Friday, September 17, 2010

SOBIRIN, "CITARUM BUKAN YANG TERPOLUSI"

Pikiran Rakyat ONLINE, 02 September 2010
Foto: Citarum-Dayeuhkolot, Dok “PRLM”
Menurut Sobirin, informasi yang disampaikan majalah NG itu harus dikaji lebih lanjut. Alasannya, penyebab sungai tercemar disebabkan oleh beragam polutan. Oleh karena itu, perankingan sungai terpolusi sedunia, harus didasarkan pada pembanding yang setara, tidak dibandingkan secara pukul rata.





BANDUNG, (PRLM).- Laporan majalah National Geography yang menyebutkan Citarum sebagai sungai terpolusi sepuluh besar dunia, tidak benar. Pasalnya, berdasarkan jenis polutan, cakupan wilayah yang terpolusi, dan efek yang diakibatkannya, maka dua sungai di dunia, yakni Sukinda di India dan Cubota di Brazil merupakan yang terpolusi sedunia.

Hal itu diungkapkan pengamat lingkungan hidup Sobirin saat dihubungi "PRLM" di Bandung, Rabu sore (1/9). Menurut Sobirin, informasi yang disampaikan majalah NG itu harus dikaji lebih lanjut. Alasannya, penyebab sungai tercemar disebabkan oleh beragam polutan. Oleh karena itu, perankingan sungai terpolusi sedunia, harus didasarkan pada pembanding yang setara. "Tiap sungai memiliki polutan yang berbeda. Jadi, tidak bisa dibandingkan secara pukul rata antara satu sungai dengan sungai lainnya," ujarnya.


Namun, jika dilihat dari bahan pencemar yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, maka Sungai Sukinda paling berbahaya karena telah tercemar oleh polutan kromit. Sementara Sungai Cubota, polutan pemicunya adalah limbah industri. "Citarum memang tercemar, tetapi kedua sungai tersebut jauh lebih tercemar," ucapnya. Oleh karena itu, dia berharap, NG dapat memverifikasi kembali laporan yang menyatakan Citarum terpolusi sedunia. "Harus didukung fakta dan data yang kuat bukan asumsi dan dugaan.

"Saya bukannya membela negara sendiri, tetapi penilaian ini didasarkan fakta, Citarum bukan yang terpolusi sedunia," ujarnya.
Laporan NG edisi terkini menyebutkan sekilas bahwa Citarum merupakan sungai paling berpolusi di Bumi. Padahal, sekitar 5 juta orang hidup di dekat sungai tersebut dan mengandalkan Sungai Citarum sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari. (A-133/das)***

Read More..

Thursday, April 29, 2010

NGARAJAH KALA SUNDA

Kompas Jabar, Forum, 22 Maret 2009
Gambar: www.reformata.com

Oleh SOBIRIN

Rajah adalah doa atau jampe yang biasanya dilagukan, supaya hidup selamat lahir batin. Ngarajah Kala Sunda, dapat diartikan berdoa mengantisipasi kejadian-kejadian alam yang mungkin dapat melanda kita, seperti diisyaratkan dalam kalender tradisional Kala Sunda, agar hidup kita selamat.




Dalam Kamus Basa Sunda yang disusun oleh R.A.Danadibrata (2006), rajah disebutkan sebagai doa atawa jampe nu biasana dilagukeun, memeh prak mantun supaya salamet lahir batin. Ngarajah Kala Sunda, dapat diartikan berdoa mengantisipasi kejadian-kejadian alam yang mungkin dapat melanda kita, seperti diisyaratkan dalam kalender tradisional Kala Sunda, agar hidup kita selamat.

Sejak tahun 2005, lima tahun telah berlalu, ketika kalender tradisional Kala Sunda resmi diperkenalkan kembali oleh Abah Ali Sastramidjaya almarhum, Roza Mintaredja dan kawan-kawan. Banyak yang menyambut hangat kehadiran Kala Sunda ini, tetapi banyak pula yang mempertanyakan tentang asal-usul dan manfaatnya. Saya termasuk yang sangat menyambut baik Kala Sunda, karena dari sisi lingkungan sangat dapat dimanfaatkan untuk alat peringatan dini tradisional terhadap peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di sekitar kita.

Kalender lingkungan

Kala Sunda terdiri dari tiga kalender, yaitu Surya Kala Saka Sunda, Chandra Kala Saka Sunda, dan Sukra Kala Saka Sunda, yang semuanya berkaitan erat dengan kejadian dan kehidupan alam, sehingga sangat pantas bila Kala Sunda disebut sebagai kalender lingkungan.

Pertama, mengenai Surya Kala Saka Sunda yang didasarkan pada posisi matahari dilihat dari muka bumi. Surya Kala Saka Sunda ini dibagi menjadi 12 sasih (bulan) dalam setahun, yaitu Kasa, Karo, Katilu, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawalu, Kasanga, Kadasa, Desta, dan Sada.
Awal tahun Kala Sunda jatuh pada sasih Kasa, ketika matahari tepat meninggalkan posisinya di paling selatan pada 23,5 derajat Lintang Selatan, pada tanggal 22 Desember, untuk selanjutnya bergeser menuju ke utara.
Tengah tahun Kala Sunda jatuh pada sasih Kapitu, ketika matahari tepat meninggalkan posisinya di paling utara pada 23,5 deradjat Lintang Utara, pada tanggal 21 Juni, untuk selanjutnya bergeser menuju ke selatan.
Perubahan posisi matahari ini berpengaruh pada usum (musim) di Tatar Sunda ini.
Sasih Kasa, Karo, Katilu disebut sebagai usum ngijih (musim hujan), sering terjadi bencana banjir dan longsor. Bahkan pada sasih Katilu, sekitar tanggal 1 Maret, ketika matahari tepat di atas Tatar Sunda, sering terjadi angin ribut atau puting beliung yang dapat merobohkan rumah dan pohon-pohonan.
Sasih Kapat, Kalima, Kanem disebut sebagai usum dangdangrat (musim pancaroba menjelang musim kemarau), biasanya ditandai oleh munculnya serangga turaes atau tonggeret (Tibicen linnei) yang berbunyi nyaring menyambut berakhirnya musim hujan.
Sasih Kapitu, Kawalu, Kasanga disebut sebagai usum halodo (musim kemarau), sungai-sungai berkurang airnya, dan sawah-sawah mengalami kekeringan.
Sasih Kadasa, Desta, Sada disebut sebag usum labuh (musim pancaroba menjelang musim hujan).
Istilah labuh dapat dibaca dalam Kamus Lengkap Sunda-Indonesia yang disusun oleh Budi Rahayu Tamsyah (1968), yang artinya musim turun ke sawah karena mulai ada hujan. Pada sasih Kadasa, tepatnya sekitar tanggal 13 Oktober, ketika matahari kembali tepat di atas Tatar Sunda, juga sering terjadi angin ribut atau puting beliung, yang dapat merobohkan rumah dan pohon-pohonan.


Kedua, mengenai Chandra Kala Saka Sunda yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Chandra Kala Saka Sunda ini sebenarnya manfaatnya sangat besar untuk warga pesisir, karena dapat mengantisipasi kapan datangnya gelombang pasang laut. Di daerah Indramayu, gelombang pasang ini biasa disebut sebagai “ombak jedor” yang dapat merusak dan merendam permukiman di pantai. Dalam Chandra Kala Saka Sunda, gelombang pasang ini terjadi ketika suklapaksa yaitu bulan purnama, dan ketika kresnapaksa yaitu bulan gelap atau bulan mati.

Ketiga, mengenai Sukra Kala Saka Sunda yang didasarkan pada posisi rasi bintang dilihat dari muka bumi. Kemunculan bentang Waluku (rasi Orion) dan bentang Kerti (rasi Pleyades) pada bulan tertentu di ufuk timur pada saat fajar menyingsing adalah pertanda datangnya musim hujan, dan kemunculan bentang Lumbung (rasi Crux) dan bentang Kalapadoyong (rasi Scorpion) pada bulan tertentu di ufuk timur pada saat fajar menyingsing adalah pertanda datangnya musim kemarau.


Ngarajah setiap saat

Pertanyaannya, apakah kalender tradisional Kala Sunda ini masih cocok dengan situasi dan kondisi sekarang? Sangat sedikit referensi tertulis peninggalan jaman dulu mengenai Kala Sunda ini, apalagi yang berkaitan dengan lingkungan, karena nenek moyang kita lebih banyak mewariskan ilmu ke generasi berikutnya dengan cara lisan, yang faktanya lama kelamaan hilang tidak tercatat. Apalagi sekarang telah berkembang ilmu-ilmu modern tentang cuaca dan iklim, dan juga muncul isu tentang perubahan iklim, maka semakin banyak pihak yang mengatakan bahwa kalender Kala Sunda dan kalender-kalender tradisional sejenis di muka bumi ini hanya merupakan primbon belaka.

Saya justru berfikir sebaliknya. Dengan adanya ilmu-ilmu modern yang semakin akurat dalam prakiraan cuaca dan iklim, maka akan dapat ditelusuri sejauh mana ilmu Kala Sunda ini telah begeser, atau tidak cocoknya seberapa jauh. Menurut saya, Kala Sunda perlu digali kembali berdasar konsep-konsep ilmu modern, sehingga akan menjadi cocok dan akurat sebagai ilmu iklim tradisional yang merakyat dengan bahasa rakyat dan bermanfaat untuk antisipasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap ancaman-ancaman bencana lingkungan yang mungkin akan terjadi. Paling tidak dengan sosialisasi Kala Sunda, diharapkan resiko bencana di Tatar Sunda ini dapat dikurangi.

Agar hidup kita selamat lahir batin, seyogyanya pada setiap awal musim ngijih, dangdangrat, halodo, dan labuh, kita perlu ngarajah Kala Sunda, sebagai upacara kewaspadaan dan peringatan dini secara tradisional terhadap kemungkinan ancaman bencana-bencana lingkungan yang dapat terjadi setiap saat. Jadwal ngarajah Kala Sunda dapat juga dilakukan bersamaan dengan hari-hari peringatan lingkungan yang erat kaitannya dengan kearifan Kala Sunda, misalnya pada hari-hari ini, yang bertepatan dengan peringatan Hari Hutan Sedunia 21 Maret, Hari Air Sedunia 22 Maret, dan Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret. Selamat memperingati Hari Hutan Sedunia, Hari Air Sedunia, Hari Metorologi Sedunia, dan selamat ngarajah Kala Sunda untuk keselamatan kita bersama. Amien.

SOBIRIN
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda dan Bandung Spirit.

Read More..

Sunday, February 28, 2010

LONGSOR CIWIDEY

DPKLTS Menilai Penanganan dari Aparat Lambat
detikBandung, Rabu, 24/02/2010 13:30 WIB, Baban Gandapurnama (bbn/bbn)

Foto: KASKUS The Largest Indonesian Community

Kendati lokasi bencana jauh dijangkau dan alat komunikasi tidak berfungsi, semestinya ini menjadi pelajaran semua pihak. Hal tersebut diungkapkan anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, DPKLTS, Sobirin, saat dihubungi detikBandung Rabu (24/2/2010).






Bandung - Longsor yang terjadi di kawasan Perkebunan Dewata, Kabupaten Bandung, dinilai termasuk lambat ditangani oleh aparat terkait. Kendati lokasi bencana jauh dijangkau dan alat komunikasi tidak berfungsi, semestinya ini menjadi pelajaran semua pihak.

Hal tersebut diungkapkan anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, saat dihubungi detikbandung melalui ponsel, Rabu (24/2/2010).
"Penanganan dari aparat terkait termasuk lambat. Kejadian pagi, tapi diketahui siang," jelasnya.

Pemerintah pusat maupun daerah, kata Sobirin, seharusnya cepat tanggap dalam bencana tersebut. Ia mengakui, kawasan menuju Perkebunan Dewata sulit untuk dicapai secara cepat dengan menggunakan kendaraan darat. Ditambah kondisi jalan yang terjal.
Melihat kondisi demikian, kata Sobirin, tim tanggap darurat itu harus memikirkan kembali kelengkapan sarananya. "Helikopter itu bukan hanya digunakan saat inspeksi saja. Tapi digunakan untuk menolong bila kondisi lokasi bencana sulit dijangkau kendaraan darat," ungkapnya dengan nada kesal.

Soal sinyal untuk alat komunikasi yang sulit di lokasi kejadian, Sobirin menyarankan agar kejadian itu segera diatasi. Sebab, komunikasi melalui ponsel saat ini begitu penting untuk mengetahui atau mengabari adanya bencana.
"Ini menjadi pelajaran. Sudah saatnya prioritas pembangunan tower telekomunikasi itu di daerah-daerah rawan bencana atau yang sulit terjangkau," ujar Sobirin.

Selain itu, tutur dia, bisa juga komunikasi warga itu memanfaatkan wadah Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) setempat. Setidaknya, jelas Sobirin, informasi bencana bisa segera tersampaikan dengan cepat secara berantai.
"Sekarang kan sudah beda zamannya. Masak harus menggunakan alat tradisional seperti kentongan untuk menyampaikan informasi bencana. Sekarang kan ponsel harganya juga ada yang murah," tutupnya. (bbn/bbn)

Read More..

Saturday, January 02, 2010

PENANGGULANGAN BANJIR

Pikiran Rakyat, 2 Desember 2009, Opini
Foto: Pikiran Rakyat, 4 Desember 2008
Oleh: SOBIRIN
Ketika banjir datang, selalu terjadi saling menuding tentang siapa yang salah. Di lain pihak, para ahli cendekia lalu sibuk mengeluarkan pendapat tentang apa dan mengapa terjadi banjir. Ketika banjir surut, perhatian akan banjir ikut surut pula. Kemudian ribut-ribut lagi ketika musim berganti dan banjir datang berulang.





Ketika banjir datang, selalu terjadi saling menuding tentang siapa yang salah. Di lain pihak, para ahli cendekia lalu sibuk mengeluarkan pendapat tentang apa dan mengapa terjadi banjir. Ketika banjir surut, perhatian akan banjir ikut surut pula. Kemudian ribut-ribut lagi ketika musim berganti dan banjir datang berulang.

Secara filosofis, ada tiga metode penanggulangan banjir. Pertama, memindahkan warga dari daerah rawan banjir. Cara ini cukup mahal dan belum tentu warga bersedia pindah, walau setiap tahun rumahnya terendam banjir. Kedua, memindahkan banjir keluar dari warga. Cara ini sangat mahal, tetapi sedang populer dilakukan para insinyur banjir, yaitu normalisasi sungai, mengeruk endapan lumpur, menyodet-nyodet sungai. Faktanya banjir masih terus akrab melanda permukiman warga. Ketiga, hidup akrab bersama banjir. Cara ini paling murah dan kehidupan sehari-hari warga menjadi aman walau banjir datang, yaitu dengan membangun rumah-rumah panggung setinggi di atas muka air banjir.


Secara normatif, ada dua metode penanggulangan banjir. Pertama, metode struktur, yaitu dengan konstruksi teknik sipil, antara lain membangun waduk di hulu, kolam penampungan banjir di hilir, tanggul banjir sepanjang tepi sungai, sodetan, pengerukan dan pelebaran alur sungai, sistem polder, serta pemangkasan penghalang aliran. Kedua, metode nonstruktur berbasis masyarakat, yaitu dengan manajemen di hilir di daerah rawan banjir dan manajemen di hulu daerah aliran sungai.

Anggaran tak seimbang


Dalam pertemuan-pertemuan antarpemangku kepentingan (stakeholder) tentang penanggulangan banjir, telah ada political will dari pemerintah, yaitu akan melaksanakan penanggulangan banjir secara hibrida, dengan melaksanakan gabungan metode struktur dan nonstruktur secara simultan. Bahkan, telah dibuat dalam perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Namun, dalam implementasinya, penanggulangan banjir yang dilakukan pemerintah masih sangat sektoral, alokasi anggaran antarsektor tidak seimbang.

Anggaran penanggulangan banjir metode struktur alias konstruksi teknik sipil lebih besar dibandingkan dengan anggaran metode nonstruktur yang lebih berbasis masyarakat.
Padahal, penanggulangan banjir dengan metode nonstruktur berbasis masyarakat tidak kalah pentingnya.

Pertama, berupa manajemen di hilir di daerah rawan banjir, antara lain pembuatan peta banjir, membangun sistem peringatan dini bencana banjir, sosialisasi sistem evakuasi banjir, kelembagaan penanganan banjir, rekonstruksi rumah akrab banjir, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir, serta kemungkinan asuransi bencana banjir.


Kedua,
berupa manajemen di hulu daerah aliran sungai, antara lain pengedalian erosi, pengendalian perizinan pemanfaatan lahan, tidak membuang sampah dan limbah ke sungai, kelembagaan konservasi, pengamanan kawasan lindung, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi.


Rumah akrab banjir

Hingga dekade yang lalu, cita-cita para ahli banjir masih terus mengumandangkan slogan "bebas banjir" dengan memaksakan teknologi untuk melawan banjir, antara lain sodetan, tanggul sungai, bendungan, dan sebagainya. Namun, dalam diskusi dan publikasi mutakhir tentang manajemen bencana banjir, terjadi perubahan paradigma. Di Vietnam, khususnya warga yang hidup di DAS Mekong, yang semula bermimpi untuk bebas dari banjir (free from flood), akhirnya memutuskan hidup bersama banjir (living with flood), antara lain dengan mengubah rumah-rumah mereka menjadi rumah panggung.


Saat ini, banyak institusi penelitian yang melakukan penelitian konsep rumah akrab banjir, salah satunya Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), di Jalan Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung. Ada yang unik dari desain rumah akrab banjir kreasi peneliti Puskim ini, bukan berupa rumah panggung, tetapi rumah apung, yang bisa naik turun sesuai ketinggian banjir.

Apa pun desainnya, sebaiknya kreasi para peneliti ini segera diimplentasikan di daerah rawan banjir bekerja sama dengan dunia usaha.
Mengajak masyarakat membangun rumah panggung merupakan tantangan tersendiri, selain perlu uang ekstra untuk rekonstruksi rumah, juga perlu sosialisasi membiasakan diri hidup di rumah panggung. Namun, cara hidup akrab bersama banjir seperti ini relatif lebih murah dan berkelanjutan dibandingkan dengan cara relokasi maupun penerapan metode teknologi penanggulangan banjir yang belum tentu berhasil.

Tentunya komitmen hidup akrab bersama banjir, tetap dilandasi semangat tidak melanggar peraturan yang berlaku. Misalnya Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang mengamanatkan perlunya perlindungan terhadap sempadan sungai untuk melindungi fungsi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai serta mengamankan aliran sungai.

Salah satu kriteria sempadan sungai disebutkan sekurang-kurangnya tiga puluh meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai yang tidak bertanggul.
Penanggulangan banjir memang kompleks, apalagi masyarakat tidak diajak berperan, jadi memang pantas ada sindiran bahwa sejak tiga dekade lalu telah sejuta rencana, tetapi penanggulangan banjir belum juga berhasil. ***

Penulis, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, dan Bandung Spirit.

Read More..