Tuesday, September 25, 2007

MAKIN SESAKNYA "PARISJ VAN JAVA"

HUT KE-197 BANDUNG
KOMPAS
, Berita Utama, 25-09-2007

Foto: Sobirin, 2004, Bandung Heurin Ku Tangtung

Oleh: Dedi Muhtadi, KOMPAS
Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menyatakan, persoalan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota. Mereka selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman.


Nelengneng gung, geura gede geura jangkung. Geura sakola ka Bandung … (Cepat-cepatlah besar dan bersekolahlah di Bandung)
.


Sepenggal nyanyian yang dulu digunakan orangtua Sunda untuk meninabobokan anaknya sekarang mungkin harus ditambahi wanti-wanti bila harus sekolah di Bandung yang saat ini sudah heurin ku tangtung (makin sesak).

Kota yang dirancang untuk 0,5 juta jiwa penduduk itu kini sudah berpenghuni hampir 3 juta jiwa. Sebab, kota yang secara resmi dipindahkan Bupati Wiranatakusumah II dari Krapyak di tepi Sungai Citarum ke sekitar pendopo Kota Bandung pada 25 September 1810 itu telah berkembang tidak hanya sebagai kota pendidikan. Pemindahan ini pulalah yang menjadi pijakan HUT Kota Bandung.

Sebagai dampak pesatnya perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, tak hanya julukan pujian yang banyak, tetapi juga ejekan terhadap kota ini. Sebut saja julukan Paradise in Exile, Bandung Excelsior, De Bloem van Bersteden, Parijs van Java, Bandung Kota Kembang, Bandung Ibu Kota Asia-Afrika, juga sebutan Bandung Kota Lubang, Bandung Kota FO (factory outlet), dan Bandung Kota Sampah.

Kota yang dijuluki Parijs van Java karena kesejukannya itu kini tidak lagi nyaman. "Sulit mencari udara segar di tengah kota seperti ini. Napas rasanya semakin sesak," papar Sunjaya (30), seorang calon penumpang bus kota, saat menunggu di Alun-alun Bandung, pertengahan September lalu.

Sekarang, hampir semua jalan di Kota Bandung dikepung kepulan asap dari knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran udara seperti ini semakin menggila pada siang hari, saat aktivitas warga kota memuncak.

Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan, pencemaran udara sudah melebihi ambang batas. Di Alun-alun Kota Bandung, misalnya, kadar hidrokarbon (HC) mencapai 1,557 ppm, timbal (Pb) 2,03 Ugr/m3, dan partikel debu yang mengambang di udara (SPM) 152,4 Ugr/m3. Ambang batas untuk HC 0,24 ppm, Pb hanya 2 Ugr/m3, dan SPM 150 Ugr/m3.

Ahli polusi udara dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Puji Lestari bahkan menyodorkan data yang lebih mengerikan. Berdasarkan penelitiannya pada Agustus 2004, kadar nitrogen (NOx) sempat mencapai 0,12 ppm. Padahal, ambang baku untuk Indonesia hanya 0,05 ppm. Polutan NOx paling banyak dihasilkan sektor transportasi, 51,68 persen.

Demikian juga kadar karbon monoksida yang disumbang oleh transportasi. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Ajun Komisaris Besar Martinus Sitompul menyebutkan, pertambahan kendaraan bermotor di Bandung mencapai 150-200 unit per hari atau 6.000 unit per bulan.

Itu baru di Bandung saja. Belum dari daerah sekitar dan Jakarta. Seperti diketahui, setelah dioperasikannya Jalan Tol Cipularang, Bandung yang dikenal sebagai pusat mode dan pusat aneka jajanan itu kini menjadi tujuan utama pelesiran warga Jakarta. Setiap akhir pekan setidaknya 36.000 kendaraan masuk ke Bandung dari Jakarta.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya ruang terbuka hijau (RTH), yakni hanya 6,7 persen dari total luas kota 16.730 hektar. Bahkan, Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Mubiar Purwasasmita mengatakan, RTH Kota Bandung hanya 1,5 persen. Padahal, RTH dipercaya mampu menyerap pencemaran udara hingga 40 persen.

Untuk menekan polusi, Kepala BPLH Kota Bandung Nana Supriatna berjanji akan memberlakukan uji emisi gas buang dan menata ulang pola penyebaran lalu lintas ke Bandung timur agar tidak terkonsentrasi di Bandung bagian barat.

Semau gue

Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menyatakan, persoalan yang dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota. Mereka selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang tidak nyaman.

Pada zaman Parijs van Java, warga yang masih ratusan ribu jiwa patuh karena tekanan aturan. Sekarang "amburadul" karena jumlahnya jutaan jiwa yang sikapnya semau gue. Salah satunya adalah terdegradasinya kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan lindung.

Tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba mengendalikan pembangunan di KBU, tetapi semuanya dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kalau wali kota zaman dulu sekaliber B Coops (1920-1921) atau SA Reitsma (1921-1928) disuruh menertibkan Kota Bandung sekarang, dipastikan sama pusingnya dengan Dada Rosada, wali kota saat ini. (MHF/YNT)

No comments: