Tuesday, May 06, 2008

PENGHIJAUAN AGAR AIR TAK LEKAS KE MUARA

Pikiran Rakyat, Lingkungan, 6 Mei 2008, Kodar S/”PR”
Foto: Kodar Solihat, PR, 2008, Hutan Lindung Sumedang
"Kawasan lindung di tiap Kabupaten/Kota Jabar harus tetap menjadi prioritas perhatian, dengan konsep euweuh leuweung euweuh cai, rakyat jadi balangsak (tak ada hutan berarti tak ada air, rakyat menjadi sengsara). Semoga persoalan ini mampu dikedepankan oleh kepemimpinan baru daerah Jabar," kata Sobirin



B
anyak pihak berharap langkah dan upaya rehabilitasi kehutanan dan perkebunan menjadi penggerak untuk memulihkan kondisi lingkungan di Jabar. Di tengah isu efek pemanasan global, Provinsi Jabar ikut menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatian utama untuk pelaksanaan rehabilitasi lingkungan.


Harapan langkah berkelanjutan atas program rehabilitasi lingkungan kehutanan dan perkebunan, yang dinilai memiliki peran strategis bagi pembangunan Jabar. Setidaknya, tetap menjadi fokus perhatian dan langkah serius di Jabar, yang kini sedang mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan, usai Pilgub 2008.


Daerah Jabar sendiri dikenal sebagai kawasan tersubur di Pulau Jawa. Kesuburan lahan di Jabar mampu menjadi pendukung bagi sektor perekonomian dari sektor pertanian yang masih mendominasi mata pencaharian dan kultur masyarakatnya, mulai kehutanan, perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura, perikanan darat, sampai peternakan.


Namun berbagai kepentingan lain, misalnya bisnis nonpertanian, permukiman, kebutuhan hidup, sampai kepentingan sekelompok politikus, kerusakan lingkungan di Jabar terus terjadi, terutama pada subsektor kehutanan dan perkebunan. Kondisi demikian memerlukan regulasi serta tindakan tegas dari pimpinan daerah agar teratasi sehingga kondisi lingkungan di Jabar tak bertambah rusak bahkan menjadi gersang.


Berdasarkan Perda No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jabar disebutkan bahwa kawasan lindung daerahnya berdasarkan curah hujan, kemiringan lereng, dan jenis tanah, harus mencapai 45% dari total luas Jabar 3,7 juta hektare. Dengan demikian, lahan 1,7 juta hektare harus berfungsi sebagai kawasan lindung yang melindungi Jabar dari potensi ancaman bencana.

Dari luas 1,7 juta hektare tersebut, 800.000 hektare berada di bawah kekuasaan hutan negara termasuk hutan konservasi, lindung, dan produksi, lantas 900.000 hektare terdiri perkebunan seluas 500.000 hektare perkebunan (negara, swasta, dan rakyat), sisanya 400.000 hektare milik rakyat berupa kebun, ladang, dan campuran.


**


Deputi Bidang Agroindustri Meneg BUMN Agus Pakpahan menilai, langkah penyelamatan dan pemulihan kawasan kehutanan dan perkebunan bersifat vital bagi daerah seperti Jabar. Ini bukan hanya berkaitan kelangsungan industri berbasis pertanian, juga berefek kepada pasokan dan cadangan air bagi hajat hidup orang banyak.


Dia menyebutkan, ada perbedaan karakteristik kondisi alam wilayah berbentuk kepulauan seperti Indonesia, dibandingkan dengan wilayah yang berupa hamparan luas dalam kecepatan aliran air. Daerah Jabar justru berpotensi paling rawan terancam semacam bencana kekeringan, longsor, jika daerah-daerah penyangga air terus diganggu.


"Untuk daerah kepulauan, apalagi Jabar yang kondisinya bergunung-gunung, kecepatan aliran air dari pengunungan sampai ke muara lautan sangat cepat. Agar pasokan air tetap terjaga dan lambat sampai ke muara, kawasan penyangga seperti hutan dan perkebunan perlu dioptimalkan, sebagai daerah serapan dan cadangan air," ujarnya.


Berbeda dengan wilayah hamparan luas dan banyak dataran seperti di Amerika, kecepatan air dari gunung sampai ke muara sangat lamban, dan memakan waktu berbulan-bulan. Ini sebabnya, cadangan air di daerah hamparan luas umumnya lebih banyak dibandingkan dengan daerah bergunung-gunung.


Pemerhati lingkungan anggota Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, menyebutkan, adalah kelanjutan program rehabilitasi lingkungan sejak tahun 2003 untuk memulihkan 600.000 hektare lahan kritis di Jabar, yang seharusnya dapat berperan kawasan lindung. Dari jumlah itu, kondisi areal hutan negara dan perkebunan negara/swasta separuhnya masih gering alias tak sehat karena populasi tanaman kurang, namun kondisi terparah sebagian besar terjadi pada lahan milik masyarakat.


Untuk kawasan kehutanan negara adalah masih besarnya ancaman kerawanan penebangan liar. Ini dilatarbelakangi terus meningginya kebutuhan kayu, sedangkan pasokan dari hutan negara maupun hutan rakyat diprediksi masih terus jauh di bawah kebutuhan.


Kondisi serupa dialami berbagai unit perkebunan yang masih rawan penjarahan dan berbagai kasus penjarahan perkebunan yang umumnya belum tertangani. Situasi demikian akhirnya memunculkan berbagai hak guna usaha (HGU) telantar sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan lahan kritis.


Menurut Sobirin, kondisi-kondisi seperti ini kebanyakan disebabkan adanya ulah pemodal yang mengincar lahan bersangkutan dan politis, untuk dialihfungsikan menjadi bisnis permukiman, industri, lapangan golf, mencari dukungan masyarakat menjelang pilkada, dan lain-lain. Dengan sistem "3i" (iming-iming, intervensi, dan intimidasi), masyarakat diprovokasi untuk menjarah kehutanan dan perkebunan, di mana kondisinya terkesan terus-terusan "dipelihara".

Di luar itu, katanya, adalah lahan milik masyarakat, yang kondisinya paling sulit ditangani, akibat perbedaan perilaku dan kepentingan masyarakat pemilik. Apalagi, sejauh ini belum ada aturan yang mampu mengikat masyarakat untuk sadar memelihara lingkungan.

Sobirin menghitung, setiap Kabupaten/Kota di Jabar sebenarnya tak memiliki kesamaan kebutuhan lingkungan kehutanan dan perkebunan, belum termasuk areal pertanian lain. Ada perbedaan karakteristik, kondisi wilayah dan kemasyarakatan, dan jenis perekonomian, misalnya di Garut diperlukan sampai 85%, Sukabumi 70%, dan Kabupaten Bandung Barat 60% - 65%.

"Kawasan lindung pada berbagai Kabupaten/Kota Jabar masih harus tetap menjadi prioritas perhatian, dengan konsep euweuh leuweung euweuh cai, rakyat jadi balangsak (tak ada hutan dan kebun berarti tak ada air, rakyat menjadi sengsara). Semoga adanya persoalan ini mampu dikedepankan oleh kepemimpinan baru daerah Jabar," kata Sobirin. (Kodar S./"PR")***

No comments: