Sunday, June 05, 2011

TAK ADA LAGI KOMUNIKASI MANUSIA-ALAM

KOMPAS.com, 5 Juni 2011, Dedi Muhtadi, Benny N Joewono
Foto: KOMPAS/ Adi Sucipto/ Ilusttrasi
Pengamat lingkungan yang juga anggota DPKLTS Sobirin Supardiyono menyatakan, kini tidak ada lagi ketabuan yang ditaati oleh masyarakat. Ini yang menyebabkan bencana lingkungan bertubi-tubi terjadi khususnya di Jawa Barat yang potensi ancaman bencananya lebih besar di banding daerah lainnya.





BANDUNG, KOMPAS.com - Hubungan komunikasi atau silaturahim antara alam dengan manusia kini telah putus sehingga kearifan lokal banyak yang dilanggar dan tidak dijalankan. Ini yang menyebabkan bencana lingkungan bertubi-tubi terjadi khususnya di Jawa Barat yang potensi ancaman bencananya lebih besar di banding daerah lainnya.

Hal itu mengemuka dalam peringatan lingkungan hidup yang mengusung tema pengarusutamaan budaya di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Bandung Minggu (5/6/2011).
Pengamat lingkungan yang juga anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono menyatakan, kini tidak ada lagi ketabuan yang ditaati oleh masyarakat. Padahal ketabuan (pamali-Sunda) merupakan kearifan lokal untuk memelihara alam.

Misalnya kawasan pegunungan yang seharusnya dihutankan, malah digunduli dan dijadikan lahan pertanian semusim, jangka pendek.
Tebing-tebing tidak lagi ditanami pohon bambu dan mata air banyak yang ditutup oleh hutan beton, misalnya di Bandung Utara. Akibat semua itu, akhirnya alam mengatur dirinya sendiri.

Ini seperti pepatah aliran air yang disampaikan oleh seorang seniman Sunda, kami moal ngelehan, kami moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura bisi aya nu kalabrak, kasered kabawa palid, kabanjiran jeung kakeueum, da bongan ngalahangan jeung aya dina jajalaneun kami. (Kami tidak akan mengalah, kami tidak akan mengalahkan, tapi pasti sampai tujuan. Namun maaf kalau ada yang ketabrak, terbawa arus banjir dan terendam, sebab menghalangi jalan kami).


Sobirin mencontohkan, luas kawasan lindung sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu harusnya 52 persen dari total luas sekitar 340.000 hektar. Namun yang ada kini hanya sekitar 39.000 hektar atau sekitar 11 persen. Dari luas itu pun hutan yang sehat hanya 10.000 hektar, sisanya sudah berubah fungsi mulai dari ladang, lahan pertanian hingga villa.

Akibatnya, bencana (banjir) terus menerus terjadi. Pasalnya dari curah hujan 108 meter kubik/detik/tahun meluncur ke Sungai Citarum yang kapasitasnya hanya mampu menampung debit 41 meter kubik per detik.
Jika kawasan lindung di daerah tangkapan air itu mencapai 52 persen, maka sekitar 67 meter kubik/detik/tahun air hujan yang turun bisa tersimpan di hutan dan diserap masuk dalam tanah.

"Sekarang tinggal pilih, mau melebarkan penampang sungai hingga kapasitasnya bisa menampung debit air hujan yang berarti memindahkan penduduk, atau mengoptimalkan kawasan lindung," tegasnya.

Fakta lain adalah sebanyak 17 persen dari kawasan lindung di luar kawasan hutan yang ada sekarang terus diincar oleh investor. Penguasaannya dilakukan melalui iming-iming, intervensi, dan intimidasi.
Karena kedua pilihan itu sangat dilematis, ia menyarankan agar dilakukan rekayasa sosial yang melibatkan warga agar mengubah perilaku menjadi berwawasan lingkungan. Misalnya setiap rumah harus memiliki sumur resapan. Kemudian, setengah dari jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah tangga di wilayah DAS diwajibkan menanam masing-masing sebatang pohon untuk memenuhi fungsi lindung wilayah tangkapan air sehingga memadai.

Read More..