Saturday, July 28, 2007

PENAMBANGAN GALIAN C, BERKAH ATAU BENCANA?

KAKI G. CIREMAI ZONA PENYANGGA KAB. CIREBON
Pikiran Rakyat
, Teropong, 24 Oktober 2005

Foto: Sobirin 2006, Bumi Cirebon Sedang Disiksa

Oleh Ir. SAJIBOEN SOEDARJA

Menurut Sobirin DPKLTS, untuk memulihkan kembali iklim mikro Kab. Cirebon, maka Pemda setempat harus menghentikan seluruh kegiatan galian C dan mengembalikan fungsi zona ini sebagai kawasan lindung.

CITA-CITA Bupati Cirebon, Drs. H. Dedi Supardi, M.M., yang menginginkan Kabupaten Cirebon menjadi "Malaysia"-nya Indonesia merupakan cita-cita yang mulia. Sebab, saat ini Malaysia memang patut ditiru, bukan hanya makmur secara ekonomi, tetapi juga "makmur" secara moral. Bukan pula tanpa alasan bila Kabupaten Cirebon memiliki obsesi lain, yaitu ingin menjadi "magnet" kemajuan bagi wilayah di sekitarnya dan bila perlu untuk tingkat nasional.

Ini bukan tanpa alasan. Dilihat dari sejarahnya, wilayah ini pernah meraih kejayaan dan sudah masuk dalam peta perdagangan dunia sebagai salah satu bandar terdepan di jalur utama niaga antarbangsa pada abad ke-8 yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18. Belajar dari sejarah tersebut, cukup beralasan bila pemerintah Kabupaten Cirebon berani melangkah menghadapi pasar bebas.

Namun, ada kendala yang dihadapi Kabupaten Cirebon yaitu adanya tiga masalah lingkungan yang klasik berupa banjir dan ancaman tanah longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan kualitas air baku yang jelek karena pencemaran limbah yang dibuang di badan sungai. Lokasi rawan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau paling tidak terdapat pada sembilan kecamatan yang ber¬ada di kawasan dekat jalur utama pantura, yaitu Babakan, Cirebon Utara, Cirebon Barat, Pabedilan, Losari, Tersana, Gegesik, Panguragan, dan Kecamatan Tengah Tani. Sedangkan lokasi rawan longsor terdapat pada enam kecamatan yang berada di kawasan Cirebon bagian selatan, yaitu Sedong, Astanajapura, Dukupuntang, Palimanan, Lemahabang, dan Kecamatan Sumber.

Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cirebon ini makin diperparah karena hancurnya zona penyangga di kaki Gunung Ciremai akibat penambangan bahan galian C yang saya nilai telah berlebihan. Jenis bahan galian C berupa pasir yang bermutu tinggi untuk bahan bangunan. Dahulu, pasir tersebut digali dengan cara manual oleh masyarakat, dan waktu itu kerusakan lingkungan boleh dikatakan tidak ada karena luas galian tidak seberapa dan bekasnya langsung direklamasi secara tradisional dengan menanam pepohonan. Namun sekarang, para pemilik modal menambang secara tidak berwawasan lingkungan menggunakan alat-alat berat. Bekasnya dibiarkan begitu saja tidak direklamasi sehingga meninggalkan lubang-lubang besar bekas galian yang mengganggu lingkungan.

Degradasi lingkungan akibat penambangan galian C berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan ini dapat dilihat antara lain di Desa Cikahalang (Kecamatan Dukuhpuntang), Desa Gumulung Tonggoh (Kecamatan Astanajapura), Desa Gronggong (Kecamatan Beber), Desa Ciuyah (Kecamatan Waled).

Hasil survei Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (YBLH) dan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Cirebon, seperti yang dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat (22 November 2004), para pelaku penambangan galian C itu mayoritas pengusaha bukan asli penduduk Cirebon sehingga dianggap tega merusak alam dan mengancam keselamatan ribuan penduduk sekitar. Proses perusakan alam oleh pengusaha galian C di kaki Gunung Ciremai ini memang dinilai sudah keterlaluan, tidak menghiraukan kelestarian lingkungan dan peraturan perundangan yang berlaku, serta menganggap remeh penegak hukum dan masyarakat sekitar.

Saya sangat menghargai langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Cirebon beberapa waktu lalu, yang telah dengan tegas dan berani me¬nutup galian pasir di Desa Cikalahang (Kecamatan Dukuhpuntang) di sekitar objek wisata Talagaremis. Pasalnya, jika aktivitas penambangan pasir di perbukitan tersebut tidak dihentikan, bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan jebolnya danau alami Talagaremis yang selama ini berfungsi sebagai penampung dan pemasok air baku ke wilayah Cirebon. Dapat dibayangkan bila jebol, ratusan ribu bahkan jutaan meter kubik akan menjadi air bah yang mengancam permukiman penduduk di sekitar daerah tersebut.

Namun apa dikata, langkah-langkah tegas pemerintah Kabupaten Cirebon ini rupanya hanya dianggap peringatan sesaat. Buktinya dapat dilihat di lapangan saat ini, semangat penambangan galian C ini semakin menjadi-jadi, dan Kabupaten Cirebon semakin terdegradasi dan terancam oleh bencana lingkungan. Dalam perhitungan cost-benefit ratio atau perhitungan untung-rugi secara sederhanapun, penambangan galian C di Kabupaten Cirebon ini jauh lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya.

Membangun kembali iklim mikro

Kabupaten Cirebon, juga termasuk Kabupaten Kuningan dan kabupaten Majalengka, sangat tergantung dari kelestarian Gunung Ciremai. Paling tidak terdapat tiga nilai penting Gunung Ciremai, yaitu pertama, sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan (pengendali tata air, erosi, dan tanah longsor). Kedua, sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati, baik jenis tumbuhan maupun satwa beserta ekosistemnya. Ketiga, sebagai sumber jasa lingkungan (eko-wisata, dan iklim mikro).

Gunung Ciremai ini memang bagaikan sesosok raksasa yang berdiri menjulang di tengah-tengah dataran rendah kawasan pantai utara Jawa Barat bagian timur. Tingginya yang mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut membuatnya menjadi gunung tertinggi di Jawa Barat dan Banten. Bagi para nelayan dan pelaut, gunung ini merupakan petunjuk arah dalam kegiatan berlayarnya. Dari sudut pandang ilmu tentang gunung api atau vulkanologi, Gunung Ciremai dikategorikan sebagai gunung api kuarter Tipe A berbentuk strato yang masih berstatus aktif. Dalam Global Volcanisn Program di National Museum of Natural History, Washington DC, Amerika Serikat, Gunung Ciremai ini terdaftar dengan nomor gunung: 0603-17.

Walaupun Kabupaten Cirebon ini hanya "mendapatkan" bagian kaki dari Gunung Ciremai, karena badan gunung berada di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, itu pun telah cukup bila bagian kaki gunung ini dipelihara kelestarian lingkungannya. Tak kalah pentingnya bila terdapat koordinasi dan kerja sama antartiga kabupaten tersebut untuk memulihkan fungsi Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung yang lestari.

Bahkan saya yakin kelestarian gunung ini akan menjadi modal pembangunan kawasan Andalan Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan), seperti diamanatkan dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Acungan jempol perlu saya sampaikan kepada Menteri Kehutanan yang dengan berani melalui Surat Keputusan-nya No. SK 424/Menhut-II/2004 mengubah fungsi hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 hektare yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mengatakan kepada saya, secara regional berbasis curah hujan, kemiringan lereng, dan jenis tanah, Kabupaten Cirebon hanya memiliki kawasan lindung seluas lima persen dari seluruh luas kabupaten. Seluruh kawasan lindung tersebut terletak di bagian selatan kabupaten yang saat menjadi kawasan penambangan bahan galian C.

Untuk memulihkan kembali iklim mikro Kabupaten Cirebon, menurut Sobirin, tidak cukup hanya mengandalkan kawasan lindung regional yang luasnya hanya lima persen sebagai zona penyangga, tetapi perlu pula dibangun kawasan lindung setempat berupa jalur hutan bakau, hutan pantai, hutan kota, dan kawasan lindung lainnya berupa jalur pepohonan di kanan-kiri jalan dan kanan-kiri sungai. Jadi, keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai ini tidak akan berarti apa-apa bila Kabupaten Cirebon tidak mengambil langkah nyata menghentikan seluruh kegiatan galian C dengan alat-alat berat yang tidak berwawasan lingkungan dan memulihkan kembali zona penyangga ini sebagai kawasan lindung regional.

Dalam pembicaraan dengan sesepuh Jawa Barat, Bapak Solihin G.P., berkaitan dengan penambangan galian C di Kabupaten Cirebon yang sudah melampaui ambang batas lingkungan hidup, dia mengatakan agar segera dilakukan tindak nyata pengendalian di lapangan.
Pertama, hentikan seluruh penambangan galian C yang menggunakan alat-alat berat.
Kedua, lakukan audit lingkungan terhadap seluruh kegiatan penambangan galian C dan berikan sanksi hukum yang tegas kepada siapapun pelanggarnya.
Ketiga, penambangan bahan galian C hanya diberikan kepada kelompok masyarakat setempat berbasis koperasi dalam area yang aman lingkungan dengan menggunakan peralatan manual.
Keempat, segera lakukan reboisasi penghijauan menggunakan tanaman keras yang sesuai.
Kelima, bangun paradigma baru ekonomi kerakyatan dengan konsep agroforest (wanatani) di kawasan zona penyangga.


Sekali lagi, bila cita-cita Kabupaten Cirebon ingin menjadi "Malaysia"-nya Indonesia, mengembalikan kejayaan sejarah Cirebon masa lalu dan ingin melangkah menuju pasar global, tentunya arahan sesepuh Jawa Barat, Bapak Solihin G.P., perlu menjadi acuan Kabupaten Cirebon.***

Penulis (Ir. SAJIBOEN SOEDARJA), Pemerhati Lingkungan (Anggota Dewan Pakar DPKLTS), Lulusan Geologi UNPAD.

Read More..

BANJIR JAKARTA SEPANJANG JAMAN

DAMPAK PENATAAN RUANG DAN PERILAKU TIDAK KONSISTEN
Pusair, Workshop Polder, Jakarta, 3 Juli 2007

Foto: Rian Info Gading 2007, Banjir Jakarta

Dirangkum oleh: Sobirin/ DPKLTS

Dari berbagai sumber, untuk bahan kesimpulan Workshop Polder

Usia upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap.


Bab I: Sejarah Penanggulangan Banjir Jakarta


Usia upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap. Pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini 5 tahunan. Catatan bencana banjir besar di kota ini yang terentang mulai tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, 2002, dan 2007.

Perubahan tata lingkungan Jakarta dan daerah-daerah penyangga di sebelah selatan, penataan ruang perkotaan yang melupakan potensi daya guna dan daya rusak air, serta perilaku warga yang cenderung tidak peduli lingkungan adalah penyebab kejadian banjir di Jakarta

Pada 1854 berdiri BOW, yaitu badan khusus yang bertugas mengurusi banjir (Burgelijke Openbare Werken), cikal bakal Departemen PU. Instansi ini tak berkutik menghadapi banjir Batavia. Puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter.

Pada 1920 muncul konsep Prof. Herman van Breen tentang penanggulangan banjir Batavia. Konsep ini lahir setelah Batavia dilanda lagi banjir hebat pada 1918. Konsep van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Penetapan Manggarai sebagai titik awal karena saat itu, wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal Barat ini mulai dibangun tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal ini dilengkapi beberapa pintu air, antara lain: Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal Barat, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota.

Pada 1965 dibentuk Kopro Banjir. Konsep van Breen tetap menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta, maka Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Pemerintah Pusat turun tangan melalui Keputusan Presiden RI No. 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk "Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta", disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Dalam mengatasi banjir Jakarta, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun oleh van Breen. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain sebagai berikut ini:
Pertama: Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya.
Kedua: Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur.
Ketiga: Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.

Pada 1973 dibuat Master Plan Pengendalian Banjir 1973, dan dikenal sebagai MP 73 (Master Plan For Drainage and Flood Control of Jakarta). Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan. Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam MP 73, antara lain rencananya yaitu sebagai berikut ini:
Pertama: Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai "Cengkareng Drain".
Kedua: Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai "Cakung Drain", untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga "banjir kanal", masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.

Pada 1981 MP 73 dimodifikasi menjadi MP 81, yang antara lain merencanakan:
Pertama: Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke.
Kedua: Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah.
Ketiga: Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol.
Keempat: Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart.
Kelima: Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa).
Keenam: Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.

Pada 1997 master plan diperbarui lagi menjadi MP 97 (Master for Comprehensive River and Water Management in Jabotabek), antara lain berupaya merealisasikan rencana saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.

Pada 2003 BKT dicanangkan kembali. Ketidak-adaan dana menyebabkan proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa selesai tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilyun ini akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter. Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta. Di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Sebagian besar anggaran itu, yakni Rp 2,186 trilyun, untuk pembebasan lahan.

Pencegahan banjir dimulai dari hulu. Dalam konsep van Breen, tampak disadari bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah hulu, dibangun dua bendung yakni: Bendung Katulampa di Ciawi, dan Bendung Empang di hulu Sungai Cisadane. Untuk mengalirkan air dari Bendung Katulampa dibangun saluran yang kini dikenal sebagai saluran Kalibaru Timur yang letaknya sejajar dengan ruas Jalan Raya Bogor. Saluran ini bermuara di Kali Sentiong dan berakhir di Muara Ancol. Sedangkan untuk aliran air dari Bendung Empang dibangun saluran Kalibaru Barat yang letaknya sejajar dengan Jalan Citayem-Depok-Lenteng Agung hingga Jalan Saharjo, dan bermuara di Banjir Kanal Barat dekat Pintu Air Manggarai.

RTH sebagai penyimpan air. Tidak kalah penting adalah membuat agar air bisa sebanyak-banyaknya tersimpan di kawasan lindung hulu dan teresap ke dalam tanah, bukan mengalir tidak terkendali di permukaan. Kondisi ini bisa terjadi bila daerah hulu atau selatan Jakarta memperluas areal ruang terbuka hijau (RTH). Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kawasan lindung tangkapan air terus menyusut, terdesak oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok. Rencana pembangunan Waduk Depok, walau sudah dilakukan studi kelayakan, kini yang terjadi malah terhampar permukiman elit di atas lahan yang semula untuk waduk. Nasib serupa menimpa situ-situ yang pernah ada, yang diperkirakan mencapai 200-an. Kondisinya sungguh menyedihkan. Sebagian besar sudah menghilang, berubah menjadi kawasan permukiman dan budidaya lainnya.

Banjir 2007 sebagai pelajaran terakhir? Penanggulangan banjir Jakarta memang seolah hanya wacana, walau telah banyak rencana namun selalu terkendala biaya. Apalagi terbukti dengan banjir besar yang terjadi di awal 2007. Jakarta lumpuh, 80% wilayah Jakarta terendam banjir dan menimbulkan kerugian sangat besar, yang ditaksir mencapai Rp. 8, 299 trilyun, belum termasuk kerugian yang diderita oleh tiap-tiap penduduk Jakarta.

Mampukah teknologi polder mengatasi banjir? Kota Jakarta adalah dataran aluvial banjir yang dialiri oleh 13 sungai, yaitu di bagian timur sungai-sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang, di bagian tengah sungai-sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut, di bagian barat sungai-sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke. Bahkan 40% bagian utara Kota Jakarta terletak pada daerah dataran rendah dibawah muka air laut pasang. Teknologi polder dari Negeri Belanda telah dicoba diterapkan di Jakarta, di Pantai Indah Kapuk (PIK). Tahun 2002 dan 2007, saat banjir besar melanda Jakarta saluran air sekunder dan tersier PIK tetap kering. Tiga pompa besar sistem di kawasan itu sukses mengendalikan debit air di saluran primer. Belajar dari pengalaman panjang ini jelas terlihat Jakarta dituntut butuh visi besar, radikal, konsisten dan holistik agar terhindar dari bencana banjir di masa datang.


Bab II: Penataan Ruang Berbasis Sumber Daya Air

Sifat air selalu mengalir mencari “jalan”nya sendiri, dan akan “parkir” di tempat biasanya “parkir”. Penataan ruang kawasan yang menggangu “jalan” air dan mengubah fungsi tempat “parkir” air akan membahayakan kawasan tersebut.

Dinamika air sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Dinamika air mengikuti siklus hidrologi, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga seharusnya dinamika air ini merupakan faktor dominan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Potensi daya guna air akan berubah menjadi potensi daya rusak air bila penataan ruang suatu wilayah tidak mengacu kepada sifat dinamika air.

Tiga metode pendekatan mengatasi banjir. Mengatasi masalah banjir di suatu kawasan dapat menggunakan 3 pendekatan sesuai situasi dan kondisi setempat, yaitu: “Take away people from water”, atau “take away water from people”, atau “living harmony together with water”.


Bab III: Bencana Akibat Tata Ruang dan Perilaku Tidak Konsisten

Pertama: Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan kelestarian lingkungan hidup. Tidak konsistennya pemanfaatan ruang, baik oleh pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat, dalam bentuk alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi faktor utama penyebab bencana, bisa berupa bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Kedua: Akibat Pemprov DKI Jakarta terlalu longgar dalam mengeluarkan izin untuk peruntukan lahan, maka telah terjadi penyimpangan hingga 70% atas Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010 (Perda No. 6 Th 1999).

Ketiga: Peruntukan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta telah semakin menyempit. Dalam Master Plan DKI Jakarta 1965-1985, RTH ditargetkan 27, 6%. Master Plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi menjadi 26,1% dan yang terburuk adalah melalui Master Plan DKI Jakarta 2000-2010 yang menghabisi peruntukan RTH menjadi 13,94% atau 9.5444 hektar yang hingga hari ini baru tercapai 6.623 hektar atau 6,7% dari keseluruhan wilayah DKI Jakarta. Mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam tata ruang perkotaan perlu dibangun ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.


Bab IV: Instrumen legal penataan ruang Jabodetabekjur

Pertama: Tata Ruang Jabodetabek dan Bopunjur (2010)
Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997, Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Tertentu dan Kawasan Andalan. Fungsi ruang Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur dalam Tata Ruang Wilayah Nasional antara lain adalah sebagai satu kesatuan ekologis DAS yang mencakup ekologi pegunungan sampai pada ekologi pantai/ pesisir.

Kedua: Tata Ruang Bopunjur
Berdasarkan Keppres no. 114/1999 (sampai dengan tahun 2014) mengarahkan sebagian kawasan Bopunjur untuk berfungsi sebagai daerah resapan yaitu seluas 83,88%, sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perkotaan seluas 16,12%.

Ketiga: Tata Ruang DKI Jakarta (2010)
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2010 (Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta) disebutkan bahwa pembangunan Kota Jakarta diarahkan dengan visi mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan misi, antara lain: membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat, dan mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. Adapun kebijakan pengembangan tata ruang Kota Jakarta antara lain: memproritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor timur, barat, utara dan membatasi pengembangan ke arah selatan agar tercapai keseimbangan ekosistem, selain itu juga melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Keempat: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010)
Bodebek diarahkan menjadi kawasan unggulan industri manufaktur, pariwisata dan jasa yang mempunyai keterkaitan dengan sumber daya lokal, berdaya saing, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan , dengan tetap mempertahankan kawasan lindung serta situ-situ yang berfungsi sebagai resapan air.
Bopunjur diarahkan menjadi kawasan unggulan agrobisnis dan agrowisata dengan memberdayakan masyarakat setempat dan tetap mempertahankan fungsi konservasi, melalui reboisasi, rehabilitasi lahan kering dan konservasi sumber daya alam, untuk menjamin berlangsungnya konservasi air dan tanah di kawasan Bopunjur dan menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.


Bab V: Penanggulangan Banjir Berbasis Masyarakat

Pertama: Manusia dan Lingkungan
Man and Environment is equal. Pandangan ini beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di alam jagad raya ini, baik yang hidup maupun yang mati, memiliki karakteristik yang saling terkait. Manusia sederajat dengan setiap makhluk dan benda yang ada di alam raya. Pandangan ini biasanya berlaku di kalangan komunitas tradisionil dengan kehidupan yang sangat sederhana. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan ekosentrisme.
Man dominates environment. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi derajatnya di alam raya ini. Segala sesuatu yang ada di alam ini dianggapnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan dan kepuasan manusia. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan antroposentrisme.
Man and environment is in harmony. Pandangan ini beranggapan bahwa antara manusia dan alam harus hidup bersama secara harmonis. Pandangan ini hampir mirim ekosentrisme, tetapi lebih berpandangan untuk masa depan yang berkelanjutan. Pandangan demikian mampu melestarikan dan memulihkan keseimbangan ekosistem.

Kedua: Sustainable Development
Pergeseran paradigma pembangunan yang lebih menekankan kepada aspek sustainable development, termasuk sustainable human development, diharapkan dapat menimbulkan pergeseran dalam pemahaman pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Paradigma sektoral diubah ke integrated atau holistik. Paradigma unilinier diubah ke multilinier. Kearifan tradisional atau local wisdom tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan, tetapi sebagai energi sosial yang mendorong dinamika pembangunan. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. Paradigma 3 P (for people, for planet, for people). Pemahaman-pemahaman semacam ini diyakini akan dapat mempercepat penanggulangan banjir di Jakarta.


Daftar Pustaka

Algooth Putranto. 2007. Banjir Jakarta Dulu dan Sekarang. History of Jakarta Flood. Versi lain dimuat Bisnis indonesia 8 Februari 2007.

Ant/Ads. 2003. Tata Ruang Harus Ikuti Pengelolaan Sumber Daya Air. Sinar Harapan 2003.

Hidayat Gunadi. 2007. Jakarta Under Water. Pocket CBN. Hot Topic Sun, 11 Feb 2007.

Kusnaka Adimihardja. 2003. Membangun Kapabilitas Manajemen Lingkungan. Dalam Otonomi Pengelolaan Sumberdaya dan Pengembangan Masyarakat. Adjat Sudradjat. 2007. LPM UNPAD.

NAW/PIN. 2004. 70% Lahan di Jakarta Beralih Fungsi. Kompas Metropolitas. 30 Juli 2004.

Paulus Londo. 2002. Strategi Prof Dr H van Breen Menyelamatkan Jakarta dari Banjir. Kompas. 5 Februari 2002.

Pusdatin. 2005. Konsep Pemerintah Dalam Mengatasi Penanganan Banjir. PU-net. Departemen Pekerjaan Umum. 16/2/2005.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Setia Lesmana. 2007. Penanggulangan Banjir, Selalu Sebatas Wacana! Suara Pembaruan Daily. Last modified: 10/2/07.

Urban Poor Consortium. 2007. Banjir Jakarta 2007: Bukti Kegagalan Pemerintah Mengantsipipasi Banjir. UPC.19 Juni 2007.

Zain, dkk. 2002. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bencana Banjir. Bab 3 final. Down load dari www.google.com.

Read More..

Monday, July 23, 2007

PENANAMAN POHON BELUM TERTATA

Komara Affandi,”Yang Penting Bandung Hijau Dulu”
Pikiran Rakyat
, 05 April 2004, (A-56)

Foto: Sobirin, November 2004, Pohon Tumbang di Taman Pramuka


"Bukan salah pohonnya, karena yang tumbang adalah pohon-pohon yang tidak terpelihara dengan baik," ujar Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin kepada "PR", Sabtu (3/4) sore.


BANDUNG, (PR).- Penanaman pohon di sejumlah jalan Kota Bandung, belum tertata dengan baik dan kurang memperhatikan jarak serta estetika. Bahkan di beberapa jalan, penanaman pohon dilakukan dengan jarak rapat dan tidak terawat, sehingga ketika terjadi badai banyak yang tumbang.

"Bukan salah pohonnya, karena yang tumbang adalah pohon-pohon yang tidak terpelihara dengan baik," ujar Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin kepada "PR", Sabtu (3/4) sore.


Jarak penanaman pohon kurang dari 5 meter, menurut Sobirin, boleh saja jika tujuannya untuk penjarangan. Artinya, setelah dewasa dan canopy atau bentuk payung pohonnya bertabrakan, maka pohon yang berada di tengah-tengah harus ditebang.

"Tapi ini biasanya dilakukan di hutan. Kalau di kota, sebaiknya ditentukan sejak awal berjarak antara 15 - 20 m atau tergantung canopy pohonnya. Kemudian di sela-selanya ditanami bunga. Kita kan juga harus berhemat dan memerhatikan landscape kota," tutur Sobirin.


Menurut dia, dalam menanam pohon perlu diperhitungkan bentuk payung pohon tersebut agar setelah dewasa, tidak saling bertabrakan. "Misalnya pohon kihujan di daerah Cibeunying dan Tongkeng, memiliki diameter canopy 20 meter setelah berusia 15-20 tahun. Maka jarak penanaman antara satu pohon dengan pohon lain, setidaknya 20 meter," jelasnya.

Jika hal itu tidak diperhatikan, lanjut Sobirin, akan terjadi seperti di Jln. Naripan, canopy pohon angsana yang satu dengan yang lain saling bertabrakan. Demikian pula canopy pohon flamboyan di di sekitar Siliwangi.

Mengenai jenis pohon yang sebaiknya ditanam di pinggir jalan, Sobirin menyarankan jenis-jenis pohon yang disukai burung seperti kihujan, bungur, kupu-kupu, dsb. Sedangkan jenis angsana yang banyak ditanam di Kota Bandung saat ini justru tidak disukai burung.

Selain itu Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Dismankan) Kota Bandung perlu melihara pohon-pohon tersebut, misalnya memangkas ranting tua, pengerokan lumut, penertiban papan-papan pengumuman yang dipaku ke pohon, dll.
Menurut dia, Kota Bandung saat ini memiliki sekira 650 ribu pohon. Idealnya, dengan jumlah penduduk 2,5 juta, Bandung perlu sekira 1,4 juta pohon yang ditanam dalam bentuk hutan kota yang kompak dan mengelompok.

Bentuk seperti itu bisa ditanam di Punclut dan Babakan Siliwangi. Kemudian yang mengelompok kecil-kecil seperti di Taman Cilaki dan Taman Pramuka, atau yang sejajar di sepanjang jalan dan 46 sungai kecil yang ada di Kota Bandung.


Paru-paru rusak


Mantan Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Dismankam) Kota Bandung Komara Affandi, beberapa saat sebelum dilantik menjadi Direktur Air Kotor, membenarkan, Dismankam melakukan penanaman pohon dengan jarak rapat yaitu sekitar 5 meter, dengan perhitungan jarak frame batang ke daun rata-rata 2 meter.

"Kami mengejar Bandung hijau dahulu, biarpun harus padat tanaman," ujarnya.
Karena itu, penanaman pohon dilakukan di lahan yang tersisa, meskipun ukuran lokasinya sangat kecil, seperti di Jln. Suci yang akan terkena pelebaran jalan.

"Bagaimana pun akar pohon akan merusak trotoar. Salah satu harus dikorbankan. Salah satu fungsi pohon adalah menyerap CO2 dan menghasilkan O2. Dari pada paru-paru kita yang rusak, lebih baik tanam pohon," ujar Komara Affandi.


Mengenai tumbangnya sejumlah pohon yang terkena badai, Komara membenarkan, rata-rata dari jenis angsana dan ketapang badak yang masih berusia muda dan pohonnya masih bagus. Hal itu bisa terjadi karena tiupan angin yang berbeda di setiap daerah.

"Tapi untuk jenis angsana yang mudah patah, akan diganti dengan pohon mahoni," ucapnya.
Saat ini dari sekira 650 ribu pohon di Kota Bandung, sekira 150 di antaranya dinilai sudah tua dan membahayakan. Misalnya di Jln. Eykman dan Jln. Sampurna.

"Tapi anehnya, meski diprediksi bisa tumbang, ternyata pohon-pohon tua ini malah utuh. Meski begitu, pohon-pohon yang tua seperti jenis flamboyan dan kenari akan ditebang dan diganti," ujar Komara. (A-56)***

Read More..

UDARA SEHAT BANDUNG KURANG DARI 55 HARI

KOMPAS, Jawa Barat, 23 Juli 2007, Lingkungan Sehat (ynt)
Foto: BPLHD Jabar, 2003, Sumber Polusi

Sementara Kota Bandung dengan luas
17.000 hektar tahun 2003 memiliki RTH hanya 1,5% dari luas kota, kemudian tahun 2007 Pemkot Bandung mengklaim luas RTH telah menjadi 6,5%. "Seharusnya RTH yang dimiliki paling tidak seluas 30% atau 5.100 hektar," kata Sobirin.

Bandung, Kompas - Masyarakat Kota Bandung belum memiliki budaya menghijaukan kota dengan pepohonan. Padahal, luas ruang terbuka hijau atau RTH di Kota Bandung masih jauh dari yang dibutuhkan oleh kota ini. Akibatnya, kondisi udara Kota Bandung semakin kritis. Udara sehat hanya bisa dinikmati kurang dari 55 hari dalam setahun.

Menurut anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, Sabtu (21/7) di Bandung, penelitian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat tahun 2005 menyatakan, udara di Kota Bandung kotor dan berdebu. Dari 364 hari dalam setahun, hanya 55 hari udara Kota Bandung termasuk kategori sehat. "Saya menduga tahun ini kualitas udara terus menurun. Mungkin hari sehat di Kota Bandung kurang dari 55 hari saat ini," ujar Sobirin.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota harus memiliki 30 persen RTH dari luas kotanya. Sementara Kota Bandung dengan luas sekitar 17.000 hektar pada tahun 2003 memiliki RTH hanya sekitar 1,5% dari luas kota, kemudian pada tahun 2007 Pemda Kota Bandung mengklaim luas RTH telah menjadi 6,5%. "Seharusnya RTH yang dimiliki paling tidak seluas 30% atau 5.100 hektar," kata Sobirin.

Ia memaparkan, Bandung yang berbentuk cekungan, bila dilihat dari tempat yang tinggi, akan tampak seperti berkabut. Hal itu menunjukkan kotornya udara Kota Bandung. Kabut tersebut merupakan kumpulan polusi dan debu yang terjebak dan terus berputar di sekitar cekungan. "Udara kotor ini bisa ditekan jumlahnya dan dinetraliasi oleh pepohonan," tutur Sobirin.

Perda K3

Berdasarkan UU Penataan Ruang, 20 persen RTH harus disediakan oleh pemerintah dan 10 persen sisanya oleh masyarakat. Sayangnya, kata Sobirin, sebagian besar masyarakat Kota Bandung belum memiliki budaya lingkungan hijau sehingga kebutuhan akan RTH tidak terpenuhi.

Melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketertiban, Keindahan, dan Kebersihan (K3), sebenarnya budaya lingkungan hijau bisa diwujudkan.

Akibat polusi tinggi, menurut dokter kesehatan lingkungan Ardini Raksanagara, daerah tersebut biasanya memiliki kasus penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) cukup banyak. Akibat ISPA, daya tahan tubuh turun. ISPA yang sudah berat, seperti pneumonia atau radang paru, bisa mengakibatkan kematian. Anak-anak rentan terhadap ISPA. "Untuk mencegah ISPA, sebaiknya makan makanan bergizi, olahraga, dan istirahat cukup. Saya menganjurkan setiap rumah menanam pohon untuk memberikan udara yang baik bagi keluarga," Ardini menyarankan. (ynt)

Read More..

UNPAD LUNCURKAN KOMIK PENDIDIKAN

Universitas Padjadjaran, 02 Juli 2007, LPM UNPAD (rth)
Gambar: Komik UNPAD (Adjat Sudradjat, Nana Sulaksana cs)

Untuk itu, Sobirin berharap ketika dipasarkan nanti, buku komik ini bisa dimanfaatkan sebagai media pemberdayaan masyarakat.



Berita - 02 Jul 2007 Universitas Padjadjaran meluncurkan tiga buku mengenai geologi. Salah satu buku yang diterbitkan tersebut berbentuk komik berjudul “Gempa Bumi dan Tsunami, Kenapa Terjadi Gempa Bumi dan Tsunami?” karya Prof. Dr. Ir. Adjat Sudradjat di RSG Rektorat Senin (02/07/07).

Dalam tanggapannya, Sobirin, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Bandung, menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Sumber Daya Alam, Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM), serta Universitas Padjadjaran, yang telah menghasilkan karya buku komik pendidikan.

Menurut dia, tidak mudah menyusun buku komik pendidikan, karena sejumlah komik yang sama nyatanya tidak tepat sasaran. Untuk itu, Sobirin berharap ketika dipasarkan nanti, buku komik ini bisa dimanfaatkan sebagai media pemberdayaan masyarakat.

Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, menyambut baik terbitnya buku-buku ini. “Semoga ini bisa menjadi pemicu para guru besar lain untuk terus menghasilkan karya,” ujar Rektor. Rektor berjanji akan memberi dukungan penuh kepada seluruh guru besar dan dosen yang ingin menerbitkan buku.

Selain menerbitkan buku komik, Adjat juga menulis buku berjudul “Otonomi Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pengembangan Masyarakat” Buku lain yang diluncurkan berjudul “Riset, Bergulirlah Proses Ilmiah” karya Prof. Dr. R. Febri Hirnawan. (rth)

Read More..

Friday, July 20, 2007

PENAMBANGAN PASIR BESI MERUSAK LINGKUNGAN

Eksploitasi Di Tasikmalaya Sudah Ditutup Tahun 2005
KOMPAS
, JABAR, 20 Juli 2007, CHE

Foto: Sobirin, 2006, Pasir Besi Cianjur Selatan: Berkah atau Musibah?


Menurut anggota DPKLTS Supardiyono Sobirin, Kamis (19/7), saat ini penambangan pasir yang ada di pantai selatan Jabar cenderung hanya ke arah negatif.

Bandung, Kompas - Penambangan pasir besi di pantai selatan Jawa Barat perlu dikaji lebih intensif. Pengawasan harus ketat karena keberadaannya dikhawatirkan hanya akan merugikan lingkungan ketimbang memberi keuntungan.

Menurut anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, Kamis (19/7), saat ini penambangan pasir yang ada di pantai selatan Jawa Barat cenderung hanya ke arah negatif. Hal ini dilihat dari keuntungan pendapatan asli daerah yang didapat kerap tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan.

Sobirin menuding bahwa langkah eksploitasi atau eksplorasi ke depannya akan merusak lingkungan sekitar. Dengan mengeruk pasir terlalu banyak dikhawatirkan akan membahayakan daerah di sekitar penambangan.

Selama ini, menurut Sobirin, gumuk pasir menjadi salah satu komponen ampuh untuk meredam terjadinya gelombang besar yang ada di laut selatan, baik karena cuaca maupun ancaman tsunami. Ia menambahkan, bila dengan ditanami bakau, kawasan itu pasti menjadi daerah cukup aman dari gelombang pasang atau tsunami.

"Pemerintah daerah harus benar-benar berhati-hati dalam melakukan eksplorasi dan pengeboran pasir besi. Harusnya ada studi komprehensif dan sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Jangan sampai tujuan menyejahterakan rakyat miskin di sekitar pesisir pantai justru makin menyiksa mereka," kata Sobirin.

Kekhawatiran senada diungkapkan Budi Brahmantyo, dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung. Menurut dia, dengan melakukan tambang terbuka, pasti ada perubahan lingkungan di sekitarnya, baik tehadap kualitas air maupun produksi mata air. "Tanpa eksplorasi, selain untuk keamanan daerah pesisir, lingkungan di sekitarnya bisa juga dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, atau pariwisata," kata Budi. Di Tasikmalaya ditutup

Hal tersebut ditanggapi postif oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat. Menurut Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan BPLHD Prima Mayaningtyas, saat ini pihaknya juga tengah melakukan pengawasan ketat di daerah yang sedang dieksplorasi, seperti Garut, Sukabumi dan Cianjur.

Menurut dia, payung hukum juga disiapkan bagi mereka yang nakal. Pihaknya mengacu pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Pasir Besi. Selain itu, ada juga Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 yang salah satunya mengatur tentang larangan aktivitas penambangan sejauh 200 meter dari sempadan pantai.

Dengan peraturan itu, ia mengharapkan jangan sampai potensi besi yang ada mengesampingkan ekosistem di sekitarnya. Untuk mengatasi hal itu, BPLHD belajar dari pengalaman penutupan aktivitas eksploitasi di Tasikmalaya pada 2005.

Selain melihat dari sektor kerusakan lingkungan, faktor finansial yang diterima daerah pun harus dijadikan pertimbangan. Menurut Sobirin, beberapa kebijakan soal pasir besi saat ini tidak menguntungkan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, dalam distribusi pemerintah daerah memilih menjual bahan mentah ketimbang bahan yang sudah jadi ke luar Jabar atau luar negeri. Akibatnya, potensi pasir besi pun tidak tergali.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan Jabar, luas area endapan pasir besi sekitar 2,8 juta meter persegi. Adapun luas endapannya mencapai 10,1 juta meter kubik. Dari jumlah ini diperkirakan total pasir kasar sekitar 17,5 juta ton. Total konsentrat hanya sekitar 2,9 juta ton dan total besi hanya 1,7 juta ton. Daerah potensial antara lain Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut. (CHE)

Read More..

MILIARAN KUBIK AIR HILANG

Air Waduk Tak Cukup untuk Sawah
KOMPAS, Nusantara, 20 Juli 2007, (YNT/MKN/CHE/HEN/ONI/MAS)
Foto: Sobirin, 2007, DAS Cimanuk Hulu, Tidak Konservatif


"Jabar dengan penduduk sekitar 40 juta jiwa membutuhkan 17 miliar meter kubik air untuk keperluan makan dan minum, serta sumber daya energi," kata Sobirin.

Bandung, Kompas - Kerusakan yang berdampak pada minimnya kemampuan hutan dan lahan dalam menyimpan air membuat Jawa Barat kehilangan potensi sumber daya air sebanyak 73 miliar meter kubik pada musim kemarau. Padahal, Jabar memiliki air sebanyak 81 miliar kubik air di musim hujan.

Demikian dikatakan Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin di Bandung, Kamis (19/7). Jabar memiliki 1,7 juta hektar kawasan lindung dan 600.000 lahan kritis. Kerusakan hutan membuat Jabar hanya memiliki potensi sumber daya air sebanyak 8 miliar meter kubik saat kemarau.

"Jabar dengan penduduk sekitar 40 juta jiwa membutuhkan 17 miliar meter kubik air untuk keperluan makan dan minum, serta sumber daya energi," kata Sobirin.

Bukti buruknya kawasan lindung tampak di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Menurut Sobirin, DAS Citarum seluas 600.000 hektar idealnya ditopang 300.000 hektar hutan. Kenyataannya, kawasan lindung Citarum hanya 60.000 hektar. Hal yang sama juga terjadi di DAS Cimanuk, Cilaki, dan Cikandang.

Pada awal kemarau ini, petani di Jabar, terutama di pantai utara (pantura), sudah khawatir sawah mereka akan kekurangan air. Kekhawatiran itu antara lain ada pada petani Kabupaten Karawang yang baru memulai tanam pertama musim kemarau.

Ketua Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jabar Sutrisna mengatakan, pantura Jabar yang irigasinya mengandalkan waduk, rawan kekeringan. Padahal, pantura adalah penghasil beras terbanyak di Jabar.

Agar masalah kekeringan dapat dikurangi, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Jawa Barat Rudy Gunawan meminta pemerintah memperbaiki infrastruktur.

Tak cukup

Adapun Direktur Jenderal Tanaman Pangan Deptan Sutarto Alimoeso mengkhawatirkan volume air waduk tidak akan cukup mengairi sawah yang berada di ujung pengairan (tail area).

Di Jabar, tail area ada di sebagian sawah di Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon. Jawa Tengah meliputi sebagian Tegal, Pemalang, Demak, Pati, Grobogan, dan Blora. Jawa Timur meliputi sebagian Ngawi, Tuban, Bojonegoro, dan wilayah pesisir.

Di Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jateng, warga Dusun Talunkacang, Kelurahan Kandri, mengatasi penyusutan debit sungai dengan membuat kincir air. Kincir itu dimanfaatkan untuk mengalirkan air Sungai Kreo ke sawah. Di Kabupaten Madiun, Jatim, sejak tiga pekan ini, petani Kecamatan Wungu dan Dagangan mengantre air irigasi empat hingga lima hari.
(YNT/MKN/CHE/HEN/ONI/MAS)

Read More..

Wednesday, July 18, 2007

HARI LINGKUNGAN DI KOTA BANDUNG

Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung kita ini?
Diperingati pada 18 Juli 2007 di Taman Tegallega

Foto: Sobirin 2006, Hutan Kota Bandung, Taman Cilaki

Oleh: SOBIRIN

Warga kota mengkritik persampahan Kota Bandung, tetapi 90% warga masih tidak peduli dengan pengelolaan sampah rumah tangganya (kalau di rumah saya sudah “zero waste”, sampah rumah tidak dibuang ke luar rumah).



SAMBUTAN DARI AKTIVIS LINGKUNGAN


Ass. Wr. Wb.

Sampurasun,

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 5 Juni telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1972. Kemudian tiap tahun di tiap negara di dunia ini memperingati Hari Lingkungan ini dengan tujuan menanamkan kesadaran bahwa kehidupan akan berkelanjutan, bila lingkungan hidup ini kita lestarikan. Kota Bandung memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia ini tidak pas pada tanggal 5 Juni yang lalu. Tidak apa-apa, karena pada hakekatnya setiap hari kita harus sadari sebagai pelaksanaan hari lingkungan.

Kalau kita membaca dan mendengar berita di media massa, selalu saja warga Kota Bandung ini mengeluhkan dan mengkritik banyak hal tentang ketidak-nyamanan Kota Bandung, misalnya:
Kota Bandung semakin panas dan berdebu,
Kota Bandung kekurangan pohon,
Kota Bandung lautan sampah,
Kota Bandung sungainya sekarat, dan lain-lainnya.

Hampir seluruh warga mengkritik perihal lingkungan Kota Bandung yang kita cintai ini. Tetapi kalau kemudian kita balik bertanya kepada diri kita masing-masing: Apa yang telah kita lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini?

Ambil contoh tentang sampah Kota Bandung. Warga kota mengkritik persampahan Kota Bandung, tetapi 90% warga kota masih tidak peduli dengan pengelolaan sampah rumah tangganya (kalau di rumah saya sudah “zero waste”, sampah rumah tidak dibuang ke luar rumah). Warga kota mengeluhkan Kota Bandung kekurangan pohon, tetapi faktanya Ruang Terbuka Hijau Privat Kota Bandung (yaitu Ruang Terbuka Hijau di halaman atau pekarangan milik warga) masih sangat minim (kalau di halaman rumah saya, ada 10 pohon lebih).

Peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun 2007 ini Indonesia memilih tema ”Iklim Berubah, Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan”.
Apakah benar iklim herubah? Hasil penelitian para ahli iklim memang mengatakan iklim sedang berubah. Perubahan iklim telah menyebabkan berbagai persoalan lingkungan seperti perubahan pola curah hujan yang telah mengakibatkan banjir dan longsor ataupun musim kemarau berkepanjangan, serta munculnya berbagai macam penyakit menular.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus melakukan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim ini. Kalau mengurangi ancaman bencana dengan mitigasi, kalau mengurangi dampak perubahan iklim dengan adaptasi. Apa upaya adaptasi ini? Salah satunya adalah membangun kembali iklim mikro Kota Bandung dengan memperbanyak penanaman pohon sebagai pelindung kota. Iklim mikro adalah iklim yang terdapat disekitar dan dibawah rerimbunan pohon itu sendiri, semakin banyak pohon akan semakin handal iklim mikro kota, dan diyakini dapat menjadi benteng terhadap dampak perubahan iklim. Seperti kita lihat sekarang, Tegallega menjadi kawasan dengan iklim mikro yang baik, sehingga banyak pengunjung menikmati suasana kesegaran kota.

Adaptasi terhadap perubahan iklim ini telah tersirat dalam UU No. 26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang. Secara khusus UU ini mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Seluas 20% harus dibangun oleh Pemerintah Kota disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau Publik, sisanya 10% harus dibangun oleh warga di halaman atau pekarangan milik warga disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau Privat.

Walaupun masih ada kendala di sana-sini, Kota Bandung telah berupaya menjalankan politik pro lingkungan melalui berbagai program antara lain menjaring aspirasi masyarakat terhadap lingkungan (jasmara lingkungan), menjalankan konsep pendidikan lingkungan di sekolah melalui muatan lokal lingkungan hidup. Yang masih harus terus ditekankan kepada warga Kota Bandung adalah supaya setiap warga Kota Bandung: mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus mau berbudaya lingkungan. Menurut saya, budaya lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus menjadi budaya seluruh warga Kota Bandung untuk mewujudkan visi Kota Bandung menjadi Kota Jasa yang Bermartabat.

Perlu kita ingat bersama bahwa Kota Bandung pernah memiliki julukan-julukan yang indah, misalnya:
A Paradise in Exile ( abad 18),
Bandung Excelsior (1856),
The Sleeping Beauty (1884),
De Bloem van Bersteden (abad 19),
Parisj van Java (1920),
Intellectuelle Centrum van Indie (1921),
Staatkundig Centrum van Indie (1923),
Europe in de Tropen (1930),
Bandung Kota Kembang (1950-an),
Bandung Ibu Kota Asia-Afrika (1955)

Sekali lagi: untuk mewujudkan visi Kota Bandung menjadi Kota Jasa yang Bermartabat, kita balik bertanya kepada diri kita masing-masing: Apa yang telah kita lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Mari kita prak, prung, der, melestarikan lingkungan hidup Kota Bandung tercinta ini.

Hidup Kota Bandung!
Sekian dan terimakasih,
Ws.Wr. Wb

Read More..

Monday, July 16, 2007

MASALAH ANGGARAN LINGKUNGAN JABAR

APBN DAN APBD SAMA SEKALI BELUM PRO LINGKUNGAN
DPKLTS, 17 Juli 2007, Masukan Rapat Anggaran WALHI JABAR
Gambar: Sobirin dan Free Clip Art, 2007
Oleh: Sobirin
Pembangunan jaman Orde Baru memang meningkatkan GNP nasional, tetapi lingkungan hidup hancur berantakan.


Apa Yang Terjadi?

Pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto dengan konsep Repelita-nya memang telah meningkatkan GNP nasional. Namun pembangunan yang dilakukan telah banyak menghancurkan kondisi lingkungan hidup.

Pembangunan lebih berbobot pada ekonomi yang tidak berkelanjutan katimbang konservasi lingkungan. Pertimbangan ekonomi lebih didulukan, sedangkan konservasi lingkungan dianggap tidak penting.

Munculnya Kantor Kementerian Lingkungan hidup pada tahun 1978 disusul berdirinya Kantor Lingkungan Hidup Daerah dirasakan hanya sekedar embel-embel, bahkan sampai sekarangpun. Buktinya pembalakan liar terus berlangsung, penggalian bahan tambang di kawasan lindung terus terjadi, pencemaran lingkungan terus berjalan.

Dampaknya di musim hujan selalu terjadi banjir dan longsor, di musim kemarau terjadi kekeringan, dan sepanjang tahun terjadi pencemaran diikuti penyakit menular.


Mengapa Terjadi?

Pembayaran jasa lingkungan hidup di Indonesia sampai saat ini terlalu sangat kecil dan belum dianggap menjadi prioritas. Cobalah kita lihat rata-rata APBN dan APBD selama ini. Terlihat pendapatan berasal dari eksploitasi sumber daya alam bisa mencapai 75%, namun pengeluaran untuk konservasi lingkungan hidup tidak lebih dari 1%.

PAD yang diterima selalu dianggap PAD bersih, padahal PAD yang diterima adalah PAD kotor. Bila dikaitkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, maka PAD yang sesungguhnya bisa-bisa minus. Hal ini tidak pernah dipedulikan oleh pejabat-pejabat daerah.

Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa 47% Kepala Daerah tidak mempunyai visi lingkungan yang jelas. Selama enam tahun otonomi daerah, telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran karena berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pelestarian lingkungan hidup dianggap hanya menjadi beban (cost centered) saja, dan dianggap tidak menguntungkan (tidak profit centered).

Selanjutnya dikatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bahwa potret 53% Kepala Daerah lainnya sangat bervariasi. Misalnya, dilihat dari sudut pandang anggaran, alokasi APBD untuk pengelolaan lingkungan hidup rata-rata tidak ada yang melebihi angka satu persen. Sedangkan yang mengenal visi lingkungan hidup dengan baik tidak lebih dari 5%.

Kebijakan lingkungan hidup di daerah banyak yang hanya sekedar mengadopsi program pusat. Kreativitas pemerintah daerah dalam pelestarian lingkungan hidup sangat minim.

Setiap tahun, semua daerah selalu melakukan perubahan anggaran. Biasanya dalam perubahan ini besaran anggaran selalu menjadi meningkat. Lagi-lagi untuk kepentingan pos lingkungan hidup tidak terjadi perubahan jumlah anggaran yang signifikan.


Bagaimana Upaya?

Memperjuangkan dan membela lingkungan hidup adalah tidak berarti anti pembangunan, karena bagaimanapun lingkungan hidup adalah bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan.

Otonomi daerah meletakkan tanggung jawab pengendalian lingkungan hidup di tangan kepala daerah. Sesuai UU No 32 Tahun 2004 pasal 13-14. Artinya, terkendali atau tidaknya urusan lingkungan hidup sangat bergantung pada kepala daerah. Oleh karena itu, daerah harus mempunyai visi lingkungan menjadi faktor kunci dalam pengendalian dan pelestarian lingkungan hidup.

Otto Sumarwoto mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah Keenam tolok ukur itu diyakininya akan mampu menjadi kriteria keberhasilan seorang kepala pemerintahan. Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin, pro kesetaraan jender, pro penciptaan lapangan kerja dan harus antikorupsi, kolusi serta nepotisme.

Anggaran biaya untuk lingkungan hidup dalam APBN dan APBD harus diupayakan ditingkatkan paling tidak menjadi 10% atau lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1% saja. Sebagai pembanding alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman 6%, di Vietnam 5%.

Pemerintah harus berupaya memperkuat jajaran penegakan hukum lingkungan hidup, antara lain dengan menjadikan Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjadi sebuah departemen, dan Badan Pengelolaan Hidup di daerah menjadi Dinas.

Mengingat Kepala Daerah juga bergantung pada partai politik yang mengusungnya, maka partai politik juga menduduki posisi strategis dalam pengembangan visi lingkungan. Sebaik apa pun visi lingkungan Kepala Daerah, bisa-bisa hal itu tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan partai yang sudah saatnya memiliki visi lingkungan.

Sangat disarankan agar terus diupayakan dengan mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User Charges, dana investasi lingkungan, model tariff, pajak dan retribusi. Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan lingkungan hidup.

Harus berbasis masyarakat, tanpa rakyat diikutkan secara aktif, jangan harap pembangunan lingkungan akan berhasil. Dengan kata lain anggaran lingkungan harus bisa dinikmati oleh rakyat. Harus ditinggalkan konsep-konsep proyek dan tender-tender.

Perlu segera untuk merevisi UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Th 1997, karena telah banyak yang tidak sesuai lagi. RUU tentang Lingkungan Hidup ini antara lain harus dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan, Departemen Pro Lingkungan (atau APBD Hijau, Departertemenn Hijau, Pemerintah Daerah Hijau – bukan hijau baju tentara!)

Sebagai tambahan pembanding, Otto Sumarwoto mengatakan bahwa menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa pembangunan lingkungan hidup dengan konsep ekowisata di Delta Mekong mengalami laju pertumbuhan yang tinggi. Sebuah laporan dari Belanda menyatakan bahwa 20% pasar pariwisata diambil oleh ekowisata dan permintaan untuk ekowisata terus meningkat. Para ekowisatawan bersedia untuk membayar 10% lebih tinggi asal penikmat utama adalah penduduk lokal, sehingga wisata mereka dapat menolong usaha pemberantasan kemiskinan. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa ekowisata seperti didefinisikan oleh UNDP mempunyai prospek yang baik.

Read More..

Sunday, July 15, 2007

SISTEM POLDER UNTUK PERKOTAAN RAWAN BANJIR

RUMUSAN SEMILOKA
PUSAIR, Jakarta 3 Juli 2007

Gambar: PUSAIR, 2007, Model Sistem Polder

Oleh Tim Perumus:

Supardiyono Sobirin
(DPKLTS)

Joyce Marthawidjaja (PUSAIR)

Waluyo Hatmoko (PUSAIR)

Triweko (UNPAR)



Peningkatan kegiatan di kawasan perkotaan dataran rendah rawan banjir

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, dan standar kebutuhan hidup, serta industrialisasi di kawasan perkotaan dataran rendah rawan banjir, maka diperlukan peningkatan manajemen tata air dan pengendalian banjir.

Untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian banjir di kawasan perkotaan dataran rendah, seperti DKI Jakarta, diperlukan beberapa dukungan, antara lain peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan proses pembangunan, pengembangan perangkat hukum dan penegakan hukum, pemberlakukan kebijakan insentif dan disinsentif, serta pengembangan pendekatan dan teknologi baru dalam upaya pengendalian banjir.

Penataan Ruang Berbasis Sumber Daya Air

Dinamika air melalui siklus hidrologi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, dinamika air ini merupakan unsur dominan dalam penataan ruang wilayah, agar daya guna air tidak berubah menjadi daya rusak air.

Penataan ruang dan tata air wilayah makro dengan wilayah yang lebih mikro harus dilakukan secara berjenjang, dan mengait secara komplementer.

Dalam mengimplementasikan penataan ruang kawasan perkotaan, diperlukan badan kerjasama lintas sektor dan lintas wilayah, yang dapat menjembatani permasalahan pada masing-masing daerah, dan penanganan pembangunan secara terpadu yang saling menguntungkan.

Sistem polder sebagai alternatif rekayasa yang tepat dan efektif

Sistem polder merupakan salah satu alternatif rekayasa yang dinilai tepat dan efektif untuk mengendalikan banjir dan mendukung pengembangan kawasan perkotaan di daerah dataran rendah rawan banjir.

Sistem polder terdiri atas tanggul, kolam retensi, sistem drainase, pompa dan komponen lainnya yang merupakan satu sistem, dan dirancang sesuai dengan lokasi dan permasalahan yang dihadapi.

Pembangunan sistem polder tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah dan tata air secara makro.

Kombinasi kapasitas pompa dan kolam retensi harus mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan polder dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara makro.

Keterlibatan para pemilik kepentingan

Untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sistem polder, diperlukan keterlibatan para pemilik kepentingan di wilayah polder terkait. Namun demikian, pengembangan sistem polder tersebut harus mengacu kepada sistem drainase perkotaan secara makro yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sampai saat ini, pengelolaan sistem polder mengalami banyak kendala yang terkait dengan peraturan perundangan, keterlibatan para pemilik kepentingan, dan tata laksana yang belum dirumuskan secara rinci. Oleh karena itu diperlukan sistem kelembagaan yang bertumpu pada keterlibatan para pemilik kepentingan.

Salah satu faktor utama penghambat pengembangan sistem polder di Indonesia adalah mahalnya harga tanah, yang sangat menyulitkan pemerintah. Untuk itu diperlukan kerjasama investasi antara pemerintah dan swasta melalui skema Public-Private-Partnership.

Pengelolaan polder secara berkelanjutan membutuhkan kemandirian dalam pembiayaan, yang hanya mungkin dicapai apabila para penerima manfaat ikut serta menanggung biaya pengelolaan polder melalui suatu mekanisme iuran. Besarnya iuran yang harus dibayar para penerima manfaat hendaknya proporsional terhadap kontribusi mereka terhadap limpasan dan pencemaran yang mereka lakukan. Untuk masing-masing kawasan polder perlu dikembangkan formula perhitungan iuran yang dapat diterima oleh para pemilik kepentingan

Perlu Segera disusun Pedoman

Perlu segera disusun “pedoman” pengembangan sistem polder sebagai suatu alternatif penanggulangan banjir untuk perkotaan di dataran rendah rawan banjir.

Read More..

Tuesday, July 10, 2007

19 DAS DI JABAR DALAM KONDISI KRITIS

Jabar Kekurangan 8,9 Miliar m3 Air Setiap Musim Kemarau
Pikiran Rakyat
, 3 November 2004

Foto: Sobirin 2005, S. Cipandak, Cianjur Selatan, mulai kritis


Banyaknya DAS dalam kondisi kritis itu diungkapkan anggota DPKLTS S. Sobirin di sela-sela diskusi antara warga Jabar dan Meneg LH Rahmat Witoelar di Kantor DPKLTS Selasa (2/11)


BANDUNG, (PR).-
Sebanyak 19 daerah aliran sungai (DAS) dari 40 DAS di Jawa Barat dalam kondisi kritis. Dari jumlah itu, 13 di antaranya dikategorikan sangat kritis, 2 kritis, dan 4 agak kritis. Akibat kondisi seperti itu, wilayah Jabar selalu mengalami banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Banyaknya DAS dalam kondisi kritis itu diungkapkan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) S. Sobirin di selasela diskusi antara warga Jabar dan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Rahmat Witoelar yang difasilitasi DPKLTS di Kantor DPKLTS Jln. Riau Kota Bandung, Selasa (2/11).

"Kondisi kritis DAS itu mengakibatkan masyarakat Jabar kekurangan air sekira 8,9 miliar m3/tahun saat musim kemarau," kata Sobirin. Disebutkan, 13 DAS dengan kategori sangat kritis terdiri dari DAS Cisadane, Ciliwung, Citarum, Kali Bekasi, Pegadungan, Ciherang, Cilamaya, Cipunagara, Kali Sewu, Cipanas, Pangkalan, Ciwaringin, dan Cimanggung. "Adapun 2 DAS kritis adalah Cilalanang dan Cimanuk. Sementara itu, empat DAS yang agak kritis adalah Bangka Deres, Citanduy, Ciletuk, dan Cimandiri," katanya. Sobirin melanjutkan, 13 DAS sangat kritis, 2 kritis, dan 1 satu agak kritis yaitu Bangka Deres mengarah ke Laut Jawa di utara. "Sedangkan tiga DAS agak kritis yaitu Citanduy, Ciletuk, dan Cimandiri mengarah ke Lautan Indonesia di selatan.

" Kondisi kritis beberapa DAS itu, lanjutnya, memukul sendi-sendi kehidupan masyarakat Jabar. Pasalnya, kepadatan penduduk Jabar terkonsentrasi di utara. Jadi, begitu DAS-DAS yang mengarah ke utara rusak, sebagian besar masyarakat Jabar pun dipastikan kesulitan air," katanya. Melihat kondisi seperti itu, Sobirin mengatakan rehabilitasi lahan kritis di Jabar harus diupayakan berhasil. "Bila kelestarian hutan bisa dipulihkan, pasokan air ke sungai pun bakal kembali pulih. Jadi, untuk memulihkan kondisi sungai, harus dimulai dengan mengembalikan kelestarian hutan," tandasnya.

Di sisi lain, Sobirin mengaku khawatir Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Jabar bakal gagal karena tidak terkendalinya kebutuhan konsumsi kayu. "Hal itu mengakibatkan luas kerusakan hutan setiap tahun menjadi lebih tinggi dibandingkkan yang luas lahan direhabilitasi."

Tampung aspirasi

Sementara itu, Meneg LH Rahmat Witoelar mengatakan akan menampung seluruh aspirasi masyarakat untuk dijadikan bahan dalam menyusun rencana pembangunan lima tahun ke depan. "Karena itu, saya sengaja datang ke Kantor DPKLTS," katanya. Disebutkan, rencana pembangunan lima tahun yang merupakan pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) direncanakan diundangkan pada Januari 2005.

"Sebagai konsekuensi dari pemilihan presiden langsung, penyusunan rencana pembangunan pun dilakukan oleh eksekutif saja," kata Rahmat. Meneg LH menyebutkan rencana pembangunan lima tahun itu kemudian akan ditawarkan kepada masyarakat. "Setelah disetujui, akan disahkan menjadi undang-undang. Jadi, presiden akan menawarkan visi dan misinya secara langsung kepada rakyat yang memilihnya secara langsung."

Ditegaskan Rahmat, peran Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di masa mendatang harus lebih besar dibandingkan sebelumnya. "Pada masa lalu, KLH hanya berfungsi 'mencuci piring ' setelah pesta usai atau hanya jadi knalpot, bukan karburator. Buktinya, setelah pabrik berdiri, KLH hanya kebagian getahnya karena harus mengurusi limbahnya saja," katanya. Oleh karena itu, Rahmat mengatakan KLH kelak harus dilibatkan dari mulai perencanaan. "Dengan begitu, keterlibatan KLH pun menjadi lebih besar sehingga diharapkan bisa meminimalkan kerusakan lingkungan," tandasnya. (A-129)***

Read More..