Sunday, May 08, 2011

PENGAMAT: REGULASI TATA RUANG KBU SELALU DILANGGAR

bisnis-jabar.com/ Bisnis Indonesia/ oleh: Herdiyan, 8 Mei 2011
Foto: Longsor Parongpong, Kab. Bandung Barat/ Harry Surjana/ PR/ 24-11-2010

Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menuturkan: “KBU telah dijadikan kawasan lindung melalui peraturan baik pusat maupun provinsi. Namun, percuma saja bila peraturan itu dilanggar oleh pemerintah setempat,” ujarnya kepada bisnis-jabar.com hari ini.





BANDUNG (bisnis-jabar.com):
oleh: Herdiyan

S
ejumlah regulasi telah dibuat pemerintah terkait untuk menjaga lingkungan Kawasan Bandung Utara, tetapi terus dilanggar.

Sobirin
Supardiyono, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), menuturkan beberapa peraturan yang mengatur kawasan tersebut, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, antara lain Perda No.1/2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang di KBU dan Perda No.22/2010 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Jawa Barat.

“KBU telah dijadikan sebagai kawasan lindung melalui beberapa peraturan. Namun, percuma saja bila peraturan yang telah dibuat itu diabaikan dan dilanggar oleh pemerintah setempat,” ujarnya kepada bisnis-jabar.com hari ini.

Bila KBU terus disalahgunakan, dia khawatir akan terjadi bencana seperti halnya bencana banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
Data sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, jumlah korban yang meninggal sebanyak tujuh orang. Setidaknya lima orang masih dinyatakan hilang dan dalam proses pencarian, serta lima orang lainnya mengalami luka berat dan dirawat di Puskesmas DTP Pamengpeuk.

“Oleh karena itu, kesadaran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi peristiwa bencana itu,” tuturnya. Akibat penyalahgunaan lahan di KBU, tutur dia, sejumlah bencana tanah longsor pernah terjadi di kawasan itu beberapa waktu lalu, seperti di Parongpong (KBB), Lembang (KBB), dan Dago (Kota Bandung). (Yanto Rachmat Iskandar)

Read More..

CITARUM BAGAI PELANGI

KOMPAS.com, 26 April 2011, Sandro Gatra, Hertanto Soebijoto
Foto: Roderick Adrian Mozes/KOMPAS IMAGES, Limbah di S. Citarum/22-3-2011
Dadan Ramdan, aktivis WALHI Jawa Barat, Sobirin anggota Dewan Pemerhati Kelestarian dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T.Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, menilai ada pembiaran pelanggaran oleh penegak hukum di Majalaya.





BANDUNG, KOMPAS.com - Tepat di bawah tembok belakang pabrik di Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, limbah tekstil berwarna merah keluar dari pipa kecil yang menghubungkan ke bagian dalam pabrik. Limbah berbusa itu terus mengalir bersamaan deru mesin pabrik. Limbah dari perusahaan yang tak bertanggung jawab itu lalu mengalir ke Sungai Ciwalengke, anak Sungai Citarum, yang melintas di belakang pabrik.

Limbah lalu bercampur dengan air sungai yang telah tercemar mulai dari hulu di sekitar Situ Cisanti, Bandung Selatan.
Pemandangan itu tak seberapa "ngeri". Sekitar dua kilometer dari lokasi itu, tepatnya di seberang Kampung Pondang, Kompas.com melihat kondisi yang jauh lebih memprihatinkan.

Limbah berwarna hitam pekat dan berbau keluar dari pipa selebar satu meter.
Air berwarna hitam pekat lantaran telah tercampur berbagai warna sisa celupan tekstil pabrik serta limbah rumah tangga. "Limbah keluar kadang malam, kadang siang. Warna limbah macem-macem, ada merah, hijau, biru, kadang kuning," Kata Adang Suhendar, petugas pemantau muka air setempat.

Air yang telah tercemar bahan kimia itu dimanfaatkan oleh sebagian warga untuk mandi, cuci, kakus. Warga hanya menyaring dengan tumpukan ijuk dan kain bekas. Akibatnya, warga harus berhadapan dengan penyakit kulit.


Dadan Ramdan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Sobirin Supardiyono anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, menilai ada pembiaran pelanggaran oleh penegak hukum di Majalaya.


Dadan mengatakan, sekitar 500 pabrik berdiri di beberapa daerah di hulu Citarum. Mayoritas adalah pabrik tekstil. Dari seluruh pabrik yang berdiri, kata dia, hanya 20 persen yang mengolah limbah melalui Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Sisanya langsung dibuang ke anak-anak Sungai Citarum.

Sobirin menambahkan, selain memindahkan kawasan industri dari Majalaya, solusi lain mengatasi pencemaran yang telah terjadi sejak belasan tahun lalu itu yakni dengan membangun IPAL terpadu seperti di kawasan Cisirung. "IPAL bersama untuk menampung 80 industri. Diawasi pelaksanannya oleh berbagai pihak," ucap dia. Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/04/26/11435489/Citarum.Bagai.Pelangi

Read More..

Saturday, May 07, 2011

INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT

Media Indonesia dan Bataviase.co.id, http://bataviase.co.id/node/458057
Foto: Komposter Aerob, Sobirin 2010

Kini Sobirin punya tujuh komposter di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang komposter anaerob dan satu komposter aerob. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang anaerob sengaja dibeton, agar tidak longsor, namun didalamnya tetap tanah telanjang.






INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT

14 Nov 2010, Lingkungan - Media Indonesia

Mereduksi sampah rumah tangga tak membutuhkan waktu sepanjang durasi film di bioskop per hari. Hasilnya, kompos dan bahan kerajinan daur ulang.
Sica Harum

Rumah berhalaman luas di kawasan Cigadung, Bandung, Jawa Barat, itu tampak senyap-segar. Beberapa pohon besar memayungi tanah yang berumput itu. Sejumlah pot tanaman diletakkan berjejer, dekat ke beranda. Salah satunya memuat tomat cherry kuning.
Di belakang rumah, pot tanaman bertambah banyak. Mulai cabai sampai sosin. Pernah juga, ditanam padi di dalam pot. Hasilnya bagus.

"Semua ini ya pakai kompos sendiri. Komposisi dengan tanah, setengah-setengah," kata Sobirin Supardiyono, pemilik rumah.
Ia mengaku bukan pecinta tanaman. "Ada tanaman itu, ya sebetulnya karena memanfaatkan kompos saja," katanya.

Pria berusia 66 tahun itu mulai mengolah sampah rumah tangga sejak Bandung dilanda tsunami sampah pada 2005. "Waktu itu Bandung sampai disebut kota terkotor. Nah, saya pikir kenapa enggak coba mengolah sampah rumah tangga," ujarnya.

Rata-rata keluarga menghasilkan sampah rumah tangga mulai dari 0,5 -2 kilogram per hari. Sebanyak 65% sampah tersebut merupakansampah basah, mulai dari daun kering sampai sisa makanan.
Lantaran itu, Sobirin fokus mengolah sampah organik. "Karena enggak tau ilmunya, setahun pertama saya gagal," ujar mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung ini.

Kini Sobirin punya tujuh tempat pembuat kompos di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang pembuat kompos metode anaerob dan satu komposter metode aerob yang terbuat dari batu bata. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang itu sengaja dibeton, agar tidak longsor. Namun bagian dalam lubang tetap berdindingkan tanah telanjang.


Sobirin melangkah mendekati salah satu lubang lalu meminta asistennya - ia panggil Ndut - membuka tutup lubang yang terbuat dari beton tipis, berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 60 cm. Terlihat tumpukan sampah daun, hampir mendekati mulut lubang berkedalaman 1 meter itu. "Nah, ada cecunguknya (kecoa). Bagus, bagus," ujar Sobirin, lalu memerintahkan Ndut untuk mengambil cairan MOL (mikro-organisme lokal).


Resep manjur

MOL buatan Sobirin disimpan di dalam tong plastik berkapasitas 25 liter, juga diletakkan di halaman depan. Ia membuat MOL sendiri dari campuran 2 kilogram tapai singkong, 1 kilogram gula, dan 5 gelas air kelapa muda yang dilarutkan dalam 25 liter air. "Bisa juga tanpa air kelapa. Tapi lebih bagus menggunakan air kelapa, atau bisa diganti dengan air nira."


Cairan itu dibiarkan empat hari. Tutup tong plastik dilubangi kecil-kecil untuk jalur udara. Lalu di atasnya ditutupi lagi agar rapi. Ketika tong itu dibuka, tercium bau khas alkohol. Ndut tangkas mengambil penyendok besar, menciduk MOL dan menumpahkan ke dalam lubang perlahan. "MOL ini berfungsi menguraikan bahan kompos. Tinggal dicampur saja saat kita mengaduk bahan kompos tiga hari sekali. Hasil-nya, satu bulan saja kompos sudah bisa dipanen. Tanpa MOL, sampah organik tetap bisa jadi kompos, tapi lama," jelas pria yang kini aktif di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ini.

Sobirin mendapat ilmu MOL dari seorang petani di Tasikmalaya, Jawa Barat. Menurutnya, MOL bisa juga dibuat dari sampah sisa makanan. "Campurannya ya jijiklah. Sekarang saya pakai peyeum (tapai singkong) saja. Saya juga ada urine kelinci, tapi ya baunya menyengat sekali," ujarnya sembari mendekat ke komposter aerob.


Komposter aerob milik Sobirin dibangun dari batu bata yang disemen. Sengaja, celah udara dibuat di dinding komposter setinggi satu meter. Pada bagian bawah, dibuat semacam gua untuk memanen kompos. Di atas, Sobirin menggunakan asbes sebagai penutup.
Saat asbes disingkap Ndut, tak tercium bau busuk, sama halnya dengan komposter anaerob.

Sobirin meminta Ndut menambahkan bahan kompos. "Kalau yang aerob seperti ini, bahan kompos harus dicacah lebih dulu. Makanya saya sebetulnya enggak terlalu suka dengan metode ini (aerob). Kalau yang itu kan langsung dimasukkan saja," kata Sobirin yang asli Magelang, Jawa Tengah, ini seraya menengok ke komposter anaerob.
Tak lama mencacah, Ndut lantas memasukkan irisan daun-daun kering berwarna cokelat, juga daun hijau. Perbandingannya, kira-kira 1:1.

Daun yang telah cokelat memiliki unsur karbon dan daun hijau mengandung banyak nitrogen, bagus untuk kompos. Dia juga menambahkan MOL, lalu mengaduk bahan kompos yang baru agar bercampur sempurna dengan tumpukan lama. Seekor cacing terlihat di lapisan bawah, menggeliat. Ndut mengambil saringan, mengayak kompos agar tersisa yang halus saja untuk media tanam.


Zero waste

Berhasil dengan kompos, Sobirin seperti keranjingan menihilkan buangan limbah rumah tangga. Sampah plastik ia cuci bersih sebelum diserahkan kepada pemulung. Adapun sampah kertas, dihancurkan menjadi bubur dan disimpan di dalam tong plastik. Kelak, bisa dicampur dengan lem putih dan dikeringkan menjadi bahan dasar kerajinan tangan. Sifatnya seperti “clay” (tanah lempung).

Ia bilang, cuma butuh 30 menit sehari untuk memilah sampah. Hasilnya, sampah yang benar-benar menjadi urusan dinas kebersihan kota hanyalah sampah elektronika, misalnya batu baterai bekas. "Waktu yang dibutuhkan enggak lama, milih sampah juga enggak susah. Tapi yang penting, ada satu anggota keluarga yang diserahi tanggung jawab," saran Sobirin.

Bukan cuma sampah yang digarap Sobirin. Begitu juga dengan air hujan. Di halaman belakang rumah Sobirin, toren (water storage) berkapasitas 1.000 liter (1 m3) siap memanen air hujan dari talang, diletakkan tak jauh dari kandang kelinci dan dua lubang komposter anaerob. "Sebetulnya sederhana saja kan, enggak ada yang aneh," kata ahli geologi lingkungan ini.


Pengalaman mengelola sampah sendiri dituliskan Sobirin di blognya, www.clearwaste.blogspot.com yang kini jarang diperbarui lagi. "Sekarang lebih aktif di facebook," ujar kakek lima cucu, yang juga menulis di www.sobirin-xyz.blosgpot.com. Berkat internet, semakin banyak orang yang terinspirasi. (M-l)miweekend® mediaindonesia.com

Read More..