Thursday, September 13, 2007

RENDAH, PENGELOLAAN SAMPAH KOTA

Pikiran Rakyat, 08-11-2006, A-158, Digital Library Online
Foto: Dudi Sugandi, PR, 29-03-2005, Gunung Sampah Bandung

Anggota DPKLTS Supardiyono Sobirin menyatakan, masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan persampahan. ”Mereka bukan tidak aware, tapi tidak diajak. Harusnya diajak dengan konsep AIDA (Awareness, Interest, Decision, Action)”.




BANDUNG, (PR).- Tingkat pelayanan pengelolaan sampah perkotaan masih rendah. Berdasarkan data BPS terakhir, pada skala nasional baru 40,09% sampah yang diangkut petugas. Padahal, sebelumnya pernah menembus angka 50%.

Demikian diungkapkan Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP) Departemen Pekerjaan Umum (PU) Ir. Susmono, pada acara Pelatihan Teknis Bidang PLP yang diikuti dinas terkait se-Jabar di Hotel Permata Bidakara Jln. Lemahnendeut No. 7 Setrasari, Kota Bandung, Selasa (7/11). Pada acara tersebut, turut menjadi pembicara Iwan Abdurrahman, Dajaan Imami S.H., M.H., Ir. Supardiyono Sobirin, Ir. Purwoko, Aam Amiruddin LC, dan Sunardhi Yogantara.

“Secara nasional, pelayanan persampahan dari publik cukup rendah. Namun, ada beberapa kota malah bagus pengelolaanya, seperti di Sragen,” kata Susmono.

Berdasarkan data Distarkim Jabar, pelayanan persampahan di hampiri seluruh kab./ kota kurang dari 50%. Hanya Kota Bogor, Kota Cirebon, dan Kab. Sukabumi yang tingkat pelayanannya mencapai 70%.

Pendanaan untuk pengelolaan sampah pada umumnya juga sangat minim, hanya 2%-4% dari APBD. “Sementara, untuk biaya operasional tidak bisa mengandalkan retribusi, sehingga kinerja lembaga pengelola rendah. Bahkan, secara nasional, dana yang dianggarkan untuk persampahan juga sangat terbatas, berkisar Rp 300 miliar-Rp 400 miliar per tahun,” ujarnya.


Akibat minimnya anggaran, 99 % kab./kota memilih sistem open dumping pada pengelolaan sampah dengan menekankan pada paradigma kumpul-angkut-buang. “Pendekatan baru yang harus dipahami, yaitu 3R, reduce-reuse-recycle. Hal itu memang bukan hal yang baru, tapi perlu diterapkan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan secara signifikan,” ujar Susmono.

Timpang


Sementara itu, budayawan Iwan Abdurachman menyatakan, masyarakat kini sudah terkotak-kotakkan, sehingga sistem pengelolaan sampah pun bekerja timpang. “Kesadaran satu tubuh sudah hilang sejak euforia otonomi daerah. Karena itu harus dihilangkan ego sektoral,” ucapnya.


Partisipasi masyarakat yang respek terhadap sistem, lanjut Iwan, menjadi kunci kebehasilan pengelolan sampah, termasuk sistemnya. “Respek terhadap sistem bukan hanya hormat, tapi perhatian yang sungguh-sungguh,” ungkapnya.

Senada dengan Iwan, pakar hukum lingkungan Dajaan Imami menyatakan, hukum lingkungan dan penatan ruang harus mengedepankan pencegahan daripada penanggulangan dan pemulihan lingkungan. Dengan menganut teori yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum harus berdiri di depan, menunjukkan arah bagi terselenggaranya pembangunan secara tertib dan teratur.


“Hukum lingkungan hidup tidak hanya melibatkan manusia sebagai subjek, tapi juga lingkungan. Ketika sudah memberi dan melayani manusia, maka lingkungan harus menerima haknya dengan per¬lakuan yang sesuai,” ujarnya.

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin menyatakan, ma¬syarakat harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan persampahan.
”Mereka bukan jadi tidak aware, tapi tidak diajak. Harusnya apa yang disebut pemberdayaan harus benar-benar digalakkan, paling tidak masyarakat dapat diberdayakan dengan konsep AIDA (Awareness-Interest-Decision-Action)”. (A-158)

No comments: