Thursday, February 05, 2009

KAWASAN HUTAN RAWAN LONGSOR

DINAS KEHUTANAN SOSIALISASIKAN DAERAH RAWAN BENCANA
Pikiran Rakyat, 6 Februari 2009, A-185

Foto: http://portalinfaq.org, Banjir Bandang
Pengamat lingkungan Sobirin mengatakan kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di hilirnya rawan banjir bandang. Sobirin berharap pemerintah segera memulihkan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis.





BANDUNG, (PR).- Sekitar 22,2 persen lahan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar menghindari membuat permukiman yang berbatasan dengan daerah hutan.

Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna saat menjadi pembicara dalam seminar nasional dengan tema "Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Dalam Mitigasi Dampak Bencana Longsor di Indonesia" di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran, Jln. Banda No. 40 Bandung, Kamis (5/2).


Berdasarkan data Dinas Kehutanan, luas hutan di Jawa Barat sebanyak 21 persen dari luas daratan atau 806.630 hektare. Sementara 95.575,18 hektare hutan tersebut berpotensi menyebabkan bencana lingkungan. Total luas lahan baik hutan maupun bukan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan di Jawa Barat seluas 431.069,35 hektare.


Anang mengatakan, secara geologi daerah hutan tersebut merupakan kawasan rawan longsor. Menurut dia, dampak sosial, ekonomi, dan gangguan jiwa akibat longsor di kawasan hutan memang kecil karena tidak bersentuhan langsung dengan permukiman. Namun, saat ini banyak tumbuh permukiman yang berada di kawasan hutan. Sementara untuk permukiman di dalam hutan, kata Anang, secara hukum sudah dinyatakan dilarang.


Curah Hujan


Adanya longsor di kawasan tersebut dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Hal itu mengakibatkan tingginya kandungan air dalam tanah sehingga terjadi longsor. "Di Jawa Barat hal itu terjadi saat longsor di Leles Kabupaten Garut, daerah itu bukan kawasan hutan, tapi di sana ada bukit yang berbatasan dengan hutan," ujar Anang.

Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian di Leles Garut, Anang mengatakan, Provinsi Jawa Barat dalam revisi tata ruang wilayah telah merekomendasikan kriteria penetapan kawasan lindung. Salah satu dari kriteria tersebut adalah rawan gerakan tanah. Penetapan lokasi tersebut seluas 654.388 hektare yang tersebar di wilayah Jawa Barat.


Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga berupaya untuk melakukan revegetasi terhadap kelas perusahaan yang terdapat daerah rawan longsor. Namun, Dinas Kehutanan mengalami kendala dengan jenis tanaman yang ditanam. "Apabila di daerah ladang, yang cocok ditanam adalah rumput. Itu berarti kita harus menggandeng Dinas Peternakan untuk melakukan revegetasi tersebut," ujar Anang.

Selain itu, Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar daerah rawan bencana. "Kami juga melakukan pelaksanaan preventif dengan memberikan papan peringatan pada daerah rawan bencana," ucapnya.


Sementara itu, pengamat lingkungan, Sobirin, mengatakan bahwa kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di bagian hilirnya rawan terhadap banjir bandang.
Sobirin berharap, pemerintah segera melakukan perbaikan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis. (A-185)***

Read More..

JARINGAN DRAINASE DI KOTA BANDUNG AMBURADUL

Kompas, Jawa Barat, Perkotaan, 5 Februari 2009, MHF
Foto: anduz.blubox.us, Banjir di Riung Bandung

Anggota Dewan Pakar DPKLTS Sobirin, Rabu (4/2), mengatakan, drainase Kota Bandung sangat parah. "Angkutan kota saja memiliki peta. Nah, kenapa drainase Kota Bandung tidak ada petanya?" kata dia menggambarkan amburadulnya drainase Kota Bandung.





Bandung, Kompas - Sampai saat ini Pemerintah Kota Bandung belum memiliki rencana induk atau peta drainase kota. Jaringan drainase yang amburadul menyebakan banjir ciluencang datang setiap musim hujan.

Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiyono Sobirin, Rabu (4/2), mengatakan, drainase Kota Bandung sangat parah. "Angkutan kota saja memiliki peta. Nah, kenapa drainase Kota Bandung tidak ada petanya?" kata Sobirin menggambarkan amburadulnya drainase Kota Bandung.


Tidak adanya peta drainase, lanjutnya, mengakibatkan air hujan tidak dapat mengalir dengan baik ke sungai. Ini memicu munculnya genangan air di jalan atau banjir cileuncang. Sobirin mengingatkan, jika drainase kota tidak segera diperbaiki, banjir cileuncang selalu mengepung kota.

Titik-titik warga membuang sampah juga harus dipetakan dengan detail sehingga Pemkot dapat mengantisipasi penyumbatan saluran air.
Dia mencatat, tidak kurang dari 46 sungai di Kota Bandung mati dan menjadi tempat sampah. Padahal, sungai berfungsi sebagai drainase primer yang menampung aliran air hujan.

Wali Kota Bandung Dada Rosada mengakui, Pemkot tidak memiliki rencana induk ataupun peta drainase. "Saya belum tahu apakah drainase ini nanti akan diperbaiki secara menyeluruh oleh saya atau oleh wali kota sesudah saya. Tapi, tahun 2010 paling tidak harus sudah ada rencana induk drainase," katanya.


Meski demikian, lanjut Dada, Pemkot selalu memperbaiki saluran air yang ditengarai rusak. Perbaikan ini bertahap dari tahun ke tahun. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Rusjaf Adimenggala menjelaskan, pihaknya belum memungkinkan merancang ulang sistem drainase kota. Alasannya, itu membutuhkan banyak biaya dan waktu. "Selama ini yang kami lakukan adalah tambal sulam dan pemeliharaan drainase yang ada," ujarnya.


Belum Maksimal


Catatan Dinas Binamarga dan Pengairan Kota Bandung menyebutkan, sepanjang tahun 2007 Pemkot membangun saluran atau gorong-gorong sepanjang 18,7 km. Selain itu, juga pemeliharaan saluran mencapai 6,2 km. Pada 2008, Dinas Bina Marga dan Pengairan membangun gorong-gorong sepanjang 13,07 km.


Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung juga merehabilitasi saluran irigasi dan melakukan penggelontoran sepanjang 5,8 km selama 2008. Pada saat sama, dinas ini menormalisasi Sungai Cisaranten dan Cinambo sepanjang 3,52 km untuk mengantisipasi banjir di Bandung Timur.


Sobirin menilai, upaya tersebut belum maksimal. Dinas Bina Marga dan Pengairan semestinya mampu meyakinkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandung tentang pentingnya pembuatan peta drainase. (MHF)

Read More..

Wednesday, February 04, 2009

BANDUNG BELUM MILIKI "GRAND DESIGN" DRAINASE

Pikiran Rakyat, 5 Februari 2009, A-188
Foto: http://foto.detik.com/, Drainase Perkotaan dan Sampah

Anggota Dewan Pakar DPLKTS Sobirin Supardiyono menilai, sudah seharusnya Pemkot Bandung segera membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Peta tersebut merupakan gambaran awal penyusunan grand design sistem drainase terpadu.




BANDUNG, (PR).- Kota Bandung belum memiliki grand design sistem drainase terpadu untuk mencegah banjir cileuncang. Hal tersebut diakui Wali Kota Bandung Dada Rosada di Gedung Landmark, Jln. Braga, Bandung, Rabu (4/2).

Dada menuturkan, saat ini permasalahan sistem drainase yang kurang optimal menjadi salah satu pemicu sering terjadinya banjir cileuncang di beberapa daerah dan jalan di Kota Bandung. Terlebih lagi, ketika musim hujan seperti sekarang.


"Memang belum dibuat master plan-nya. Namun, sambil berjalan, drainase yang kurang baik atau tersumbat tengah diperbaiki dengan pembangunan kota yang terus bergulir," ujar Dada.

Dada mengakui grand design drainase terpadu memang dibutuhkan Kota Bandung untuk mengatasi masalah banjir cileuncang. Oleh sebab itu, Dada menargetkan pada 2010 grand design tersebut mulai disusun dan segera terealisasi.


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin Supardiyono menilai, sudah seharusnya Pemkot Bandung segera membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Peta tersebut merupakan gambaran awal penyusunan grand design sistem drainase terpadu.

"Grand design ini mendesak untuk menyelesaikan masalah banjir cileuncang yang terus-terusan terjadi di Bandung," ungkap Sobirin. Selanjutnya, pemkot juga harus memberikan peringatan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan karena sampah menjadi salah satu pemicu banjir cileuncang.

Kepala Dinas Bina Marga Kota Bandung Rusjaf Adimanggala menjelaskan, beberapa kawasan di Kota Bandung telah memiliki peta drainase meski belum secara menyeluruh.
"Untuk Bandung lama, sebenarnya telah memiliki saluran drainase yang sangat baik ketika dibangun oleh Belanda. Namun, dengan adanya perkembangan dan pembangunan, saluran tersebut banyak yang berubah dan tidak berfungsi," ujar Rusjaf. (A-188)***

Read More..

WALI KOTA KONSULTASI SOAL POHON BERACUN

Pikiran Rakyat, 5 Februari 2009, A-188
Foto: www.goldmedalgrowers.com, Nerium Oleander
Anggota DPLKTS Sobirin mengatakan, Pemkot tidak perlu menebang dan mengganti pohon tersebut. Pasalnya, meski beracun pohon itu juga memiliki fungsi yang berbeda. Contoh tanaman mentega (Nerium Oleander), sangat kuat menyerap polusi yang ada di udara.






BANDUNG, (PR).-
Pohon beracun yang menjadi tanaman hias di Kota Bandung, seharusnya ditebang dan diganti dengan tanaman yang lebih aman. Namun, di sisi lain ada usulan agar pohon tersebut tetap dibiarkan.


"Ada yang minta ditebang, ada juga yang berpendapat jangan ditebang karena berfungsi sebagai tanaman dekorasi bukan tanaman produktif," kata Wali Kota Bandung Dada Rosada seusai membuka acara Pesta Buku Bandung 2009, di Gedung Landmark, Jln. Braga, Bandung, Rabu (4/2).


Mengenai adanya pro-kontra tersebut, Dada saat ini tengah berkonsultasi dengan para ahli untuk membuat kajian yang lebih matang. "Kita sedang memilah dan memilih, mana yang ditebang dan mana yang tidak," ujarnya.


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin Supardiyono mengatakan, pemkot tidak perlu menebang dan mengganti pohon tersebut. Pasalnya, meski beracun pohon itu juga memiliki fungsi yang berbeda. Contohnya pohon mentega (Nerium Oleander), lanjut Sobirin, pohon itu sangat kuat dalam menyerap polusi yang ada di udara.


Hal yang sama dikatakan anggota DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali. "Jangan terburu-buru menebang. Pemkot bisa memikirkan sesuatu yang kreatif agar keberadaan pohon bermanfaat. Mungkin saja, ke depan pengunjung datang ke Bandung hanya ingin melihat pohon beracun," kata Lia.


Kepala Dinas Pertamanan (Distam) Kota Bandung, Yogi Supardjo mengatakan telah menebang 30 pohon beracun yang ada di kawasan Dago. Namun, Yogi menjelaskan penebangan tersebut dilakukan karena pohon yang ada dianggap sudah terlalu rimbun dan mengganggu lalu lintas.


Pelaku Perusakan Diamankan


Sementara itu, pelaku perusakan pohon dengan menguliti pohon, berhasil diamankan aparat Kecamatan Lengkong bekerja sama dengan Polsek Lengkong, Koramil Regol-Lengkong, Lurah Lingkar Selatan, serta RT dan RW setempat. RH (33) warga daerah tersebut berhasil diamankan petugas pada pukul 13.00 WIB di kediamannya. Camat Lengkong Susi Susilayani mengatakan, berdasarkan pengakuan pihak keluarga RH memang mengalami gangguan jiwa.


"Tujuh bulan lalu dia baru keluar dari RSJ Provinsi Jabar (Riau) dan dinyatakan sembuh. Namun, sekitar seminggu ke belakang ia kembali kambuh," kata Susi. Kini sebagai tindak lanjut, Susi mengatakan, RH tengah menunggu konfirmasi dari RSJ di Cisarua untuk mendapatkan perawatan. (A-188)***

Read More..

Tuesday, February 03, 2009

3R JANGAN SEKADAR SLOGAN

Pikiran Rakyat, Selisik, 2 Februari 2009, Handri Handriansyah
Gambar: http://copyservices.tamu.edu, 3R
Sobirin menilai, persoalan sampah adalah persoalan bersama yang harus diatasi secara sinergis oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Ia menekankan penanganan sampah dimulai dari produsennya. Seharusnya sampah menjadi tanggung jawab masing-masing.






Segera berakhirnya izin pakai lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), tahun 2018, akan menjadi kendala utama dalam penanganan masalah sampah di Kota Bandung. Mengingat keterbatasan lahan yang dimiliki kota ini.

Adapun rencana penggunaan kawasan Legoknangka di Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung yang akan dijadikan TPA bersama, juga masih memiliki kendala. Salah satunya adalah soal biaya pengangkutan sampah. Namun apa daya, Kota Bandung tidak memiliki lahan lagi untuk dijadikan TPA.


Sejak lama, banyak pihak memperkirakan bakal muncul masalah dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung. Sistem TPA dianggap tidak lagi sesuai untuk menangani masalah sampah. Berbagai alternatif solusi pun bermunculan, mulai dari penerapan sistem 3R (reduce, reuse, recycle), pembuatan kompos, sampai pengolahan sampah menjadi energi listrik.


PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), sebuah perusahaan swasta, menawarkan pemecahan masalah sampah di Kota Bandung dengan usulan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Munculnya ide itu bukannya tanpa pertimbangan.


Menurut Direktur PT BRIL, Yoseph Soenaryo, pihaknya dan pemerintah Kota Bandung pada awalnya tidak hanya berpikir mengenai PLTSa sebagai solusi masalah sampah Kota Bandung. "Kami sempat mempertimbangkan sistem 3R, pembuatan kompos, dan pembuatan pupuk organik. Semua sudah dipikirkan kelebihan dan kekurangannya," kata Yoseph di Bandung, Sabtu (31/1).


Prinsip 3R, kata Yoseph, memang masih dianggap paling baik, karena bisa membuat orang memberdayakan sesuatu yang sudah tidak digunakan agar dapat digunakan kembali. Namun, pada praktiknya, penerapan 3R memerlukan kesadaran tinggi dari seluruh masyarakat dan harus menjadi suatu budaya. "Untuk membudayakan sesuatu memerlukan waktu sangat lama, sedangkan sampah kita saat ini terus menumpuk," tuturnya.


Sementara itu, untuk mengolah sampah menjadi pupuk organik memerlukan teknologi tinggi yang biaya investasinya terlampau besar. Dari sudut pandang lain, komposisi sampah Kota Bandung juga tidak mendukung untuk bisa menghasilkan pupuk organik.

"Hal itu juga berlaku untuk pembuatan kompos, terlebih teknologi pembuatan kompos paling modern, paling cepat memerlukan waktu 15 hari. Artinya, kita memerlukan lahan tetap untuk menampung sampah yang terkumpul selama 16 hari. Belum lagi masalah pemasaran kompos yang dihasilkan," ujar Yoseph menjelaskan.

Dari semua pertimbangan tersebut, akhirnya PT BRIL dan pemerintah Kota Bandung menetapkan PLTSa sebagai solusi terbaik dalam memecahkan masalah sampah. Keputusan tersebut dinilai sebagai langkah yang wajar oleh pakar lingkungan dari Pusat Rekayasa Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB), Ari Darmawan Pasek. Menurut Ari, setiap kota/kabupaten pasti memiliki pertimbangan tersendiri dalam penentuan solusi persampahan mereka, sesuai dengan kondisi yang ada.


Tanpa mengesampingkan pertimbangan tersebut, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono menilai, persoalan sampah adalah persoalan bersama yang harus diatasi secara sinergis oleh pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat. Untuk itu, ia lebih menekankan penanganan sampah yang dimulai dari produsennya masing-masing.

"Kita bicara dalam konteks rumah tangga di masyarakat yang menjadi sumber awal produksi sampah. Seharusnya sampah menjadi tanggung jawab masing-masing," tuturnya. Menurut Sobirin, berat sampah yang diproduksi di Kota Bandung saat ini sudah hampir menyamai berat 1.000 ekor gajah. "Jika dibentangkan, sampah plastik tiap harinya bisa menutupi 250 lapangan sepak bola. Kertasnya dibuat bubur kertas dalam jumlah yang mengimbangi jumlah bubur kertas dari 500 batang pohon kayu. Di kota besar lain juga keadaannya tidak jauh berbeda.

Namun, Kota Bandung menjadi spesial dalam masalah sampah karena kondisi geografisnya yang berupa cekungan dan merupakan sentral komunitas manusia," tuturnya.
Masalah itu, kata Sobirin, tidak akan selesai jika hampir 90% penduduk Kota Bandung masih tidak peduli dengan sampah masing-masing, seperti sekarang ini.

"Mereka hanya berharap sampah diangkut petugas, karena merasa sudah bayar retribusi. Mereka tidak tahu, kondisi PD Kebersihan kadang tidak ideal. Ada kalanya truk pengangkut mogok karena onderdilnya rusak dan segala macam kendala lain," ujar Sobirin.
Ia mengakui, untuk bisa mewujudkan hal ini memang memerlukan proses yang bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

"Meski banyak yang mengatakan 3R itu hanya slogan, tapi kalau dilaksanakan bisa dilihat hasilnya. Yang penting, ada keyakinan, kesadaran, dan keinginan untuk mendapat keuntungan, kontrak moral, tindakan nyata, dan pembudayaan. Jika itu dipenuhi, saya yakin semua bisa terwujud meskipun menghabiskan waktu satu generasi atau sekitar 30 tahun," tuturnya.


Melihat kondisi sekarang ini, Sobirin menghargai semua rencana yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi sampah yang terus menggunung. Termasuk pembangunan PLTSa sebagai pengganti TPA.
"Tetapi kita tidak akan pernah tahu PLTSa itu bagus atau tidak jika tidak dicoba dalam skala kecil. Kalau memang hasilnya bagus, perlihatkan kepada masyarakat dan teruskan. Jika tidak, ya harus dihentikan," ujarnya.

Mengenai kemungkinan uji coba PLTSa skala kecil, Yoseph mengatakan bahwa keputusannya ada di tangan pemerintah. Namun, untuk pelaksanaannya, perlu investasi mati layaknya untuk membangun jalan minimal Rp 35 miliar.
"Investasi PLTSa bukanlah investasi bisnis yang menguntungkan. Untuk skala kecil, investasi jelas tidak akan kembali. Namun, sebenarnya kita tidak perlu ragu dan mencoba dalam skala kecil. Toh skala besar yang sudah ada di luar negeri sudah terbukti memang baik dan berjalan tanpa gangguan," ungkapnya.

Ketika ditanya mengenai keuntungan yang akan didapatnya sebagai pengelola PLTSa nantinya, Yoseph tidak memungkiri keuntungan itu memang ada meski jumlahnya tidak besar. Untuk PLTSa Gedebage dengan kapasitas produksi 500 ton sampah/hari dan menghasilkan sekitar 6 mw energi listrik, PT BRIL harus mengeluarkan investasi sedikitnya Rp 300 miliar (perhitungan 2005).

Menurut Yoseph, dari pemasukan biaya pengolahan sampah dan hasil penjualan listrik yang dihasilkan, investasi tersebut baru akan kembali dalam waktu 12-15 tahun. "Oleh karena itu kami meminta waktu pengelolaan 20 tahun. Itu kan lama dan untungnya tidak seberapa. Namun, ini bukan semata bisnis, tapi bentuk kepedulian kami sebagai warga Bandung terhadap masalah sampah. Jika menghitung untung-rugi, masih banyak investasi yang lebih menguntungkan," ujar Yoseph. (Handri Handriansyah/"PR")***

Read More..