberapa peserta membuang sampah berupa gelas air mineral dan dus makanan di sembarang tempat di Sabuga.


Kampanye budaya hidup bersih tanpa sampah, menurut David, memang sulit dilaksanakan sampai tingkat komunitas formal seperti rukun warga atau rukun tetangga. Penyebab utamanya adalah paradigma dalam masyarakat bahwa sampah adalah urusan pemerintah. Pemerintah pun mengambil peran terlalu besar mengurusi sampah.


Pengelolaan sampah, lanjutnya, berkaitan erat dengan budaya dan pendidikan sebuah negara. Ia mencontohkan negara seperti Singapura, China, Amerika serikat, dan negara-negara di Eropa yang secara ekonomi memiliki kesetaraan. Akan tetapi, dalam pengelolaan lingkungan, negara Eropa lebih maju karena budaya dan pendidikannya lebih baik.


Menurut dia, negara di Asia terkenal sebagai negara kaya, tetapi masyarakatnya feodal. "Mereka maunya tinggal bayar dan semua beres. Budaya ini pun berlaku di Indonesia," kata David.
Menghadapi kondisi seperti itu, YPBB mengatur strategi baru dalam mengampanyekan zero waste.

Strategi tersebut adalah menyasar kalangan menengah atas perkotaan melalui kegiatan Zero Waste.
Mereka mengampanyekan zero waste dalam konser musik, pesta ulang tahun, pernikahan, dan lain-lain. "Dalam acara tersebut kami menawarkan acara yang menggunakan konsep tanpa sampah atau tidak menggunakan barang yang tidak dapat didaur ulang oleh alam," papar David.

Lewat "blog"


Kampanye hidup tanpa sampah juga dilakukan Sobirin dari DPKLTS, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda. Ia mengampanyekan pemanfaatan sampah dengan melalui blog di internet, yaitu http://clearwaste.blogspot.com. Dalam enam bulan, blog tersebut telah dikunjungi sebanyak 26.000 pengunjung. Selain itu ia juga memiliki blog lingkungan www.sobirin-xyz.blogspot.com.
Sobirin memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan kompos yang berguna bagi pertanian rumah tangga atau pertanian independen, misalnya dalam penanaman stroberi, padi dalam pot, dan kangkung untuk konsumsi domestik. Melalui pendekatan ekonomi independen rumah tangga, banyak orang tertarik mempelajari hidup tanpa sampah. (ynt)

Read More..

Sunday, April 20, 2008

20% POTENSI PANAS BUMI ADA DI JABAR

Pikiran Rakyat, 20 April 2008, CA-170/CA-187
Gambar: www.garut.go.id, Energi Panas Bumi
Pemanfaatan energi panas bumi, menurut pemerhati lingkungan Sobirin, harus berbasis pada tiga hal, yaitu people, profit, dan planet. People berarti harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Profit, mendatangkan keuntungan bagi daerah. Planet, harus tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya.



BANDUNG, (PR).- Sudah saatnya Jawa Barat terlepas dari ketergantungan terhadap energi fosil yang semakin hari semakin menipis. Potensi panas bumi yang luar biasa di Jabar, yakni 20% dari seluruh potensi yang ada Indonesia, sudah saatnya dioptimalkan. Sementara untuk mengembangkan potensi tersebut, dibutuhkan regulasi, tidak hanya melindungi energi panas bumi, tetapi juga sistem ekologinya.

Hal itu mengemuka dalam diskusi "Pengelolaan Energi Panas Bumi" yang diprakarsai Bandung Spirit di Aula Pikiran Rakyat, Jln. Asia Afrika 77 Bandung, Sabtu (19/4). Pembicara dalam diskusi tersebut, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) M.T. Zen, Kepala Distamben Jabar Tb. Hisni, Pemerhati Lingkungan Sobirin Supardiyono, aktivis Bandung Spirit Darmawan Dayat Hardjakusumah (Acil Bimbo), dan Oekan S. Abdoellah dari Lemlit Unpas Bandung . Diskusi yang juga diikuti para aktivis dan pemerhati lingkungan tersebut, dibuka Pemimpin Umum Pikiran Rakyat H. Syafik Umar dengan moderator Dede Mariana.


M.T. Zen mengungkapkan, dengan potensi panas bumi yang sangat besar, Jabar, khususnya Bandung, bisa menjadi pusat pengembangan teknologi geothermy dunia. "Biar nanti para ahli dari negara lain yang mau mengembangkan geothermy datang dan belajar ke Bandung," tuturnya.
Namun demikian, Zen mengingatkan perlunya pemeliharaan sistem ekologi di sekitar kawasan pembangkit tenaga panas bumi. Hal ini karena geothermy merupakan bagian dari sistem hidrologi di sekitarnya. "Jika sistem ekologi hancur, sistem hidrologi akan ikut hancur, sistem geothermy-nya juga akan hancur," katanya.

Berbasis tiga hal


Dengan demikian, pemanfaatan energi panas bumi, menurut pemerhati lingkungan Sobirin Supardiyono, harus berbasis pada tiga hal, yaitu people, profit, dan planet. People berarti pemanfaatan panas bumi harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Profit berarti pengelolaan panas bumi juga bisa mendatangkan keuntungan bagi daerah. Sementara planet, berarti pemanfaatan panas bumi harus tetap memerhatikan lingkungan sekitarnya.


Sobirin menambahkan, sejauh ini pengoptimalan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia selalu gagal dalam tahap operasional. "Ada gap antara konsep dengan operasional. Konsepnya selalu sukses, tapi tidak dengan operasionalnya," katanya.
Menurut dia, hal ini disebabkan lemahnya fungsi pengawasan dari pemerintah. "Artinya, diperlukan pengawasan dari regulasi yang sudah ada," ujar Sobirin.

Ditambahkan pula, tidak jarang peraturan pemerintah daerah berbeda dengan pemerintah di tingkatan yang lebih tinggi. "Misalnya perda tata ruang di kabupaten dan kota, tidak seiring dengan perda provinsi. Misalnya, provinsi mengatakan suatu wilayah sebagai kawasan lindung, namun di kabupaten dan kota menjadi kawasan pertambangan," tutur Sobirin mencontohkan.


Sebelumnya Zen juga mengemukakan, pentingnya melakukan kemitraan dengan DPRD, pemerintah daerah, dan dinas yang terkait, seperti Dinas Pertambangan dan Energi serta dunia industri. (CA-170/CA-187)***

Read More..

Thursday, April 17, 2008

FUNGSI UNIVERSAL AIR TERKIKIS

MENYAMBUT HARI BUMI: BANDUNG MENGALAMI KRISIS AIR
KOMPAS, Jawa Barat, 17 April 2008, YNT
Foto:Modifikasi dari Sinar Harapan, Air Kemasan

Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.



BANDUNG, KOMPAS –
Kondisi air di Jawa Barat sudah kritis. Akan tetapi, sebagian masyarakat belum merasakannya karena terbuai oleh komersialisasi air.


Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.

“Ada yang mengatakan Kota Bandung belum mengalami krisis air. Buktinya, jika dia haus, dia bisa dengan mudah membeli air mineral dengan harga murah,” ujar Sobirin.

Padahal, dari kondisi alam dan ketersediaan air di alam, krisis itu sudah terjadi. Ia menyebutkan, Jawa Barat memiliki 3,7 juta hektar atau 2 persen luas Indonesia. Namun Jawa Barat diisi 20 persen penduduk Indonesia, sehingga antara jumlah penduduk dan lingkungan lahan sebagai sumber tersedianya air tawar tidak seimbang.

Jika dilihat dari kebutuhan dasar pesimis, seperti mandi, masak, dan minum, setiap orang membutuhkan 2.000 meter kubik air per tahun. Dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan air, jumlah penduduk ideal Jawa Barat adalah 10 juta orang. Kenyataannya, saat ini Jawa Barat berpenduduk sekitar 40 juta jiwa.

Berdasarkan kebutuhan air optimis, seperti untuk kebutuhan listrik, dibutuhkan 5.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah kebutuhan ini ideal untuk Jawa Barat jika penduduknya hanya berjumlah 4 juta jiwa.

Ciri lain krisis air adalah terjadinya kekeringan di bidang pertanian dan perkotaan. Kekeringan perkotaan sangat tidak terasa, karena terpenuhinya air dari perdagangan air.

Kearifan adat

Untuk menumbuhkan budaya merawat air, masyarakat modern perlu mencontoh kearifan masayarakat adat. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Nanu Muda, Rabu, mengatakan masyarakat tradisi di Jawa Barat telah mengenal cara melestarikan air.

Mereka memahami bahwa fungsi air universal. “Air bagi masyarakat modern hanya sebatas alat pemenuh kebutuhan minum. Padahal, di masyarakat tradisi, air berfungsi universal dan memperlihatkan siklus kehidupan,” paparnya.

Bagi masyarakat tradisi, hulu sungai merupakan penyedia air untuk minum, daerah tengah untuk mandi dan mencuci, dan hilir sungai untuk memandikan ternak. Air pemandian ternak dialirkan ke irigasi sehingga kotoran dari ternak yang dibersihkan dapat berfungsi juga untuk pupuk.

Masyarakat adat pun mengajarkan pendidikan pelestarian lingkungan melalui ritual adat, misalnya mapag cai atau kawin cai.

“Orang modern meninggalkan budaya lokal dalam melestarikan air. Mereka merasa tenang bahwa air masih ada dan mudah dibeli. Padahal, apa yang dilakukan masyarakat tradisi sangat rasional dan dapat dijelaskan secara logis, serta ditujukan demi tersedianya air untuk seluruh masyarakat,” kata Nanu. (YNT)

Read More..

Wednesday, April 16, 2008

DINAMIKA WILAYAH: "BABAKAN" SEMAKIN PADAT

Pikiran Rakyat, 17 April 2008, Endah Asih/ Mega Julianti
Foto: Endah Asih, PR, 17-04-2008, Satu Sudut Babakan Tarogong


Secara geografis, Babakan Ciparay terletak di barat daya Kota Bandung dengan ketinggian +690 m hingga +700 m di atas muka laut. Menurut anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, kawasan ini merupakan dataran rendah, dulunya diyakini berhabitat lahan basah, berupa rawa-rawa, ataupun persawahan.




Suasana di salah satu tempat pemungutan suara (TPS) di Kec. Babakan Ciparay, Minggu (13/4) pagi itu ramai. Tak heran jika momen seperti itu dimanfaatkan oleh warga asli dan pendatang untuk bercampur baur. Keadaan ini tentu jauh berbeda dengan beberapa ratus tahun lalu, ketika kawasan Babakan Ciparay hanya dihuni oleh keturunan asli.


Dari foto yang dijepret oleh Endah Asih (PR, 17-04-2008), terlihat salah satu sudut Kelurahan Babakan Tarogong, Kota Bandung. Meski mengambil nama Tarogong, jumlah warga keturunan asli leluhur yang berasal dari Tarogong, Garut tersebut hanya tersisa tidak lebih dari 30%. Warga lama pun sudah berbaur dengan pendatang.


Menurut salah seorang warga asli, Muhtar Budiman (44), berdasarkan cerita dari leluhur, ada tiga orang yang pertama kali menempati Babakan Ciparay, yaitu Mbah Agung dari Ciwidey, Mbah Balung Tunggal dari Ciparay, dan Mbah Jalu Papayung Nagara. Keturunan dari merekalah yang menjadi penduduk Babakan Ciparay berikutnya.

Arti babakan dalam bahasa Sunda sendiri adalah "kampung baru". Kata "ngababakan" artinya membuka kampung baru atau membuka daerah baru. Di Kota Bandung tidak kurang dari 25 kawasan atau jalan yang menggunakan kata "babakan", seperti Babakan Ciamis, Babakan Cianjur, Babakan Surabaya, Babakan Sumedang, Babakan Ciparay, dan Babakan Tarogong.

Secara geografis, Babakan Ciparay terletak di barat daya Kota Bandung dengan ketinggian sekitar +690 m hingga +700 m di atas permukaan laut. Menurut anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin Supardiyono, kawasan ini merupakan dataran rendah, yang dulunya diyakini berhabitat lahan basah, sebagai rawa-rawa, ataupun persawahan. Sebagai perbandingan, kawasan Sangkuriang, Simpang Dago ketinggiannya +790 m hingga +800 m, yang lebih berhabitat lahan kering.

Saat ini, Kecamatan Babakan Ciparay terdiri atas 6 kelurahan, yaitu Sukahaji, Babakan, Margahayu Utara, Margasuka, Cirangrang, dan Babakan Ciparay. Dengan luas lahan sekitar 745,5 hektare, Kec. Babakan Ciparay ditempati 86.771 warga. "Kini jumlah antara warga asli dan pendatang berimbang, sekitar 50 banding 50," ucap Muhtar. Warga pendatang yang memadati Babakan Ciparay mayoritas berasal dari Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Ciamis, dan Cianjur.


Selain jumlah pendatang, mata pencaharian penduduk Babakan Ciparay juga mengalami pergeseran. Menurut Sekretaris Camat Babakan Ciparay, Iwa Kartiwa, dulu mayoritas penduduk bercocok tanam. "Sekarang di sini (Babakan Ciparay-red.) banyak terdapat pengusaha tahu," ujar Iwa.
Awalnya, sekitar tahun 1940-an banyak pengusaha tahu yang datang dari Tasikmalaya yang menetap di Bandung.

"Ada sekitar 470 industri kecil yang hidup di Babakan Ciparay," tutur Iwa.
Sebelum dilakukan pemekaran wilayah sekitar 1980 lalu, Kecamatan Babakan Ciparay meliputi daerah Cirangrang, Kopo, Sukahaji, Holis, hingga ke Jamika. Kini ada beberapa wilayah yang masuk dalam Kec. Bojongloa Kaler seperti Kelurahan Babakan Asih dan Babakan Tarogong.

Babakan Tarogong

Menurut Lurah Babakan Tarogong Nawan Ruswan, dengan luas sekitar 54,2 ha, Babakan Tarogong memiliki jumlah penduduk 21.593 orang. "Sebanyak 346 kepala keluarga di antaranya merupakan penduduk musiman, berasal dari Garut, Tasikmalaya, Padalarang, Majalengka, dan Majalaya," ujar Nawan.

Mengenai jumlah penduduk yang masih merupakan keturunan asli leluhur yang berasal dari Tarogong, Garut tersebut, menurut Nawan, hanya tersisa sedikit. "Paling hanya tersisa 30%," ungkap Nawan. Sementara itu, Suhada (75), tokoh masyarakat Babakan Tarogong menceritakan pada awalnya kondisi daerah tersebut masih sepi dan didominasi daerah persawahan. "Jalan di sini belum diaspal, masih dari tanah. Bahkan setelah turun hujan, orang-orang lebih hati-hati saat berjalan karena tanahnya licin dan lengket," katanya.

Selain itu, Suhada juga mengatakan kondisi Babakan Tarogong saat awal kedatangannya pada 1985 merupakan daerah yang tidak aman. "Banyak perampok yang menggunakan senjata tajam. Orang takut, jika melewati daerah ini," tuturnya.
Namun, kondisi itu tidak akan ditemui lagi di daerah ini. Daerah ini sekarang sudah aman, tidak banyak terjadi tindak kejahatan. Pendatang yang sudah banyak masuk pun bisa memberikan nuansa baru yang lebih baik lagi untuk kehidupan dan pembangunan di daerah ini.

Menurut Sobirin Supardiyono, pertambahan masyarakat di kampung-kampung baru seperti Babakan Ciparay dan Babakan Tarogong tersebut seiring dengan sejarah Kota Bandung yang mulai berkembang pada zaman pendudukan oleh bangsa Belanda. Banyak masyarakat dari luar daerah masuk ke Kota Bandung dan sekitarnya karena menginginkan kebutuhan yang lebih baik, dan kemudian membangun kawasan permukiman yang mengelompok sesama warga sedaerah asal-usul.

Mengenai aspek lingkungan, menurut Sobirin, pada awal terbangunnya kawasan baru waktu itu belum banyak terjadi masalah lingkungan. "Belum terjadi banjir dan "cileuncang" pada musim hujan, lalu belum terjadi kekeringan akibat kurang air pada musim kemarau, karena waktu itu Bandung masih memiliki banyak kawasan lindung dan penduduknya masih sedikit," kata Sobirin.

Sebagai gambaran, penduduk Bandung pada 1920-an hanya sekitar 250.000 jiwa. Kini penduduk Bandung telah mencapai 3 juta jiwa.
"Penduduk yang padat memang tidak mudah untuk dipindahkan," ujar Sobirin. Untuk itu, hal paling prioritas yang harus dilakukan, menurut Sobirin, adalah membangun kapasitas masyarakat di kampung tersebut supaya sadar lingkungan dan memiliki tata cara kehidupan yang sehat dan bersih.

Menurut Muhtar, setidaknya ada 2 penyebab banjir di daerah tersebut. Pertama, karena gorong-gorong yang dulu tembus dari Babakan Ciparay ke Bojongloa Kaler kini ditimbun menjadi jalan. Kedua, karena ada pembangunan rumah di atas selokan yang dulu berfungsi sebagai aliran air. "Bahkan ada beberapa wilayah yang terendam banjir hingga 1,5 meter, makanya berbagai antisipasi dilakukan, mulai kerja bakti, hingga membangun rumah hingga dua lantai," ungkap Muhtar. Sama halnya dengan daerah Babakan Tarogong. Permasalahan banjir yang ditimbulkan akibat tumpukan sampah pun sering terjadi di daerah ini terlebih di tengah permukiman terdapat aliran sungai. (Endah Asih/Mega Julianti)***

Read More..

Sunday, April 13, 2008

PEMBANGUNAN DANAU DIANGGAP TAK EFISIEN

Pikiran Rakyat, 14 April 2008, CA-164/CA-165
Gambar: Sobirin, RTRW Tradisional (Otjo, 2002)

Sementara itu, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengajukan konsep penataan ruang yang saling terkait antara lahan kering (di hulu DAS untuk wanatani dan hutan) dan lahan basah (dihilir untuk persawahan dan balong).


SOREANG, (PR).- Sekretaris Komisi C DPRD Kab. Bandung Moch. Ikhsan mempertanyakan imbauan Gubernur Jabar Danny Setiawan soal membangun danau di lahan yang tidak produktif untuk mengatasi banjir. Pertanyaan itu timbul sebab projek itu akan memakan biaya sangat besar, tidak efisien, dan membutuhkan waktu yang lama.

"Lebih baik optimalkan tempat penampungan air yang ada seperti Leuwisataun di Kec. Rancaekek dan Waduk Kabuyutan di Kec. Ciparay," tuturnya, Sabtu (12/4).
Ikhsan yang dihubungi via telefon mempertanyakan terlambatnya keputusan Gubernur untuk membuat penampungan air karena sejak dua tahun lalu masyarakat di Kec. Rancaekek Kab. Bandung meminta pembenahan Leuwisataun.

Permintaan itu lantaran adanya projek normalisasi anak Sungai Citarum, yaitu Citarik, Cijalupang, Cikeruh, Cikijing yang menyebabkan debit air di Leuwisataun, menurun.
Begitu pun dengan Waduk Kabuyutan. Waduk tersebut menjadi dangkal karena adanya projek pelurusan anak sungai Citarum, yakni Citarik. Menurut Ikhsan, kedua penampungan air itu mampu mencegah terjadinya banjir sebelum adanya projek normalisasi anak Sungai Citarum.

Konsep lain

Sementara itu, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengajukan konsep penataan ruang yang saling terkait antara lahan kering (di hulu DAS untuk wanatani dan hutan) dan lahan basah (dihilir untuk persawahan dan balong). Selain memerhatikan lahan kering di hulu, strategi penanggulangan banjir juga mesti dibarengi dengan pengelolaan tanah rendah yang sering tergenang sebagai lahan basah. Jadi, bukan danau yang dibangun, tapi kolam-kolam di beberapa tempat. (CA-164/CA-165)***

Read More..

Friday, April 11, 2008

HARUS DIMULAI DARI RUMAH TANGGA

Pikiran Rakyat, 11 april 2008, Yulistyne
Foto: Sobirin 2006, Komposter Rumah Tangga Murah Meriah


Sobirin menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.




Masalah sampah berkaitan dengan kesadaran masyarakat. Oleh karena itulah, YRP yang diprakarsai Rhenald Kasali, Hidayat, Roy Kuncoro, Moeryati Soedibyo, Aksa Mahmud, dan Martini Husaini berusaha melakukan beberapa perubahan.


Sebagai contoh pada penanganan pengelolaan sampah, YRP dengan menggabungkan sistem yang telah ada sebelumnya dapat memperoleh average secara ekonomi. "Di sini kami hendak mengatakan pada masyarakat, apabila segala sesuatu dilakukan dengan konsep yang tepat maka akan memiliki nilai tambah yang bermanfaat," ujar Roy.


Membina masyarakat dan pengembang dalam membuang sampah dan membentuk motivator-motivator lingkungan pada tataran komunitas serta bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengelola limbah adalah salah satu titik yang menjadi fokus perhatian YRP untuk melakukan perubahan, mengingat pengelolaan sampah berkaitan erat dengan kesadaran masyarakat.


Rhenald Kasali mengatakan awal gerakan menyadarkan masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini tidaklah mudah. Ia sengaja memilih Desa Jati Murni menjadi percontohan karena selain bertempat tinggal di sana, ia pun menjabat sebagai ketua Badan Musyawarah (Bamus) di desa tersebut.

Dengan jabatan itu, ia memiliki pengaruh dalam menggerakkan warganya. Sehingga masyarakat yang awalnya enggan memilah dan mengelola sampah, akhirnya belajar dan terbiasa. Selain itu, warga di desa itu pun menjadi terbiasa untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungannya. Maka, jalan-jalan dan rumah-rumah di desa tersebut bersih tanpa ada sampah berserakan.


Kepatuhan


Hal ini sesuai dengan salah satu kultur masyarakat pedesaan yaitu kepatuhan pada tokoh. Juniarso Ridwan, salah seorang budayawan, mengatakan bahwa kultur masyarakat yang ingin gampangnya saja bukanlah hal yang mudah untuk diubah. Diperlukan tahapan-tahapan sosialisasi yang lebih intens, apalagi di daerah kota seperti Bandung.

Ia menjelaskan untuk desa, perubahan itu akan lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin.
Namun, akan lain halnya dengan masyarakat di perkotaan. "Perubahan akan lebih sulit dilakukan karena selain lebih heterogen, budaya anutan pun lebih personal," ujar Juniarso.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, ia menambahkan, untuk perkotaan diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek dari berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung.


Senada dengan Juniarso, Ketua MUI Jabar Miftah Faridl mengatakan kesadaran masyarakat yang masih rendah perlu ditingkatkan misalnya dengan melakukan gerakan-gerakan yang berawal dari lingkungan-lingkungan kecil seperti yang dilakukan Salman dan Daarut Tauhiid (DT).

Selain itu, menurut Miftah ada tiga hal yang harus dilakukan agar masyarakat lebih perhatian pada masalah sampah yaitu melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran mengenai kebersihan ke dalam kurikulum. Kemudian dengan menanamkan keteladanan mulai dari level terkecil yaitu keluarga, tokoh masyarakat, dan guru.

Sedangkan untuk mempertegasnya, ia mengatakan perlu ada sanksi yang mengikat bagi yang melanggar. "Karena memang ada masyarakat yang harus dipaksa dengan peraturan jika ingin masalah kebersihan dan sampah dapat diselesaikan," ujar Miftah.


Sementara itu, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono mengatakan secara garis besar hampir 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah yang dibuang di sembarang tempat termasuk sungai dan jalan.

"Jika diibaratkan, sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan berat 1.000 ekor gajah, lembaran sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola dan sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon," jelasnya.


Oleh sebab itu, penanganan sampah bukan lagi hal yang biasa saja, melainkan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan berbagai aspek baik fisik maupun sosial. "Harus dipikirkan mata rantai yang dapat menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat," ujar Sobirin.

Ia menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.


Sobirin
menambahkan tidak berjalannya program 3R (reduce, reuse, recycle) seperti yang diharapkan adalah karena kurangnya kepedulian dari masyarakat. Setiap orang cuma memikirkan gampangnya dan hanya melihat bagaimana sampah dibuang, tetapi asal jangan di tempat saya.

"Hal inilah yang harus diubah," ujarnya.
Dengan konsep zero waste "Sampah Bandung Tuntas 1, 2, dan 3" yang ia kemukakan, Sobirin meyakini masalah sampah dapat ditangani. Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian pada konsep ini ialah memproses sampah sejak dari sumbernya.

Pada tuntas 1, rumah tinggal diharapkan mampu mengolah 70 persen sampah yang ia hasilkan menjadi kompos, 20 persen didaur ulang, dan 10 persen yang tersisa terpaksa dibuang ke TPA. "Dengan mengurangi jumlah sampah dari sumbernya, kuantitas sampah yang dibuang ke TPA pun akan berkurang," ujarnya. (Yulistyne)***

Read More..

Wednesday, April 09, 2008

BELAJAR POLITIK: DEBAT PUBLIK DAN TEBAR JANJI

sobirin is back to nature, 10 April 2008
Gambar: Free Clip Art, Sobirin 2008
Oleh: Sobirin
Pemilihan Gubernur Jawa Barat 13 April 2008 diawali kampanye yang masih tradisional, pengerahan massa yang mengganggu lalu lintas dan spanduk dimana-mana. Kampanye diakhiri debat publik yang cukup demokratis. Walau para calon hanya sekedar tebar janji, tapi bagus untuk rakyat belajar berpolitik.



Pertanyaan para panelis yang “menguji” para calon Gubernur, dijawab secara normatif dan bernuansa janji-janji. Boleh dikata jawaban-jawaban tidak memuaskan baik bagi para panelis maupun masyarakat yang mendengarkan.

Solihin GP, mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Sesdalopbang yang hadir dalam acara debat publik di Hotel Horison Bandung, juga merasa kecewa atas jawaban para calon. Ada 3 (tiga) hal yang sebenarnya diinginkan oleh Solihin GP yang seharusnya menjadi pegangan para calon, yaitu: Revitalisasi Aparatur, Lingkungan Hidup, dan Mobilisasi Masyarakat. Adapun 3 (tiga) hal tersebut adalah sebagai berikut:


REVITALISASI APARATUR


Pertama: Revitalisasi aparatur dan penataan struktur organisasi pemerintahan mutlak harus dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk membangun aparatur yang profesional, kreatif, inovatif, bertanggung jawab, bebas KKN, menuju “good governance” dan “clean government”.

Kedua: Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit harus disederhanakan tanpa mengurangi mutu pelayanan, menuju pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

Ketiga: Revitalisasi BUMD juga harus dilakukan dengan serius menuju badan usaha yang profesional, mandiri, dan berwawasan lingkungan untuk dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada Daerah.

Keempat: Penempatan personalia harus “the right man in the right place”, berbasis bidang keahlian dan pengalaman, bukan karena koneksi dan nepotisme.
Kelima: Aparatur harus bisa memberikan tauladan kepada rakyat. Tidak konsumptif, tidak bermewah-mewah, tidak berkeliaran pada jam kerja, tidak arogan, tidak menggunakan mobil dinas dan fasilitas dinas lainnya untuk keperluan pribadi.

Keenam: Dalam rangka memotivasi prestasi, harus diberikan penghargaan yang layak kepada aparatur yang secara nyata memiliki prestasi kerja dan kontribusi positif kepada Daerah. Sebaliknya kepada aparatur yang secara nyata melanggar sumpah pengabdian dan merugikan Daerah harus diberikan sanksi tanpa pandang bulu.

LINGKUNGAN HIDUP

Pertama: Lingkungan hidup adalah hak azasi rakyat. Pelestarian lingkungan hidup harus menjadi dasar pembangunan Jawa Barat. Konservasi harus merupakan prioritas pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan basis pemulihan kawasan hutan dan pemulihan kawasan lindung. Oleh sebab merupakan hajat hidup rakyat banyak, maka lingkungan hidup harus dijauhkan dari ancaman privatisasi.
Kedua: Pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung ini dimaksudkan menuju Jawa Barat yang memiliki kemandirian sumber daya air. “No Forest, No Water, No Future” atau “Leuweung Ruksak, Cai Beak, Manusa Balangsak” harus dipakai sebagai “motto” pembangunan berkelanjutan Jawa Barat.
Ketiga: Keberhasilan pembangunan Jawa Barat bukan didasarkan kepada “pertumbuhan ekonomi”, tetapi harus didasarkan kepada “pemerataan ekonomi”. Dengan “pemeratan ekonomi” berarti pembangunan juga difokuskan kepada “pembangunan pedesaan”, antara lain dengan membangun pertanian yang berazas konservasi, “agroforestry”, dan “agropolitan”, sehingga dapat mengurangi laju arus urbanisasi. Konsep “DESA KUAT, NEGARA KUAT” harus menjadi “motto” pembangunan pedesaan di Jawa Barat.
Keempat: Jawa Barat memiliki tanah yang subur dan alam yang sedemikian indah, maka Jawa Barat sangat berpotensi menjadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional. Konsep Ketahanan Pangan ini harus berbasis tanaman pangan “organik” dengan “kompos” buatan rakyat sendiri, bukan dengan pemupukan secara kimia. “Kompos” adalah jaminan suksesnya usaha pertanian Jawa Barat.

MOBILISASI POTENSI MASYARAKAT


Pertama: Berbagai elemen atau unsur yang ada di Jawa Barat, antara lain perguruan tinggi, para ahli/pakar, tokoh agama, pemuda, dan pengusaha, semua itu adalah modal potensi yang harus dapat disinergikan secara kesemestaan dalam rangka membangun Jawa Barat yang berkelanjutan.

Kedua: Birokrasi, masyarakat, dan dunia usaha: adalah pilar pelaku pembangunan Jawa Barat berbasis “sili asih, sili asah, sili asuh” dengan konsep “sili wangi”, yaitu bersama-sama bergandengan tangan, dukung mendukung, meraih cita-cita Jawa Barat yang adil dan sejahtera.

Ketiga: Jawa Barat sangat beruntung karena banyak memiliki perguruan tinggi yang bertaraf internasional. Jawa Barat juga sangat beruntung memiliki kearifan beragama dan berbudaya Sunda yang sudah teruji dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kombinasi kebersamaan antara pola pikir para ahli/pakar dan pola pikir keagaaman dan kearifan budaya Sunda dapat diyakini akan mempercepat keberhasilan pembangunan Jawa Barat.
Keempat: Kearifan kehidupan dengan konsep kebersamaan antara “batur sakasur - batur sadapur - batur sasumur - batur salembur” harus tetap dipelihara untuk meraih Jawa Barat yang makmur dengan berpegang kepada “tata lampah” kebersamaan dan kesemestaan, yaitu: “urus lembur - akur jeung dulur - panceg dina galur”. Tidak menyeleweng dari tata aturan alam yang disepakati bersama.

Read More..

Sunday, April 06, 2008

PUSAT DINILAI GAMANG ATASI PERSOALAN BANJIR

Pikiran Rakyat, 7 April 2008, CA-164/CA-165
Foto: Sobirin 2006, Batuan Beku Keras Curug Jompong

Menanggapi itu, pakar lingkungan, Sobirin, menyatakan ketidaksetujuannya. Hal itu, berkaca pada projek 30-40 sodetan sungai Citarum 1980-an yang hanya menghasilkan kegagalan. Solusi paling tepat adalah memperbaiki hulu sungai. Penghijauan dan pemulihan kawasan lindung mutlak harus dilakukan.



BANDUNG, (PR).- Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyesalkan pemerintah pusat, dalam hal ini Bappenas, yang masih gamang bersikap soal pemangkasan Curug Jompong di Desa Margaasih, Kab. Bandung. Padahal, pemangkasan sangat penting bagi kemaksimalan penanggulangan banjir di daerah Bandung Selatan.


Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jabar Iding Srihadi, Minggu (6/4), mengatakan itu menanggapi keterangan Sekretaris Komisi C DPRD Kabupaten Bandung M. Ikhsan ("PR" 28/3) seusai bertemu Bappenas.


Menurut dia, pemangkasan harus dilakukan karena di dasar Sungai Citarum, tepatnya Curug Jompong, terdapat batuan menonjol yang menghambat laju aliran air dari Citarum. Inilah yang menyebabkan banjir terjadi setiap kali hujan lebat secara simultan di seputar Bandung, meliputi DAS Citarik, Cikeruh atau Cipamokolan, Cidurian, Cikapundung, Citepus, Cisarea, Cisangkuy, dan Citepus.


Tidak setuju


Menanggapi itu, pakar lingkungan, Ir. Soepardiyono Sobirin, menyatakan ketidaksetujuannya. Hal itu, berkaca pada projek pelurusan 30-40 sodetan sungai Citarum 1980-an yang hanya menghasilkan kegagalan.

"Curug merupakan infrastruktur alami, yang harusnya dilestarikan dan bukannya direnovasi sedemikian rupa. Saya khawatir jika pemerintah menuai kegagalan, akan ada efek negatif yang justru merugikan Jabar," ujar Sobirin, Minggu (6/4) malam.


Dampak yang paling mengkhawatirkan jika Curug Jompong dipangkas adalah sampah dan sedimen Sungai Citarum akan lebih cepat masuk dan mengendap di Waduk Saguling. Solusi yang paling tepat adalah memperbaiki hulu sungai. Penghijauan dan pemulihan kawasan lindung mutlak harus dilakukan. (CA-164/CA-165)***

Read More..