Saturday, May 17, 2008

KALA MATA AIR BERLINANG "AIR MATA"

KOMPAS, Jawa Barat, Sabtu, 17 Mei 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Sisa-Sisa Mata Air Bandung

Memasuki tahun 2000-an, lanjut Sobirin, ketersediaan air di Kota Bandung, yang luasnya 17.000 hektar dengan tiga juta penduduk, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. "Jaminan ini hanya sejumlah 0,1. Padahal, awalnya ketersediaan air kita mencapai enam kali kebutuhan per hari," ujar Sobirin.




Ketersediaan air bagi suatu daerah erat kaitannya dengan keberadaan kawasan lindung sebagai daya dukungnya. Keberadaan kawasan lindung yang baik akan menghasilkan mata air yang banyak dan tetap terjaga. Mata air biasanya muncul dari tebing-tebing atau pegunungan tanpa perlu digali seperti sumur.



Mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair) Jawa Barat sekaligus aktivis lingkungan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin mencontohkan, di perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung saja, berdasarkan catatan Pusair pada tahun 2003, setidaknya terdapat 77 mata air.


Akan tetapi, tahun 2008, pada musim kemarau hanya tersisa seperempat atau 19 mata air yang masih berfungsi baik. Pada musim hujan, mata air yang berfungsi hanya setengah atau 38 mata air.


Menghilangnya mata air ini benar-benar mengancam ketersediaan air di Kota Bandung dan Jabar lebih luasnya. Sobirin menjelaskan, mengeringnya mata air ini membuat jaminan ketersediaan air menurun drastis.

Dengan kebutuhan konsumsi air ideal sebanyak 200 liter per orang per hari, Pusair mencatat, pada tahun 1930 jaminan ketersediaan air per orang per hari mencapai enam kali. Dengan kata lain, kala itu setiap orang per hari memperoleh 1.200 liter air dengan keadaan Kota Bandung yang hanya seluas 300 hektar dengan 250.000 penduduk.


Diikuti dengan perluasan wilayah menjadi 8.000 hektar dan penambahan penduduk menjadi 650.000 jiwa pada tahun 1950, ketersediaan air berkurang menjadi 400 liter per orang per hari.


Memasuki tahun 2000-an, lanjut Sobirin, ketersediaan air di Kota Bandung, yang luasnya 17.000 hektar dengan tiga juta penduduk, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. "Jaminan ini hanya sejumlah 0,1. Padahal, awalnya ketersediaan air kita mencapai enam kali kebutuhan per hari," ujar Sobirin.


Ketersediaan air yang semakin berkurang dan mengeringnya mata air ini tak lain disebabkan oleh pengalihan fungsi hutan sebagai kawasan lindung menjadi kawasan permukiman atau fungsi lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Menurut Pusair, sebanyak 1,05 juta hektar dari total 1,7 juta hektar kawasan lindung di Jabar tidak lagi berfungsi dengan baik akibat konversi kawasan lindung menjadi daerah permukiman.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Muhammad Hendarsyah mengatakan, konservasi air melalui penataan daya dukung lingkungan yang baik seharusnya diatur pemerintah dengan lebih tegas.


Kearifan lokal


Seniman dan aktivis pencinta lingkungan, Iwan Abdulrachman, mengatakan, konservasi air belum akan berhasil bila hanya mengandalkan kekuatan represif-eksternal berupa peraturan dari pemerintah atau aparat penegak hukum.


Pasalnya, kesadaran menghormati lingkungan baru akan berhasil bila tumbuh dari masyarakat itu sendiri. "Kita harus paham benar nilai-nilai yang diberikan lingkungan terhadap kehidupan manusia.


Dengan begitu kita tidak sebatas berkata akan mereservasi lingkungan saja di bibir, tetapi paham benar makna nilainya dan mulai berbuat sesuatu," kata Iwan.


Iwan mengatakan, konservasi air yang berakar pada pelestarian hutan sebagai kawasan lindung ini selalu dikampanyekan secara besar-besaran. Kenyataannya, pembalakan liar ataupun konversi hutan lindung masih kerap terjadi.

Adapun pada kehidupan masyarakat adat, seperti Baduy dan Kampung Naga, hutan di sekelilingnya hampir tak terjamah. "Sulit memang diterima akal, tetapi masyarakat adat, meski tidak memahami ilmu pengetahuan mendalam bahkan tidak menyadari ancaman pemanasan global, bisa memberikan hal yang lebih dengan tetap menjaga kelestarian hutan melalui kearifan lokal adatnya," kata Iwan.


Oleh karena itu, penghormatan, pemahaman, dan pengimplementasian nilai-nilai pelestarian lingkungan seharusnya ditumbuhkan dalam masyarakat. "Tanamkanlah kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan dalam pendidikan bangsa sejak dini. Setidaknya ini akan menumbuhkan kesadaran dan cinta pada lingkungan (alam)," ujar Iwan. (A15)

No comments: