Tuesday, September 29, 2009

JEJAK KABAN DI TANGKUBAN PERAHU

Pembangunan Taman Wisata
Pikiran Rakyat, 10 September 2009, Catur Ratna Wulandari/ Ag. Tri Joko Her Riadi
Foto: astomshed.blogspot.com
Anggota DPKLTS Sobirin mengungkapkan, kasus ini bukan hanya perkara hilangnya 250 hektare kawasan hijau di Tangkubanparahu, tetapi tercederainya Kawasan Bandung Utara secara keseluruhan. "Kalau ini lolos, kawasan lindung lain dengan mudah akan terjarah juga," ujarnya.



Tangkubanparahu memanas beberapa bulan terakhir ini. Penyebabnya bukanlah karena aktivitas vulkanik di bawah kawah raksasa gunung itu. Pemantik api adalah Departemen Kehutanan (Dephut) yang memberikan izin pengusahaan pariwisata alam kepada PT Graha Rani Putra Persada (GRPP), perusahaan swasta yang berkedudukan di Jakarta.

Pemberian izin itu dinilai menyalahi prosedur karena melangkahi kewenangan pemerintah daerah setempat, sebagai pemilik lokasi. Rumor yang beredar menyebutkan, Dephut mau bersusah-payah memotong kompas di Tangkubanparahu karena adanya kedekatan personal antara pucuk pimpinannya dan bos perusahaan swasta tadi. Nama Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban pun dikait-kaitkan dengan nama Putra Kaban, Direktur Utama PT Graha Rani Putra Persada. Oleh sebagian orang, kesamaan nama belakang kedua tokoh ini dipandang bukan sebuah kebetulan. Benarkah ini simpul segala silang sengketa terkait dengan berbagai keganjilan perizinan?

Menelisik ke belakang, gelagat masuknya swasta untuk mengelola Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanparahu sudah tercium sejak pertengahan 2007, ketika Menhut M.S. Kaban mencabut izin pengusahaan pariwisata alam Perum Perhutani di kawasan tersebut. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan bernomor SK.206/Menhut-II/2007 bertanggal 22 Mei, Perum Perhutani dinyatakan gagal sebagai pengelola. Pengelolaan kawasan seluas 370 hektare tersebut lantas diserahkan kepada Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Dephut. Di tingkat provinsi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat menjadi perpanjangan tangan Ditjen ini.


Belum genap tiga bulan setelah pencabutan itu, Kaban kembali menandatangani surat yang lain bernomor S.508/Menhut-IV/2007 yang isinya memberikan izin prinsip pengusahaan pariwisata alam kepada PT GRPP di TWA Tangkubanparahu. Surat itu menjawab permohonan GRPP yang baru diajukan pada 22 juni 2007. Tidak tanggung-tanggung, izin diberikan untuk lahan seluas 250 hektare, yang terdiri atas 175 hektare blok pemanfaatan dan 75 hektare hutan lindung.

Izin prinsip ini berujung pada keluarnya Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dua tahun kemudian lewat SK.306/Menhut-II/2009, 29 Mei 2009. Izin ini persisnya diberikan pada lahan seluas 250,70 hektare, terdiri atas 171,40 hektare di Kab. Bandung Barat dan Kab. Subang, serta kawasan hutan lindung Cikole seluas 79,30 hektare di Kab. Bandung Barat.

Dua bulan setelah IPPA keluar, terjadi pergantian nakhoda di BBKSDA Jabar. Mantan Kepala BBKSDA Riau, Rachman Sidik menjadi Kepala BBKSDA Jabar yang baru. "Saya masuk ke sini sudah terima paket. IPPA sudah diberikan. Jadi, (saya) harus melaksanakannya," katanya.


Menurut Rachman, izin yang diberikan pada GRPP bukan proses kilat. Permohonan izin dilakukan GRPP langsung ke Dephut sejak 2005. Namun, jika menilik surat persetujuan izin prinsip yang ditandatangani Menhut M.S. Kaban bernomor S.508/Menhut-IV/2007, diketahui permohonan pengusahaan pariwisata alam di TWA Tangkubanparahu diajukan Dirutnya melalui surat bernomor 03/GRPP/VI/2007 tertanggal 22 Juni 2007, atau tidak lebih dari tiga bulan sebelum izin prinsip diberikan.


Secara prosedural, izin prinsip mestinya dikeluarkan atas rekomendasi Gubernur Jabar. Pasalnya, izin pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung untuk skala provinsi merupakan kewenangan provinsi. Mengingat Gunung Tangkubanparahu berada di dua kabupaten, Subang dan Bandung Barat, maka perizinannya berada dalam kewenangan Pemprov Jabar. Hal ini sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007.

**

GRPP melayangkan surat permohonan rekomendasi izin lokasi kepada Gubernur Jabar pada 19 Desember 2007, atau empat bulan setelah mengantongi izin prinsip dari Menhut. Surat yang ditembuskan ke Dinas Kehutanan (Dishut) Jabar itu lantas ditindaklanjuti dengan telaahan surat GRPP yang bermaksud melakukan pengusahaan pariwisata alam di TWA Gunung Tangkubanparahu, Februari 2008.


Dishut Jabar menilai pemberian izin oleh Dephut kepada GRPP menyalahi mekanisme perizinan, sebab izin prinsip keluar mendahului rekomendasi. Kajian Dishut Jabar juga menyebutkan, pemda belum mengetahui tingkat bonafiditas GRPP sebagai pemohon IPPA. "Kami menyarankan kepada gubernur agar tidak memberikan rekomendasi," kata Kadishut Anang Sudarna.

Wakil Gubernur Jabar Yusuf M. Effendi kemudian melayangkan surat ke Menhut. Sayangnya, surat tersebut baru dilayangkan September 2008. Sementara itu, menurut surat balasan Menhut sebulan kemudian, pada 3 Juni 2008 GRPP telah memaparkan proposalnya dihadapan Kadishut atas nama Gubernur dan Sekwilda Jabar dan dihadiri jajaran Pemda Jabar, Kepala BBKSDA Jabar, tokoh masyarakat setempat, dan Perum Perhutani Unit III Jabar. "Sampai saat ini tidak ada arahan, sanggahan, ataupun hasil rapat yang menjadi dasar penolakan, sehingga kami menindaklanjuti," demikian petikan surat jawaban Menhut tertanggal 14 Oktober 2008 yang ditandatangani sendiri oleh M.S. Kaban.

Anehnya, dalam surat itu juga baru terungkap bahwa tembusan surat Kadishut Jabar bernomor 522.82/201/PH tentang saran penundaan rekomendasi izin lokasi yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat tidak pernah diterima Menhut. Kalaupun ada, kajian dan saran Dishut tidak lagi berlaku sebab telah terjadi pertemuan pada 3 Juni itu yang mengisyaratkan persetujuan semua pihak.


Dalam surat jawabannya, Menhut juga menyatakan, perizinan GRPP tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Pemberian izin prinsip itu didasari pada semangat pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang diamanatkan kepada Dephut. Melalui surat itu pula, Menhut mendesak Pemprov Jabar segera memberi tanggapan positif atas niatan GRPP.


Pemprov Jabar memang tidak pernah memberikan rekomendasi yang diminta itu. Namun, toh IPPA keluar juga.

**

Lalu siapa GRPP? perusahaan itu berkantor di Jln. Kramat VI No. 45 Jakarta Pusat. "PR" beberapa kali menelefon ke kantor itu, namun menurut penerima telefon, tak ada siapa pun di kantor itu. Adapun di Bandung, menurut keterangan Rachman Sidik, GRPP belum punya kantor perwakilan.

Dari hasil penelusuran internet diketahui, nama Putra Kaban, juga ada di belakang sebuah kantor pengacara, Putra Kaban & Rekan. Alamatnya sama persis dengan GRPP. Sebuah surat elektronik telah dilayangkan melalui alamat yang tertera di sana. Hingga kini, belum ada jawaban.


Saat mendatangi lokasi projek perbaikan jalan di TWA Tangkubanparahu, Rabu (4/9) lalu, "PR" tak berhasil menemui pejabat GRPP. Putra Kaban tidak ada di sana. Menurut keterangan pekerja, Putra jarang datang ke lokasi. Yang lebih sering datang adalah penanggung jawab projek yang biasa dipanggil "Pak Ruslan". Namun Ruslan pun tak berhasil ditemui.


Kepada beberapa media di Jakarta, M.S. Kaban menyangkal dugaan adanya hubungan kekerabatan dengan Dirut PT GRPP. Dia beranggapan, isu kekerabatan ini sengaja dipolitisir segelintir orang. Dalam beberapa kesempatan Putra Kaban menolak berkomentar mengenai dugaan aroma nepotisme dalam kasus ini. Dia menegaskan, yang tengah berlangsung di Tangkubanparahu sudah sesuai prosedur.

PT GRPP berencana membuat paket wisata Tangkubanparahu yang dikaitkan dengan areal wisata di sekitarnya serta wisata belanja di Bandung. Di kawasan sekitar area parkir Jayagiri akan dilengkapi taman bermain, outbond, canopy trail, panggung budaya, kolam renang, restoran, dan cottage.

Rencana ini mendapat tentangan dari Aliansi Masyarakat Peduli Tangkuban Parahu (AMPTP). Menurut koordinatornya, Dadang Hermawan, perizinan yang tidak sesuai dengan prosedur ini menimbulkan preseden buruk. AMPTP melihat ada indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini.


Dadang berharap Pemprov Jabar dan Pemkab Bandung Barat bersikap tegas. Dia geram melihat GRPP maju terus, meski gelombang protes bermunculan. "Yang seharusnya marah adalah Pemprov Jabar dan Kab. Bandung Barat. Sudah ditolak tetapi (GRPP) kok masih bisa maksa," katanya.


Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kab. Bandung Barat Asep Sodikin belum memberikan teguran formal pada GRPP. "Kami kesulitan mau memberikan surat teguran. Ke mana surat itu harus ditujukan? Selama ini belum ada komunikasi apa pun," ujarnya.


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kasus ini bukan hanya perkara hilangnya 250 hektare kawasan hijau di Tangkubanparahu, tetapi tercederainya Kawasan Bandung Utara (KBU) secara keseluruhan. "Kalau kebijakan salah ini lolos, nantinya akan diteruskan dengan injak sana - injak sini. Kawasan lindung lain dengan mudah akan terjarah juga," ujarnya. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***

Read More..