Monday, July 16, 2007

MASALAH ANGGARAN LINGKUNGAN JABAR

APBN DAN APBD SAMA SEKALI BELUM PRO LINGKUNGAN
DPKLTS, 17 Juli 2007, Masukan Rapat Anggaran WALHI JABAR
Gambar: Sobirin dan Free Clip Art, 2007
Oleh: Sobirin
Pembangunan jaman Orde Baru memang meningkatkan GNP nasional, tetapi lingkungan hidup hancur berantakan.


Apa Yang Terjadi?

Pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto dengan konsep Repelita-nya memang telah meningkatkan GNP nasional. Namun pembangunan yang dilakukan telah banyak menghancurkan kondisi lingkungan hidup.

Pembangunan lebih berbobot pada ekonomi yang tidak berkelanjutan katimbang konservasi lingkungan. Pertimbangan ekonomi lebih didulukan, sedangkan konservasi lingkungan dianggap tidak penting.

Munculnya Kantor Kementerian Lingkungan hidup pada tahun 1978 disusul berdirinya Kantor Lingkungan Hidup Daerah dirasakan hanya sekedar embel-embel, bahkan sampai sekarangpun. Buktinya pembalakan liar terus berlangsung, penggalian bahan tambang di kawasan lindung terus terjadi, pencemaran lingkungan terus berjalan.

Dampaknya di musim hujan selalu terjadi banjir dan longsor, di musim kemarau terjadi kekeringan, dan sepanjang tahun terjadi pencemaran diikuti penyakit menular.


Mengapa Terjadi?

Pembayaran jasa lingkungan hidup di Indonesia sampai saat ini terlalu sangat kecil dan belum dianggap menjadi prioritas. Cobalah kita lihat rata-rata APBN dan APBD selama ini. Terlihat pendapatan berasal dari eksploitasi sumber daya alam bisa mencapai 75%, namun pengeluaran untuk konservasi lingkungan hidup tidak lebih dari 1%.

PAD yang diterima selalu dianggap PAD bersih, padahal PAD yang diterima adalah PAD kotor. Bila dikaitkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, maka PAD yang sesungguhnya bisa-bisa minus. Hal ini tidak pernah dipedulikan oleh pejabat-pejabat daerah.

Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa 47% Kepala Daerah tidak mempunyai visi lingkungan yang jelas. Selama enam tahun otonomi daerah, telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran karena berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pelestarian lingkungan hidup dianggap hanya menjadi beban (cost centered) saja, dan dianggap tidak menguntungkan (tidak profit centered).

Selanjutnya dikatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bahwa potret 53% Kepala Daerah lainnya sangat bervariasi. Misalnya, dilihat dari sudut pandang anggaran, alokasi APBD untuk pengelolaan lingkungan hidup rata-rata tidak ada yang melebihi angka satu persen. Sedangkan yang mengenal visi lingkungan hidup dengan baik tidak lebih dari 5%.

Kebijakan lingkungan hidup di daerah banyak yang hanya sekedar mengadopsi program pusat. Kreativitas pemerintah daerah dalam pelestarian lingkungan hidup sangat minim.

Setiap tahun, semua daerah selalu melakukan perubahan anggaran. Biasanya dalam perubahan ini besaran anggaran selalu menjadi meningkat. Lagi-lagi untuk kepentingan pos lingkungan hidup tidak terjadi perubahan jumlah anggaran yang signifikan.


Bagaimana Upaya?

Memperjuangkan dan membela lingkungan hidup adalah tidak berarti anti pembangunan, karena bagaimanapun lingkungan hidup adalah bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan.

Otonomi daerah meletakkan tanggung jawab pengendalian lingkungan hidup di tangan kepala daerah. Sesuai UU No 32 Tahun 2004 pasal 13-14. Artinya, terkendali atau tidaknya urusan lingkungan hidup sangat bergantung pada kepala daerah. Oleh karena itu, daerah harus mempunyai visi lingkungan menjadi faktor kunci dalam pengendalian dan pelestarian lingkungan hidup.

Otto Sumarwoto mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah Keenam tolok ukur itu diyakininya akan mampu menjadi kriteria keberhasilan seorang kepala pemerintahan. Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin, pro kesetaraan jender, pro penciptaan lapangan kerja dan harus antikorupsi, kolusi serta nepotisme.

Anggaran biaya untuk lingkungan hidup dalam APBN dan APBD harus diupayakan ditingkatkan paling tidak menjadi 10% atau lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1% saja. Sebagai pembanding alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman 6%, di Vietnam 5%.

Pemerintah harus berupaya memperkuat jajaran penegakan hukum lingkungan hidup, antara lain dengan menjadikan Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjadi sebuah departemen, dan Badan Pengelolaan Hidup di daerah menjadi Dinas.

Mengingat Kepala Daerah juga bergantung pada partai politik yang mengusungnya, maka partai politik juga menduduki posisi strategis dalam pengembangan visi lingkungan. Sebaik apa pun visi lingkungan Kepala Daerah, bisa-bisa hal itu tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan partai yang sudah saatnya memiliki visi lingkungan.

Sangat disarankan agar terus diupayakan dengan mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User Charges, dana investasi lingkungan, model tariff, pajak dan retribusi. Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan lingkungan hidup.

Harus berbasis masyarakat, tanpa rakyat diikutkan secara aktif, jangan harap pembangunan lingkungan akan berhasil. Dengan kata lain anggaran lingkungan harus bisa dinikmati oleh rakyat. Harus ditinggalkan konsep-konsep proyek dan tender-tender.

Perlu segera untuk merevisi UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Th 1997, karena telah banyak yang tidak sesuai lagi. RUU tentang Lingkungan Hidup ini antara lain harus dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan, Departemen Pro Lingkungan (atau APBD Hijau, Departertemenn Hijau, Pemerintah Daerah Hijau – bukan hijau baju tentara!)

Sebagai tambahan pembanding, Otto Sumarwoto mengatakan bahwa menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa pembangunan lingkungan hidup dengan konsep ekowisata di Delta Mekong mengalami laju pertumbuhan yang tinggi. Sebuah laporan dari Belanda menyatakan bahwa 20% pasar pariwisata diambil oleh ekowisata dan permintaan untuk ekowisata terus meningkat. Para ekowisatawan bersedia untuk membayar 10% lebih tinggi asal penikmat utama adalah penduduk lokal, sehingga wisata mereka dapat menolong usaha pemberantasan kemiskinan. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa ekowisata seperti didefinisikan oleh UNDP mempunyai prospek yang baik.

No comments: