Maaf, Lingkungan Semakin Hancur
Pikiran Rakyat, 15 Mei 2006
Foto: M. Hasan Soedjono (teman Lex Laksamana), 2002, Banjir Jakarta
Oleh Sobirin
HAMPIR seabad yang lalu, di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 sekelompok pemuda pelajar dan mahasiswa STOVIA mencetuskan momentum membentuk sebuah organisasi modern bernama Boedi Oetomo dengan fokus perhatian pada masalah pendidikan dan kebudayaan. Kemudian sejarah mencatat bahwa sejak itu muncul Sarekat Dagang Islam (1911), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (1912), PKI (1920), PNI (1927), dan lain-lainnya hingga Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan (1945).
Tanpa mengurangi makna pasang surut gerakan Boedi Oetomo waktu itu, namun tanggal kelahirannya kemudian dimitoskan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Mitos ini pada zamannya diciptakan untuk memberi semangat perjuangan kepada rakyat, terutama sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam rangka melawan kembalinya penjajah Belanda.
Akhirnya dengan kesemestaan dan semangat juang 45, Indonesia berhasil menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa yang memiliki daratan seluas 1,9 juta kilometer persegi, lautan seluas 3,3 juta kilometer persegi, terdiri dari 18 ribu pulau besar dan kecil, panjang pantai 80 ribu kilometer, jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dengan 370 suku bangsa, dan 67 bahasa induk. Alangkah hebatnya, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah ruah, gunung-gunung berapi yang berderet, sungai-sungai yang mengalir berkelok-kelok diibaratkan sebagai rangkaian zamrud di khatulistiwa.
Namun sangat ironis bahwa kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut tidak pernah membuat bangsa ini makmur sejak kemerdekaan 1945 hingga sekarang di zaman Presiden SBY-JK dengan slogan "Bersama Kita Bisa", bahkan utang negara semakin menumpuk!
Tebang habis
Apa yang terjadi dengan kekayaan alam setelah Indonesia merdeka? Hutan tropis sebagai andalan paru-paru dunia, menurut pengamatan Forest Watch Indonesia (FWI, 2003) tersisa tinggal sekira 98 juta hektare, dan lebih dari separuhnya dipercaya telah mengalami degradasi hebat menjadi lahan kritis akibat intervensi berdalih pembangunan.
Tingkat kerusakan hutan semakin hari semakin parah: pada periode 1985 sampai 1997 Indonesia telah kehilangan kira-kira 17% hutannya. Pada tahun 1980-an Indonesia kehilangan 1 juta ha hutan setiap tahun, dan pada tahun 1990-an meningkat menjadi 1,7 juta ha setiap tahun. Sejak tahun 1996, kerusakan hutan meningkat sampai 2 juta ha setiap tahun, dan pada tahun 2000-an laju kerusakan hutan meningkat menjadi 2,4 juta ha setiap tahun.
Penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia antara lain pembalakan liar (illegal logging) dan kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) yang mulai beroperasi sejak tahun 1970-an. Sampai tahun 2001 pemerintah paling tidak telah mengeluarkan izin HPH sebanyak 355 dengan luas total kawasan hutan 38.025.891 ha. Sebagian besar dari HPH ini bermasalah, karena hutan menjadi rusak dan bahkan penduduk lokal di kawasan hutan tersingkirkan. Selain itu, program hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan besar terutama kelapa sawit juga merupakan penyebab kerusakan hutan yang sangat berarti.
Menurut cacatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi, 2001) hingga tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan izin HTI sebanyak 175 dengan luas total kawasan hutan 7.861.251 ha. Diperkirakan hanya 2 juta ha lahan yang telah ditanami, sedangkan sisanya menjadi lahan terbuka yang telantar, kritis, dan tidak produktif.
Keruk habis
Ancaman kerusakan hutan datang pula dari kegiatan pertambangan. Departemen Kehutanan tidak mampu mempertahankan kawasan hutannya ketika desakan dan tekanan pemodal baik dari dalam negeri maupun asing sangat berkeinginan berinvestasi di sektor pertambangan yang lokasinya di kawasan hutan. Seluas 11,4 juta ha kawasan hutan yang berstatus hutan lindung dan kawasan konservasi terancam diubah menjadi kawasan pertambangan dengan alasan cadangan mineral potensial yang tersisa di Indonesia terdapat di kawasan-kawasan lindung termasuk kawasan konservasi.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam, 2001) lebih dari 35% kawasan daratan Indonesia telah memiliki izin untuk ditambang. Belum lagi termasuk izin pertambangan galian C, yang terdapat di mana-mana. Dari luasan tersebut lebih dari 20% di antaranya berada di kawasan lindung, termasuk taman nasional, cagar alam, tahura, hutan lindung dan lainnya.
Jatam (2001) mengibaratkan bahwa konsep pertambangan di Indonesia adalah "jual murah dan gali habis". Indonesia tidak memiliki konsep mineral reserve, yaitu cadangan mineral untuk warisan anak cucu di masa datang. Jaminan keamanan bagi perusahaan tambang bahkan lebih tinggi dibanding yang diberikan negara terhadap rakyatnya. Akibatnya, keselamatan lingkungan dan rakyat menjadi taruhan. Dalam waktu yang tidak lama lagi, Indonesia akan kehilangan hutan, kehilangan cadangan mineral, dan kehancuran lingkungan.
Dampak kehancuran lingkungan ini telah kita rasakan bersama, musim hujan datang bencana banjir dan longsor, musim kemarau datang bencana kekeringan ekstrem. Bahkan penyakit yang aneh-aneh pun muncul ketika daya dukung dan daya tampung lingkungan serta iklim mikro di suatu wilayah telah rusak.
Demikianlah setelah hampir seabad peristiwa Hari Kebangkitan Nasional, bahkan bangsa kita kembali terpuruk, utang menumpuk, lingkungan hancur. Bahasan singkat tadi baru mengenai aspek kehancuran lingkungan, belum lagi dari aspek keterpurukan ekonomi, kerawanan sosial, dan politik.
Barangkali persis seperti dikatakan oleh peneliti sosial Michael J. Bonnell (1997) yang mengatakan bahwa bangsa semacam kita ini memang berbakat miskin, karena tidak memiliki etika sebagai prinsip dasar, kurang dalam integritas, kurang dalam tanggung jawab, tidak menghormati hukum dan peraturan, kurang menghargai hak warga lainnya, tidak senang bekerja, tidak mampu berpikiran menabung dan berinvestasi, dan tidak menghargai waktu. Atau mungkin lebih cocok pada pendapat ahli ekonomi Gunnar Myrdall (1960), bahwa kebanyakan bangsa yang dimanja dengan kekayaan sumber daya alam yang berkelimpahan, akhirnya menjadi bangsa yang lemah. Yang jelas bukan rakyatnya yang lemah, tetapi pemimpinnya!
Saya jadi percaya kepada Prof. Dr. Nina Lubis (“PR”, 24 Mei 2004) ketika mengatakan bahwa kita perlu melakukan kaji ulang dan redefinisi terhadap makna Hari Kebangkitan Nasional. Harus dimaknai sesuai situasi saat ini dan bukan sekadar peringatan seremonial seperti biasanya.***
Penulis, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit.
Foto: M. Hasan Soedjono (teman Lex Laksamana), 2002, Banjir Jakarta
Oleh Sobirin
HAMPIR seabad yang lalu, di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 sekelompok pemuda pelajar dan mahasiswa STOVIA mencetuskan momentum membentuk sebuah organisasi modern bernama Boedi Oetomo dengan fokus perhatian pada masalah pendidikan dan kebudayaan. Kemudian sejarah mencatat bahwa sejak itu muncul Sarekat Dagang Islam (1911), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (1912), PKI (1920), PNI (1927), dan lain-lainnya hingga Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan (1945).
Tanpa mengurangi makna pasang surut gerakan Boedi Oetomo waktu itu, namun tanggal kelahirannya kemudian dimitoskan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Mitos ini pada zamannya diciptakan untuk memberi semangat perjuangan kepada rakyat, terutama sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam rangka melawan kembalinya penjajah Belanda.
Akhirnya dengan kesemestaan dan semangat juang 45, Indonesia berhasil menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa yang memiliki daratan seluas 1,9 juta kilometer persegi, lautan seluas 3,3 juta kilometer persegi, terdiri dari 18 ribu pulau besar dan kecil, panjang pantai 80 ribu kilometer, jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dengan 370 suku bangsa, dan 67 bahasa induk. Alangkah hebatnya, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah ruah, gunung-gunung berapi yang berderet, sungai-sungai yang mengalir berkelok-kelok diibaratkan sebagai rangkaian zamrud di khatulistiwa.
Namun sangat ironis bahwa kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut tidak pernah membuat bangsa ini makmur sejak kemerdekaan 1945 hingga sekarang di zaman Presiden SBY-JK dengan slogan "Bersama Kita Bisa", bahkan utang negara semakin menumpuk!
Tebang habis
Apa yang terjadi dengan kekayaan alam setelah Indonesia merdeka? Hutan tropis sebagai andalan paru-paru dunia, menurut pengamatan Forest Watch Indonesia (FWI, 2003) tersisa tinggal sekira 98 juta hektare, dan lebih dari separuhnya dipercaya telah mengalami degradasi hebat menjadi lahan kritis akibat intervensi berdalih pembangunan.
Tingkat kerusakan hutan semakin hari semakin parah: pada periode 1985 sampai 1997 Indonesia telah kehilangan kira-kira 17% hutannya. Pada tahun 1980-an Indonesia kehilangan 1 juta ha hutan setiap tahun, dan pada tahun 1990-an meningkat menjadi 1,7 juta ha setiap tahun. Sejak tahun 1996, kerusakan hutan meningkat sampai 2 juta ha setiap tahun, dan pada tahun 2000-an laju kerusakan hutan meningkat menjadi 2,4 juta ha setiap tahun.
Penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia antara lain pembalakan liar (illegal logging) dan kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) yang mulai beroperasi sejak tahun 1970-an. Sampai tahun 2001 pemerintah paling tidak telah mengeluarkan izin HPH sebanyak 355 dengan luas total kawasan hutan 38.025.891 ha. Sebagian besar dari HPH ini bermasalah, karena hutan menjadi rusak dan bahkan penduduk lokal di kawasan hutan tersingkirkan. Selain itu, program hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan besar terutama kelapa sawit juga merupakan penyebab kerusakan hutan yang sangat berarti.
Menurut cacatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi, 2001) hingga tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan izin HTI sebanyak 175 dengan luas total kawasan hutan 7.861.251 ha. Diperkirakan hanya 2 juta ha lahan yang telah ditanami, sedangkan sisanya menjadi lahan terbuka yang telantar, kritis, dan tidak produktif.
Keruk habis
Ancaman kerusakan hutan datang pula dari kegiatan pertambangan. Departemen Kehutanan tidak mampu mempertahankan kawasan hutannya ketika desakan dan tekanan pemodal baik dari dalam negeri maupun asing sangat berkeinginan berinvestasi di sektor pertambangan yang lokasinya di kawasan hutan. Seluas 11,4 juta ha kawasan hutan yang berstatus hutan lindung dan kawasan konservasi terancam diubah menjadi kawasan pertambangan dengan alasan cadangan mineral potensial yang tersisa di Indonesia terdapat di kawasan-kawasan lindung termasuk kawasan konservasi.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam, 2001) lebih dari 35% kawasan daratan Indonesia telah memiliki izin untuk ditambang. Belum lagi termasuk izin pertambangan galian C, yang terdapat di mana-mana. Dari luasan tersebut lebih dari 20% di antaranya berada di kawasan lindung, termasuk taman nasional, cagar alam, tahura, hutan lindung dan lainnya.
Jatam (2001) mengibaratkan bahwa konsep pertambangan di Indonesia adalah "jual murah dan gali habis". Indonesia tidak memiliki konsep mineral reserve, yaitu cadangan mineral untuk warisan anak cucu di masa datang. Jaminan keamanan bagi perusahaan tambang bahkan lebih tinggi dibanding yang diberikan negara terhadap rakyatnya. Akibatnya, keselamatan lingkungan dan rakyat menjadi taruhan. Dalam waktu yang tidak lama lagi, Indonesia akan kehilangan hutan, kehilangan cadangan mineral, dan kehancuran lingkungan.
Dampak kehancuran lingkungan ini telah kita rasakan bersama, musim hujan datang bencana banjir dan longsor, musim kemarau datang bencana kekeringan ekstrem. Bahkan penyakit yang aneh-aneh pun muncul ketika daya dukung dan daya tampung lingkungan serta iklim mikro di suatu wilayah telah rusak.
Demikianlah setelah hampir seabad peristiwa Hari Kebangkitan Nasional, bahkan bangsa kita kembali terpuruk, utang menumpuk, lingkungan hancur. Bahasan singkat tadi baru mengenai aspek kehancuran lingkungan, belum lagi dari aspek keterpurukan ekonomi, kerawanan sosial, dan politik.
Barangkali persis seperti dikatakan oleh peneliti sosial Michael J. Bonnell (1997) yang mengatakan bahwa bangsa semacam kita ini memang berbakat miskin, karena tidak memiliki etika sebagai prinsip dasar, kurang dalam integritas, kurang dalam tanggung jawab, tidak menghormati hukum dan peraturan, kurang menghargai hak warga lainnya, tidak senang bekerja, tidak mampu berpikiran menabung dan berinvestasi, dan tidak menghargai waktu. Atau mungkin lebih cocok pada pendapat ahli ekonomi Gunnar Myrdall (1960), bahwa kebanyakan bangsa yang dimanja dengan kekayaan sumber daya alam yang berkelimpahan, akhirnya menjadi bangsa yang lemah. Yang jelas bukan rakyatnya yang lemah, tetapi pemimpinnya!
Saya jadi percaya kepada Prof. Dr. Nina Lubis (“PR”, 24 Mei 2004) ketika mengatakan bahwa kita perlu melakukan kaji ulang dan redefinisi terhadap makna Hari Kebangkitan Nasional. Harus dimaknai sesuai situasi saat ini dan bukan sekadar peringatan seremonial seperti biasanya.***
Penulis, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit.
No comments:
Post a Comment