Foto: WPL-BPLHD Jawa Barat, 2002
TAJUK RENCANA
Salah seorang anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin mengemukakan apa yang telah dilakukan oleh bangsa Singapura
-- Tanpa kesadaran untuk terikat oleh etika, umat manusia tidak mungkin menyelenggarakan kehidupannya dengan tertib dan etis. Dan, kita layak merasa khawatir, jangan-jangan justru hal itulah yang kini dialami oleh bangsa ini.
KITA percaya, para ahli pendidikan telah menyusun kurikulum dengan memperhatikan banyak pertimbangan. Tapi kita juga tidak perlu menutup mata bahwa sistem pendidikan kita belum memberikan hasil yang optimal.
Di Jawa Barat, khususnya di kota Bandung, kesadaran akan kondisi pendidikan seperti itu sudah mulai mengerucut. Berdasarkan berbagai masukan dari banyak pihak, khususnya dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Wali Kota Bandung telah setuju untuk memasukkan pendidikan lingkungan sebagai muatan kurikulum di sekolah. Sempat dikemukakan, pendidikan lingkungan akan mulai dimasukkan dalam kurikulum SD tahun ini.
Apa yang disampaikan oleh Wali Kota Bandung tersebut memang layak kalau disambut penuh harap. Soalnya, siapa pun sudah mengetahui betapa parahnya kerusakan hutan (dan lingkungan) di Jawa Barat sekarang. Para ahli bahkan merasa cemas bencana alam yang lebih besar akan menimpa pada tahun-tahun yang akan datang. Maka pendidikan masalah lingkungan sudah merupakan tuntutan yang sangat mendesak.
Sayangnya, ucapan wali kota tersebut sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda akan direalisasikan. Pihak DPKLTS merasa kecewa. Salah seorang anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin mengemukakan apa yang telah dilakukan oleh bangsa Singapura. Kurikulum sejenis yang diselenggarakan di sekolah-sekolah di sana kini telah memberikan hasil yang sangat positif. Negeri Singa itu terkenal bersih, tertib, dan lingkungannya tertata dengan baik.
Pada tahun 1982, para penyelenggara negara di Singapura sampai merasa perlu untuk mempertimbangkan kemungkinan diajarkannya mata pelajaran etika konfusian di sekolah-sekolah dasar mereka, sebagai bagian dari pendidikan moral. Mereka sepakat, pendidikan moral harus diprioritaskan dan sangat diperlukan karena industrialisasi dan modernisasi telah menyebabkan terjadinya erosi nilai-nilai budaya dan etika.
Argumentasi seperti itu sebenarnya telah sangat sering dikemukakan dalam wacana kita. Erosi sejenis bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Singapura. Apalagi bagi bangsa kita yang budayanya sangat beragam.
Yang jelas berbeda adalah cara mencari jalan keluarnya. Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah Singapura sengaja mendatangkan delapan pakar di bidang konfusianisme, yang sebagian besar adalah guru besar di universitas terkemuka di negara lain. Dalam waktu yang sudah diperhitungkan dengan matang, para pakar itu mendatangi sekolah-sekolah, mengadakan pertemuan dan, yang lebih penting, mereka banyak mendengar khususnya dari pihak yang tidak setuju terhadap rencana tersebut.
Karena persiapannya diselenggarakan dengan tertib, manakala benar-benar dilaksanakan di sekolah, mata pelajaran tersebut hampir tidak menimbulkan gejolak. Padahal sebelumnya pun pendidikan berbagai agama telah tercantum dalam kurikulum.
Pelajaran dari kasus kurikulum di Singapura tersebut sebenarnya hanya persoalan sederhana dan universal: kesadaran akan pentingnya etika sebagai mata pelajaran. Dan itu harus diselenggarakan mulai di sekolah tingkat dasar.
Tanpa kesadaran untuk terikat oleh etika, umat manusia tidak mungkin menyelenggarakan kehidupannya dengan tertib dan etis. Dan, kita layak merasa khawatir, jangan-jangan justru hal itulah yang kini dialami oleh bangsa ini. Lihatlah bagaimana praktik-praktik kehidupan yang tidak etis justru dipertontonkan tanpa beban. Pejabat yang terdidik dengan baik sekalipun, termasuk yang dibesarkan di lingkungan akademis, dengan senang hati menerima pemberian yang tidak jelas alasannya. Dikembalikannya uang dan jumlah yang banyak oleh beberapa pimpinan KPU yang bermasalah menunjukkan bahwa mereka selama ini bekerja (mungkin) tanpa etika.
Janji Wali Kota Bandung untuk memasukkan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum sebaiknya direalisasikan dengan persiapan yang matang. Jangan malu, tirulah Singapura. Siapa tahu sekolah-sekolah di kota Bandung nanti akan terkenal sebagai lembaga pendidikan yang mewariskan nilai-nilai etika. Akan banyak yang memujinya, pasti.***
TAJUK RENCANA
Salah seorang anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin mengemukakan apa yang telah dilakukan oleh bangsa Singapura
-- Tanpa kesadaran untuk terikat oleh etika, umat manusia tidak mungkin menyelenggarakan kehidupannya dengan tertib dan etis. Dan, kita layak merasa khawatir, jangan-jangan justru hal itulah yang kini dialami oleh bangsa ini.
KITA percaya, para ahli pendidikan telah menyusun kurikulum dengan memperhatikan banyak pertimbangan. Tapi kita juga tidak perlu menutup mata bahwa sistem pendidikan kita belum memberikan hasil yang optimal.
Di Jawa Barat, khususnya di kota Bandung, kesadaran akan kondisi pendidikan seperti itu sudah mulai mengerucut. Berdasarkan berbagai masukan dari banyak pihak, khususnya dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Wali Kota Bandung telah setuju untuk memasukkan pendidikan lingkungan sebagai muatan kurikulum di sekolah. Sempat dikemukakan, pendidikan lingkungan akan mulai dimasukkan dalam kurikulum SD tahun ini.
Apa yang disampaikan oleh Wali Kota Bandung tersebut memang layak kalau disambut penuh harap. Soalnya, siapa pun sudah mengetahui betapa parahnya kerusakan hutan (dan lingkungan) di Jawa Barat sekarang. Para ahli bahkan merasa cemas bencana alam yang lebih besar akan menimpa pada tahun-tahun yang akan datang. Maka pendidikan masalah lingkungan sudah merupakan tuntutan yang sangat mendesak.
Sayangnya, ucapan wali kota tersebut sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda akan direalisasikan. Pihak DPKLTS merasa kecewa. Salah seorang anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin mengemukakan apa yang telah dilakukan oleh bangsa Singapura. Kurikulum sejenis yang diselenggarakan di sekolah-sekolah di sana kini telah memberikan hasil yang sangat positif. Negeri Singa itu terkenal bersih, tertib, dan lingkungannya tertata dengan baik.
Pada tahun 1982, para penyelenggara negara di Singapura sampai merasa perlu untuk mempertimbangkan kemungkinan diajarkannya mata pelajaran etika konfusian di sekolah-sekolah dasar mereka, sebagai bagian dari pendidikan moral. Mereka sepakat, pendidikan moral harus diprioritaskan dan sangat diperlukan karena industrialisasi dan modernisasi telah menyebabkan terjadinya erosi nilai-nilai budaya dan etika.
Argumentasi seperti itu sebenarnya telah sangat sering dikemukakan dalam wacana kita. Erosi sejenis bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Singapura. Apalagi bagi bangsa kita yang budayanya sangat beragam.
Yang jelas berbeda adalah cara mencari jalan keluarnya. Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah Singapura sengaja mendatangkan delapan pakar di bidang konfusianisme, yang sebagian besar adalah guru besar di universitas terkemuka di negara lain. Dalam waktu yang sudah diperhitungkan dengan matang, para pakar itu mendatangi sekolah-sekolah, mengadakan pertemuan dan, yang lebih penting, mereka banyak mendengar khususnya dari pihak yang tidak setuju terhadap rencana tersebut.
Karena persiapannya diselenggarakan dengan tertib, manakala benar-benar dilaksanakan di sekolah, mata pelajaran tersebut hampir tidak menimbulkan gejolak. Padahal sebelumnya pun pendidikan berbagai agama telah tercantum dalam kurikulum.
Pelajaran dari kasus kurikulum di Singapura tersebut sebenarnya hanya persoalan sederhana dan universal: kesadaran akan pentingnya etika sebagai mata pelajaran. Dan itu harus diselenggarakan mulai di sekolah tingkat dasar.
Tanpa kesadaran untuk terikat oleh etika, umat manusia tidak mungkin menyelenggarakan kehidupannya dengan tertib dan etis. Dan, kita layak merasa khawatir, jangan-jangan justru hal itulah yang kini dialami oleh bangsa ini. Lihatlah bagaimana praktik-praktik kehidupan yang tidak etis justru dipertontonkan tanpa beban. Pejabat yang terdidik dengan baik sekalipun, termasuk yang dibesarkan di lingkungan akademis, dengan senang hati menerima pemberian yang tidak jelas alasannya. Dikembalikannya uang dan jumlah yang banyak oleh beberapa pimpinan KPU yang bermasalah menunjukkan bahwa mereka selama ini bekerja (mungkin) tanpa etika.
Janji Wali Kota Bandung untuk memasukkan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum sebaiknya direalisasikan dengan persiapan yang matang. Jangan malu, tirulah Singapura. Siapa tahu sekolah-sekolah di kota Bandung nanti akan terkenal sebagai lembaga pendidikan yang mewariskan nilai-nilai etika. Akan banyak yang memujinya, pasti.***
No comments:
Post a Comment