Sunday, March 23, 2008

KONDISI AIR DI NEGARA KITA

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 23 Maret 2008
Gambar: PUSAIR 2008, Indek Ketersediaan Air Indonesia

Oleh: Sobirin (DPKLTS) dan Putuhena (PUSAIR)
Ketersediaan air di daratan Indonesia saat ini sesungguhnya sangat besar yaitu 16.800 m3/kapita/tahun. Angka ini lebih 2 kali dari rata-rata ketersediaan per kapita dunia yaitu 7.600 m3/kapita/tahun. Atau lebih dari 4 kali dari rata-rata ketersediaan di Asia yang hanya sebesar 4.000 m3/kapita/tahun.




Ketersediaan Air

Secara makro ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, tetapi keberlimpahan tersebut keberadaannya tidak merata secara ruang dan waktu. Secara ruang karena bentang Indonesia yang sangat luas, secara waktu karena adanya musim yang berbeda setiap tahunnya.

Secara ruang, Pulau Jawa mempunyai ketersediaan air yang paling kecil yaitu hanya 1.600 m3/kapita/tahun, sebaliknya Papua mempunyai ketersediaan paling banyak yaitu 25.500 m3/kapita/tahun. Sebagai ilustrasi, pulau Jawa luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, dan pulau ini hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar Indonesia. Permasalahannya yaitu bahhwa pulau ini harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Oleh sebab itu pulau Jawa merupakan pulau yang mengalami tekanan ketersediaan air yang harus diwaspadai. Daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa telah sangat melampaui batas.

Jawa Barat memiliki luas hanya 2% dari daratan Indonesia, dan pulau ini hanya memilik 2% dari seluruh potensi air tawar Indonesia. Jawa Barat menampung 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Pada musim penghujan potensi air Jawa Barat mencapai 80 milyar m3/tahun. Pada musim penghujan, air berlebihan, kawasan lindung yang telah kritis tidak mampu mengendalikan air, maka terjadilah bencana banjir dan longsor. Bila kawasan lindung sesuai tata ruang aturan alam, maka dari 80 milyar m3/tahun ini yang bisa dimanfaatkan manusia adalah seperempatnya, yaitu 20 milyar m3/tahun, sisanya yang tiga perempat kembali ke udara oleh proses evapotranspirasi yang bermanfaat menjaga iklim mikro. Ketika musim kemarau, potensi air Jawa Barat tinggal 8 milyar m3/tahun, kualitasnyapun sangat buruk karena adanya pencemaran-pencemaran. Alhasil di musim hujan selalu terjadi bencana banjir dan longsor, di musim kemarau selalu terjadi kekeringan yang kerontang. Mengacu kepada klasifikasi Indek Ketersediaan Air (IKA) kelas menengah yaitu 5.000 m3/kapita/tahun, maka idealnya penduduk Jawa Barat yang adalah hanya 4 juta orang. Bandingkan dengan kenyataan jumlah penduduk Jawa Barat saat ini, yang telah mendekati 40 juta jiwa. Saat ini IKA Jawa Barat adalah 20 milyar m3/tahun dibagi 40 juta jiwa sama dengan 500 m3/kapita/tahun, sangat sangat kurang.

Rumus logika banjir dan longsor yaitu: (banjir ditambah longsor) sama dengan (curah hujan ditambah kualitas lingkungan). Manakala kita belum mampu mengendalikan curah hujan, maka tugas kita semua adalah menjaga kualitas lingkungan, agar dapat mengurangi ancaman bencana iklim banjir dan longsor.


Indonesia terdiri atas ± 17.000 pulau dengan curah hujan yang berbeda-beda. Ada pulau yang mempunyai curah hujan tahunan tinggi dan ada yang curah hujan tahunannya rendah. Berdasar curah hujan, pulau-pulau di bagian barat sangat melimpah air sedangkan di bagian timur, terutama pulau-pulau kecil, sangat kekurangan air.

Secara waktu, pada musim hujan debit air sungai Cimanuk di Jawa Barat dapat mencapai 600 m3/det, sebaliknya pada musim kemarau hanya mencapai 20 m3/det. Ini berarti terdapat fluktuasi yang sangat besar antara musim hujan dan musim kemarau, dan sungai semacam ini dinyatakan dalam keadaan sakit.


Daftar Index Ketersediaan Air (IKA)


Dunia : 7.600 m3/kapita/tahun
Amerika Utara*) : 17.000 m3/kapita/tahun
Amerika Selatan : 38.000 m3/kapita/tahun
Asia : 4.000 m3/kapita/tahun
Indonesia : 16.800 m3/kapita/tahun
Indonesia proyeksi th 2025 : 9.200 m3/kapita/tahun
Papua/Maluku : 25.500 m3/kapita/tahun
Jawa : 1.600 m3/kapita/tahun

*) Catatan: budaya hemat air di Amerika Utara sudah dimulai sejak 30 tahun lalu


Kategori IKA yang dianut dunia (m3/kapita/tahun)

< 1.000 sangat kurang
1.000- 5.000 kurang
5.000- 10.000 menengah
> 10.000 tinggi



Kebutuhan air

Kebutuhan dasar air untuk kehidupan berkelanjutan antara lain untuk air domestik (minum, pangan, perkotaan) , industri, irigasi, kesehatan, transportasi, perikanan, pembangkit tenaga listrik, transportasi, estetika, religi, budaya, dll. Total kebutuhan dasar pesimistis 2.000 m3/kapita/tahun, optimistis 5.000 m3/kapita/tahun.

Dalam skala yang lebih sempit, tercatat IPA (Indek Penggunaan Air) yaitu rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air di WS Ciliwung Cisadane tahun 1995 saja sudah melampaui angka 1 yaitu 1,29 (atau 129.4%). Kondisi ini berdampak terjadinya potensi konflik.

Hasil kajian tentang krisis air dunia pada World Water Forum tahun 2003, mengingatkan banyak negara akan mengalami krisis air pada tahun 2025 termasuk Indonesia. Jumlah penduduk bertambah, kebutuhan airpun akan bertambah pula. Di lain pihak unsur lingkungan hidup pengendali air (hutan) semakin berkurang dan rusak. Selain itu masalah air semakin besar karena adanya kelemahan dalam manajemen air, antara lain kelembagaan, peraturan perundangan, budaya boros air, pencemaran air, dan lain-lainnya. Muncul tiga masalah klasik tentang air: ”too much” menjadi bencana banjir, ”to little” menjadi bencana kekeringan, ”to dirty” menjadi bencana penyakit.


DAS Kritis

DAS disebut kritis apabila Index Penggunaan Air > 0,5. Kalau kita percaya bahwa masalah kekurangan air pada musim kemarau dan banjir berlebihan di musim hujan menjadi banjir terjadi karena kerusakan DAS akibat penggundulan hutan, dan bila kita tidak berbuat apa-apa, maka dalam 20 tahun mendatang Indonesia mungkin akan mengalami kenyataan krisis air hebat, bahkan sebagian wilayah berubah menjadi padang pasir. Dari hasil pencatatan terlihat bahwa dari 136 DAS besar yang ada di Indonesia, 22 DAS kritis pada tahun 1984, meluas menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1992, semakin bertambah menjadi 62 DAS kritis pada tahun 1998.


Kualitas Air

Pemanfaatan air untuk berbagai keperluan dibagi dalam beberapa kategori sesuai kualitasnya sebagai berikut:
Kelas I : air baku air minum
Kelas II : rekreasi, perikanan, peternakan, pertanaman
Kelas III : perikanan, peternakanir, pertanaman
Kelas IV : pertanaman

Sungai-sungai di Indonesia umumnya tercemar air limbah penduduk dan air limbah industri, hasil kajian menunjukan 46.1% tercemar ringan sampai berat. Bila hanya dilihat pada sungai-sungai ”penting” saja, kurang lebih 80% telah tercemar sangat berat. Sebagai contoh S. Ciliwung, Citarum, Cisadane, Kali surabaya, Kali Garang umumnya tercemar amonia, phenol, deterjen, bakteri coli, logam, dan limbah padat berupa sampah.

Perihal air tanah di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dll, umumnya telah tercemar limbah penduduk dan di beberapa lokasi tercemar limbah industri. Di Jakarta, dari 303 sumur dangkal yang di survey, 99% tercemar oleh bakteri golongan coliform group, dan 66% tercemar oleh deterjen. Di Bandung, dari 48 sumur dangkal, 85% tercemar oleh bakteri golongan coliformgroup dan 90 % tercemar oleh deterjen dengan pH yang rendah.

2 comments:

Joni Dayat said...

pak sobirin,
terimakasih juga telah menengok saya,

istilah 'indeks ketersediaan air' rasanya masih menjadi jargon teman teman pengairan atau kehutanan. boleh saya tahu definisinya. saya menduga duga sebagai total presipitasi tahunan dibagi jumlah penghuni ruang.

hal yang sama juga untuk istilah 'ketersediaan air' dan 'kebutuhan air'.

dengan kejelasan istilah itu pencerahan bapak,insyallah, menjadi lebih lengkap.

terimakasih,

salam,

petulai said...

bapak, saya bisa gabung di organisasinya, saya tinggal di ciburial dago atas, prosesi manager operasional di konsultan di kota bandung