Forum Rektor, Senin, 29/01/2007
Foto: Sobirin, 2004, Demo Punclut Kota Bandung
Oleh ATIP TARTIANA
Begitu pula banyak pakar lingkungan hidup yang selama ini bersuara vokal. Di Bandung, misalnya, ada banyak intelektual publik bidang lingkungan hidup seperti Prof. Otto Sumarwoto, Dr. Mubiar Purwasasmita, Sobirin, Budi Brahmantyo, dan T. Bachtiar.
Apa yang ada dalam ruang pikiran Anda ketika menyaksikan lumpur panas terus-terusan menyembur, meluber, dan menggenangi rumah-rumah penduduk di beberapa desa di Porong Sidoarjo yang belakangan memakan korban jiwa?
Apa yang ada dalam ruang perasaan Anda ketika mendengar gunungan sampah longsor tumpah ruah hingga mengubur rumah-rumah penduduk berikut para penghuninya di Leuwigajah, Kota Cimahi?
Apa dan bagaimana reaksi Anda ketika membaca berita tentang banjir dan longsor lain yang secara bertubi-tubi melanda berbagai tempat yang di antaranya memakan korban materi dan jiwa dalam jumlah yang tidak sedikit? Apa dan bagaimana respons Anda ketika mengetahui banyak orang di berbagai wilayah di Indonesia merasakan udara dan air di daerah tempat tinggalnya sudah tidak lagi bersih dan sehat?
Para pakar lingkungan suka melihat gejala-gejala tersebut dengan menggunakan hukum kausalitas bahwa berbagai fenomena alam itu terjadi karena perilaku destruktif manusia dalam memperlakukan alam. Faktanya, pembalakan liar (illegal logging), penambangan liar, serta penyelewengan tata ruang dan wilayah di kawasan lindung dan pembuangan limbah industri secara liar terjadi di mana-mana. Berbagai aksi perusakan alam dan lingkungan dalam bentuk lain juga dapat kita baca setiap hari di berbagai media massa. Ironisnya, praktik tak terpuji itu dilakukan dengan begitu bebas seolah tanpa ada regulasi yang membatasinya.
Oleh karena itu, kita suka bertanya-tanya, di mana aparat terkait yang seharusnya menangani masalah tersebut? Sejauh mana pula elite pemerintah menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya dalam mengelola lingkungan? Pertanyaan ini perlu diapresiasi secara serius mengingat pemerintah tampaknya sering kali kedodoran dan tak berdaya menghadapi problem-problem lingkungan. Pemerintah, terutama yang menangani bidang lingkungan hidup, tampaknya sudah kehilangan energi dan kreativitas untuk melakukan pendeteksian dini bagi kemungkinan terjadinya bencana alam serta antisipasi dini bagi kemungkinan jatuhnya korban jiwa akibat bencana alam.
Politik lingkungan
Sebagai negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan kekayaan alam yang sangat melimpah berikut potensi bencana yang tak kecil, pemerintah seharusnya memiliki desain kebijakan lingkungan yang visioner dan membumi. Masalahnya, republik ini tampaknya tak memiliki fondasi politik lingkungan yang berwibawa dan berdaya tawar kuat. Rapuhnya fondasi politik lingkungan tersebut bisa dilihat dari input dan output politik yang tidak bersentuhan dengan kepentingan rakyat kebanyakan.
Salah satu wujud output politik lingkungan yang amat kentara di negeri ini adalah sering keluarnya kebijakan otoritatif para elite suprastruktur politik yang terlalu membuka ruang bagi masuknya kepentingan ekonomi kaum kapitalis. Gejala politik ini semakin sulit dikendalikan ketika masuk kepentingan kaum kapitalis asing yang tentunya membawa misi politik lingkungan negaranya. Kenyataannya, kehadiran mereka dinilai lebih banyak membawa masalah ketimbang berkah bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Exxon Mobil, misalnya, diduga telah meraup keuntungan yang sangat besar dari hasil eksplorasi migas di Natuna, sebaliknya Indonesia hanya mendapatkan devisa dari pembayaran pajak yang jumlahnya amat kecil. Demikian pula Freeport McMoran belakangan ini mendapatkan penentangan hebat dari masyarakat setempat sebagai protes mereka terhadap Freeport yang dinilai jauh lebih banyak membawa kerugian ketimbang keuntungan. Selain Exxon dan Freeport, ada banyak perusahaan asing lain yang menggiring gajala serupa.
Gejala itu semestinya kita pahami sebagai warning (peringatan) serius bahwa membuka akses yang tak terbatas kepada kaum kapitalis sesungguhnya mengancam kedaulatan rakyat dalam bentuk antara lain terampasnya hak-hak masyarakat lokal untuk menikmati tanah yang subur, air dan udara yang bersih, lingkungan yang indah, suasana yang nyaman dan aman karena kesemuanya sudah "terbeli" kaum kapitalis. Kehadiran kapitalis asing bahkan bukan lagi mengancam kedaulatan rakyat, tapi juga sekaligus merenggut kedaulatan negara.
Lemahnya bargaining politik lingkungan kita tidak lepas dari lemahnya bargaining input politik lingkungan berupa dukungan dan tuntutan politik elite infrastruktur. Hal itu bukan berarti tiadanya dukungan dan tuntutan politik lingkungan yang konstruktif dari masyarakat, tapi lebih disebabkan kemacetan sirkulasi politik lingkungan antara suprastuktur dan infrastruktur politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Buktinya, banyak pegiat lembaga swadaya masyarakat yang begitu vokal menyuarakan kepentingan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), misalnya, kerap aktif memperjuangkan "idelogi hijau" yang diusungnya. Begitu pula banyak pakar lingkungan hidup yang selama ini bersuara vokal. Di Bandung, misalnya, ada banyak intelektual publik bidang lingkungan hidup seperti Prof. Otto Sumarwoto, Dr. Mubiar Purwasasmita, Sobirin, Budi Brahmantyo, dan T. Bachtiar.
Masalahnya, pemikiran dan suara mereka yang kerap tampil di media massa relatif tak mendapat ruang dalam proses pembuatan kebijakan politik lingkungan. Hal itu terjadi karena tiadanya institusi politik yang sanggup mengagregasi dan mengartikulasikan suara mereka. Partai-partai politik yang ada sekarang tampaknya tidak begitu tertarik menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi isu-isu lingkungan. Maklum, isu lingkungan di Indonesia selama ini dinilai tidak marketable.
Kebanyakan elite parpol kita tampaknya lebih senang membicarakan isu-isu lain yang dipandang bisa mengundang simpati masyarakat serta memelihara dan meningkatkan jumlah konstituen. Isu-isu lingkungan biasanya menjadi agenda pembicaraan mereka setelah muncul bencana alam dan kerusakan lingkungan dalam ukuran yang luar biasa, meski yang dibicarakannya sering tidak menyentuh akar persoalan.
"Green party"
Untuk membangun sirkulasi sistem politik yang sanggup mengakomodasi kepentingan lingkungan, kita tampaknya sangat memerlukan partai hijau (green party). Partai politik seperti yang populer di Jerman, Norwegia, Austria, Australia, Selandia Baru, dan Swedia ini berusaha menawarkan konsep harmoni kehidupan dengan menyeimbangkan antara kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Meski menjadikan lingkungan hidup sebagai perjuangan utama, green party tidak hanya berbicara masalah alam dan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan udara, melainkan juga berbicara soal peradaban yang di dalamnya termasuk kebudayaan, adat istiadat, politik, ekonomi, teknik, teknologi sistem infrastruktur, dan lain-lain. Mereka berpikir, lingkungan hidup dan manusia saling memengaruhi. Mutu lingkungan hidup bergantung pada manusianya. Sebaliknya, mutu manusia juga bergantung pada lingkungan hidupnya.
Dengan konsep tersebut, selama beberapa tahun terakhir ini, keberadaan green party bisa membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pro-lingkungan. Di Jerman, misalnya, green party berhasil memunculkan kebijakan penerapan pajak lingkungan (eco-tax system) terhadap konsumsi energi dalam rangka menekan penggunaan energi secara berlebihan.
Di Indonesia, popularitas partai hijau justru sangat jauh tertinggal dibandingkan partai-partai lain. Hanya kalangan tertentu yang mengenal nama atau istilah partai hijau. Padahal, secara istitusi, partai hijau telah dideklarasikan di Indonesia tanggal 21 Oktober 1998, meski karena berbagai pertimbangan -- di antaranya agar tidak mengecewakan massa pendukungnya -- sejak awal partai hijau menyatakan tidak ikut Pemilu 1999. Memasuki Pemilu 2004, nama partai hijau juga nyaris tidak terdengar.
Kini, di saat partai-partai politik yang sudah mapan serta partai-partai politik baru bersiap diri menggalang konstituen untuk memenangi Pemilu 2009, lagi-lagi, kiprah partai hijau masih dipertanyakan. Padahal, beragam isu kerusakan lingkungan di antaranya yang melahirkan banyak korban, jika sanggup dikelola dengan baik, sesungguhnya bisa menjadi modal kekuatan partai ini. Lagi pula, masyarakat tampaknya sudah mulai menyadari pentingnya sebuah institusi yang bisa diandalkan menjadi mesin politik atau alat perjuangan kelestarian lingkungan.
Bermodalkan isu-isu lingkungan hidup serta dukungan banyak konsep dan pemikiran para penggiat dan pakar lingkungan hidup yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam proses pembuatan kebijakan lingkungan, menurut saya, sudah saatnya partai hijau menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Melalui partai hijau, bargaining position aktivis dan pakar lingkungan akan lebih diperhitungkan.
Meski budaya politik masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara yang sudah maju, hadirnya partai hijau dinilai sebagai salah satu terobosan atas mandulnya peran state terhadap lingkungan. Rentang waktu yang tersisa untuk memasuki Pemilu 2009 memang bukan waktu yang cukup, apalagi kalau harus bersaing dengan partai-partai mapan dan besar seperti Partai Golkar dan PDIP. Namun, kalau kita tidak serius dari sekarang, harus menunggu kapan lagi? ***
Penulis, dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan dan FISIP Universitas Al-Ghifari, tinggal di Tarate Mekar, Cibaduyut, Bandung.
Apa yang ada dalam ruang pikiran Anda ketika menyaksikan lumpur panas terus-terusan menyembur, meluber, dan menggenangi rumah-rumah penduduk di beberapa desa di Porong Sidoarjo yang belakangan memakan korban jiwa?
Apa yang ada dalam ruang perasaan Anda ketika mendengar gunungan sampah longsor tumpah ruah hingga mengubur rumah-rumah penduduk berikut para penghuninya di Leuwigajah, Kota Cimahi?
Apa dan bagaimana reaksi Anda ketika membaca berita tentang banjir dan longsor lain yang secara bertubi-tubi melanda berbagai tempat yang di antaranya memakan korban materi dan jiwa dalam jumlah yang tidak sedikit? Apa dan bagaimana respons Anda ketika mengetahui banyak orang di berbagai wilayah di Indonesia merasakan udara dan air di daerah tempat tinggalnya sudah tidak lagi bersih dan sehat?
Para pakar lingkungan suka melihat gejala-gejala tersebut dengan menggunakan hukum kausalitas bahwa berbagai fenomena alam itu terjadi karena perilaku destruktif manusia dalam memperlakukan alam. Faktanya, pembalakan liar (illegal logging), penambangan liar, serta penyelewengan tata ruang dan wilayah di kawasan lindung dan pembuangan limbah industri secara liar terjadi di mana-mana. Berbagai aksi perusakan alam dan lingkungan dalam bentuk lain juga dapat kita baca setiap hari di berbagai media massa. Ironisnya, praktik tak terpuji itu dilakukan dengan begitu bebas seolah tanpa ada regulasi yang membatasinya.
Oleh karena itu, kita suka bertanya-tanya, di mana aparat terkait yang seharusnya menangani masalah tersebut? Sejauh mana pula elite pemerintah menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya dalam mengelola lingkungan? Pertanyaan ini perlu diapresiasi secara serius mengingat pemerintah tampaknya sering kali kedodoran dan tak berdaya menghadapi problem-problem lingkungan. Pemerintah, terutama yang menangani bidang lingkungan hidup, tampaknya sudah kehilangan energi dan kreativitas untuk melakukan pendeteksian dini bagi kemungkinan terjadinya bencana alam serta antisipasi dini bagi kemungkinan jatuhnya korban jiwa akibat bencana alam.
Politik lingkungan
Sebagai negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan kekayaan alam yang sangat melimpah berikut potensi bencana yang tak kecil, pemerintah seharusnya memiliki desain kebijakan lingkungan yang visioner dan membumi. Masalahnya, republik ini tampaknya tak memiliki fondasi politik lingkungan yang berwibawa dan berdaya tawar kuat. Rapuhnya fondasi politik lingkungan tersebut bisa dilihat dari input dan output politik yang tidak bersentuhan dengan kepentingan rakyat kebanyakan.
Salah satu wujud output politik lingkungan yang amat kentara di negeri ini adalah sering keluarnya kebijakan otoritatif para elite suprastruktur politik yang terlalu membuka ruang bagi masuknya kepentingan ekonomi kaum kapitalis. Gejala politik ini semakin sulit dikendalikan ketika masuk kepentingan kaum kapitalis asing yang tentunya membawa misi politik lingkungan negaranya. Kenyataannya, kehadiran mereka dinilai lebih banyak membawa masalah ketimbang berkah bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Exxon Mobil, misalnya, diduga telah meraup keuntungan yang sangat besar dari hasil eksplorasi migas di Natuna, sebaliknya Indonesia hanya mendapatkan devisa dari pembayaran pajak yang jumlahnya amat kecil. Demikian pula Freeport McMoran belakangan ini mendapatkan penentangan hebat dari masyarakat setempat sebagai protes mereka terhadap Freeport yang dinilai jauh lebih banyak membawa kerugian ketimbang keuntungan. Selain Exxon dan Freeport, ada banyak perusahaan asing lain yang menggiring gajala serupa.
Gejala itu semestinya kita pahami sebagai warning (peringatan) serius bahwa membuka akses yang tak terbatas kepada kaum kapitalis sesungguhnya mengancam kedaulatan rakyat dalam bentuk antara lain terampasnya hak-hak masyarakat lokal untuk menikmati tanah yang subur, air dan udara yang bersih, lingkungan yang indah, suasana yang nyaman dan aman karena kesemuanya sudah "terbeli" kaum kapitalis. Kehadiran kapitalis asing bahkan bukan lagi mengancam kedaulatan rakyat, tapi juga sekaligus merenggut kedaulatan negara.
Lemahnya bargaining politik lingkungan kita tidak lepas dari lemahnya bargaining input politik lingkungan berupa dukungan dan tuntutan politik elite infrastruktur. Hal itu bukan berarti tiadanya dukungan dan tuntutan politik lingkungan yang konstruktif dari masyarakat, tapi lebih disebabkan kemacetan sirkulasi politik lingkungan antara suprastuktur dan infrastruktur politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Buktinya, banyak pegiat lembaga swadaya masyarakat yang begitu vokal menyuarakan kepentingan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), misalnya, kerap aktif memperjuangkan "idelogi hijau" yang diusungnya. Begitu pula banyak pakar lingkungan hidup yang selama ini bersuara vokal. Di Bandung, misalnya, ada banyak intelektual publik bidang lingkungan hidup seperti Prof. Otto Sumarwoto, Dr. Mubiar Purwasasmita, Sobirin, Budi Brahmantyo, dan T. Bachtiar.
Masalahnya, pemikiran dan suara mereka yang kerap tampil di media massa relatif tak mendapat ruang dalam proses pembuatan kebijakan politik lingkungan. Hal itu terjadi karena tiadanya institusi politik yang sanggup mengagregasi dan mengartikulasikan suara mereka. Partai-partai politik yang ada sekarang tampaknya tidak begitu tertarik menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi isu-isu lingkungan. Maklum, isu lingkungan di Indonesia selama ini dinilai tidak marketable.
Kebanyakan elite parpol kita tampaknya lebih senang membicarakan isu-isu lain yang dipandang bisa mengundang simpati masyarakat serta memelihara dan meningkatkan jumlah konstituen. Isu-isu lingkungan biasanya menjadi agenda pembicaraan mereka setelah muncul bencana alam dan kerusakan lingkungan dalam ukuran yang luar biasa, meski yang dibicarakannya sering tidak menyentuh akar persoalan.
"Green party"
Untuk membangun sirkulasi sistem politik yang sanggup mengakomodasi kepentingan lingkungan, kita tampaknya sangat memerlukan partai hijau (green party). Partai politik seperti yang populer di Jerman, Norwegia, Austria, Australia, Selandia Baru, dan Swedia ini berusaha menawarkan konsep harmoni kehidupan dengan menyeimbangkan antara kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Meski menjadikan lingkungan hidup sebagai perjuangan utama, green party tidak hanya berbicara masalah alam dan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan udara, melainkan juga berbicara soal peradaban yang di dalamnya termasuk kebudayaan, adat istiadat, politik, ekonomi, teknik, teknologi sistem infrastruktur, dan lain-lain. Mereka berpikir, lingkungan hidup dan manusia saling memengaruhi. Mutu lingkungan hidup bergantung pada manusianya. Sebaliknya, mutu manusia juga bergantung pada lingkungan hidupnya.
Dengan konsep tersebut, selama beberapa tahun terakhir ini, keberadaan green party bisa membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pro-lingkungan. Di Jerman, misalnya, green party berhasil memunculkan kebijakan penerapan pajak lingkungan (eco-tax system) terhadap konsumsi energi dalam rangka menekan penggunaan energi secara berlebihan.
Di Indonesia, popularitas partai hijau justru sangat jauh tertinggal dibandingkan partai-partai lain. Hanya kalangan tertentu yang mengenal nama atau istilah partai hijau. Padahal, secara istitusi, partai hijau telah dideklarasikan di Indonesia tanggal 21 Oktober 1998, meski karena berbagai pertimbangan -- di antaranya agar tidak mengecewakan massa pendukungnya -- sejak awal partai hijau menyatakan tidak ikut Pemilu 1999. Memasuki Pemilu 2004, nama partai hijau juga nyaris tidak terdengar.
Kini, di saat partai-partai politik yang sudah mapan serta partai-partai politik baru bersiap diri menggalang konstituen untuk memenangi Pemilu 2009, lagi-lagi, kiprah partai hijau masih dipertanyakan. Padahal, beragam isu kerusakan lingkungan di antaranya yang melahirkan banyak korban, jika sanggup dikelola dengan baik, sesungguhnya bisa menjadi modal kekuatan partai ini. Lagi pula, masyarakat tampaknya sudah mulai menyadari pentingnya sebuah institusi yang bisa diandalkan menjadi mesin politik atau alat perjuangan kelestarian lingkungan.
Bermodalkan isu-isu lingkungan hidup serta dukungan banyak konsep dan pemikiran para penggiat dan pakar lingkungan hidup yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam proses pembuatan kebijakan lingkungan, menurut saya, sudah saatnya partai hijau menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Melalui partai hijau, bargaining position aktivis dan pakar lingkungan akan lebih diperhitungkan.
Meski budaya politik masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara yang sudah maju, hadirnya partai hijau dinilai sebagai salah satu terobosan atas mandulnya peran state terhadap lingkungan. Rentang waktu yang tersisa untuk memasuki Pemilu 2009 memang bukan waktu yang cukup, apalagi kalau harus bersaing dengan partai-partai mapan dan besar seperti Partai Golkar dan PDIP. Namun, kalau kita tidak serius dari sekarang, harus menunggu kapan lagi? ***
Penulis, dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan dan FISIP Universitas Al-Ghifari, tinggal di Tarate Mekar, Cibaduyut, Bandung.
No comments:
Post a Comment