Friday, May 30, 2008

UMUR OPERASIONAL PLTA SAGULING TERANCAM

BANJIR TETAP TERJADI MESKI SUDAH ADA 30 SODETAN
Republika Online, 22 Mei 2008, Ren
Foto: Sobirin 2006, Waduk Saguling Terancam Sedimentasi


Menurut Sobirin, genangan banjir di cekungan Bandung pernah mencapai 7,5 ribu hektare pada 1986.
Saat itu, solusi yang dilakukan adalah menyodet-nyodet sungai Citarum. Ia menghitung, ada 30 sodetan lebih, namun banjir dan genangan tetap terjadi.



BANDUNG -- Umur operasional PLTA Saguling terancam jika rencana pemerintah memapas Curug Jompong Benteng Hilir Cekungan Bandung terlaksana. Pasalnya, pemapasan itu akan meningkatkan sedimentasi di Saguling dari biasanya sebanyak 4,2 juta meter kubik per tahun.

Seperti diketahui, pemerintah berencana memapas Curug Jompong untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan. Wacana itu mengemuka pada 2006, tapi sempat meredam di 2007. Pada 2008, wacana tersebut kembali mengemuka dan kini proyek itu berada di Pemprov Jabar. Rencananya pemapasan curug akan menggunakan dana pinjaman luar negeri.

''Pemapasan itu akan memperbesar nilai sedimentasi,'' ujar Manajer Lahan dan Waduk Saguling, Djoni Santoso dalam acara diskusi bersama Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), Rabu (21/5). Dia menegaskan, ketika curug dipapas, air akan semakin deras sehingga sedimentasi yang biasanya mengendap di mulut waduk, kini akan langsung menuju dam (waduk).

Djoni mengatakan, sejak berdiri pada 1980-an hingga 2007, sedimentasi di Saguling mencapai 84,8 juta meter kubik. Adapun desain kapasitas Saguling sendiri sekitar 167,7 juta. ''Tinggal di hitung, berapa kapasitas yang tersisa,'' cetus Djoni.

Menurut petugas Sipil dan Lingkungan Saguling, Pitoyo, Saguling bisa membantu penyediaan listrik jika ketersediaan listrik untuk Jawa dan Bali bermasalah. PLTA, sambung dia, merupakan sumber energi yang murah meriah dibanding dengan penggunaan BBM.


Dari catatannya, PLTA Saguling mampu menghemat penggunaan BBM sebanyak 646,8 juta liter per tahun. ''Jika saat ini harga solar untuk industri Rp 6.000 per liter, tinggal dikalikan berapa penghematan yang dilakukan Saguling,'' katanya menandaskan.


Pitoyo mengungkapkan, persoalan banjir adalah masalah yang kompleks. Selama ini, pemerintah tidak memberikan jaminan terhadap hal tersebut. ''Dengan pemapasan, maka gradian akan berubah menjadi semakin miring. Risikonya sudah jelas, namun belum tentu bisa menyelesaikan masalah banjir,'' cetus dia.


Pengurus Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, mengatakan Curug Jompong jangan dipapas atau diganggu sedikitpun. Kata dia, solusi mengatasi masalah banjir, tidak hanya menyodet sungai dan memapas curug.

''Akar masalahnya sebenarnya adalah degradasi kawasan lindung di hulu dan perilaku warga yang tidak berwawasan lingkungan. Curug Jompong sendiri merupakan benteng hilir cekungan Bandung yang harus dipertahankan,'' katanya menegaskan.

Sobirin menjelaskan, luas total cekungan Bandung 350 ribu hektare. Seharusnya secara alami, kawasan lindung yang ada sebanyak 60 persen atau 210 ribu ha. Dengan jumlah penduduk lebih dari tujuh juta, kata dia, maka banyak warga yang akhirnya mengintervensi kawasan lindung dan lahan basah. ''Akhirnya, sifat permukaan tanah yang tadinya mampu meresapkan air, sekarang tidak bisa karena tertutup bangunan. Makanya, saat musim hujan, air tidak terserap sehingga banjir,'' katanya menjelaskan.


Menurut Sobirin, genangan banjir di cekungan Bandung pernah mencapai 7,5 ribu hektare pada 1986. Saat itu, solusi yang dilakukan adalah menyodet-nyodet sungai Citarum. Ia menghitung, ada 30 sodetan lebih, namun banjir dan genangan tetap terjadi.


Sobirin mengatakan, pemerintah mempunyai dua alternatif yakni memapas dan membuat terowongan. Namun, kedua cara ini bukanlah sebuah solusi karena banyak dampak negatif yang akan terjadi. Kata dia, ada lima pola pengelolaan yang bisa dilakukan pemerintah yakni konservasi, pemanfaatan, antisipasi daya rusak, sistem informasi, serta kelembagaan dan kemitraan. ''Namun, yang tidak kalah penting adalah kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan,'' katanya. ren

Read More..

Thursday, May 22, 2008

CURUG JOMPONG DIPANGKAS, DANA SIAP DIKUCURKAN

detikBandung, 21 Mei 2008, Ema Nur Arifah
Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong, Citarum


Sobirin kembali menekankan pemangkasan Curug Jompong sebagai salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan bukanlah jaminan. Dikemukakannya masalah banjir sangat kompleks, solusi banjir tidak hanya dengan menyodet sungai Citarum dan memangkas Curug Jompong.



Bandung - Wacana pemangkasan Curug Jompong yang mencuat 2006 lalu untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan sepertinya tak akan lagi sekedar wacana, saat ini pengajuan pemangkasan tersebut sudah sampai ke meja pemerintah. Aliran dana dari luar negeri pun akan segera disiapkan untuk membiayai pemapasan sedalam 3 meter di curug tersebut.

Demikian disampaikan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin. Kembali ditekankan oleh Sobirin bahwa pemangkasan Curug Jompong sebagai salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan bukanlah jaminan. Dikemukakannya masalah banjir sangat kompleks, solusi banjir tidak hanya dengan menyodet sungai dan memangkas Curug Jompong.


"Curug Jompong jangan dipapas, jangan diganggu," tutur Sobirin dalam diskusi yang digelar di Sekretariat Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), Jl Singaperbangsa, Rabu (21/5/2008). Selain dihadiri wartawan, acara ini juga dihadiri Manajer Lahan dan Waduk Saguling Djoni Santoso dan Petugas Sipil dan Lingkungan PLTA Saguling Pitoyo.


Menurutnya, akar masalah banjir di Bandung Selatan adalah degradasi kawasan lindung di hulu dan perilaku warga yang tidak berwawasan lingkungan. Curug Jompong adalah benteng hilir cekungan Bandung yang harus dipertahankan. Dipaparkannya, seiring pertambahan penduduk di daerah cekungan Bandung potensi lahan basah di kawasan tersebut dari tahun ke tahun terus berkurang. "Sifat pemukaan tanah yang tadinya mampu meresapkan air, sekarang tidak bisa, sebab sudah tertutup bangunan," jelasnya. Sehingga ketika musim hujan air tidak terkendali menjadi banjir dan genangan yang menimbulkan bencana.

"Langkah pemapasan Curug Jompong belum tentu menyelesaikan masalah banjir di cekungan Bandung, karena akar masalah banjir dimulai dari hulu," jelasnya. Sobirin menuturkan sebaiknya pemerintah belajar dari pengalaman penyodetan sungai Citarum sebelumnya yang dianggap banyak pihak sebagai kegagalan sebuah solusi.

Pada tahun 1986, ungkap Sobirin, pernah terjadi genangan banjir di cekungan Bandung sampai mencapai luas 7,5 ribu hektar. Solusi yang dilakukan dengan menyodet sungai Citarum sampai mencapai sebanyak 30 sodetan lebih, kenyataannya tetap saja terjadi banjir dan genangan. Sekarang ada wacana akan memapas Curug Jompong. Pemapasan ini dikhawatirkan akan mempercepat sedimentasi Waduk Saguling.

Menurut Sobirin, solusi banjir tanpa menyodet sungai dan kawasan curug yaitu memulihkan kawasan lindung di hulu, dipulihkannya kawasan lahan basah, membatasi jumlah penduduk di kawasan lindung dan perilaku beradab dan bermartabat bagi warga dan tamu yang berada di cekungan Bandung. "Jadi tidak perlu Curug Jompong dipangkas, nanti menyesal di kemudian hari," tandasnya.


Diketahui kawasan Bandung Selatan memang sudah sejak lama menjadi kawasan rawan banjir. Setiap musim hujan melanda, seringkali wilayah inilah yang menjadi sasaran air bah yang bisa merendam perumahan penduduk. Pemerintah menilai keberadaan Curug Jompong di wilayah cekungan Bandung menjadi salah satu penghambat lancarnya aliran air dari sungai Citarum sehingga menyebabkan banjir. Untuk itu penyodetan aliran sungai Citarum sepanjang 30 kilometer dan pemapasan Curug Jompong pun mengemuka. (ema/ern)

Read More..

PEMAPASAN CURUG JOMPONG

TIDAK AKAN ATASI MASALAH BANJIR BANDUNG
KOMPAS.com, Rabu, 21 Mei 2008, A01

Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong, Citarum

Menurut Sobirin, jumlah penduduk di cekungan Bandung hingga tahun 2005 mencapai 7 juta jiwa dan setiap tahun terus bertambah. Pertambahan jumlah penduduk ini memunculkan sejumlah permukiman baru, sehingga mengurangi kawasan lindung yang seharusnya menjadi lahan resapan air.




BANDUNG, RABU - Wacana pemerintah Provinsi Jawa Barat mengatasi genangan air banjir di daerah cekungan Bandung melalui pemapasan Curug Jompong tidak akan mengatasi permasalahan. Langkah tersebut justru akan menimbulkan permasalan baru, seperti erosi, terbuangnya sumberdaya air di cekungan Bandung, dan masuknya sedimentasi dalam jumlah besar ke Waduk Saguling.

Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung T Bachtiar, Rabu (21/5) di Bandung mengungkapkan, bila pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) melakukan pemapasan Curug Jompong sedalam tiga meter, maka sedalam itu pula dasar Sungai Citarum akan tergerus. Akibatnya, terjadilah arus erosi ke hulu yang akan membawa jutaan kubik lumpur ke hilir.


"Aliran air akan bertambah cepat dan memicu erosi yang lebih cepat pula sehingga ekologi sungai akan rusak dan volume sedimentasi di Waduk Saguling cepat bertambah, " ungkap Bachtiar. Karena tingginya endapan lumpur di Waduk Saguling yang berlangsung tiba-tiba, maka volume air akan berkurang sehingga kapasitas listrik melemah.

Menurut Bachtiar, jika permukaan Curug Jompong diturunkan sekitar tiga meter, maka sedalam itu pula dasar Sungai Citarum akan tergerus ke hulu dan endapan lumpur sepanjang 30 kilometer akan berpindah ke Danau Saguling.


Manajer Lahan dan Waduk PLTA Saguling Djoni Santosa mengatakan, setiap tahun Waduk Saguling menerima endapan lumpur dari hilir sebanyak 4,2 juta meter3. Menurutnya, jumlah ini sudah melebihi kapasitas awal yang hanya 4 juta meter3 endapan per tahun. Bahkan, selama 23 tahun beroperasi, endapan yang telah masuk ke Waduk Saguling sebanyak 84,8 juta meter3.

"Kantong lumpur yang tersedia di Waduk Saguling sebesar 167, 7 juta meter3 dan sekarang sudah masuk 84,8 juta meter3. Jika penurunan Curug Jompong benar-benar terealisasi, maka waduk akan cepat terisi lumpur sehingga produksi listrik untuk Jawa dan Bali terancam berhenti, " kata Djoni.


Supervisor Senior Pemeliharaan Sipil PLTA Saguling Pitoyo Punu menambahkan, Waduk Saguling memiliki kapasitas sebesar 700 Mega watt. Kapasitas tersebut mampu memproduksi daya listrik sebesar 2.156 Giga watt hour. "Dengan keberadaan PLTA Saguling yang mengandalkan air sebagai penghasil energi, negara dapat menghemat sekitar 646,8 juta liter solar per tahun, " tambahnya.

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, banjir merupakan permasalahan kompleks. Karena itu, pemapasan Curug Jompong bukanlah satu-satunya solusi. Akar permasalahan banjir adalah terjadinya degradasi kawasan lindung di hulu. "Curug Jompong adalah benteng hilir cekungan Bandung yang harus dipertahankan, " ucapnya.


Menurut Sobirin, jumlah penduduk di cekungan Bandung hingga tahun 2005 mencapai 7 juta jiwa dan setiap tahun terus bertambah. Pertambahan jumlah penduduk ini memunculkan sejumlah pemukiman-pemukiman baru sehingga mengurangi kawasan lindung yang seharusnya menjadi lahan resapan air.


Karena itu, Pemprov Jabar harus mampu mengkoordinasi kabupaten dan kota yang berada di cekungan Bandung dan melakukan kebijakan pemulihan kawasan lindung cekungan Bandung. Sobirin menawarkan beberapa solusi, antara lain pemeliharaan mata air, sungai , dan situ, perbaikan drainase air di perkotaan, serta pembuatan pemukiman daerah banjir dengan model rumah panggung.


Bachtiar menambahkan, pencegahan banjir di cekungan Bandung harus dilakukan secara sinergis mulai dari hulu ke hilir. Selain itu, pemerintah harus tegas membuat pembatasan wilayah cagar alam serta menggalakkan gerakan peremajaan tanaman secara serentak dan bukan sekadar seremoni belaka.(A01)

Read More..

WADUK SAGULING TERANCAM

PEMAPASAN CURUG JOMPONG AKAN MERUSAK LINGKUNGAN
Tribun Jabar, 22 Mei 2008, Kisdiantoro
Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong, Citarum
Sobirin dari DPKLTS mengatakan, masalah banjir di Cekungan Bandung sangatlah kompleks. Penyodetan sungai dan pemangkasan Curug Jompong bukanlah satu-satunya solusi. Akar permasalahan adalah degradasi kawasan lindung di hulu dan perilaku warga yang tidak berwawasan lingkungan.



BANDUNG, TRIBUN - Rencana pemerintah memangkas Curug Jompong di Kabupaten Bandung Barat sebagai solusi masalah banjir akan mengancam keberadaan Waduk Saguling. Selain akan memperpendek usia waduk, erosi di sepanjang Sungai Citarum karena laju air yang semakin kencang juga akan mempercepat sedimentasi. Padahal, Saguling berperan penting sebagai pemasok energi listrik di Jawa dan Bali melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

"Hingga tahun 2007, sedimentasi di Saguling mencapai 84,8 juta meter kubik. Padahal, Saguling didesain dengan kapasitas sedimentasi 167,7 juta meter kubik. Jadi, sekarang tinggal separuhnya. Kalau benar akan dilakukan pemangkasan Curug Jompong, ini akan memperpendek umur Saguling. Kami tidak setuju dengan rencana itu karena fungsi Saguling akan habis," jelas Manajer Lahan dan Waduk Saguling Joni Santoso saat berdiskusi dengan tema Daya Tahan Pembangkit Listrik dan Rencana Peledakan Batu Alam di Citarum di Sekretariat Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB), Rabu (21/5).


Ditambahkan Joni, Saguling merupakan PLTA yang paling ekonomis. Saat terjadi pemadaman jaringan listrik Jawa Bali, PLTA Saguling adalah satu-satunya PLTA yang bisa menggantikannya. Untuk mem-back up itu, hanya butuh waktu 6 menit dengan kekuatan 500 KWh.
Selain fungsi tersebut, Saguling selama ini menjadi filter air sebelum masuk ke Waduk Cirata dan Jatiluhur. Katanya, dalam setahun ada 305 ribu meter kubik sampah yang masuk ke Saguling.

Peneliti Kelompok Riset Cekungan Bandung T Bachtiar mengkhawatirkan Sungai Citarum akan mengalami kekeringan jika Curug Jompong dipangkas. Alasannya, selama ini Sungai Citarum terisi air karena ada bebatuan Curug Jompong yang menahan laju air. Bukan hanya itu, fondasi jembatan yang melewati Sungai Citarum akan menggantung setelah ada pemangkasan karena volume air menjadi rendah.


"Endapan lumpur sepanjang 30 kilometer akan berpindah ke Saguling. Air yang cepat akan menjadikan erosi semakin cepat," kata T Bachtiar.
Bachtiar mengatakan, tidak ada jaminan pemangkasan Curug Jompong akan mengatasi masalah banjir. Pasalnya, program sodetan dan pengerukan Sungai Citarum pun tidak memberikan solusi. Buktinya, hingga saat ini masih terjadi banjir.

Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mengatakan, masalah banjir di Cekungan Bandung sangatlah kompleks. Penyodetan sungai dan pemangkasan Curug Jompong bukanlah satu-satunya solusi. Katanya, akar permasalahannya adalah degradasi kawasan lindung di hulu dan perilaku warga yang tidak berwawasan lingkungan. "Curug Jompong adalah benteng hilir cekungan Bandung yang harus dipertahankan," katanya.
Solusi utamanya adalah memulihkan kawasan lindung dan lahan basah serta membatasi jumlah penduduk di kawasan lindung. Yang juga penting adalah mengubah perilaku masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan.(dia)

Dampak Pemangkasan
- Laju air Citarum makin cepat.
- Air membawa lumpur yang otomatis mempercepat sedimentasi.

- Sedimentasi akan mengganggu fungsi Saguling sebagai PLTA.


Solusi Jangka Panjang

- Pulihkan kawasan lindung dan lahan basah
.
- Batasi jumlah penduduk di kawasan lindung.

- Ubah perilaku masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan.

Read More..

Tuesday, May 20, 2008

KAWASAN LINDUNG BERUBAH FUNGSI

Pemerintah Harus Serius Berkomitmen
KOMPAS, Jawa Barat, 16 Mei 2008, A15

Foto: Sobirin 2006, Kawasan “Lindung” Bandung Utara


“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.


BANDUNG, KOMPAS – Ketersediaan air bersih di Jawa Barat dinilai mencapai tahap kritis. Penyebabnya, lebih dari 50 persen daya dukung lingkungan berupa kawasan lindung sebagai daerah resapan air tidak lagi digunakan sesuai peruntukannya.

Hal itu diungkapkan mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air sekaligus aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, Kamis (15/5).


Sobirin
mengatakan, 45 persen dari 3.720.772 hektar total luas wilayah Jabar atau sekitar 1,7 juta hektar seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air yang umumnya berada di hulu tiap daerah aliran sungai.


Dari sekitar 1,7 juta hektar lahan ini, sebanyak 22 persen atau 816.603 hektar berupa kawasan hutan, sekitar 400.000 hektar merupakan lahan milik masayarakat, dan sekitar 500.000 hektar sisanya merupakan lahan perkebunan negara dan swasta. “Kini dari 1,7 juta hektar tersebut hanya tersisa sekitar 0,65 juta hektar lahan kawasan lindung yang masih sesuai dengan peruntukannya,” kata Sobirin.


Potensi sumber daya air suatu daerah bergantung pada konsep curah hujannya. Di Jabar, menurut penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, potensi sumber daya air pada musim hujan mencapai 80 miliar meter kubik per tahun. Pada musim kemarau hanya mencapai 8 milyar meter kubik per tahun.


“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.

Sedikitnya kawasan lindung di Jabar ini diakibatkan oleh pengalihan fungsi lahan, antara lain beralihnya daerah resapan air menjadi kawasan permukiman atau area pertanian. Selain itu, ada pula kelalaian pengelolaan hutan, baik konservasi maupun lindung, sehingga menyebabkan penyerapan air tidak maksimal.


Harus berkomitmen

Pemerintah harus lebih serius berkomitmen mengembalikan 45 persen kawasan lindung yang berfungsi sebagai daya dukung wilayah Jabar. Keseriusan ini dapat dilakukan dengan mempertegas kewenangan antara Pemprov dan pemerintah tingkat Kabupaten/Kota.

“Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebenarnya sudah jelas mengatur rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi keberadaan otonomi daerah pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan kewenangan RTRW daerah tumpang tindih,” ujar Sobirin.


Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Prima Mayaningtias mengatakan, komitmen Pemprov Jabar tertuang daam Peraturan daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

“Pemprov Jabar berkomitmen mewujudkan kawasan lindung 45 persen pada 2010 mendatang. Meski tidak mudah, dengan penentuan garis batas (deliniasi) kawasan wajib dilindungi, pemerintah Kabupaten/Kota akan terbebani kewajiban serta dapat dikenai sanksi bila memberikan perizinan tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata Prima.


Prima mengatakan, keseriusan pemerintah juga tercermin dengan adanya wacana pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah sebagai badan yang berfungsi mengatur dan mengkoordinasikan RTRW Jabar.


Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Muhammad Hendarsyah berpendapat, ketersediaan air di Jabar yang berakar pada pengalihan fugsi lahan membuthkan penegakan hukum yang baik. (A15)

Read More..

BPB DAERAH SEGERA DIBENTUK

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Segera Dibentuk
SEPUTAR INDONESIA
, Koran SINDO, 14/5-2008, Arif Budianto

Foto: Sobirin 2003, Longsor Mandalawangi, Garut


Sementara itu, anggota Komunitas Antisipasi Bencana Bandung Spirit yang juga anggota DPKLTS Sobirin menegaskan, selama ini pemerintah dinilai belum optimal, lambat, dan parsial dalam menangani bencana alam.


BANDUNG (SINDO) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar segera membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam waktu dekat. Pasalnya, selama ini penanganan bencana di Jabar terkesan lamban.

Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Jabar Deny Juanda mengatakan, rencana itu akan diajukan oleh Gubernur Jabar Danny Setiawan kepada DPRD Jabar. Dengan terbentuknya Badan Penangulangan Bencana Daerah di Jabar, penanganan dan penanggulangan bencana lebih cepat dilakukan.

”Kami ingin, lembaga ini ada di daerah-daerah. Tak hanya di tingkat nasional. Jika mengandalkan seperti Badan SAR Nasional masa lalu, penanganan bencana jadi lambat,” kata Deny seusai membuka workshop Penguatan Kebijakan Penanggulangan Bencana Alam di Jabar di aula Balitbangda, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, kemarin.

Menurut dia, Pemprov Jabar telah merancang beberapa langkah antisipasif terhadap masalah bencana alam di Jabar. Di antaranya,menggalakkan penanganan bencana alam secara cepat dan akurat. Meningkatkan persiapan dini, mitigasimenghadapi bencana, dan mengurangi risiko bencana alam. Untuk itu pihaknya menganggarkan dana Rp22 miliar. ”Selama ini penanganan terhadap bencana alam terkesan lambat, karena belum tahu SOP-nya,” ujar dia.


Sementara itu, anggota Komunitas Antisipasi Bencana Bandung Spirit yang juga anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menegaskan, selama ini pemerintah dinilai belum optimal, lambat, dan parsial dalam menangani bencana alam. Lebih parah lagi, setelah tanggap darurat selesai, korban ditinggal di penampungan pengungsian dengan fasilitas minim. ”Penanganan bencana alam terkesan tidak terkoordinasi dengan baik,” tegas Sobirin. (Arif Budianto)

Read More..

Monday, May 19, 2008

BBM

Galura, Koran Sunda, Bray No. 07 Taun Ka 20, Minggu III Mei 2008
Foto: www.banten.go.id/2008, Back To Basic? Mencari Kayu Bakar


Ku: Sobirin

Kreatifitas kitu teh kreatifitas nu kapaksa ku kaayaan, pedah BBM mahal. Mun teu mahal mah moal neangan alternatif nu kitu. Ku pamarentah kreatifitas masarakat kudu diayunkeun lantaran BBM bisa diirit, hartina pamarentah teu pati gede teuing ngasubsidi BBM.



Harga minyak atah nu terus-terusan nerekel ngalantarankeun pamarentah urang kekeleyengan neangan jalan kaluarna. Kituna teh lantaran keur nyumponan pangabutuh bahan bakar minyak (BBM) di jero nagara, pamarentah meuli atawa ngimpor minyak atah nu terus diolah jadi solar, bensin, jeung minyak tanah. Hasil olahan minyak atah ieu disubsidi ku pamarentah, hargana sahandapeun harga pasar internasional.


Bangsa jeung nagara urang memang moal bisa nyengker naekna harga minyak atah di dunya internasional. Rek hargana tepi ka USD 200 sabarel oge teu bisa nolak jeung kudu narima. Kitu deui nagara-nagara sejen, nagara konsumen minyak atah. Sangkan anggaran pamarentah henteu jebol pedah dipake nyubsidi BBM, pamarentah boga rencana ngurangan nyubsidi ka cara naekkeun harga BBM.


Geus kajudi naekna harga BBM bakal leuwih ngaripuhkeun masarakat leutik nu pangasilanana pas-pasan. Pangusaha-pangusaha leutik oge bakal loba nu teu ngalaksanakeun usahana. Masarakat handap teh beuki ripuh ku harga-hargaan nu tangtu bakal apung-apungan, eukeur mah tadina oge geus undak, beas, endog, minyak goreng jeung sajabana. Ceuk para pangamat, ku naekna BBM jumlah nu miskin bakal leuwih nambahan.


Najan kitu, ku aya rencana naekna BBM harga BBM, ngalantarkeun masarakat kreatif. Keur kaperluan masak neangan cara sangkan teu gumantung teuing kana kompor minyak tanah jeung gas (lebah dieu gas oge beuki dieu beuki hese wae). Aya nu nyieun hawu nu make tai ragaji, huut badag, batok kalapa, make suluh kai urut, aya oge nu nyieun kompor nu minyakna make minyak jarak, jeung sajabana. Di luar Jawa Barat mah aya nu make tai munding jeung sapi sagala.


Kreatifitas kitu teh kreatifitas nu kapaksa ku kaayaan, pedah BBM mahal. Mun teu mahal mah moal neangan alternatif nu sarupa kitu. Ku pamarentah kreatifitas masarakat teh kudu diayunkeun lantaran BBM bisa diirit, hartina pamarentah teu pati gede teuing ngasubsidi BBM. Anu nyieun kompor minyak jarak kudu disumangeutan, upamana ku tarekah ngawanohkeun mangpaat minyak jarak. Masarakat, babakuna di desa-desa, sing marelak tangkal jarak nu buahna engke dijieun minyak jarak.


Masarakat golongan luhur oge kudu sina nurutan kreatifitas masarakat leutik dina ngirit BBM. Mun masarakat luhur teu kageuing lantaran ngarasa sakumaha mahalna BBM bisa kabeuli keneh, pamarentah kudu bisa narekahan sangkan masarakat luhur ulah boros dina BBM, make mobil ulah sangeunahna, upamana ka mana-mana make mobil nu boros bensin atawa solar tur nu makena ngan saurang. Pamarentah bisa nyieun jeung nerapkeun aturan sangkan mobil-mobil pribadi teu loba teuing dipakena.


Tina jihad sejen, pamarentah kudu ngawujudkeun pamarentah nu bener-bener bersih. Anggaran bener-bener dipake keur kapentingan masarakat loba, teu awuntah, teu sagala dibeuli. Anggaran di urang, boh APBN boh APBD tingkat propinsi jeung APBD tingkat kabupaten/kota, 60 persen keur balanja pagawe (keur gajih jeung keur meuli kaperluan departemen atawa dinas), sesana 40 persen keur pangwangunan. Kuduna mah anggaran keur balanja pagawe henteu loba, kuduna gegedena keur pangwangunan, keur kapentingan masarakat.

Bedahna beubeunangan tina pajeg oge kudu bisa dikurangan, ngarah ladang pajeg teh sagemblengna asup ka pamarentah sarta bisa digunakeun keur kapentingan masarakat, henteu nyangsang di mana-mana. Alusna mah badan nu ngurus pajeg teh misah ti Departemen Keuangan, ngarah bisa kakontrol. Nu ngurus pajeg mangrupa lembaga nu di-kepala-an ku pajabat satingkat menteri. Ku urang Jawa Barat, usulan ieu teh geus ditepikeun ka presiden nu ayeuna, ngan hanjakal tacan digugu.


Ku tarekah ngirit BBM nu dilaksanakeun ku masarakat leutik jeung masarakat menengah ka luhur, dana tina APBN jeung APBD gegedena digunakeun keur pangwangunan jeung kapentingan msarakat, beubeunangan tina pajeg sagemblengna asup ka pamarentah, undakna harga minyak atah moal ngaripuhkeun teuing pamarentah jeung masarakat. Pamarentah mampuh keneh meuli minyak atah lantaran boga dana bari teu kudu ngabeuratkeun masarakat.


Dina jangka panjangna, masarakat jeung pamarentah kudu soson-soson neangan, ngali jeung ngembangkeun energi alternatif, sangkan henteu gumantung kana BBM. Nagara urang teh beunghar ku sumber daya alam (SDA) nu bisa dimangpaatkeun keur energi sarta moal beak-beak lantaran bahanna bisa dipelak, upamana tangkal jarak. Hiji mangsa mun minyak tina fosil geus ngipisan atawa beak pisan, urang henteu gupuy-gupay deui lantaran geus boga gantina.


Sobirin, Panitenan sosial, budaya, lingkungan, jeung anggota Dewan Pakar di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Bandung.

Read More..

BERHARAP PADA KEARIFAN LOKAL

KOMPAS, Jawa Barat, 19 Mei 2008, Cikaracak, A15
Gambar: Dicky, KOMPAS, 19 Mei 2008

Sungguh benar adanya. Dalam lingkup Jabar saja, dari 1,7 juta hektar kawasan lindung yang dimiliki, kini tersisa 650.000 hektar. ”Sisanya habis dikonversikan untuk kebutuhan bisnis. Lihat saja Kawasan Bandung Utara dan Selatan yang habis digunakan untuk permukiman orang-orang kota,” kata Sobirin terpisah.



Kerusakan lingkungan hidup memang bukan topik yang terbilang baru untuk dibicarakan masyarakat dunia. Paling umum adalah mereka sibuk membahas dan mengampanyekan dampak lingkungan hidup dari pemanasan global.

Mulai dari kebanjiran, pemanasan suhu dunia, hingga pencairan es di Kutub Utara kerap menjadi menjadi topik seminar lingkungan hidup. Namun, topik yang selalu luput dari perhatian adalah keterancaman dunia terhadap air bersih.


Mengutip catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR), ketersediaan air di Kota Bandung memasuki tahun 2000-an, dengan jumlah penduduk sekitar tiga juta orang dan luas wilayah mencapai 17.000 hektar, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. Padahal, konsumsi setiap orang idealnya 200 liter per hari.


Pada awal 1930, dengan jumlah penduduk hanya 250.000 orang dan luas wilayah 3.000 hektar, setiap orang memiliki ketersediaan air sebanyak 1.200 liter per hari atau enam kali lebih banyak dari yang dibutuhkan setiap warga Kota Bandung.


Hal ini terjadi tidak semata-mata karena penambahan penduduk. Mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR), sekaligus aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, alih fungsi (konversi) lahan memiliki peran terbesar dalam perusakan lingkungan hidup.


Sungguh benar adanya. Dalam lingkup Jabar saja, dari 1,7 juta hektar kawasan lindung yang dimiliki, kini tersisa 650.000 hektar.
”Sisanya habis dikonversikan untuk kebutuhan bisnis. Lihat saja Kawasan Bandung Utara dan Selatan yang habis digunakan untuk permukiman orang-orang kota,” kata Sobirin terpisah.

Seniman dan aktivis pencinta lingkungan Iwan Abdulrachman membenarkannya. ”Lucunya, konversi hutan itu terjadi dengan seijin para pejabat yang berilmu tinggi,” ujar Iwan pada seminar tentang air di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Sabtu (17/5).


Tak bisa mengerem

Segala peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lagi menjadi satu-satunya alat yang mampu mengerem konversi lahan.


Letih rasanya bila berharap pada kekuatan eksternal-represif seperti penegakan peraturan perundangan untuk menghentikan konversi lahan. Mengutip perkataan Iwan, sudah saatnya masyarakat dunia kembali pada kearifan lokal.

Kearifan lokal tidak hanya berarti mengembalikan diri pada nilai-nilai, adat, dan tradisi masyarakat setempat, tapi memahami, menghormati, dan mengimplementasikan nilai itu dalam kehidupan.


”Dulu ibu saya sering bilang, tong lebet ka leuweung, pamali!” (Jangan masuk ke hutan, tabu!). Dengan tingginya tingkat kepatuhan dan kehormatan kepada orang tua, anak-anak menuruti dan tidak pernah menjamah hutan. Kearifan lokal seperti ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujar Iwan.


Ini menjadikan hutan-hutan di beberapa daerah masyarakat adat, seperti Kampung Naga, Baduy, tetap asli tak terjamah. Akibatnya, siklus kehidupan antara manusia dan lingkungan hidup sebagai daya dukungnya tetap terjaga.

Oleh karena itu, lanjut Iwan, tumbuhkan kembali rasa kepatuhan dan hormat pada lingkungan melalui kearifan lokal pada diri setiap orang yang memiliki peranan dan jabatan di pemerintahan.

“Mulai dari diri sendiri dan pengaruhi lingkungan sekitarnya hingga tercipta masyarakat yang menghormati lingkungan di sekitarnya,” tuturnya penuh harap. Memakan waktu lama? Sudah pasti, tetapi bila tidak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi? (A15)

Read More..

Saturday, May 17, 2008

KALA MATA AIR BERLINANG "AIR MATA"

KOMPAS, Jawa Barat, Sabtu, 17 Mei 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Sisa-Sisa Mata Air Bandung

Memasuki tahun 2000-an, lanjut Sobirin, ketersediaan air di Kota Bandung, yang luasnya 17.000 hektar dengan tiga juta penduduk, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. "Jaminan ini hanya sejumlah 0,1. Padahal, awalnya ketersediaan air kita mencapai enam kali kebutuhan per hari," ujar Sobirin.




Ketersediaan air bagi suatu daerah erat kaitannya dengan keberadaan kawasan lindung sebagai daya dukungnya. Keberadaan kawasan lindung yang baik akan menghasilkan mata air yang banyak dan tetap terjaga. Mata air biasanya muncul dari tebing-tebing atau pegunungan tanpa perlu digali seperti sumur.



Mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair) Jawa Barat sekaligus aktivis lingkungan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin mencontohkan, di perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung saja, berdasarkan catatan Pusair pada tahun 2003, setidaknya terdapat 77 mata air.


Akan tetapi, tahun 2008, pada musim kemarau hanya tersisa seperempat atau 19 mata air yang masih berfungsi baik. Pada musim hujan, mata air yang berfungsi hanya setengah atau 38 mata air.


Menghilangnya mata air ini benar-benar mengancam ketersediaan air di Kota Bandung dan Jabar lebih luasnya. Sobirin menjelaskan, mengeringnya mata air ini membuat jaminan ketersediaan air menurun drastis.

Dengan kebutuhan konsumsi air ideal sebanyak 200 liter per orang per hari, Pusair mencatat, pada tahun 1930 jaminan ketersediaan air per orang per hari mencapai enam kali. Dengan kata lain, kala itu setiap orang per hari memperoleh 1.200 liter air dengan keadaan Kota Bandung yang hanya seluas 300 hektar dengan 250.000 penduduk.


Diikuti dengan perluasan wilayah menjadi 8.000 hektar dan penambahan penduduk menjadi 650.000 jiwa pada tahun 1950, ketersediaan air berkurang menjadi 400 liter per orang per hari.


Memasuki tahun 2000-an, lanjut Sobirin, ketersediaan air di Kota Bandung, yang luasnya 17.000 hektar dengan tiga juta penduduk, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. "Jaminan ini hanya sejumlah 0,1. Padahal, awalnya ketersediaan air kita mencapai enam kali kebutuhan per hari," ujar Sobirin.


Ketersediaan air yang semakin berkurang dan mengeringnya mata air ini tak lain disebabkan oleh pengalihan fungsi hutan sebagai kawasan lindung menjadi kawasan permukiman atau fungsi lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Menurut Pusair, sebanyak 1,05 juta hektar dari total 1,7 juta hektar kawasan lindung di Jabar tidak lagi berfungsi dengan baik akibat konversi kawasan lindung menjadi daerah permukiman.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Muhammad Hendarsyah mengatakan, konservasi air melalui penataan daya dukung lingkungan yang baik seharusnya diatur pemerintah dengan lebih tegas.


Kearifan lokal


Seniman dan aktivis pencinta lingkungan, Iwan Abdulrachman, mengatakan, konservasi air belum akan berhasil bila hanya mengandalkan kekuatan represif-eksternal berupa peraturan dari pemerintah atau aparat penegak hukum.


Pasalnya, kesadaran menghormati lingkungan baru akan berhasil bila tumbuh dari masyarakat itu sendiri. "Kita harus paham benar nilai-nilai yang diberikan lingkungan terhadap kehidupan manusia.


Dengan begitu kita tidak sebatas berkata akan mereservasi lingkungan saja di bibir, tetapi paham benar makna nilainya dan mulai berbuat sesuatu," kata Iwan.


Iwan mengatakan, konservasi air yang berakar pada pelestarian hutan sebagai kawasan lindung ini selalu dikampanyekan secara besar-besaran. Kenyataannya, pembalakan liar ataupun konversi hutan lindung masih kerap terjadi.

Adapun pada kehidupan masyarakat adat, seperti Baduy dan Kampung Naga, hutan di sekelilingnya hampir tak terjamah. "Sulit memang diterima akal, tetapi masyarakat adat, meski tidak memahami ilmu pengetahuan mendalam bahkan tidak menyadari ancaman pemanasan global, bisa memberikan hal yang lebih dengan tetap menjaga kelestarian hutan melalui kearifan lokal adatnya," kata Iwan.


Oleh karena itu, penghormatan, pemahaman, dan pengimplementasian nilai-nilai pelestarian lingkungan seharusnya ditumbuhkan dalam masyarakat. "Tanamkanlah kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan dalam pendidikan bangsa sejak dini. Setidaknya ini akan menumbuhkan kesadaran dan cinta pada lingkungan (alam)," ujar Iwan. (A15)

Read More..

Wednesday, May 14, 2008

HARAPAN MASYARAKAT DALAM KEBENCANAAN

Balitbangda dan Dewan Riset Daerah Prov Jabar, 14/5-2008
Foto: www.indonesia-1.com/ Tsunami Pangandaran/ 2006

Oleh: Sobirin
Bencana bisa menjadi bisnis yang sangat menguntungkan. Mencari keuntungan dari setiap kejadian bencana akan menjadi suatu trend. Bisa dilakukan pengusaha, birokrat, dan lembaga masyarakat, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kita harus mewaspadai hal ini.






HARAPAN MASYARAKAT
TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
DI JAWA BARAT


Oleh: SOBIRIN - Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda


LOKAKARYA
PENGUATAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

DI JAWA BARAT

KERJASAMA BALITBANGDA PROVINSI JAWA BARAT - DRD JAWA BARAT

BANDUNG, 14 MEI 2008



Kapasitas Masyarakat dan Konteks Kebencanaan Jawa Barat


Menurut Pater Brouwer, seorang humanis yang pernah tinggal di Jawa Barat sekitar 1960-an, dikatakan bahwa Jawa Barat yang cantik molek ini diciptakan saat Yang Maha Kuasa tersenyum. Namun dibalik keindahan dan kesuburan alamnya, Jawa Barat ternyata sangat rawan dan sensitif terhadap ancaman bencana. Sedikit saja kawasan lindungnya terusik oleh keserakahan manusia, maka akan mudah terjadi bencana yang membawa korban dan kerugian harta benda.


Potensi kebencanaan Jawa Barat yang cukup besar ini sangat korelatif dengan aspek geografis yang bergunung-gunung, aspek klimatologis yang memiliki curah hujan tinggi, aspek geologis yang memiliki banyak gunung api aktif dan zone sesar aktif, aspek demografis yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara semua provinsi di Indonesia.


Sebagai gambaran menurut data dari Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007), disebutkan bahwa dari total kejadian gerakan tanah di Indonesia selama tahun 2003-2005, sebanyak 71% kejadian terjadi di Jawa Barat, dan selama 2006-2007 sebanyak 36%. Belum lagi bencana lainnya seperti gempa bumi, tsunami, banjir, angin ribut, dan kekeringan.


Berdasar banyaknya kejadian bencana dan jumlah korban, dapat dikatakan bahwa pengetahuan, kapasitas, dan peran masyarakat Jawa Barat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sangat perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan.



Anggapan Masyarakat Tentang Tindak Penanggulangan Bencana


Pemerintah belum optimal dan terkesan lambat, parsial dan sektoral, tidak terpadu dalam penanggulangan bencana.

Penanggulangan bencana masih berorientasi pada upaya tanggap darurat yang pada umumnya hanya berupa pemberian bantuan fisik.
Penanggulangan bencana masih berupa pengerahan bala bantuan relawan, dengan seragam, atribut dan bendera berwarna-warni, geraknya cepat tetapi tidak terkoordinasi.

Masyarakat merasa aman manakala dari TNI dan Kepolisian ikut terjun dalam penanggulangan bencana.
Sebagian besar bala bantuan relawan tidak tahu apa yang harus dikerjakan di lapangan, bahkan beberapa sering menjadi masalah.

Banyak bahan bantuan yang menumpuk, lambat penyalurannya, bahkan tidak tepat sasaran.

Otonomi pemerintah daerah masih gamang dalam hal tanggung jawab pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, sehingga pada saat bencana terjadi, seringkali menunggu tanggapan langsung dari pusat.

Seminar, loka karya, dan diskusi kebencanaan lebih banyak mengundang masyarakat elit dari pada masyarakat rawan bencana.

Sosialisasi dan pelatihan penanggulangan bencana hanya sekedar formalitas proyek.

Begitu tanggap darurat dianggap selesai, dan bantuan relawan pulang, maka masyarakat korban ditinggalkan di penampungan pengungsian dengan fasilitas minim.



Pemahaman Masyarakat Tentang Perundangan Penanggulangan Bencana


Peraturan perundangan tentang penanggulangan bencana adalah produk kesepakatan pemerintah dan rakyat yang dikandung maksud sebagai ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Oleh sebab itu masyarakat berpemahaman bahwa amanat peraturan perundangan ini harus ditindak lanjuti dengan pentaatan dan penegakan, dengan alasan-alasan antara lain:


Peraturan perundangan penanggulangan bencana merupakan ketentuan yang efektif untuk secara proaktif mencegah masyarakat dan dunia usaha melakukan kegiatan atau investasi yang dapat menimbulkan atau meningkatkan ancaman bencana. Contoh: larangan menambang bahan galian, larangan menebang pohon di kawasan hutan atau kawasan lindung, dan sebagainya.

Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat mencegah masyarakat dari ancaman bencana yang mungkin terjadi. Contoh: tidak bermukim di sempadan sungai, tidak bermukim di kawasan rawan gempa, dan sebagainya.

Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat memaksa masyarakat untuk mengubah perilaku dan kebiasaan yang berpotensi meningkatkan ancaman bencana. Contoh: larangan membuang sampah sembarangan, larangan mengubah morfologi drainase, dan sebagainya.

Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat mewajibkan pemerintah pusat dan daerah melakukan penyelenggaraan kebencanaan yang lebih efektif. Contoh: sosialisasi rutin kesiapan penanggulangan bencana, investasi untuk perlindungan masyarakat dari ancaman bencana, dan sebagainya.



Harapan Masyarakat Tentang Amanat Penanggulangan Bencana


Harapan filosofis, yaitu:


Bahwa hidup manusia pada hakekatnya adalah berharga dan bermartabat, sehingga penanggulangan bencana merupakan sebuah kebutuhan mendasar.
Bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak dasar, termasuk rasa aman dan terlindungi dari bencana adalah hak asasi rakyat.
Ditempatkannya hidup dan kehidupan sebagai hak dasar setiap manusia maka berimplikasi bahwa semua upaya dan langkah harus diambil demi mencegah dan meringankan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh bencana.

Penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam melindungi rakyat, oleh karenanya rakyat mengharapkan pemerintah dapat melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya.


Harapan terlaksananya amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, antara lain yaitu:


Setiap orang berhak:

mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana
mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana

mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana

berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya

melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.


Kesadaran Masyarakat Dalam Kewajiban Penanggulangan Bencana


Walaupun penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam melindungi rakyatnya, dan rakyat mengharapkan pemerintah dapat melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya, namun dapat dipahami dan disadari bahwa pemerintah tidak akan mampu melaksanakan penyelanggaraan penanggaulangan secara sendiri.


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan bahwa paradigma penanggulangan bencana diubah dari tanggung jawab pemerintah menjadi urusan bersama masyarakat dan kemaslahatan bersama. Semua aspek penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme diubah sedemikian rupa sehingga peran aktif masyarakat dan dunia usaha lebih nyata dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Contoh tindaknya antara lain penangulangan bencana berbasis masyarakat, tanggung jawab sosial korporasi dunia usaha dalam penanggulangan bencana, dan sebagainya.

Ada tugas tentu ada hak, ada wewenang tentu ada tanggung jawab (THWT). Oleh sebab itu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 selain mengamanatkan hak-hak masyarakat, juga mengamanatkan kewajiban-kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu:

Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Berperan aktif dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.

Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.



Pilihan Strategis Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana


Banyak aspek, baik langsung maupun tidak langsung, sangat berpengaruh dalam penanggulangan bencana di Jawa Barat di masa mendatang, baik aspek internal kedaerahan, nasional, regional, maupun global. Skenario penanggulangan bencana jangka tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang sampai tahun 2025 harus dibuat agar penanggulangan bencana di Jawa Barat menyambung dan tersistem dengan baik.


Skenario kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi sampai dengan tahun 2025 yang harus kita kaji dan waspadai, misalnya:

Ekonomi yang semakin tergantung kepada struktur ekonomi global.

Politik yang semakin memerlukan “leadership” handal, pro pemerataan kesejahteraan dan pro lingkungan.

Budaya yang semakin tidak peduli terhadap lingkungan

Pembangunan yang masih mengandalkan ekspolitasi sumber daya alam.

Kerentanan penduduk yang semakin meningkat, karena jumlah penduduk melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Bencana, baik alami maupun non alami, yang kemungkinan akan semakin sering dan berpotensi merusak.

Bisnis kebencanaan, bencana menjadi bisnis, mencari keuntungan dari setiap kejadian bencana, yang dilakukan baik oleh pengusaha, birokrat maupun lembaga masyarakat, dari dalam maupun dari luar negeri, yang akhirnya rakyat dan negara tetap dirugikan.


Berdasar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan mengandaikan karakteristik Jawa Barat menjelang sampai tahun 2025, maka perlu dibuat pilihan-pilihan strategis terkait dengan harapan dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, misalnya:

Harus ada dukungan political action dari pemerintah untuk membangun pendidikan baik formal maupun non-formal dan membangun budaya tentang penanggulangan bencana berbasis masyarakat.

Menggalang animo dan membangun kepercayaan serta keyakinan bahwa masyarakat berpotensi memiliki andil besar dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat akan membangun kesadaran masyarakat dalam menghadapi masalah kebencanaan.

Lebih baik menyiapkan dan membangun kapasitas masyarakat di daerah rawan bencana, dari pada memasang peralatan-peralatan canggih dan mahal yang belum tentu bisa beroperasi.
Membangun kelompok masyarakat sadar bencana yang dibina dengan kelengkapan aspek manajemen (kelembagaan, organisasi, aturan main), fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), unsur manajemen (visi, misi, program, sumber daya modal dan manusia, ketrampilan, motivasi dan insentif). Tanpa visi/ tanpa arah, tanpa misi/ tersendat, tanpa program/ tidak efektif, tanpa sumber daya modal dan manusia/ frustasi, tanpa ketrampilan/ lambat dan tidak kompetitif, tanpa motivasi dan insentif/ ragu-ragu dan setengah-setengah).
Advokasi agenda pembangunan yang dapat mengurangi resiko bencana.
Fokus pada ancaman-ancaman bencana yang paling sering dan serius.

Anggaran kebencanaan harus terbuka dan transparan serta terbuka untuk audit oleh publik/ masyarakat.

Memanfaatkan media massa, cetak dan elektronik, untuk menyebar-luaskan informasi tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Data dan informasi kebencanaan supaya dapat diakses secara terbuka dan mudah dari lembaga-lembaga yang terkait dengan kebencanaan.

Segera diterbitkan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa Barat, termasuk di dalamnya untuk mengakomodasi pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat.

Sosialisasi dan rembug warga sesering mungkin, sehingga pemahaman sumber bencana dapat diketahui oleh masyarakat, sehingga kesadaran penanggulangan bencana dapat menjadi budaya kehidupan sehari-hari.


Pustaka


Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66.


Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42.


Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Ditetapkan 26 Januari 2008.


Tim RUU Penanggulangan Bencana. 2006. Naskah Akademik Rencana Undang-Undang Penanggulangan Bencana.



Curriculum Vitae Sobirin

Nama: SOBIRIN, Supardiyono
Tempat/ Tanggal Lahir :Gombong/ 4 Februari 1944

Pendidikan Dasar :Geologi, ITB, lulus 1970


Pendidikan Kerekayasaan:
1974: Engineering and Environmental Geology, USBR, Colorado, USA

1975: Soil Mechanics, Colorado School of Mines, Colorado, USA

1980: Rock Mechanics, CWPRS, Poona, India

1983: Geotechnics for Infrastructures, Hong Kong

1985: Engineering Geology and Low Land Geology, IHE, The Netherlands

1990: Underground Dam, Kyoto University, Kyoto, Japan

1996: Research Equipment Management, Tokyo, Japan
1998: Infrastructure and Environmental Management, NILIM, Okinawa, Japan


Pendidikan Manajerial:
1985: Kursus Manajemen Tingkat IV

1988: Kursus Manajemen Tingkat III

1996: Diklat Sekolah Pimpinan Administrasi Menengah, LAN, (SPAMEN)

1999: Executive Management on Public Works Infrastructures, Japan
2000: Diklat Sekolah Pimpinan Administrasi Tinggi, LAN (SPATI)


Riwayat Pekerjaan:
Selama 30 tahun mengabdi di lembaga penelitian dan pengembangan Departemen Pekerjaan Umum
1997-1998: Sekretaris Badan Litbang Pekerjaan Umum

1998-1999: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman

1999-2000: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air


Sekarang aktif sebagai pekerja sosial dan lingkungan di:

1. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
2. Bandung Spirit

3. Komunitas Antisipasi Bencana

Pemilik blog:

www.sobirin-xyz.blogspot.com [sobirin is back to nature]

www.clearwaste.blogspot.com [sampah diolah menjadi berkah]


Email:
sobirindpklts@yahoo.com
Telepon:
0812 141 6605

Prestasi: Rumah Zero Waste

Read More..

Friday, May 09, 2008

TPA SEMARANG UNIK: SAMPAH-TRUCK-BULDOSER-SAPI

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 10 Mei 2008
Foto: Sobirin 2008, TPA Jatibarang, Kota Semarang

Oleh: Sobirin
Baru sekali ini saya mengunjungi tempat pembuangan akhir sampah (seharusnya tempat pengolahan akhir sampah atau TPA) yang unik menarik. Begitu sampai di tempat, yang saya lihat adalah ratusan ekor sapi bercampur dengan truk sampah, buldoser, dan para pemulung.



Bersama tim peneliti dari Pusat Litbang Sumber Daya Air (Dr. Ir. William Putuhena, Drs. Waluyo Hatmoko M.Si, dan Ir. Hermono SB, M.Eng), saya meninjau TPA ini. Ada issue sudah overload atau beban TPA sudah berlebihan, ada issu air lindi-nya mengalir masuk ke sungai Kreo mencemari aliran sungai. Berikut adalah catatan perjalanan saya ditambah dengan bacaan data dari Pemerintah Kota Semarang dan beberapa media.

TPA yang dioperasikan sejak bulan Maret 1992 ini, lokasinya terletak di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, di bagian barat Kota Semarang, Jawa Tengah, di tepi sungai Kreo, agak berseberangan sungai dengan lapangan golf Manyaran. Topografi TPA Jatibarang merupakan daerah yang berbukit, bergelombang dan ada yang memiliki kemiringan lereng lebih curam (lebih dari 24%), dengan elevasi bervariasi antara 63 sampai 200 meter dari permukaan air laut.

Topografi terendah merupakan bagian tepi sungai Kreo yang mengalir dari selatan ke utara. Jarak dari pusat Kota Semarang ke TPA ini sekitar 11,5 Km. Adapun daya tampungnya sekitar 4,15 juta m3 dengan kedalaman sampah bisa mencapai 40 meter. Menurut data dari Pemerintah Kota Semarang, areal TPA ini cukup luas yaitu 46,18 hektar di bagi-bagi dalam beberapa zone yang secara garis besar sekitar 60% (27,71 hektar) untuk lahan buang sampah, dan sekitar 40% (18,47%) untuk infrastruktur kantor, pengolahan air lindi, sabuk hijau.


Disebutkan bahwa Kota Semarang dengan jumlah penduduk hampir 1,4 juta jiwa memproduksi timbulan sampah tiap harinya sampai 4.725 m3, yang terangkut sekitar 4.150 m3, yang belum terlayani sekitar 565 m3 setiap harinya. Tetapi menurut beberapa media masa dikatakan bahwa sampah yang dibuang ke TPA ini tiap harinya 2.500 m3 atau sekitar 600 ton. Berikutnya disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2000, timbunan sampah sudah mencapai 5,75 juta m3, padahal daya tampung TPA hanya 4,15 juta m3 sampah. Jadi sudah melebihi daya tampung sekitar 1,6 juta m3 sampah.

Sebagai pemerhati lingkungan saya mencoba membandingkan dengan TPA-TPA di kota-kota lain termasuk TPA di sekitar Kota Bandung. Untuk TPA Jatibarang ini saya melihat ada beberapa hal positif dan peluang, disamping ada negatif dan ancaman bahaya lingkungan, sebagai berikut:

Segi positif:

- lahan terlihat masih ada sisa cukup
- lokasi relatif cukup jauh dari pusat keramaian
Segi negatif:
- jumlah bulldozer pemerata tanah kurang banyak
- tanah penutup utk landfill-nya sangat kurang
- pengolahan lindi kurang serius

- gubuk-gubung pemulung tidak tertata
- rencana pabrik olah sampah tidak cocok di daerah atas

Peluang:
- konsep angon sapi di TPA cukup unik dan menarik
- industri pengolahan sampah dan lindi sangat berprospek
- seyogyanya dipikirkan pabrik sampah di bawah dekat olah lindi
- dipinggiran sungai ditanami pohon-pohon untuk hutan tepi sungai
Ancaman:

- tumpukan sampah yang semakin tinggi bisa longsor ke sungai

- air lindi yang kurang diolah bocor ke sungai

- sapi peliharaan terkontaminasi logam berat beracun
- instalasi air bersih PDAM di hilirnya menjadi tercemar berlebihan
- bau sampah sampai ke lapangan golf Manyaran
- TPA sebagai sumber penyakit

Issue mencari lokasi TPA baru memang bagus, tetapi bukan barang yang gampang, semua lokasi pasti akan ditolak warga, menimbulkan konflik berkepanjangan. Sampah harus dibuang, tetapi jangan di tempat saya, kira-kira begitu pendapat semua warga. Sampah itu NIMBY (not in my back yard).


Analisis memanfaatkan segi positif dan peluang, serta mengurangi dan mancari solusi untuk mengatasi segi negatif dan ancaman adalah merupakan langkah yang bijaksana. Ide membangun pabrik pengolahan sampah patut dipuji dan segera diprioritaskan.

Beberapa hal lain yang perlu dikaji yaitu sapi-sapinya menjadi relatif gemuk-gemuk, mungkin makan sampah organik yang ter-fermentasi menjadi silase (silage), memang ada juga sebagian yang kurus. Kotoran sapi yang banyak berserakan bisa menambah unsur untuk membuat kompos. Juga perlu dikaji bahwa cairan lindi ini kemungkinan besar bisa dimanfaatkan untuk starter pembuatan kompos, juga untuk pupuk cair atau pakan ikan. Tentunya setelah dianalisis dan dipisahkan dari pencemar logam berat atau limbah beracun.

Hati-hati agar tumpukan sampah di tebing jangan sampai berlebihan, tingginya melebihi keamanan lereng gundukan sampah, sehingga bisa terjadi longsoran sampah seperti peristiwa longsor sampah Leuwigajah di Bandung yang sangat memalukan karena memakan banyak korban jiwa.

Semoga juga tidak ada ide untuk membuat pabrik listrik seperti rencana Kota Bandung, yaitu pabrik listrik tenaga sampah, atau sampah dibakar. Ide-ide ini akan banyak ditentang oleh ahli lingkungan, karena gas pembakaran dikatakan mengandung racun, sangat meningkatkan gas rumah kaca, dan lain-lainnya.

Read More..