Friday, September 21, 2007

PERUNDANGAN DIMENTAHKAN EKONOMI JANGKA PENDEK

KBU RUSAK, BANDUNG DALAM INCARAN BENCANA
KOMPAS, Jawa Barat, 21 September 2007, mhf/ynt
Foto: Sobirin 2005, KBU Sangat Rawan Longsor

Sobirin
mengungkapkan, tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba mengendalikan pembangunan di KBU. Namun, semua itu dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.



PERUNDANGAN DIMENTAHKAN KEPENTINGAN EKONOMI JANGKA PENDEK

KBU RUSAK, BANDUNG DALAM INCARAN BENCANA

Bandung, Kompas -
Bandung semakin terancam kesinambungannya. Salah satunya karena lingkungan hidup kawasan Bandung utara atau KBU sebagai kawasan lindung telah terdegradasi.
Hal ini diungkapkan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin di Bandung, Kamis (20/9). "Sebenarnya, KBU yang terletak lebih tinggi dari Kota Bandung sangat strategis sebagai benteng lingkungan kota," ujarnya.

Musim kemarau akan segera berakhir, berganti dengan musim hujan, tetapi daerah seputar Bandung utara makin gundul. Jika curah hujannya sangat tinggi, bahaya mengancam masyarakat di kawasan resapan air tersebut. Waktu bersiap menghadapi bencana yang mungkin timbul tinggal sebulan.

Kegundulan daerah Bandung utara tampak jelas dari kawasan Punclut dan Dago, Kota Bandung. Berhektar-hektar lahan berwarna coklat karena tidak ditumbuhi pepohonan. Padahal, di seputar wilayah tersebut, dari mulai puncak hingga tebingnya, terdapat permukiman warga. Dikhawatirkan ketika musim hujan tiba, terjadi longsor yang mengancam jiwa penduduk.

Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Bandung Henri Surbakti, kemarin, musim hujan akan terjadi pada pertengahan Oktober 2007. Namun, dibandingkan dengan Bandung utara, timur, dan barat, karena perbedaan vegetasi dan tipe hujannya, Bandung selatan akan lebih dulu hujan. Curah hujan di Bandung pada pertengahan Oktober sekitar 85-115 persen dari rata-rata curah hujan daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada Desember hingga Februari 2008.

Luas KBU mencapai 38.550 hektar. Daerah ini mencakup 21 kecamatan dan 111 desa/kelurahan di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.

Perundangan dimentahkan

Sobirin mengungkapkan, tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba untuk mengendalikan pembangunan di KBU. Namun, semua itu dimentahkan oleh pola pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Menurut dia, terdapat salah pemahaman tentang KBU. Beberapa pihak, terutama pemerintah, mengatakan pembangunan di KBU diperbolehkan karena daerah tersebut bukan resapan air. Akibatnya, 75 persen KBU rusak dan gundul karena intervensi pertanian dan permukiman.

Bagi Sobirin, KBU harus dilindungi karena merupakan daerah tangkapan hujan yang dapat menjaga kesinambungan kota. Jika pembangunan di KBU dibiarkan, Kota Bandung terancam bencana iklim dan lingkungan. "Saat musim hujan, terjadi banjir. Saat musim kemarau, terjadi kekeringan," katanya.

Hal senada dikatakan Ketua DPKLTS Mubiar Purwasasmita. KBU memiliki panorama dan pemandangan indah. Ini kemudian mendorong warga dan pengembang untuk membangun hotel berbintang, restoran internasional, tempat rekreasi, dan bahkan permukiman.

Mubiar mencatat, lebih dari 2.000 hektar lahan konservasi di Kecamatan Lembang telah dipenuhi bangunan. Bahkan, tahun 2001, Situ Persatuan Perikanan Indonesia (PPI) telah diuruk. Bila mengacu pada rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, yang diizinkan menjadi bangunan hanya 1.035 hektar.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat Dadang Sudarja mengatakan, persoalan utama yang menyelimuti RTRW Kota Bandung adalah kurang pahamnya pelaku pembangunan atas substansi RTRW.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Tjetje Soebrata menuturkan, pembangunan di KBU memang diperbolehkan, tetapi harus sesuai dengan aturan. Bangunan tidak boleh berdiri di lahan yang kemiringannya lebih dari 20 derajat. Kedua, luas bangunan hanya 20 persen dari lahan yang dimiliki. (mhf/ynt)

No comments: