Monday, September 22, 2008

BABAKAN SILIWANGI BENTENG LINGKUNGAN

TERANCAM RUSAK
KOMPAS, Jawa Barat, 22-09-2008, MHF

Foto: Sobirin 2007, Babakan Siliwangi Kota Bandung


"Kalau Babakan Siliwangi diubah jadi area bisnis, sama dengan menghancurkan benteng terakhir pertahanan lingkungan Kota Bandung," kata anggota DPKLTS, Sobirin, Sabtu (20/9).




Bandung, KOMPAS -
R
encana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi berpeluang memperparah krisis lingkungan di Kota Bandung. Alasannya, Babakan Siliwangi yang memiliki luas 3,8 hektar termasuk hutan kota yang selama ini dianggap sebagi benteng lingkungan Kota Bandung.


"Babakan Siliwangi merupakan bagian dari lembah Cikapundung yang wilayah atasnya, yakni Punclut, sudah rusak. Kalau Babakan Siliwangi diubah jadi area bisnis, sama dengan menghancurkan benteng terakhir pertahanan lingkungan Kota Bandung," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, Sabtu (20/9).

Jika Babakan Siliwangi rusak, Bandung terancam bahaya ekologis. Air hujan tidak akan terbendung lagi. Tahun 1960-an, hujan yang tidak terserap pohon hanya 40 persen. Sekarang meningkat menjadi 90 persen. "Ini (terjadi) karena pohon makin berkurang," ujarnya.


Secara terpisah, Direktur PT Esa Gemilang Indah (EGI) Iwan Soenaryo dan Kepala Humas PT EGI Riana tidak mau mengomentari reaksi warga atas rencana pembangunan rumah makan itu. Alasannya, tanggapan hanya akan memperpanjang polemik. "Nanti kalau semuanya sudah clear, saya akan mengundang Bapak-bapak untuk menjelaskannya," ujar Riana.


Sementara itu, anggota Forum Antarkampus dan Masyarakat Peduli Bandung, Chay Asdak, mengatakan, pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi membuktikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tidak konsisten dalam menata kota. Sejak awal Pemkot mencanangkan pembangunan di wilayah timur kota, bukan di tengah kota, apalagi di Babakan Siliwangi.


Publik jangan diam


Pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi, ujar Chay, membatasi akses publik ke sana karena rumah makan dijaga petugas satpam dan tidak dibuka 24 jam untuk publik. Padahal, hutan kota Babakan Siliwangi merupakan salah satu ruang terbuka hijau yang sering dikunjungi warga untuk berbagai aktivitas.


Ketua Ikatan Alumni Planologi Institut Teknologi Bandung Hetifah Sjaifudian Sumarto menilai, arena publik terbuka seperti Babakan Siliwangi terancam oleh kecenderungan privatisasi ruang publik. Pemanfaatan ruang lebih didominasi kekuatan politik dan ekonomi melawan warga atau komunitas yang relatif tidak berdaya.


Untuk menggagalkan pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi, Hetifah mengimbau agar tekanan publik terus diperkuat. Hanya dengan cara itu, Pemkot Bandung dapat berpikir ulang untuk melanjutkan rencana tersebut.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, memaparkan, perjanjian kerja sama antara Pemkot Bandung dan PT EGI harus ditinjau kembali. Sebab, penjanjian kerja sama itu telah memunculkan keresahan dan resistensi dari masyarakat. (MHF)

Read More..

Monday, September 15, 2008

PDAM HARUS BERIKAN KOMPENSASI KE PELANGGAN

Koran SINDO, 15-09-2008, miftahul ulum/ wisnoe moerti
Foto: www.worldproutassembly.org, Haus Tidak Ada Air
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono meminta PDAM Kota Bandung memberikan layanan pengganti bagi ribuan pelanggan yang terkena imbas terganggunya pasokan air. Layanan pengganti ini harus disediakan selama masa perbaikan pipa transmisi tersebut.




Apabila PDAM tidak menyediakan, berarti mengecewakan ribuan pelanggan mereka. Karena merasa dirugikan, tentunya masyarakat akan menuntut tanggung jawab dari PDAM dalam hal layanan pengganti. Minimal PDAM meminta maaf dan menyediakanlayanantruktangki yang dapat membantu pelanggan memperoleh air bersih selama masa perbaikan,” kata Sobirin.

Dia mengungkapkan, bila PDAM tidak akan mau memberikan ganti rugi berupa materi, maka para pelanggan akan mencari solusi lain untuk mendapatkan air bersih dalam beberapa hari itu. Saat ini pilihan masyarakat adalah membeli air bersih atau meminta pelayanan pengganti dari PDAM.


Sobirin mengatakan, standar pelayanan minimum yang dapat dilakukan adalah menyediakan truk tangki air yang dapat dimanfaatkan dan diakses cepat oleh para pelanggan. Sistem pelayanan publik yang maksimal perlu dilakukan oleh PDAM mengingat telah banyak pelanggan yang dirugikan akibat kejadian tersebut. Namun,selain penyediaan pelayanan pengganti, perlu dimaksimalkan juga upaya perbaikan pipa transmisi air di pengolahan air Badaksinga.


Layanan truk tangki tersebut tidak hanya menjangkau pelanggan PDAM terdekat yang mengalami kekurangan pasokan air, namun harus menjangkau seluruh pelanggan yang dirugikan. ”Apabila pembagian tidak merata, akan menimbulkan gejolak di masyarakat,” tandas Sobirin.

Direktur Utama PDAM Kota Bandung Tardan Setiawan mengaku akan bertanggung jawab atas terhambatnya pasokan air kepada para pelanggan PDAM.
PDAM akan menyiapkan truk tangki yang akan melayani pelanggan di daerah yang pasokan airnya terhambat karena pecahnya pipa transmisi pengolahan air Badaksinga. Dia menandaskan, pembagian tersebut akan diatur oleh pihak PDAM. Artinya, pasokan air tidak akan 24 jam untuk masyarakat, namun ada pembagian berdasarkan wilayah tertentu.

Kemungkinan besar truk tangki tersebut akan standby di Kantor PDAM Kota Bandung. Para pelanggan yang ingin memesan air bersih dapat menghubungi kantor PDAM di Jalan PHH Moestofa. Pelanggan tak perlu datang untuk memesan. Pesanan bisa dilakukan melalui telepon ke nomor 022-2507993. (miftahul ulum/ wisnoe moerti)

Read More..

PIPA PECAH, SUPLAI AIR BERSIH KACAU

Koran SINDO, 15-09-2008, wisnoe moerti/ miftahul ulum
Foto: Usep Usman Nasrulloh 2008, Pikiran Rakyat, Pipa Meledak

Sementara itu, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kejadian tersebut menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan pemeliharaan fasilitas publik yang seharusnya juga menjadi perhatian PDAM Kota Bandung.




BANDUNG (SINDO) –
Suplai air untuk ribuan pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung dipastikan terganggu untuk 3-4 hari ke depan. Hal ini menyusul pecahnya pipa transmisi Cisangkuy lama di Jalan Banjaran,Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung,Sabtu (13/9) malam. Pipa transmisi berdiameter 800 mm yang dipasang sejak tahun 1959 pecah sekitar pukul 23.30 WIB.


”Saat ini kami masih mencari tahu penyebab pecahnya pipa tersebut. Ini mungkin terjadi karena pergantian musim dari kemarau ke musim hujan, ditambah intensitas kendaraan berat yang melalui jalur tersebut terbilang cukup tinggi,” ujar Direktur Utama PDAM Kota Bandung Tardan Setiawan kepada SINDO kemarin.

Dia menjelaskan,untuk sementara, sekitar 40% pasokan air bersih dari pengolahan air di Badaksinga menuju Kota Bandung akan terhambat.Pecahnya pipa transmisi Cisangkuy lama dengan kedalaman sekitar 3–4 meter di bawah permukaan tanah tersebut mengakibatkan pasokan air bersihuntukpelangganPDAM di Kota Bandung terhambat dalam tiga sampai empat hari ke depan.


Pasalnya, debit air baku yang dialirkan dari Cikelung ke pengolahan air di Badaksinga mengalami penurunan sekitar 700 liter per detik. Debit air baku yang masih ada di pengolahan Badaksinga kini hanya sekitar 800 liter per detik. Secara otomatis terjadi penurunan debit air bersih di PDAM Kota Bandung yang semula 2.600 liter per detik menjadi 1.900 liter per detik.

Tardan menyebutkan,distribusi air yang dipastikan terganggu tersebar di sebagian wilayah Bandung timur, Bandung tengah, Bandung selatan, dan Bandung Barat. Pihak PDAM segera melakukan upaya perbaikan untuk mengatasi gangguan yang terjadi akibat pecahnya pipa transmisi tersebut.

”Perbaikan dimulai hari ini (kemarin). Diperkirakan akan memakan waktu sekitar empat hari.Tapi tentunya kami akan berusaha semaksimal mungkin karena ini menyangkut pelayanan kepada pelanggan. Selama itu pula aliran air ke pelanggan tentunya akan terganggu,” tandas Tardan.


Sementara itu, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kejadian tersebut menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan pemeliharaan fasilitas publik yang seharusnya juga menjadi perhatian PDAM Kota Bandung.


Infrastruktur, termasuk pipa transmisi air, merupakan salah satu fasilitas publik yang membutuhkan pemeliharaan simultan dan berkelanjutan. ”Konsep operasional pipa transmisi milik PDAM belum diimbangi dengan konsep pemeliharaan yang maksimal sehingga infrastruktur penunjang rentan mengalami kerusakan. Kalau infrastruktur (pipa) terus dipakai tanpa diimbangi maintenance yang baik, ya jadinya seperti ini.
Sama halnya dengan infrastruktur lain seperti rel kereta atau jalan yang juga membutuhkan pemeliharaan. Konsep pemeliharaan kita masih lemah. Harusnya saat ini sudah ada penggantian pipa yang sudah terlalu lama itu,” kata Sobirin.

Dia mengatakan, idealnya terjadi pergantian pipa transmisi setelah 50 tahun pemakaian. Pergantian tersebut bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lama asalkan pemeliharaan tetap simultan dan maksimal. Berbicara mengenai kedalaman pipa, Sobirin mengatakan, karena ditanam sejak 49 tahun lalu, kedalaman tersebut dirasa cukup.
Menjadi masalah ketika saat ini mulai banyak kendaraan berat yang melintas di jalur tersebut.

Sobirin menandaskan, jika alasan lemahnya pemeliharaan infrastruktur lantaran minimnya dana yang dimiliki PDAM, seharusnya ada subsidi dari pihak lain yang juga berkepentingan.
Pecahnya pipa transmisi tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi para pelanggan,kecuali yang berada di wilayah Bandung bagian utara.Pasalnya, mereka akan mendapat suplai air dari Setiabudi, Punclut,dan sekitarnya. ”Tentunya masyarakat akan menuntut tanggung jawab PDAM atas kerugian tersebut,”pungkas dia. (wisnoe moerti/ miftahul ulum)

Read More..

Saturday, September 13, 2008

BANDUNG BENAR-BENAR TERANCAM KRISIS AIR

Koran SINDO, 12-09-2008, miftahul ulum/ wisnoe moerti
Gambar: Rod Clement 2006, www.nma.gov.au/


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengatakan, ancaman krisis air semakin nyata setiap tahun.Terutama ketika warga semakin bertambah banyak, sedangkan ketersediaan air di dalam tanah semakin berkurang.



BANDUNG(SINDO)
Warga Kota Bandung terancam krisis air bersih.Hal ini antara lain disebabkan penurunan luasan resapan air hujan dan penyedotan air tanah secara berlebihan.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengatakan, ancaman krisis air semakin nyata setiap tahun. Terutama ketika warga semakin bertambah banyak, sedangkan ketersediaan air di dalam tanah semakin berkurang.

Sumber utama air di Kota Bandung sendiri berasal dari hujan. Setiap tahun curah hujan di Kota Kembang ini mencapai 2.000 mm, sedangkan lama hari hujan dalam setahun mencapai 160 hari, dan rata-rata curah hujan per hari sebesar 12,5 mm. Kondisi ini relatif tetap setiap tahunnya.


Sobirin menjelaskan, berdasarkan jumlah curah hujan yang sama, pada 1930 silam air yang tersedia mencapai 1.200 liter/orang/hari. Ketersediaan ini menyusut menjadi 400 liter/orang/hari pada 1950. Penurunan ketersediaan dipicu kepadatan penduduk yang mencapai 650.000 orang dengan luas kota Bandung 8.000 hektare pada 1950-an.

”Penyusutan jumlah luasan daerah resapan ini akibat tergusur oleh pemukiman sehingga ketersediaan air menurun. Penurunan ini berarti pula penurunan tingkat kenyamanan hidup bagi warga Bandung,” ujar Sobirin kepada SINDO kemarin. Tingkat kenyamanan minimal terkait pemenuhan air adalah tersedia sebanyak 200 liter air/orang/hari. Ironisnya, pada 2008 ini,jumlah air yang ada jauh dari standar kenyamanan minimal yakni hanya 40 liter air/orang/hari.

”Ini berarti sebanyak 3 juta warga Bandung hidup tidak nyaman.Terjadi penurunan kenyamanan sebanyak 5 tingkatan, dari standar minimal,” tegasnya. Saat ini penduduk Kota Bandung mencapai 3 juta orang dengan luas kota 17.000 hektare. Kondisi ini melebihi batas ideal penduduk yang idealnya hanya sebanyak 500.000 orang.


Selain disebabkan kelebihan pengguna, kelangkaan air dipicu rendahnya resapan air hujan. Sobirin menguraikan, pada 1960 sebesar 60% air hujan mampu diserap tanah, dan 40% sisanya mengalir. Pada 2008 ini hanya 5% air hujan yang mampu diserap tanah, sedangkan 95% sisanya mengalir dan menjadi cileuncang dan banjir. Penurunan daya serap tanah akibat semakin berkurangnya lahan resapan.

”Meski resapan sedikit, pengguna air tanah semakin meningkat. Kondisi ini berimbas pada penurunan permukaan air tanah. Sejak 1970-an penurunan air tanah ini mencapai lebih dari 10 meter,” urai Sobirin. Penyedotan air tanah secara berlebihan, juga menyebabkan penurunan permukaan tanah.

Bandung selatan yang notabene berbasis industri merupakan daerah paling rawan mengalami penurunan tanah. Direktur Utama PDAM Kota Bandung Tardan Setiawan mengakui, adanya ancaman kekurangan air bersih. Dia memperkirakan pada 2010 nanti bila tidak dilakukan pembenahan lingkungan, sumber air PDAM akan mengering.


Soal ancaman kekeringan itu, PDAM berencana membuat ratusan sumur resapan di kawasan Bandung utara pada tahun ini.”Lokasi sumur resapan ini bergantung titik resapan air yang saat ini masih dipetakan. Selain itu, pemerintah perlu membuat sumber air baru,” ujar Tardan. Berkurangnya debit air, kata dia,ditandai penurunan produksi mata air dari 200 liter menjadi 160 liter per detik.

Meski menurun, kapasitas total PDAM masih mencapai 2.600 liter per detik. Produksi ini diklaim Tardan masih mencukupi kebutuhan para pelanggannya. ”Kekurangan air mungkin dirasakan masyarakat pengguna sumur resapan dangkal, bukan pelanggan PDAM. Adapun penyebab adalah turunnya air permukaan,”urainya.
(miftahul ulum/ wisnoe moerti)

Read More..

Thursday, September 11, 2008

DEKOMPOSISI PLASTIK PADA 500 TAHUN!

SAMPAH PLASTIK BANDUNG PER HARI = 50 LAPANG BOLA

Pikiran Rakyat
, 11-09-2008, Dani Prasetya/Lia Marlia

Foto: http://amystodghill.greenoptions.com/files/123/bags.jpg


"Saat ini Bandung memang telah memiliki Perda K3, yang salah satunya mengatur tentang kebersihan. Akan tetapi, Perda K3 belum mengatur khusus tentang sampah kantong plastik," kata Sobirin.



Mintalah kantong plastik atau keresek ke warung atau toko mana pun, Anda akan mendapatkannya dengan mudah tanpa harus membayar sepeser pun. Ketika tidak membutuhkannya lagi, kita juga bisa dengan mudah menyingkirkannya ke tong sampah, tanpa berpikir dia akan berakhir di mana. Padahal, untuk mendekomposisi plastik secara sempurna dibutuhkan waktu sekitar 500 tahun!

Faktanya, sebanyak 500 juta hingga 1 miliar kantong plastik dikonsumsi penduduk di seluruh dunia setiap tahunnya. Artinya, konsumsi plastik mencapai 1 juta/menit. Di kota Bandung, sampah plastik memang hanya mengambil bagian 1,45% dari total 7.500 m3 sampah yang dihasilkan per hari. Namun, jika dibentangkan, sampah plastik warga Bandung dapat menutupi 50 lapangan sepak bola.


Lebih jauh lagi, bahan dasar plastik itu nonrenewable karena diambil dari hasil samping bahan bakar minyak. Dalam proses pembuatannya tidak hemat energi karena melibatkan 2 juta barel minyak/tahun, dan 14 juta pohon yang ditebang.

Jika dibiarkan, sampah plastik yang sulit diuraikan ini akan memenuhi saluran sungai dan menyumbat saluran drainase. Selain itu, sisa makanan yang menempel di tas plastik akan membusuk dan mengundang lalat sehingga menjadi penyakit. Belum lagi terpikir apa dampaknya terhadap kesehatan tanah sebuah negeri.


Fakta ini sudah diketahui sejak lama. Namun, gerakan untuk mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan kantong plastik di beberapa negara termasuk Indonesia, seperti jalan di tempat. Baru negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Cina, dan Australia yang secara tegas melarang penggunaan kantong plastik lewat regulasi. Sisanya, entah menunggu apa.

Salah satu yang mengambil tindakan adalah Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB. Pada Februari lalu, sekumpulan anak muda ini menggelar rangkaian kegiatan bertajuk "Anti Plastic Bag Campaign" atau kampanye antitas plastik selama tiga hari. Project Leader Cinta Azwiendasari mengatakan, ide kampanye berawal dari mimpi sekelompok mahasiswa ITB akan lingkungan yang lebih baik. Maka, dibuatkan acara itu dengan pendekatan "mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, mulai dari sekarang."


"Tujuannya sederhana saja. Kita ingin mengajak orang untuk mengurangi pemakaian kantong plastik. Misalnya, jangan pakai kantong plastik kalau cuma belanja sedikit, atau bawa tas belanja sendiri kalau mau belanja," ungkapnya.

Meski sadar kalau hasil kampanye ini tidak bisa diukur, Cinta yakin banyak orang yang mengubah cara pikirnya tentang kantong plastik pascakampanye. Salah satunya adalah pedagang di Pasar Balubur yang mengurangi penggunaan kantong plastik bagi pelanggannya. Selain itu, 2.000 tas kanvas yang mereka produksi sebagai tas belanja pengganti kantong plastik, terjual habis. Padahal, harga yang ditawarkan cukup tinggi, yaitu Rp 20.000,00.


"Kita tidak memboikot penggunaan plastik secara keseluruhan karena banyak kebutuhan plastik yang memang masih sulit tergantikan. Hanya khusus untuk kantong plastik, kita yakin itu tidak penting dan bisa dikurangi," kata Cinta.

**


Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, penyebab menumpuknya sampah plastik di Kota Bandung akibat ketidakpedulian lebih dari 90% penduduknya terhadap pengelolaan sampah. "Mereka hanya berharap sampah akan diangkut oleh pemerintah kota, dibuang sembarangan, ditimbun ke dalam tanah, atau dibakar," katanya.


Pada akhirnya, nasib sampah kian hari hanya menjadi bulan-bulanan. Persentase sampah plastik yang sulit terdegradasi oleh alam pun kian bertambah seiring dengan masih rendahnya kesadaran orang untuk menggunakan kantong plastik dengan lebih bijaksana.

Terlebih keberadaan kantong plastik yang mudah didapat, sangat fungsional, dan dapat diperoleh tanpa harus membeli membuatnya menjadi bagian mendalam dari kehidupan manusia. Kantong plastik telah sangat menyatu dalam kehidupan sehari-hari setiap orang.

Sobirin sepakat dengan pendapat yang menyebutkan bahwa penyamaan persepsi tentang bahaya penggunaan kantong plastik masih sekadar wacana. Sebab, untuk melawan arus membeludaknya kantong plastik, tidak cukup hanya dengan gerakan moral, seminar, atau pemasangan spanduk.


"Hakikatnya gerakan moral harus menyinergikan aspek pendidikan dan budaya yang menanamkan sikap antikantong plastik di setiap pribadi dalam kehidupan sehari-hari, serta kemauan dan keberanian politik dari pemerintah untuk mengibarkan semangat antiplastik dan mengaplikasikannya," ujarnya.


Karena melibatkan unsur pemerintah untuk menegaskan gerakan antikantong plastik itu, dia mengatakan, perlu sebuah regulasi yang menginstruksikan agar semua bisnis untuk tidak menggunakan kantong plastik. Sebagai konsekuensinya, akan dikenakan sanksi berat jika melanggarnya. Lalu, pemerintah juga harus menindak setiap orang yang membuang sampah atau membakarnya secara sembarangan.


Sangat krusial pula untuk melegalkan gerakan antikantong plastik melalui pembentukan sebuah organisasi kesemestaan yang secara normatif memiliki kelembagaan, fungsi organisasi, dan unsur visi misi.


"Saat ini Bandung memang telah memiliki Perda K3, yang salah satunya mengatur tentang kebersihan. Akan tetapi, Perda K3 belum mengatur khusus tentang sampah kantong plastik," kata Sobirin.


Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kota Bandung Nana Supriatna mengatakan, gerakan untuk mengubah sepenuhnya penggunaan kantong plastik menjadi alternatif lain yang lebih ramah lingkungan, masih berupa wacana. "Belum ada satu pun wacana yang menghasilkan sebuah solusi, terutama karena gerakan antikantong plastik itu menyangkut kebijakan nasional. Regulasi pun masih sulit dilakukan karena pengganti kantong plastik belum disiapkan secara matang," kata Nana, Selasa (9/9).

Melarang keras penggunaan kantong plastik, berarti harus ada pelarangan impor bijih plastik dari negara lain. Jika hal tersebut dilakukan, hal yang sama akan dilakukan pula oleh negara pengekspor bijih plastik. "Pelarangan impor oleh Indonesia akan diikuti juga dengan pelarangan ekspor dari negara lain. Itu kan artinya embargo besar-besaran," ujarnya.


Padahal, untuk melaksanakan gerakan antikantong plastik secara keseluruhan dibutuhkan sebuah kebijakan yang meliputi penegasan untuk menutup pintu impor bijih plastik, menyiapkan pengganti plastik, dan membentuk perilaku masyarakat yang pro terhadap penggunaan pengemasan nonplastik. Artinya, masih terlalu jauh bagi Indonesia khususnya Kota Bandung untuk mengubah pola konsumsi plastik menjadi paper bag atau kantong yang terbuat dari bahan mudah terurai lainnya.

Lalu, apa alternatif pengganti kantong plastik? Daun pisang atau bahan organik yang dulu digunakan sebagai kemasan, tidak dapat seefektif dan seefisien kantong plastik. Teknologi yang mendekati adalah kantong plastik biodegradable, yang terbuat dari bahan organik. Ini membuatnya menjadi lebih mudah diurai tanah.

Akan tetapi, kantong plastik semacam itu belum diproduksi secara massal sehingga belum populer dan harganya mahal. Baik Cinta maupun Sobirin berharap teknologi ini segera sampai ke Indonesia, dan menjadi kantong plastik yang ada sekarang.


Berbeda dengan mereka, Nana yakin bahwa solusi limbah plastik dan limbah lainnya di Kota Bandung adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Tentunya dengan melalui pengkajian tingkat tinggi, termasuk unsur temperatur yang tepat agar tidak menimbulkan dioksin yang sesuai baku mutu internasional. (Dani Prasetya/Lia Marlia)***

Read More..

Tuesday, September 09, 2008

PENDUDUK NAIK 100.000/TAHUN

Seputar Indonesia, 08-09-2008, putu nova a putra/ wisnoe moerti
Foto: Sobirin 2007, Bandung Semakin Padat

Sementara itu, anggota LSM Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengatakan, besarnya jumlah penduduk yang saat ini mendiami Kota Bandung lebih disebabkan karena tidak adanya pembatasan jumlah penduduk yang mendiami suatu kota.




BANDUNG(SINDO)
Kota Bandung semakin padat penduduk. Kenaikan jumlah penduduk di Kota Kembang ini diperkirakan mencapai 100.000 per tahun. Pertumbuhan penduduk ini tidak hanya disebabkan tingkat kelahiran warga Kota Bandung yang tinggi, tapi derasnya arus urbanisasi seperti pasca-Lebaran.


Para pendatang ini tidak hanya berasal dari kota-kota sekitar Bandung, tapi dari kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung Endang Warsoma mengatakan, saat ini jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 2,3 juta jiwa.


Sedangkan pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya mencapai 1,59%. “Biasanya mereka adalah penduduk pendatang yang mencari pekerjaan di Kota Bandung. Mereka secara tidak langsung menambah jumlah penduduk Bandung semakin banyak. Dari data yang kami miliki, pertambahannya bisa mencapai 100.000 jiwa per tahunnya,” ujar Endang saat dihubungi SINDO kemarin. Dia menjelaskan, setiap pendatang yang baru memasuki Kota Bandung semestinya mendaftarkan diri melalui registrasi kependudukan di masing-masing kecamatan.


Untuk meminimalkan laju pertambahan penduduk, pihaknya bersama dinas lain selalu melakukan operasi kependudukan. “Pemerintah melalui tim yustisi biasanya selalu melakukan penertiban kependudukan setiap tahunnya, termasuk pasca-Lebaran yang diduga menjadi salah satu momentum pertambahan pendatang baru di Kota Bandung, ”kata Endang.


Kepala Seksi Pengolahan Data dan Statistik Disdukcapil Kota Bandung Iwan Irawan menambahkan, jumlah penduduk di Kota Bandung hingga April 2008 mencapai jumlah 2.223.901 jiwa. Jumlah ini merupakan jumlah kepadatan penduduk berdasarkan validasi data dari Desember 2007 hingga Maret 2008.


Sementara data kependudukan dari April sampai Agustus 2008 belum termasuk dalam angka tersebut. “Jadi jika ada pertumbuhan sekitar 300 jiwa setiap bulan, kemungkinan ada pertumbuhan penduduk sampai 1.500 jiwa dari April sampai Agustus 2008,” papar Iwan saat ditemui SINDO beberapa waktu lalu.


Dari 30 kecamatan, tiga wilayah yang terbanyak penduduknya adalah Kecamatan Batununggal seluas 489,950 hektare (ha) dengan 118.367 jiwa. Disusul Kecamatan Bandung Kulon seluas 330,000 ha dengan 117.675 jiwa, dan Kecamatan Kiaracondong seluas 436,304 ha dengan 115.623 jiwa. “Sementara kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan Cinambo dengan 727,417 ha yang memiliki penduduk 20.761 jiwa, ” tandasnya.

Sementara itu, anggota LSM Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengatakan, besarnya jumlah penduduk yang saat ini mendiami Kota Bandung lebih disebabkan karena tidak adanya pembatasan jumlah penduduk yang mendiami suatu kota. Imbasnya, Kota Bandung hanya dijadikan kota untuk mengadu peruntungan seperti halnya Jakarta.
Bertambahnya pengemis dan pengangguran karena para pendatang yang tidak mempunyai skill bekerja tetap nekat datang untuk mengadu nasib.

“Kalau di Singapura saja, mereka berani untuk membatasi jumlah penduduknya,dan ini terbukti cukup efektif, seharusnya di Indonesia juga begitu. Mereka yang datang ke Kota Bandung tidak hanya mengotori kota, namun benar-benar bisa turut serta membangun Kota Bandung,” ujar Sobirin.
Soal pembatasan jumlah penduduk, menurut dia, harus dilakukan melalui kajian ilmiah. Salah satu yang bisa dijadikan rekomendasi kajian tersebut adalah hanya penduduk yang mempunyai kemampuan untuk turut serta membangun Kota Bandung yang bisa mendiami kota.

Bagi mereka yang hanya membebani, Pemkot Bandung berhak mengembalikan mereka ke daerah asalnya.
Menurutnya, jumlah penduduk Kota Bandung idealnya tidak lebih dari 500.000 orang. Salah satu indikatornya adalah kebutuhan air untuk masyarakat yang saat ini hanya 40 liter/orang/hari. Idealnya,kebutuhan air bagi masyarakat mencapai 200 liter/orang/hari.

“Itu artinya, jumlah penduduk terlalu banyak dan sumber daya air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masing-masing orang.
Dengan pertambahan jumlah penduduk, pada akhirnya lingkungan semakin rusak. Berdasarkan penelitian National Geographic, jumlah penduduk Kota Bandung 2015 akan semakin membebani kota, ”tandasnya.
(putu nova a putra/ wisnoe moerti)

Read More..

PEMKOT DITUNTUT TEGAS

Seputar Indonesia, 06-09-2008, miftahul ulum/ wisnoe moerti
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan


Di tempat terpisah, anggota DPKLTS Sobirin menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.




BANDUNG (SINDO)
DPRD Kota Bandung meminta Pemerintah Kota Bandung tanggap dan tegas dalam menangani banjir cileuncang setiap musim hujan.


Banjir musiman tersebut muncul karena pengelolaan drainase yang buruk. Di sisi lain, Pemkot seolah bersikap mendua menghadapi permasalahan ini.Aparat pemerintah sepertinya enggan menegakkan aturan dan berhadapan dengan rakyat untuk menjelaskan hal ini.


Pemerintah berdalih, buruknya pengelolaan drainase karena anggaran minim,koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD) lemah, dan perilaku masyarakat yang tidak sadar lingkungan. Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung misalnya, mengakuhanya mengalokasikan 10% anggarannya untuk drainase.


Koordinasi SKPD yang lemah ditandai dengan tidak adanya gerak terpadu membenahi drainase. Padahal, masalahnya bukan hanya pembenahan drainase, tapi berhubungan dengan penindakan bangunan yang melanggar peraturan.


Misalnya penindakan bangunan yang melanggar sempadan sungai. Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien mengatakan, sebenarnya Pemkot sudah memiliki perangkat hukum untuk menertibkan masyarakat, yakni melalui Perda Kota Bandung No 3/2005 Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3).


Namun, perda itu seperti macan ompong karena SKPD tidak bisa menegakkannya. ”Lemahnya implementasi Perda K3 ini menunjukkan rendahnya sosialisasi dan rendahnya penegakan aturan. Hal ini sangat disayangkan, padahal perda ini disusun dengan biaya,” ungkap Husni kemarin.

Akibat sikap pemerintah setengah hati dalam menegakkan Perda K3,masyarakat mulai cuek terhadap lingkungan. Membuang sampah di sungai pun tanpa diiringi rasa takut terkena sanksi. ”Padahal, dalam perda jelas disebutkan,masyarakat yang membuang sampah di sungai bisa dikenai denda,” ujarnya.


Dia menilai, rendahnya kesadaran masyarakat karena pemerintah tidak bisa menyosialisasikan sekaligus gagal menimbulkan efek jera.Rendahnya kesadaranmasyarakat ini sekaligus menjadi bukti kegagalan pemerintah sebagai pemimpin. Soal kendala anggaran, Husni mempersilakan Pemkot mengajukan anggaran secukupnya.


Asalkan bisa meyakinkan Dewan, dipastikan anggaran tersebut disetujui. Pada 2008 ini anggaran di Dinas Bina Marga dan Pengairan mencapai Rp11 miliar.
Sementara anggaran khusus pengendalian banjir sebesar Rp1,7 miliar. Selain itu, Walikota juga bisa menggunakan dana di pos anggaran tak terduga untuk mengatasi banjir.

”Selain menegakkan perda, secara umum Kota Bandung memang perlu mengkaji ulang masalah drai nase. Pemerintah harus membuka tangan lebar-lebar, merangkul kalangan akademisi, mencari solusi penanganan banjir cileuncang,” ungkapnya.

Di tempat terpisah, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.

Seusai pemetaan daerah rawan banjir, pemerintah harus memberi peringatan ke masyarakat. Kawasan yang rawan banjir diberi papan pengumuman berbunyi: daerah ini rawan banjir, masyarakat jangan membuang sampah di sembarang tempat.

”Pemerintah tidak perlu malu memasang papan pengumuman itu, sebab masyarakat akan sadar lingkungan bila merasa memiliki kepentingan langsung,” ujar Sobirin.
Karena merasa terancam oleh banjir, masyarakat tergerak membersihkan saluran drainase.

Dia menambahkan, Pemkot pun harus meninjau kebijakan yang ada selama ini. Misalnya kebijakan perizinan pembangunan kawasan perumahan, harus disertai kajian bebas banjir sekaligus saluran air.
Sobirin mengungkapkan kasus banjir Dago tahun lalu merupakan akibat luapan air hujan yang berasal dari perumahan karena tidak memiliki saluran air. ”Nah pemerintah harus mengawasi perumahan, supaya menyediakan saluran air yang tidak mengganggu drainase,” ujarnya.

Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung Juniarso Ridwan mengaku sulit mengawasi penyediaan saluran air di kawasan perumahan, meskipun dalam mekanisme pengembangan perumahan terdapat fase evaluasipenyerahanlaporanhasil akhir pengembangan suatu kawasan perumahan.


”Laporan evaluasi biasanya diserahkan setelah pembangunan kawasan perumahan selesai. Padahal, rentang pengajuan izin sampai proyek selesai, berjangka waktu lama. Karena rentang waktu, kami susah mengawasi,”ujar Juniarso.

Ada dua modus penyalahgunaan saluran diperumahan, pertama pengembang menyediakan saluran dalam perumahan, tapi tidak berhubungan dengan saluran lain. Kedua, pengembang menggunakan saluran drainase jalan raya sebagai sambungan saluran perumahan. Idealnya, saluran drainase jalan raya hanya untuk menampung limpahan air dari jalan raya. (miftahul ulum/ wisnoe moerti)

Read More..

Saturday, September 06, 2008

75% DRAINASE BERUBAH FUNGSI

Seputar Indonesia, 5-9-2008, wisnoe moerti/ miftahul ulum
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, sistem drainase di Kota Bandung tidak terpadu dari hulu menuju hilir. Pasalnya, lebih dari 75% drainase yang ada sudah berubah fungsi dan tidak terawat.





BANDUNG(SINDO) – Buruknya sistem drainase di kota Bandung disebabkan 75% saluran yang ada tidak berfungsi optimal dan beralih fungsi. Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, sistem drainase yang diterapkan di Kota Bandung tidak terpadu dari hulu menuju hilir. Pasalnya, lebih dari 75% drainase yang ada sudah berubah fungsi dan tidak terawat.

”Saya banyak menemukan drainase yang dibuat warung jongko, ada juga yang dijejali sampah dan menjadi tempat sampah. Ada pula yang dipersempit akibat pembangunan rumah di pinggir sungai. Hal inilah yang membuat air hujan tidak mengalir dari hulu ke hilir,” ujar Sobirin saat ditemui SINDO di ruang kerjanya kemarin.

Dia mencatat, 46 sungai kecil yang ada di Kota Bandung sudah menjadi tempat sampah. Padahal, sungai-sungai tersebut termasuk saluran drainase primer yang bisa berfungsi sebagai jalur air hujan yang turun dari wilayah utara Kota Bandung.
Menurutnya, Bandung adalah daerah yang seharusnya tidak akan pernah banjir. Pasalnya, letak geografis Bandung yang miring membuat aliran air dapat mengalir lancar menuju selatan bila sistem drainasenya terpadu.

Beralih fungsinya sungai-sungai tersebut menyebabkan aliran air hujan dari wilayah utara tertampung di wilayah kota. Menurut dia, penyebab buruknya sistem drainase adalah karena pembangunan yang tidak pernah memperhatikan perilaku air dan unsur air tidak pernah masuk dalam desain perkotaan.
Pembangunan di Kota Bandung hanya mementingkan unsur ekonomis.

Salah satunya pembangunan akses jalan dari timur menuju barat telah memotong alur drainase yang berasal dari utara menuju selatan Kota Bandung.
”Pembangunan terkesan hanya untuk kepentingan ekonomis tanpa memperhitungkan dampak yang dihasilkan dari pembangunan tersebut. Artinya, banyak bangunan yang didirikan di atas drainase. Yang harus diwaspadai adalah pembangunan SOR Gedebage. Kalau pemkot tidak memperhatikan unsur air sebagai unsur desain pembangunan, maka nasibnya akan sama seperti Kelapa Gading di Jakarta yang selalu terendam banjir,” ujarnya.

Saat ini, kata dia, Pemkot Bandung belum memiliki peta sistem drainase yang dapat menanggulangi banjir cileuncang yang terjadi setiap tahun karena sistem drainasenya tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Volume air hujan yang mencapai 2.000 milimeter kubik per tahun tidak mampu ditampung gorong-gorong yang sejak dulu tidak bertambah dan jauh dari fungsi hidraulik.


Senada dengan Sobirin, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip) Juniarso Ridwan menegaskan, pelanggaran sempadan sungai menyebabkan banjir selalu berulang setiap tahun. Setiap sungai harusnya memiliki ruang kosong yang berfungsi sebagai sempadan selebar tiga meter dari tepi sungai. Kenyataannya, setiap sempadan sungai digunakan untuk bangunan.


”Bahkan tidak jarang pembangunan di sempadan menyebabkan penyempitan badan sungai. Belum lagi penduduk di sekitar sungai membuang limbah ke sungai. Ini membuat kondisi sungai semakin parah,” tandas Juniarso.


Sedangkan Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (BMP) Kota Bandung Rusjaf Adimenggala mengatakan, penegakan peraturan terhadap pelanggar sempadan sungai belum berjalan optimal sehingga pemulihan fungsi saluran drainase terhambat.
Menurut Rusjaf, pembenahan drainase memang belum menjadi program prioritas. ”Anggaran selama ini memang diarahkan untuk pembenahan jalan lebih dulu, program yang lebih prioritas,” ucapnya.
(wisnoe moerti/ miftahul ulum)

Read More..

BERSIAPLAH HADAPI BANJIR CILEUNCANG

Seputar Indonesia, 5-9-2008, miftahul ulum/ wisnoe moerti
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan

MENJELANG musim penghujan tahun ini, warga Kota Bandung harus bersiap menghadapi banjir cileuncang. Sobirin Supardiyono menegaskan, banjir yang terjadi setiap musim hujan itu dipastikan terjadi lagi pada tahun ini.



Selama setahun terakhir, ujar dia, Pemkot Bandung belum melakukan antisipasi banjir. Hal ini menimbulkan pikiran negatif terhadap para peneliti yang bekerja di Pusat Penelitian Air Departemen Pekerjaan Umum.

“Banjir cileuncang jadi semacam proyek. Saat banjir datang, orang berebut berbicara, berebut menawarkan solusi.Namun setelah banjir berlalu, mereka berebut untuk melupakan. Kemudian siklus berulang saat banjir datang lagi,”ujar Sobirin. Dia mengatakan, setidaknya ada empat langkah untuk menghadapi banjir cileuncang.

Pertama, langkah siaga yang dimulai pada Oktober- Desember.
Siaga ini bersifat jangka pendek seperti membersihkan saluran air,mengeruk saluran, sampai membenahi saluran yang rusak.

Kedua, langkah tanggap darurat yang dilakukan pada Januari-Februari. Sesuai status tanggap darurat, pemerintah harus menyediakan peralatan antisipasi banjir seperti pompa air, pelatihan tenaga sampai menyiapkan titik pengungsian.

Langkah ketiga diambil setelah kejadian, sekitar Maret-April yang bertujuan mengantisipasi agar kejadian tidak berulang kembali.
Bersamaan dengan itu, dilakukan mitigasi upaya pencegahan jangka panjang.

”Pemkot selama ini belum melaksanakan langkah tersebut sehingga kejadian yang sama selalu berulang setiap tahun,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah banjir yang berulang setiap tahun menandakan ketidakmampuan pemerintah, Sobirin menjawab diplomatis, ”Banyak sarjana ITB di pemerintahan, banyak orang pintar, masak mereka gak tahu cara mengantisipasi banjir. Tidak bisa mereka berdalih tidak mampu. Terus apa guna dibayar kalo hanya bisa berdalih”.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (BMP) Kota Bandung Rusjaf Adimenggala menegaskan, antisipasi banjir terganjal ketersediaan anggaran. Anggaran untuk perbaikan drainase, termasuk pengerukan saluran, hanya sebanyak 10% dari total anggaran.


Selain itu, rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat menyebabkan antisipasi banjir selalu kandas. Bukti rendahnya kesadaran, kata dia, di setiap pasar, sampah sisa selalu dimasukkan ke dalam drainase. ”Padahal masalah sampah seharusnya kewenangan kebersihan. Kalau setiap hari seperti itu, kami (BMP) jadinya mengelola sampah pula,” kata Rusjaf.
(miftahul ulum/ wisnoe moerti)

Read More..