Saturday, September 15, 2007

MITOS HUTAN: MENGENDALIKAN TATA AIR

LEUWEUNG RUKSAK, CAI BEAK, MANUSA BALANGSAK
Pikiran Rakyat, 22 November 2004, Teropong

Foto: www.jupiterimages.com, River in Rain Forest Indonesia

Oleh SOBIRIN
Memang benar manusa balangsak lantaran cai beak, dan cai beak lantaran leuweung ruksak. Jangan sampai terlambat, hutan Tatar Sunda yg tengah menjemput ajal harus segera kita selamatkan!


Warga yang awam dalam masalah cuaca dan iklim tentunya akan bertanya-tanya, di akhir bulan Oktober 2004 lalu di Kota Bandung belum turun hujan dan udara panas terik bahkan sempat mencapai 33 derajat celcius, namun mengapa di Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur telah turun hujan yang menyebabkan Sungai Sarongge banjir bandang membawa kerugian harta sampai miliaran rupiah, bahkan telah mengakibatkan tanah longsor yang memutuskan arus lalu lintas di Kecamatan Cibinong di Cianjur Selatan.


Diberitakan pula bahwa di kabupaten Bandung penanaman benih padi musim tanam Oktober 2004 sampai Maret 2005 dipastikan terlambat karena hingga awal November ini belum juga turun hujan. Bahkan warga desa Kamarang di Kabupaten Cirebon kesulitan mendapatkan air karena sumur-sumur desa telah mengering selama 8 bulan ini.


Kedatangan musim hujan di satu pihak sangat ditunggu-tunggu untuk mengolah lahan pertanian, namun juga sering disertai perasaan khawatir akan terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Tidak pernah disadari bahwa kondisi daerah tangkapan hujan di Jawa Barat ini telah rusak parah.


Dari 40 daerah tangkapan hujan atau daerah aliran sungai (DAS) di Jawa Barat ini 17 telah sangat kritis, terutama DAS yang ke utara. Bila hujan turun di daerah tangkapan hujan yang kritis ini, maka semua air hujan langsung melimpas dan mengerosi tanah, menjadi banjir bandang, menimbulkan bencana longsor. Di musim hujan air berlebihan tak terkendali menjadi bencana banjir, dan sebaliknya di musim kemarau tidak lagi ada cadangan air menimbulkan bencana kekeringan.


Dalam siklus hidrologi skala DAS terdapat unsur gudang-gudang air (water storage) yang saling terkait melalui proses presipitasi, evaporasi, evapotranspirasi, infiltrasi dan perkolasi. Gudang-gudang tersebut adalah gudang air di atmosfer, gudang air di hutan, gudang air di sungai dan danau, gudang air di lapisan tanah dangkal dan di lapisan tanah dalam, serta gudang air di lautan.


Bila salah satu gudang air ini terganggu, maka keseimbangan siklus hidrologinya pun akan terganggu pula. Katakanlah bila hutan di puncak gunung dan bukit digunduli, muncul bencana banjir, longsor dan kekeringan yang silih berganti sepanjang tahun.


Begitu eratkah hubungan antara keberadaan hutan dan perilaku tata air air? Terdapat dua hipotesa yang kontroversi, di satu pihak mengatakan keberadaan hutan akan meningkatkan hasil air di DAS, di lain pihak mengatakan bahwa keberadaan hutan akan mengonsumsi air di DAS.


Seorang ahli hidrologi, Hidayat Pawitan (2004), mengatakan bahwa kontroversi hipotesis tersebut akibat 4M, yaitu: mis-information, miss-interpretation, miss-understanding, dan myth (mitos) tentang hubungan antara hutan dan air. Hidayat Pawitan (2004) berhasil menghimpun penjelasan-penjelasan bahwa setidaknya ada enam aspek pengaruh hutan terhadap hidrologi wilayah, yaitu: hutan meningkatkan curah hujan, hutan meningkatkan aliran sungai, hutan mengatur fluktuasi aliran sungai dan meningkatkan aliran rendah musim kemarau, hutan mengurangi erosi, hutan mengurangi banjir, hutan meningkatkan mutu pasokan air.


Bahkan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menggunakannya sebagai moto: no forest, no water, no future (leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak).


Sebuah contoh fakta tentang eratnya hubungan antara hutan dan air, mari kita lihat kasus di Kampung Cikamurang, Kabupaten Indramayu. Waktu itu bulan Juli tahun 2003, Jawa Barat tengah musim kemarau, kekeringan dimana-mana terutama di kawasan Pantura. Namun di kampung Cikamurang, desa Cikawung, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu tidak mengalami kekeringan, Sungai Citayem di kampung tersebut tetap berair di kala tempat lain di Kab. Indramayu kekeringan.


Ternyata keberadaan hutan ulayat di puncak bukit Cikawung seluas 4 hektare mampu membangun iklim mikro di wilayah tersebut, memberikan cadangan air dengan debit sampai 4 m3/ detik, menyelamatkan 1.400 warga dan ratusan hektare sawah tetap bisa digarap pada saat sawah di tempat lain mengalami kekeringan.


Iklim mikro dan kearifan lokal


Sejak berabad yang lalu, nenek moyang kita telah memiliki kalender tradisional yang didasarkan pada keunikan cuaca, kehidupan binatang dan tumbuhan yang berbeda-beda sepanjang tahun, di Jawa dikenal sebagai pranata mangsa, di Tatar Sunda dikenal sebagai kala sunda, dan di Bali dikenal sebagai wariga.


Kalender tradisional ini adalah produk kearifan lokal nenek moyang pada saat Pulau Jawa masih berpenduduk sedikit, kondisi hutannya masih luas, iklim mikro masih baik dan siklus hidrologinya masih andal. Oleh karena itu sangat dimaklumi bila kalender tradisional ini merupakan pedoman utama dalam kehidupan bertani tempo dulu.


Sebagai gambaran luas lahan pulau Jawa kurang lebih 12,5 juta hektare, pada masa prapertanian luas tutupan hutan hampir sama dengan luas pulau, jumlah penduduk tahun 1785 hanya 3,5 juta orang. Tahun 1950 luas hutan pulau Jawa menyusut menjadi kurang lebih 5 juta hektare, jumlah penduduk saat itu kurang lebih 55 juta orang. Tahun 1985 luas hutan Pulau Jawa tinggal tidak lebih dari 2 juta hektare, jumlah penduduk sudah mendekati 100 juta orang.


Tahun 2004 dari pantauan satelit luas hutan yang dianggap baik di pulau Jawa tidak lebih dari 1 (satu) juta hektare, dan jumlah penduduk telah lebih dari 120 juta orang. Pertambahan penduduk dan penyusutan luas hutan yang sedemikian pesat, kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan yang rendah telah berdampak nyata bagi Pulau Jawa, yaitu kerusakan iklim mikro dan krisis air yang parah. Bisa dimaklumi bila kemudian kalender tradisional telah dilupakan orang, karena dikatakan tidak cocok lagi dengan kondisi cuaca dan iklim saat ini.


Namun ada beberapa tokoh budaya dan akademisi yang tertarik menggali kearifan tradisional ini, dapat disebutkan antara lain Ali Sastramidjaya (1991) yang telah meneliti tentang kalender Kala Sunda, Kusnaka Adimihardja (1999) yang telah merangkum buku Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi, Mubiar Purwasasmita (2003) yang mengembangkan konsep multiskala untuk membangun kembali iklim mikro.

Penelitian rinci khususnya tentang pranata mangsa Jawa telah dilakukan oleh Indrowuryatno (1999), guru besar ilmu lingkungan Fakultas Sebelas Maret, dan hasil penelitiannya memberikan pemahaman kepada kita bahwa kearifan tradisional nenek moyang bisa diterapkan bila kawasan lindung dipulihkan, iklim mikro kembali pulih, siklus hidrologi andal, dan perilaku kehidupan kita tidak melanggar etika ekosentrisme.


Urutan pranata mangsa lengkap dengan tanda-tanda dan sifat alam yang terkait adalah sebagai berikut:


Mangsa Kasa, umur 41 hari mulai 22 Juni sampai 1 Agustus, angin bertiup dari timur menuju barat, merupakan awal musim kemarau. Tanda alam berupa daun-daun berguguran dan pohon meranggas. Sifat alam bila terjadi hujan akan memberikan kesegaran dan kesejukan. Tumbuhan dan pepohonan jambu, durian, manggis, nangka, rambutan, srikaya, cermai, kedongdong mulai berbunga.
Kehidupan binatang menunjukkan ikan di sungai bersembunyi, telur cengkerik, kasir, belalang menetas, sedangkan kerbau, lembu dan kuda menampakkan keletihan dan malas bekerja. Pada masa ini petani membakar sisa-sisa batang padi yang tertinggal sewaktu panen. Kemudian tanah sawah dicangkul kembali ditanami palawija semacam kacang, jagung, semangka, blewah, ubi dan terkadang padi gadu. Pada tanah yang kering dan sulit air umumnya dibiarkan tidak ditanami.

Mangsa Karo, umur 23 hari mulai 2 Agustus sampai 24 Agustus, angin berasal dari timur. Tanda alam berupa tanah yang retak-retak, membentuk bongkahan, karena saat ini kurang atau tidak ada air. Sifat alam menampakkan pohon-pohon mulai bersemi dan berdaun. Tumbuhan dan pepohonan jambu, durian, mangga gadung, nangka, rambutan nampak berbunga. Benih yang ditanam mulai tumbuh. Sementara pohon pisang, sawo kecik dan jeruk mulai berbuah.

Kehidupan binatang tampak telur binatang melata semisal ular mulai menetas. Pada masa ini petani berusaha mencari air, baik lewat sumur, mata air atau sungai yang masih berair untuk mengairi tanaman palawija yang memerlukan air untuk pertumbuhannya.

Mangsa Katelu, umurnya 24 hari mulai 25 Agustus sampai 17 September, angin bertiup dari timur laut, dan saat ini adalah musim kemarau. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan anak menurut kepada bapak. Sifat alam berupa pepohonan yang telah berdaun dan kelihatan berwarna hijau. Tumbuhan dan pepohonan berupa bambu, gadung, temu, kunyit, huwi, gembili mulai tumbuh.

Kehidupan binatang seperti binatang melata masih senang berada dalam sarangnya. Pada masa ini petani melakukan penyiraman tanaman dari mata air, sumur atau dari sungai yang berair. Tanaman palawija sudah mulai bisa dipanen.

Mangsa Kapat, umurnya 25 hari mulai 18 September sampai 12 Oktober, angin bertiup dari barat laut, dan saat ini merupakan musim peralihan, yang juga dikenal sebagai mangsa labuh. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan air mata tergenang dalam batin. Sifat alam berupa pohon kapuk randu sedang berbuah. Tumbuhan dan pepohonan semacam kepel atau burahol dan asam berbunga, sedangkan duwet, durian, randu, nangka berbuah.
Kehidupan binatang semacam burung pipit, manyar mulai membuat sarang untuk bertelur. Binatang berkaki empat mulai kawin, ikan mulai keluar dari persembunyiannya. Pada masa ini petani mengolah tanah untuk persiapan penanaman padi gogo.

Mangsa Kalima, umurnya 27 hari mulai 13 Oktober sampai 8 November, angin bertiup dari utara bertiup kencang sehingga pepohonan sering tumbang. Tanda alam banyak hujan turun. Sifat alam menunjukkan hujan yang turun sering bahkan curah hujan sering lebat. Tumbuhan dan pepohonan terlihat pohon asam mulai berdaun muda, gadung, kunyit dan temu berdaun lebat. Pohon yang berbuah adalah duwet, mangga, durian, cempedak dan cermai.
Kehidupan binatang menampakkan binatang melata mulai keluar dari sarangnya. Lalat berkembang dan bertebaran di mana-mana. Petani mulai memperbaiki pematang sawah, serta merencanakan pengaturan pembagian air.

Mangsa Kanenem, umurnya 43 hari mulai 9 November sampai 21 Desember, angin bertiup dari barat dan bertiup kencang. Saat ini musim hujan yang terkadang disertai petir dan sering terjadi bencana tanah longsor. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan memperoleh rasa kebahagiaan karena perbuatan baik. Sifat alam menunjukkan pohon buah-buahan mulai masak yang tentunya membuat petani merasa senang. Tumbuhan dan pepohonan mangga, durian dan rambutan mulai masak buahnya.
Kehidupan binatang menampakkan lipas atau kumbang air banyak berkembang dalam parit-parit. Petani masih mengerjakan sawah untuk ditanami padi. Benih padi berupa gabah mulai ditebar di persemaian.

Mangsa Kapitu, umurnya 43 hari mulai dari 22 Desember sampai 2 Februari, angin bertiup dari barat. Saat ini musim hujan dengan curah hujan sangat lebat. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan racun berbisa terbang disapu angin. Sifat alam menunjukkan hujan yang terus-menerus, mata air membesar dan sungai-sungai pun banjir. Tumbuhan dan pepohonan durian, kepundung, salak, sirsak, kelengkeng dan gandaria masih berbuah. Kehidupan binatang menunjukkan burung-burung sulit mencari makan. Pada masa ini petani memperbaiki pematang yang rusak akibat hujan deras.


Mangsa Kawolu, umurnya 27 hari mulai 3 Februari sampai 28 Pebruari atau 29FPebruari, angin bertiup dari barat, hujan mulai berkurang. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan merana dalam hati, batin menangis. Sifat alam berupa hujan mulai jarang turun, tetapi sering terdengan guntur. Tumbuhan dan pepohonan sawo manila, burahol, gayam mulai berbunga. Pohon yang berbuah wuni, kepundung dan alpukat.
Kehidupan binatang antara lain tonggeret berkembang biak, kucing kawin, dan kunang-kunang bertebaran di sawah. Pada masa ini petani melakukan pemeliharaan sawah antara lain memberi pupuk. Tanaman padi mulai tinggi dan ada yang mulai berbunga. Sementara di ladang petani panen jagung.

Mangsa Kasanga, umurnya 25 hari mulai 1 Maret sampai 25 Maret, angin bertiup dari selatan. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan tersiarnya berita bahagia. Sifat mangsa menampakkan tonggeret keluar dari pohon-pohon. Tumbuhan dan pepohonan masih berbunga, yaitu kawista, durian dan sawo kecik. Pohon yang berbuah alpuket, duku, kepundung dan wuni. Sementara padi mulai berisi, bahkan sudah ada yang menguning.
Kehidupan binatang meramaikan suasana dengan suara yang khas dari tonggeret dan jangkrik, sedang kucing mulai bunting. Pada masa ini petani mulai mengerjakan tegalan atau kebunnya. Petani membuat orang-orangan di sawah untuk menakuti dan mengusir burung pemakan padi.

Mangsa Kasadasa, umur 24 hari mulai 26 Maret sampai 18 April, angin bertiup dari tenggara dan bertiup kencang, merupakan musim peralihan menuju kemarau. Masa ini disebut pula dengan istilah mareng. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan pintu gerbang tertutup dalam kalbu. Sifat alam menunjukkan padi disawah mulai tua, burung-burung berkicau dan membuat sarang. Tumbuhan dan pepohonan alpukat, jeruk nipis, duku dan salak berbuah.
Kehidupan binatang semisal sapi dan kerbau mulai bunting. Burung membuat sarang dan mengerami telurnya. Pada masa ini petani ada yang mulai melakukan panen di tegal, sedangkan di sawah petani sibuk menghalau pipit dan gelatik yang mengganggu tanaman padi.

Mangsa Dhesta, umurnya 23 hari mulai 19 April sampai 11 Mei, angin bertiup dari selatan, saat ini musim kemarau. Tanda alam dikiaskan dengan ungkapan permata hati penuh kasih sayang. Angin yang bertiup dari timur laut terasa panas di siang hari. Sifat alam dicirikan oleh sibuknya petani yang tengah memanen padi di sawah. Tumbuhan umbi-umbian juga siap dipanen. Kehidupan binatang dicirikan dengan menetasnya telur burung pipit atau punai dan manyar. Pada masa ini petani sibuk menuai padi dan memanen umbi-umbian di tegalan atau kebun.


Mangsa Sadha, umurnya 41 hari mulai 12 Mei sampai 21 Juni, angin bertiup dari timur, saat ini musim kemarau dan tidak ada hujan. Tanda alam dicirikan dengan hilangnya air dari tempatnya. Sifat alam menampakkan dedaunan yang layu karena panas matahari. Padi di sawah selesai di panen. Air sumur mulai berkurang dan banyak orang yang mengambil air dari tempat lain. Tumbuhan dan pepohonan jeruk keprok, nanas, alpukat dan kesemek berbuah.
Kehidupan binatang kerbau dan sapi di kandangkan untuk diistirahatkan. Nelayan di laut sedang musim ikan nus dan cumi-cumi. Pada masa ini petani menjemur gabah untuk disimpan dalam lumbung. Padi di sawah selesai dipanen, sisa-sisa jerami dibakar, kemudian melakukan persiapan mengerjakan tanah untuk tanaman palawija.

Pemulihan kawasan lindung sebagai prasyarat


Koreksi terhadap penyimpangan kalender tradisional ini memang perlu terus dilakukan, terutama perhitungan hari tanggalnya. Perhitungan pranata mangsa didasarkan pada jumlah hari dalam setahun adalah 365,25 hari. Padahal tepatnya adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit dan 46 detik. Jadi dalam satu tahun terdapat selisih 11 menit, 14 detik, atau terdapat selisih satu hari setiap 128 tahun. Sehingga bisa dimaklumi bila mangsa Kalima dengan tanda-tanda alam banyak turun hujan, yang seharusnya dimulai pertengahan Oktober ternyata mundur sampai awal November.


Kini penyimpangan pranata mangsa bukan saja oleh faktor perhitungan jumlah hari. Kekacauan perhitungan pranata mangsa secara tidak terkendali lebih banyak disebabkan kerusakan lingkungan, hilangnya kawasan lindung, kemajuan rekayasa genetika tanaman pangan, ketergantungan kepada pupuk kimia, penggunaan bahan bakar fosil berlebihan untuk transportasi dan industri, pembuangan limbah dan sampah sembarangan, teknologi hujan buatan, dan lain-lain kegiatan yang tidak ramah lingkungan.


Iklim mikro telah hancur dan tidak mampu lagi menjadi perisai terhadap penyimpangan iklim regional dan global. Memang benar manusa balangsak lantaran cai beak, dan cai beak lantaran leuweung ruksak. Jangan sampai terlambat, hutan di Tatar Sunda yang tengah menjemput ajal harus segera kita selamatkan!***


Penulis anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

No comments: