Saturday, July 28, 2007

PENAMBANGAN GALIAN C, BERKAH ATAU BENCANA?

KAKI G. CIREMAI ZONA PENYANGGA KAB. CIREBON
Pikiran Rakyat
, Teropong, 24 Oktober 2005

Foto: Sobirin 2006, Bumi Cirebon Sedang Disiksa

Oleh Ir. SAJIBOEN SOEDARJA

Menurut Sobirin DPKLTS, untuk memulihkan kembali iklim mikro Kab. Cirebon, maka Pemda setempat harus menghentikan seluruh kegiatan galian C dan mengembalikan fungsi zona ini sebagai kawasan lindung.

CITA-CITA Bupati Cirebon, Drs. H. Dedi Supardi, M.M., yang menginginkan Kabupaten Cirebon menjadi "Malaysia"-nya Indonesia merupakan cita-cita yang mulia. Sebab, saat ini Malaysia memang patut ditiru, bukan hanya makmur secara ekonomi, tetapi juga "makmur" secara moral. Bukan pula tanpa alasan bila Kabupaten Cirebon memiliki obsesi lain, yaitu ingin menjadi "magnet" kemajuan bagi wilayah di sekitarnya dan bila perlu untuk tingkat nasional.

Ini bukan tanpa alasan. Dilihat dari sejarahnya, wilayah ini pernah meraih kejayaan dan sudah masuk dalam peta perdagangan dunia sebagai salah satu bandar terdepan di jalur utama niaga antarbangsa pada abad ke-8 yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18. Belajar dari sejarah tersebut, cukup beralasan bila pemerintah Kabupaten Cirebon berani melangkah menghadapi pasar bebas.

Namun, ada kendala yang dihadapi Kabupaten Cirebon yaitu adanya tiga masalah lingkungan yang klasik berupa banjir dan ancaman tanah longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan kualitas air baku yang jelek karena pencemaran limbah yang dibuang di badan sungai. Lokasi rawan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau paling tidak terdapat pada sembilan kecamatan yang ber¬ada di kawasan dekat jalur utama pantura, yaitu Babakan, Cirebon Utara, Cirebon Barat, Pabedilan, Losari, Tersana, Gegesik, Panguragan, dan Kecamatan Tengah Tani. Sedangkan lokasi rawan longsor terdapat pada enam kecamatan yang berada di kawasan Cirebon bagian selatan, yaitu Sedong, Astanajapura, Dukupuntang, Palimanan, Lemahabang, dan Kecamatan Sumber.

Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cirebon ini makin diperparah karena hancurnya zona penyangga di kaki Gunung Ciremai akibat penambangan bahan galian C yang saya nilai telah berlebihan. Jenis bahan galian C berupa pasir yang bermutu tinggi untuk bahan bangunan. Dahulu, pasir tersebut digali dengan cara manual oleh masyarakat, dan waktu itu kerusakan lingkungan boleh dikatakan tidak ada karena luas galian tidak seberapa dan bekasnya langsung direklamasi secara tradisional dengan menanam pepohonan. Namun sekarang, para pemilik modal menambang secara tidak berwawasan lingkungan menggunakan alat-alat berat. Bekasnya dibiarkan begitu saja tidak direklamasi sehingga meninggalkan lubang-lubang besar bekas galian yang mengganggu lingkungan.

Degradasi lingkungan akibat penambangan galian C berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan ini dapat dilihat antara lain di Desa Cikahalang (Kecamatan Dukuhpuntang), Desa Gumulung Tonggoh (Kecamatan Astanajapura), Desa Gronggong (Kecamatan Beber), Desa Ciuyah (Kecamatan Waled).

Hasil survei Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (YBLH) dan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Cirebon, seperti yang dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat (22 November 2004), para pelaku penambangan galian C itu mayoritas pengusaha bukan asli penduduk Cirebon sehingga dianggap tega merusak alam dan mengancam keselamatan ribuan penduduk sekitar. Proses perusakan alam oleh pengusaha galian C di kaki Gunung Ciremai ini memang dinilai sudah keterlaluan, tidak menghiraukan kelestarian lingkungan dan peraturan perundangan yang berlaku, serta menganggap remeh penegak hukum dan masyarakat sekitar.

Saya sangat menghargai langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Cirebon beberapa waktu lalu, yang telah dengan tegas dan berani me¬nutup galian pasir di Desa Cikalahang (Kecamatan Dukuhpuntang) di sekitar objek wisata Talagaremis. Pasalnya, jika aktivitas penambangan pasir di perbukitan tersebut tidak dihentikan, bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan jebolnya danau alami Talagaremis yang selama ini berfungsi sebagai penampung dan pemasok air baku ke wilayah Cirebon. Dapat dibayangkan bila jebol, ratusan ribu bahkan jutaan meter kubik akan menjadi air bah yang mengancam permukiman penduduk di sekitar daerah tersebut.

Namun apa dikata, langkah-langkah tegas pemerintah Kabupaten Cirebon ini rupanya hanya dianggap peringatan sesaat. Buktinya dapat dilihat di lapangan saat ini, semangat penambangan galian C ini semakin menjadi-jadi, dan Kabupaten Cirebon semakin terdegradasi dan terancam oleh bencana lingkungan. Dalam perhitungan cost-benefit ratio atau perhitungan untung-rugi secara sederhanapun, penambangan galian C di Kabupaten Cirebon ini jauh lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya.

Membangun kembali iklim mikro

Kabupaten Cirebon, juga termasuk Kabupaten Kuningan dan kabupaten Majalengka, sangat tergantung dari kelestarian Gunung Ciremai. Paling tidak terdapat tiga nilai penting Gunung Ciremai, yaitu pertama, sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan (pengendali tata air, erosi, dan tanah longsor). Kedua, sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati, baik jenis tumbuhan maupun satwa beserta ekosistemnya. Ketiga, sebagai sumber jasa lingkungan (eko-wisata, dan iklim mikro).

Gunung Ciremai ini memang bagaikan sesosok raksasa yang berdiri menjulang di tengah-tengah dataran rendah kawasan pantai utara Jawa Barat bagian timur. Tingginya yang mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut membuatnya menjadi gunung tertinggi di Jawa Barat dan Banten. Bagi para nelayan dan pelaut, gunung ini merupakan petunjuk arah dalam kegiatan berlayarnya. Dari sudut pandang ilmu tentang gunung api atau vulkanologi, Gunung Ciremai dikategorikan sebagai gunung api kuarter Tipe A berbentuk strato yang masih berstatus aktif. Dalam Global Volcanisn Program di National Museum of Natural History, Washington DC, Amerika Serikat, Gunung Ciremai ini terdaftar dengan nomor gunung: 0603-17.

Walaupun Kabupaten Cirebon ini hanya "mendapatkan" bagian kaki dari Gunung Ciremai, karena badan gunung berada di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, itu pun telah cukup bila bagian kaki gunung ini dipelihara kelestarian lingkungannya. Tak kalah pentingnya bila terdapat koordinasi dan kerja sama antartiga kabupaten tersebut untuk memulihkan fungsi Gunung Ciremai sebagai kawasan lindung yang lestari.

Bahkan saya yakin kelestarian gunung ini akan menjadi modal pembangunan kawasan Andalan Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan), seperti diamanatkan dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Acungan jempol perlu saya sampaikan kepada Menteri Kehutanan yang dengan berani melalui Surat Keputusan-nya No. SK 424/Menhut-II/2004 mengubah fungsi hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 hektare yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mengatakan kepada saya, secara regional berbasis curah hujan, kemiringan lereng, dan jenis tanah, Kabupaten Cirebon hanya memiliki kawasan lindung seluas lima persen dari seluruh luas kabupaten. Seluruh kawasan lindung tersebut terletak di bagian selatan kabupaten yang saat menjadi kawasan penambangan bahan galian C.

Untuk memulihkan kembali iklim mikro Kabupaten Cirebon, menurut Sobirin, tidak cukup hanya mengandalkan kawasan lindung regional yang luasnya hanya lima persen sebagai zona penyangga, tetapi perlu pula dibangun kawasan lindung setempat berupa jalur hutan bakau, hutan pantai, hutan kota, dan kawasan lindung lainnya berupa jalur pepohonan di kanan-kiri jalan dan kanan-kiri sungai. Jadi, keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai ini tidak akan berarti apa-apa bila Kabupaten Cirebon tidak mengambil langkah nyata menghentikan seluruh kegiatan galian C dengan alat-alat berat yang tidak berwawasan lingkungan dan memulihkan kembali zona penyangga ini sebagai kawasan lindung regional.

Dalam pembicaraan dengan sesepuh Jawa Barat, Bapak Solihin G.P., berkaitan dengan penambangan galian C di Kabupaten Cirebon yang sudah melampaui ambang batas lingkungan hidup, dia mengatakan agar segera dilakukan tindak nyata pengendalian di lapangan.
Pertama, hentikan seluruh penambangan galian C yang menggunakan alat-alat berat.
Kedua, lakukan audit lingkungan terhadap seluruh kegiatan penambangan galian C dan berikan sanksi hukum yang tegas kepada siapapun pelanggarnya.
Ketiga, penambangan bahan galian C hanya diberikan kepada kelompok masyarakat setempat berbasis koperasi dalam area yang aman lingkungan dengan menggunakan peralatan manual.
Keempat, segera lakukan reboisasi penghijauan menggunakan tanaman keras yang sesuai.
Kelima, bangun paradigma baru ekonomi kerakyatan dengan konsep agroforest (wanatani) di kawasan zona penyangga.


Sekali lagi, bila cita-cita Kabupaten Cirebon ingin menjadi "Malaysia"-nya Indonesia, mengembalikan kejayaan sejarah Cirebon masa lalu dan ingin melangkah menuju pasar global, tentunya arahan sesepuh Jawa Barat, Bapak Solihin G.P., perlu menjadi acuan Kabupaten Cirebon.***

Penulis (Ir. SAJIBOEN SOEDARJA), Pemerhati Lingkungan (Anggota Dewan Pakar DPKLTS), Lulusan Geologi UNPAD.

No comments: