Tuesday, July 08, 2008

MENCARI LEMBAGA KEHUTANAN JABAR YG SESUAI

Diskusi di Graha Kompas Bandung, 3 Juli 2008
Foto: Sobirin 2007, Hutan Lindung di Kaki Gunung Cikuray


Oleh: Sobirin (Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit)


Apa issue yang tengah terjadi dengan sistem kehutanan di Jawa Barat?
Hutan Jawa Barat dengan luasnya sekitar 22% dari total luas provinsi terus mengalami degradasi akut. Sistem pengelolaan hutan yang ada terbukti tidak mampu mengendalikan penyebab kerusakan hutan.



Jabar semakin terancam bencana iklim yang semakin merusak, musim hujan terjadi banjir dan longsor, musim kemarau terjadi bencana kekeringan yang kerontang. Kerusakan hutan Jawa Barat selalu dikaitkan dengan banyak hal, misalnya:
Pertama, lemahnya pelaksanaan di lapangan terhadap peraturan perundangan kehutanan yang berlaku,

Kedua, intervensi dari para otak dan aktor sponsor pelaksanaan illegal logging,

Ketiga, tingginya permintaan kayu sebagai bahan baku industri, dikatakan permintaan kayu mencapai 5 juta m3/th, sedangkan pengadaan hanya 250 ribu m3/th, dari hutan rakyat mampu menyediakan 1 juta m3/th, sisanya dari kayu-kayu illegal dan spanyol (separoh nyolong),

Keempat, otonomi daerah juga dianggap sebagai salah satu penyebab kehancuran hutan di Jawa Barat, terutama terkait dengan konsep penataan ruang dan PAD (Penerimaan Asli Daerah).


Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Paling tidak ada lima penyebab yang harus kita renungkan bersama:

Pertama, kawasan hutan negara belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari masyarakat.

Kedua, lemahnya hubungan antar lembaga, terutama yang menangani usaha kehutanan, sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.

Ketiga, jalan pintas merusak hutan karena tidak ada jaminan kepastian untuk menjadikan hutan sebagai modal ekonomi dalam jangka panjang
Keempat, kebijakan pemerintah yang saling bertabrakan sehingga terjadi konflik penatan ruang, misalnya salah satunya antara Perda Provinsi Jabar No.2 Th 2003 tentang RTRW dengan SK Menteri Kehutanan No.195 Th 2003 tentang Penunjukan Luas Hutan Jawa Barat.
Kelima, illegal logging dan perambahan hutan dianggap sebagai biang kerusakan hutan. Padahal illegal logging dan perambahan hutan hanya sekedar symptom (gejala yang nampak di permukaan), bukan akar masalah. Mengejar dan menangkap pelaku illegal logging dan perambah hutan tidak menyelesaikan persoalan kerusakan hutan, sebelum kebijakan-kebijakan fundamental yang menimbulkan konflik kehutanan diselesaikan terlebih dahulu.


Kira-kira alternanif upaya penyelesaiannya apa? Kelembagaan sering diartikan hanya dalam lingkup sempit saja, yaitu hanya sebatas tugas pokok/fungsi (tupoksi) Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Daerah, Perum Perhutani, serta hubungan kerja di dalam dan antar lembaga tersebut dengan fundamental sektoral dan rutinitas. Sebenarnya pengertian kelembagaan jauh lebih luas dari pada yang tersebut di atas, yaitu berkenaan dengan komitmen terhadap visi bersama (shared vision) tentang kehutanan, konsep-konsep koordinasi dan integrasi multisektoral, aturan main yang pro 3P (for Prosperity, for People, for Planet), program jangka pendek-menengah-panjang, skills, struktur pasar, insentif dan disinsentif.


Kelembagaan juga menyangkut hubungan sosial masyarakat, saling menghargai hak, saling percaya, sosialisasi - rembug warga - negosiasi, menggali bersama kearifan lokal dalam penyelamatan hutan.


Sistem kerangka pikir (mind set) kehutanan Jawa Barat harus mendapat perhatian untuk terlebih dahulu diubah paradigmanya, sebagai dasar/ fundamental kelembagaan sistem pengelolaan hutan Jawa Barat yang diaku oleh seluruh warga Jawa Barat. Lembaga kehutanan apapun yang sudah ada dan akan dibentuk tidak akan mampu menghentikan kerusakan hutan Jawa Barat bila tidak dilandasi fundamental filosofi kehutanan yang komprehensif.


Perlu digali alternatif kebijakan yang strategis dalam rangka pengelolaan kehutanan Jawa Barat yang lestari.
Memahamkan kepada seluruh warga Jawa Barat, bahwa tanpa hutan dengan luasan tertentu berbasis alam yang khas dan sensitif, maka Jawa Barat akan terus terancam bencana iklim yang semakin merusak.

Memahamkan kepada birokrasi tentang filosofi kelembagaan, mulai dari visi kehutanan Jawa Barat, program ulang kebutuhan industri perkayuan Jawa Barat, pasar jasa kehutanan, koordinasi dan integrasi multisektoral.

Memahamkan konsep land-consolidation untuk kepentingan hutan lestari yang diakui, dihargai dan digugu oleh seluruh warga Jawa Barat.


Pengalaman negara lain yang sukses dalam membangun pengelolaan hutannya, bisa dipakai sebagai bahan acuan, misalnya keberhasilan negara Finlandia (baca: Masalah Pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia, APHI, 2004, halaman 53-56). Dalam makalah APHI tersebut diungkapkan faktor sukses Finlandia antara lain:

Pertama, komitmen pemerintah Finlandia yang secara konsisten memfasilitasi pembangunan kehutanan dan mendorong investasi di sektor kehutanan melalui bantuan keuangan berupa pinjaman atau subsidi. Besar subsidi setiap tahun mencapai 50 juta Euro, atau sekitar 550 milyar rupiah, antara lain untuk: regenerasi hutan, pembibitan, pemeliharaan tegakan muda, pemupukan, pemangkasan, pemanenan kayu bakar, dll.

Kedua, di Finlandia hak atas properti hutan telah terstruktur dan terdeliniasi dengan baik. Masing-masing pihak telah mengetahui apa yang menjadi miliknya, dan masing-masing juga menghargai hak-hak pihak lain dengan baik. Kepemilikan hutan didominasi oleh hutan perorangan yang mencapai 62%, hutan negara 25%, hutan perusahaan 9%, dan lainnya 4%.

Ketiga, hutan juga mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu peraturan perundangan Finlandia memberikan hak kepada semua orang (everyman right) tanpa mengurangi hak ekslusi para pemiliknya (perorangan, negara, dan perusahaan). Setiap orang diberi hak oleh peraturan perundangan untuk menikmati barang publik (public goods) seperti hasil hutan bukan kayu, blue berries, linggo berries, hak untuk lewat atau bermalam di hutan.

Bandung, 3 Juli 2008
Sobirin (Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit)

No comments: