BIGS, Bandung Institute of Governance Studies Bujet,
Edisi 06/III/Agustus-September 2005
Foto: Sobirin, 2005, Taman Cilaki, Bandung
Bahkan, menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS lainnya, Ir. Soepardiyono Sobirin, angka itu bisa lebih besar, mencapai lima puluh persen.
Idealnya, sepuluh persen dari keseluruhan luas kota harus merupakan hutan kota. Inipun diatur dalam Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan. Di Kota Bandung sendiri, lahan terbuka dan lahan hijaunya tinggal 1,5 persen dari luas kota yang mencapai lebih dari 16 ribu hektar.
Menurut Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Ir. Mubyar Purwasasmita, sebaiknya saat ini bukan menitikberatkan upaya penghijauan dengan pembuatan taman-taman kota. “Sangat esensial bagaimana membuat hutan kota di Bandung. Alasannya banyak, diantaranya cekungan Bandung adalah hulu dari Sungai Citarum. Bandung itu cekungan dan perlu sirkulasi udara yang lebih bagus. Hutan kota ini pepohonannya harus pohon keras. Jadi bukan bunga-bungaan saja, misalnya Ki Hujan yang banyak terdapat di Taman Pramuka,” kata Mubyar di sela-sela acara peringatan hari jadi ke-4 DPKLTS, Sabtu (10/09). Mubyar mengatakan, angka sepuluh persen ini masih dimungkinkan untuk dipenuhi karena kita punya sempadan jalan, sempadan sungai, dan lahan terbuka lainnya.
Bahkan, menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS lainnya, Ir. Soepardiyono Sobirin, angka itu bisa lebih besar, mencapai lima puluh persen. “Lahan yang bisa dihijaukan di Kota Bandung ini sekitar 50 persennya. Di mana saja itu? Diantaranya di kuburan, jalur hijau, pekarangan-pekarangan rumah, dan pinggir rel kereta api,” ujar Sobirin. “Pekarangan-pekarangan rumah itu paling banyak. Satu pohon kan untuk dua orang. Penduduk Kota Bandung hampir 3 juta, jadi 1,5 juta pohon. Yang ada sekarang kan baru 600 ribu pohon,” lanjutnya. Untuk memulihkan kembali hutan kota di Bandung, ada sejenis pohon yang bisa menjadi pertolongan pertama, yaitu kersen. Sobirin menjelaskan, kersen punya sejumlah kelebihan, seperti bisa hidup di daerah comberan, mampu mengurangi bau comberan, dan tumbuh besar dalam satu tahun. “Baru setelah itu pilih pohon yang tepat di tempat yang tepat, the right tree on the right place,” tukasnya.
Soal hutan kota, Bandung sangat berbeda dengan Singapura yang memproklamirkan diri menjadi jungle town. Di Singapura tidak ada istilah kawasan lindung karena seluruh kawasannya justru menjadi kawasan lindung. “Seluruhnya hutan, pemukiman itu enclave. Kalau di sini hutannya yang enclave,” kata Sobirin. Sobirin tidak menentang rencana-rencana pemerintah setempat membangun monorel dan jalan-jalan tol dalam kota di tahun-tahun mendatang. Menurut Sobirin, kota merupakan kawasan budidaya, namun tetap harus ada kawasan lindungnya. Luas jalan di Kota Bandung sampai saat ini baru 3 persen dari keseluruhan luas kota, jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Tokyo atau San Francisco. Luas jalan di kedua kota tersebut sudah mencapai rata-rata 25 persen dari luas kota. Namun dia mengingatkan, dari seluruh luas jalan yang ada di Kota Bandung, sebenarnya hanya sebagian kecil yang efektif digunakan sesuai peruntukannya.
“Laju pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung ini boleh dikatakannya lebih dari 20 persen per tahun. Tapi jalan nggak pernah ada. Sekarang caranya nambah bagaimana? Ya, monorel, tapi harus ramah lingkungan. Kita juga harus melihat kenyataan, dari seluruh jalan yang ada di Kota Bandung, hanya efisien 30 persen, sisanya yang 70 persen itu dipakai jongko PKL, parkir, ngetem. Jadi pantas saja macet,” jelasnya.
Factory-factory outlet di kawasan Dago dituding sebagai biang macet karena tidak punya kantong-kantong parkir. Sobirin menyarankan, sambil berupaya menghemat energi, selain dilakukan pembuatan kantong-kantong parkir besar, Jalan Cihampelas dan Dago, di hari-hari Sabtu atau Minggu, benar-benar dikosongkan dari kendaraan bermotor.
Penghijauan Swadaya Masyarakat
Soal GNRHL dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang dinilai gagal mewujudkan penghijauan, Mubyar Purwasasmita menyarankan agar dana-dana penghijauan kini untuk mengembangkan persemaian-persemaian rakyat. “Kami sudah mulai mengidentifikasi swadaya masyarakat yang paling berhasil, paling baik. Contohnya itu di Cibugel, di sebelah timur Kareumbi, Kabupaten Sumedang. Masyarakatnya menanam kembali kayu dengan mengumpulkan dana untuk membuat persemaian sendiri, bibit sendiri yang bagus. Jadi kalau mereka dikasih bibit dari luar, malah ditolak karena bibit mereka lebih bagus,” kata Mubyar. Rakyat sebenarnya tahu tanaman yang mesti ditanam, mutunya, dan sebagainya, tinggal dibantu jika kesulitan mendapatkan benih. Pemberdayaan masyarakat seperti ini, menurut Mubyar, jauh lebih menarik daripada gerakan penghijauan yang menyamaratakan jenis pohon yang ditanam. “Cibugel itu menggunakan kayu suren. Mereka merasa kayu surennya lebih bagus dari albasia. Bisa ditanam tanpa mengganggu tanaman di sampingnya karena karnya ke bawah. Lalu hamanya sedikit dan teksturnya bagus. Masyarakat berpikir tidak akan menjual kayunya, lebih baik mereka menjual produk dari kayu itu,” terang salah seorang pengajar di ITB ini.
Dalam pengamatan pakar, GNRHL dan GRLK gagal karena dilakukan bukan sebagai hajat rakyat, melainkan sebagai hajat pemerintah. Seharusnya rakyatlah yang diberi dana untuk penghijauan. Kenyataannya, dana penghijauan disalurkan lewat pemborong yang membeli bibit tanaman dari rakyat dengan harga sangat murah. Misalnya bibit dari rakyat yang seharusnya seharga 5 ribu rupiah, hanya dibeli seharga 300 perak.
Tanaman yang dipilih pun tidak cocok dengan tanah setempat dan keinginan rakyat. Penyebab kegagalan lain adalah salah musim tanam. Akibatnya, dari keseluruhan bibit pohon yang ditanam, hanya 30 persennya yang berhasil tumbuh. Sisanya rusak.
Perbedaan Data
Soal data lahan kritis pun, Mubyar dan Sobirin tidak setuju dengan data dari pemerintah. Data itu berbeda dengan yang mereka peroleh dari citra satelit tahun 2004. Menurut Sobirin, luas wilayah hutan di Jawa Barat ada sekitar 800 ribu hektar, namun wilayah yang masih baik tinggal 300 ribu hektar, sisanya rusak. Sedangkan data dari Gedung Sate menunjukkan lahan kritis itu mencapai 60 ribu hektar. Soal luas wilayah hutan ini pun ada masalah lain. Selama ini kita hanya membiacarakan luas wilayah hutan, tanpa memastikan seberapa banyak dari keseluruhan wilayah itu yang masih tertanami pohon. “Hutan 800 ribu hektar kalau pohonnya nggak ada percuma. Hutan yang ada sekarang menurut citra satelit tinggal 300 ribu hektar. Yang 500 ribu hektar sudah kritis, seperti di Garut dan Sukabumi,” kata Sobirin.
Perbedaan data juga menimbulkan masalah pada pembagian wilayah hutan produksi dan hutan lindung. Dari luas wilayah Jawa Barat yang 3,7 juta hektar, 45 persennya atau 1,7 juta hektar seharusnya menjadi kawasan lindung. Dari 45 persen itu, 22 persen diantaranya dikuasai negara, dalam hal ini BKSDA dan Perhutani. “Di situ ada permasalahan karena persepsi Perhutani itu hutan produksinya. Menurut kami masih ada kekurangan hutan produksi yang seharusnya dijadikan hutan lindung. Tapi sekarang Perhutani sudah mengkonversi itu. Ya, seperti di Bandung Utara, hutan produksi semuanya saja dihutan-lindungkan. Tapi kira-kira itu angkanya 6 persenan yang harus dikonversi lagi ke hutan lindung,” kata Mubyar.
Empat Tahun DPKLTS
Dalam peringatan hari jadinya ke-4, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menggelar acara Tepung Lawung Mapag Jaman, yang mengambil tema “Menuju Kemandirian Pengelolaan Sumber daya Alam Tatar Sunda melalui Penggalangan Dana Publik”. Peringatan hari jadi digelar di Sekretariat DPKLTS, Jl. R.E. Martadinata No. 189 A, Bandung, Sabtu (10/09). Lewat acara tersebut, DPKLTS meluncurkan Posko Jabar Peduli Bencana Alam. Posko ini akan mengumpulkan bantuan yang akan disalurkan kepada para korban bencana alam yang banyak diakibatkan oleh kerusakan alam. Secara spontan dalam launching posko, Ketua Dewan Penasihat DPKLTS, Solihin G.P. atau akrab dipanggil Mang Ihin, menggalang dana dari para undangan. Dalam waktu kurang lebih seperempat jam, terkumpul sumbangan Rp 48.150.000,00 berupa uang tunai, 7,3 ton beras, dan 1 ton pupuk organik. Di antara para penyumbang adalah Ketua DPKLTS, Iyan S. Koesoemadinata, Wakil Bupati Bandung, Eliyadi Agraraharja, mantan Kadisbudpar Jawa Barat, Memed Hamdan, dan Mang Ihin sendiri. Mang Ihin juga melelang sebuah lukisan karya Tisna Sanjaya tentang Punclut yang akhirnya jatuh ke tangan T. Boestomi, mantan hakim agung, senilai Rp 10 juta. Hasil lelang disumbangkan kepada para korban bencana alam, seperti warga korban longsor di Mandalawangi, Kabupaten Garut. DPKLTS merupakan lembaga kedewanan yang memiliki landasan kerja “No Forest, No Water, No Future”, dibentuk melalui deklarasi “Tuntutan Manglayang” pada 10 September 2001. Pembentukan DPKLTS kala itu dilakukan di Padepokan Tadjimalela di kaki Gunung Manglayang oleh sejumlah tokoh masyarakat, perwakilan LSM, akademisi, masyarakat adat, seniman, budayawan, organisasi mahasiswa, dan masyarakat umum yang peduli terhadap kelestarian hutan dan lingkungan di Jawa Barat.
Selama empat tahun ini, DPKLTS telah melakukan sejumlah kegiatan advokasi dan aktivitas pengawasan kerusakan lingkungan lainnya, diantaranya menolak penyodetan Citanduy, penolakan pembangunan jalan Dago-Lembang, menjadi fasilitator gugatan class action korban longsor Gunung Mandalawangi dan TPA Leuwigajah, menolak pembangunan Waduk Jatigede, serta melakukan legal standing Punclut terhadap Walikota Bandung. - ully
Bahkan, menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS lainnya, Ir. Soepardiyono Sobirin, angka itu bisa lebih besar, mencapai lima puluh persen.
Idealnya, sepuluh persen dari keseluruhan luas kota harus merupakan hutan kota. Inipun diatur dalam Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan. Di Kota Bandung sendiri, lahan terbuka dan lahan hijaunya tinggal 1,5 persen dari luas kota yang mencapai lebih dari 16 ribu hektar.
Menurut Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Ir. Mubyar Purwasasmita, sebaiknya saat ini bukan menitikberatkan upaya penghijauan dengan pembuatan taman-taman kota. “Sangat esensial bagaimana membuat hutan kota di Bandung. Alasannya banyak, diantaranya cekungan Bandung adalah hulu dari Sungai Citarum. Bandung itu cekungan dan perlu sirkulasi udara yang lebih bagus. Hutan kota ini pepohonannya harus pohon keras. Jadi bukan bunga-bungaan saja, misalnya Ki Hujan yang banyak terdapat di Taman Pramuka,” kata Mubyar di sela-sela acara peringatan hari jadi ke-4 DPKLTS, Sabtu (10/09). Mubyar mengatakan, angka sepuluh persen ini masih dimungkinkan untuk dipenuhi karena kita punya sempadan jalan, sempadan sungai, dan lahan terbuka lainnya.
Bahkan, menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS lainnya, Ir. Soepardiyono Sobirin, angka itu bisa lebih besar, mencapai lima puluh persen. “Lahan yang bisa dihijaukan di Kota Bandung ini sekitar 50 persennya. Di mana saja itu? Diantaranya di kuburan, jalur hijau, pekarangan-pekarangan rumah, dan pinggir rel kereta api,” ujar Sobirin. “Pekarangan-pekarangan rumah itu paling banyak. Satu pohon kan untuk dua orang. Penduduk Kota Bandung hampir 3 juta, jadi 1,5 juta pohon. Yang ada sekarang kan baru 600 ribu pohon,” lanjutnya. Untuk memulihkan kembali hutan kota di Bandung, ada sejenis pohon yang bisa menjadi pertolongan pertama, yaitu kersen. Sobirin menjelaskan, kersen punya sejumlah kelebihan, seperti bisa hidup di daerah comberan, mampu mengurangi bau comberan, dan tumbuh besar dalam satu tahun. “Baru setelah itu pilih pohon yang tepat di tempat yang tepat, the right tree on the right place,” tukasnya.
Soal hutan kota, Bandung sangat berbeda dengan Singapura yang memproklamirkan diri menjadi jungle town. Di Singapura tidak ada istilah kawasan lindung karena seluruh kawasannya justru menjadi kawasan lindung. “Seluruhnya hutan, pemukiman itu enclave. Kalau di sini hutannya yang enclave,” kata Sobirin. Sobirin tidak menentang rencana-rencana pemerintah setempat membangun monorel dan jalan-jalan tol dalam kota di tahun-tahun mendatang. Menurut Sobirin, kota merupakan kawasan budidaya, namun tetap harus ada kawasan lindungnya. Luas jalan di Kota Bandung sampai saat ini baru 3 persen dari keseluruhan luas kota, jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Tokyo atau San Francisco. Luas jalan di kedua kota tersebut sudah mencapai rata-rata 25 persen dari luas kota. Namun dia mengingatkan, dari seluruh luas jalan yang ada di Kota Bandung, sebenarnya hanya sebagian kecil yang efektif digunakan sesuai peruntukannya.
“Laju pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung ini boleh dikatakannya lebih dari 20 persen per tahun. Tapi jalan nggak pernah ada. Sekarang caranya nambah bagaimana? Ya, monorel, tapi harus ramah lingkungan. Kita juga harus melihat kenyataan, dari seluruh jalan yang ada di Kota Bandung, hanya efisien 30 persen, sisanya yang 70 persen itu dipakai jongko PKL, parkir, ngetem. Jadi pantas saja macet,” jelasnya.
Factory-factory outlet di kawasan Dago dituding sebagai biang macet karena tidak punya kantong-kantong parkir. Sobirin menyarankan, sambil berupaya menghemat energi, selain dilakukan pembuatan kantong-kantong parkir besar, Jalan Cihampelas dan Dago, di hari-hari Sabtu atau Minggu, benar-benar dikosongkan dari kendaraan bermotor.
Penghijauan Swadaya Masyarakat
Soal GNRHL dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang dinilai gagal mewujudkan penghijauan, Mubyar Purwasasmita menyarankan agar dana-dana penghijauan kini untuk mengembangkan persemaian-persemaian rakyat. “Kami sudah mulai mengidentifikasi swadaya masyarakat yang paling berhasil, paling baik. Contohnya itu di Cibugel, di sebelah timur Kareumbi, Kabupaten Sumedang. Masyarakatnya menanam kembali kayu dengan mengumpulkan dana untuk membuat persemaian sendiri, bibit sendiri yang bagus. Jadi kalau mereka dikasih bibit dari luar, malah ditolak karena bibit mereka lebih bagus,” kata Mubyar. Rakyat sebenarnya tahu tanaman yang mesti ditanam, mutunya, dan sebagainya, tinggal dibantu jika kesulitan mendapatkan benih. Pemberdayaan masyarakat seperti ini, menurut Mubyar, jauh lebih menarik daripada gerakan penghijauan yang menyamaratakan jenis pohon yang ditanam. “Cibugel itu menggunakan kayu suren. Mereka merasa kayu surennya lebih bagus dari albasia. Bisa ditanam tanpa mengganggu tanaman di sampingnya karena karnya ke bawah. Lalu hamanya sedikit dan teksturnya bagus. Masyarakat berpikir tidak akan menjual kayunya, lebih baik mereka menjual produk dari kayu itu,” terang salah seorang pengajar di ITB ini.
Dalam pengamatan pakar, GNRHL dan GRLK gagal karena dilakukan bukan sebagai hajat rakyat, melainkan sebagai hajat pemerintah. Seharusnya rakyatlah yang diberi dana untuk penghijauan. Kenyataannya, dana penghijauan disalurkan lewat pemborong yang membeli bibit tanaman dari rakyat dengan harga sangat murah. Misalnya bibit dari rakyat yang seharusnya seharga 5 ribu rupiah, hanya dibeli seharga 300 perak.
Tanaman yang dipilih pun tidak cocok dengan tanah setempat dan keinginan rakyat. Penyebab kegagalan lain adalah salah musim tanam. Akibatnya, dari keseluruhan bibit pohon yang ditanam, hanya 30 persennya yang berhasil tumbuh. Sisanya rusak.
Perbedaan Data
Soal data lahan kritis pun, Mubyar dan Sobirin tidak setuju dengan data dari pemerintah. Data itu berbeda dengan yang mereka peroleh dari citra satelit tahun 2004. Menurut Sobirin, luas wilayah hutan di Jawa Barat ada sekitar 800 ribu hektar, namun wilayah yang masih baik tinggal 300 ribu hektar, sisanya rusak. Sedangkan data dari Gedung Sate menunjukkan lahan kritis itu mencapai 60 ribu hektar. Soal luas wilayah hutan ini pun ada masalah lain. Selama ini kita hanya membiacarakan luas wilayah hutan, tanpa memastikan seberapa banyak dari keseluruhan wilayah itu yang masih tertanami pohon. “Hutan 800 ribu hektar kalau pohonnya nggak ada percuma. Hutan yang ada sekarang menurut citra satelit tinggal 300 ribu hektar. Yang 500 ribu hektar sudah kritis, seperti di Garut dan Sukabumi,” kata Sobirin.
Perbedaan data juga menimbulkan masalah pada pembagian wilayah hutan produksi dan hutan lindung. Dari luas wilayah Jawa Barat yang 3,7 juta hektar, 45 persennya atau 1,7 juta hektar seharusnya menjadi kawasan lindung. Dari 45 persen itu, 22 persen diantaranya dikuasai negara, dalam hal ini BKSDA dan Perhutani. “Di situ ada permasalahan karena persepsi Perhutani itu hutan produksinya. Menurut kami masih ada kekurangan hutan produksi yang seharusnya dijadikan hutan lindung. Tapi sekarang Perhutani sudah mengkonversi itu. Ya, seperti di Bandung Utara, hutan produksi semuanya saja dihutan-lindungkan. Tapi kira-kira itu angkanya 6 persenan yang harus dikonversi lagi ke hutan lindung,” kata Mubyar.
Empat Tahun DPKLTS
Dalam peringatan hari jadinya ke-4, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menggelar acara Tepung Lawung Mapag Jaman, yang mengambil tema “Menuju Kemandirian Pengelolaan Sumber daya Alam Tatar Sunda melalui Penggalangan Dana Publik”. Peringatan hari jadi digelar di Sekretariat DPKLTS, Jl. R.E. Martadinata No. 189 A, Bandung, Sabtu (10/09). Lewat acara tersebut, DPKLTS meluncurkan Posko Jabar Peduli Bencana Alam. Posko ini akan mengumpulkan bantuan yang akan disalurkan kepada para korban bencana alam yang banyak diakibatkan oleh kerusakan alam. Secara spontan dalam launching posko, Ketua Dewan Penasihat DPKLTS, Solihin G.P. atau akrab dipanggil Mang Ihin, menggalang dana dari para undangan. Dalam waktu kurang lebih seperempat jam, terkumpul sumbangan Rp 48.150.000,00 berupa uang tunai, 7,3 ton beras, dan 1 ton pupuk organik. Di antara para penyumbang adalah Ketua DPKLTS, Iyan S. Koesoemadinata, Wakil Bupati Bandung, Eliyadi Agraraharja, mantan Kadisbudpar Jawa Barat, Memed Hamdan, dan Mang Ihin sendiri. Mang Ihin juga melelang sebuah lukisan karya Tisna Sanjaya tentang Punclut yang akhirnya jatuh ke tangan T. Boestomi, mantan hakim agung, senilai Rp 10 juta. Hasil lelang disumbangkan kepada para korban bencana alam, seperti warga korban longsor di Mandalawangi, Kabupaten Garut. DPKLTS merupakan lembaga kedewanan yang memiliki landasan kerja “No Forest, No Water, No Future”, dibentuk melalui deklarasi “Tuntutan Manglayang” pada 10 September 2001. Pembentukan DPKLTS kala itu dilakukan di Padepokan Tadjimalela di kaki Gunung Manglayang oleh sejumlah tokoh masyarakat, perwakilan LSM, akademisi, masyarakat adat, seniman, budayawan, organisasi mahasiswa, dan masyarakat umum yang peduli terhadap kelestarian hutan dan lingkungan di Jawa Barat.
Selama empat tahun ini, DPKLTS telah melakukan sejumlah kegiatan advokasi dan aktivitas pengawasan kerusakan lingkungan lainnya, diantaranya menolak penyodetan Citanduy, penolakan pembangunan jalan Dago-Lembang, menjadi fasilitator gugatan class action korban longsor Gunung Mandalawangi dan TPA Leuwigajah, menolak pembangunan Waduk Jatigede, serta melakukan legal standing Punclut terhadap Walikota Bandung. - ully
No comments:
Post a Comment