Koran Tempo, Jum’at, 12 Maret 2004
Foto: Sobirin, 2002
Nusa
Sobirin, 60 tahun, dengan sabar mengarahkan kamera digitalnya ke sejumlah obyek di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Lalu, jeprat-jepret, terekamlah tugu peringatan, hamparan sawah, pegunungan, dan sebagainya.
Hal serupa dilakukan saat ia berada di Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Sumedang. "Saya ingin menunjukkan bukti bahwa daerah yang akan digenangi air Waduk Jatigede merupakan lahan yang subur sekali," katanya kepada Tempo News Room.
Rabu (10/3) lalu, bersama sejumlah pegawai kehutanan, Perhutani, lingkungan hidup, dan wartawan, Sobirin memang terlihat antusias mengabadikan suasana tempat yang bakal terendam Waduk Jatigede. Tak hanya itu, di tas kain hitamnya, anggota Dewan Pakar di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) itu juga menyiapkan sejumlah dokumen tentang Jatigede. Pokoknya, komplet!
Dalam urusan Jatigede, sikap Sobirin dan lembaganya sangat tegas: tak setuju pembangunan waduk yang akan membendung aliran Sungai Cimanuk. Sebaliknya, mereka menawarkan pilihan agar dilakukan perbaikan hutan di kawasan lindung dan daerah aliran sungai terlebih dulu.
Sejatinya, kecerewetan Sobirin soal Jatigede tak lepas dari latar belakang pekerjaannya. Selepas kuliah di Jurusan Geologi ITB, 1970, ia bekerja di Pusat Penelitian Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. Meski kantor pusatnya di Jakarta, laboratorium penelitiannya ada di Bandung.
Walhasil, selain berkutat di tempat kerja, bapak tiga orang anak itu berkesempatan besar untuk melihat kondisi sungai-sungai di Jawa Barat dan sekitarnya.
Setelah pensiun dini pada tahun 2000--karena ada perbedaan dengan kebijakan atasannya--wong Gombong, Jawa Tengah, itu resmi bergabung ke DPKLTS. Ia ingin menghabiskan hidupnya untuk membenahi masalah lingkungan di Jawa Barat.
Sikap itu diambil bukan lantaran ia menikahi mojang Garut bernama Etty. Tapi, lebih dari itu. Tatar Sunda dipilih, katanya, "Karena di sinilah saya 'menjadi orang' dan bisa melek lingkungan." dwi wiyana
Nusa
Sobirin, 60 tahun, dengan sabar mengarahkan kamera digitalnya ke sejumlah obyek di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Lalu, jeprat-jepret, terekamlah tugu peringatan, hamparan sawah, pegunungan, dan sebagainya.
Hal serupa dilakukan saat ia berada di Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Sumedang. "Saya ingin menunjukkan bukti bahwa daerah yang akan digenangi air Waduk Jatigede merupakan lahan yang subur sekali," katanya kepada Tempo News Room.
Rabu (10/3) lalu, bersama sejumlah pegawai kehutanan, Perhutani, lingkungan hidup, dan wartawan, Sobirin memang terlihat antusias mengabadikan suasana tempat yang bakal terendam Waduk Jatigede. Tak hanya itu, di tas kain hitamnya, anggota Dewan Pakar di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) itu juga menyiapkan sejumlah dokumen tentang Jatigede. Pokoknya, komplet!
Dalam urusan Jatigede, sikap Sobirin dan lembaganya sangat tegas: tak setuju pembangunan waduk yang akan membendung aliran Sungai Cimanuk. Sebaliknya, mereka menawarkan pilihan agar dilakukan perbaikan hutan di kawasan lindung dan daerah aliran sungai terlebih dulu.
Sejatinya, kecerewetan Sobirin soal Jatigede tak lepas dari latar belakang pekerjaannya. Selepas kuliah di Jurusan Geologi ITB, 1970, ia bekerja di Pusat Penelitian Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. Meski kantor pusatnya di Jakarta, laboratorium penelitiannya ada di Bandung.
Walhasil, selain berkutat di tempat kerja, bapak tiga orang anak itu berkesempatan besar untuk melihat kondisi sungai-sungai di Jawa Barat dan sekitarnya.
Setelah pensiun dini pada tahun 2000--karena ada perbedaan dengan kebijakan atasannya--wong Gombong, Jawa Tengah, itu resmi bergabung ke DPKLTS. Ia ingin menghabiskan hidupnya untuk membenahi masalah lingkungan di Jawa Barat.
Sikap itu diambil bukan lantaran ia menikahi mojang Garut bernama Etty. Tapi, lebih dari itu. Tatar Sunda dipilih, katanya, "Karena di sinilah saya 'menjadi orang' dan bisa melek lingkungan." dwi wiyana
No comments:
Post a Comment