Sunday, December 21, 2008

PETANI SASARAN POLITISASI

Pikiran Rakyat, Opini, 22-12-2008, Kodar Solihat
Foto: dok.LPS-DD/ http://www.pertaniansehat.or.id/

Oleh KODAR SOLIHAT

Anggota DPLKTS, Sobirin, menilai, politisi yang ingin manggung dengan dukungan petani, seharusnya mampu menciptakan kampanye lebih "menyejukkan”. Ciptakan situasi para petani mengubah cara berusaha, mandiri, kompak, pandai melihat peluang usaha.



BAGI sektor pertanian, tahun 2008 adalah masa-masa di mana pemanfaatan petani bagi kepentingan politik kembali meningkat. Banyak politisi dan partai politik, secara terang-terangan kembali berusaha mencari simpati dengan iming-iming perbaikan nasib petani, demi meraih suara pada Pemilu 2009. Euforia politisasi petani pun bukan hanya dilakukan politisi, namun pula menarik hati sejumlah kalangan pengurus organisasi petani. Banyak di antara mereka kini sibuk mempersiapkan dirinya ingin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kepala daerah, sampai menjadi presiden.

Pemanfaatan suara petani untuk kepentingan politik merupakan kilas balik 1950-an s.d. 1960-an lalu. Pada 1970-an s.d. 1990-an sektor pertanian kurang dilirik, karena sasaran dialihkan kepada buruh dan pegawai negeri seiring politik pembangunan ekonomi saat itu.

Namun, kembali diliriknya petani sebagai salah satu sasaran politik, tidak otomatis disambut gembira bahkan menimbulkan perbedaan sikap di antara petani sendiri. Belajar dari pengalaman, tak sedikit yang berharap dari manfaat positif, namun banyak pula yang sinis melihat kenyataan.

Yang menilai positif, adalah harapan kemampuan usaha para petani ikut meningkat, dengan tantangan nilai tukar petani (NTP) umumnya terus melemah, dan kepemilikan lahan pertanian semakin berkurang. Manggungnya pimpinan organisasi petani, baik asli petani maupun "petani jadi-jadian" pada kancah politik, diharapkan pemerintah menjadi lebih banyak mengetahui dan memperhatikan kondisi sebenarnya di lapangan.


Namun, dari pihak-pihak yang pesimistis, tampilnya tokoh organisasi petani ke panggung politik, dianggap tak lebih dari sekadar barang siar atau mencari usaha tambahan. Banyak petani kini kecewa, karena kehilangan harapan pilihan pengurus dan organisasi yang dinilai masih "bersih" dari kepentingan politik.


Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar, Entang Sastraatmaja, mengatakan, petani merupakan pangsa pemilih yang cukup potensial. Apalagi, diketahui bahwa kesadaran politik bangsa ini relatif rendah, karena partai politik "belum optimal menggelar pendidikan" politik bagi rakyat.


Ia melihat, massa mengambang seperti petani, merupakan pangsa yang harus dipertimbangkan ke mana mereka memilih. Wajar saja, kalau petani atau nelayan, serta masyarakat termarginalkan oleh pembangunan, akan menjadi rebutan partai politik untuk mencari simpati, terutama menjelang pemilu. Ada yang membedakan dengan tahun 1960-an, di mana suara petani juga menjadi andalan utama partai politik. Saat itu, petani dijadikan alat politik sekaligus kepentingan politik, sehingga posisinya menjadi objek. Namun sekarang, petani justru menjadi subjek dari partai politik untuk merebut simpati.


Arah Pembinaan


Sementara itu, arah pembinaan usaha petani untuk menghindari dampak politisasi tetap diwaspadai kerawanannya oleh sejumlah kalangan, karena kampanye politik umumnya masih berkutat faktor produksi dan nyatanya ikut dipengaruhi luas lahan. Padahal luas lahan pertanian, khususnya di daerah Jabar, semakin hari terus digalaksak oleh alih fungsi, sehingga mempengaruhi produksi walaupun masih dicoba diperbaiki dari peningkatan produktivitas. Situasinya dimanfaatkan pemain-pemain politik yang berupaya mencari simpati, dengan memanfaatkan petani yang kini "tunalahan". Konflik horizontal pun muncul berkaitan kepentingan lahan, sehingga areal kehutanan dan perkebunan menjadi korban.


Di lain pihak, pemerintah tengah merevitalisasi kehutanan dan perkebunan, yang secara nyata termasuk di antara sub-sektor pertanian. Fungsi lainnya, sebagai kawasan penyangga dan pendukung suplai air bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya.

Politisasi petani secara kurang bertanggung jawab tersebut, ikut memberikan peran besar bagi kerusakan lingkungan hidup, kehutanan, perkebunan, dan lahan pertanian umum. Yang menderita, adalah rekan-rekan mereka sesama petani sendiri pada lahan lainnya, misalnya suplai air terganggu dan memunculkan serangan hama babi hutan.

Anggota Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, menilai, politisi yang ingin manggung dengan dukungan petani, seharusnya mampu menciptakan kampanye lebih "menyejukkan" semua pihak. Ciptakan situasi yang mampu menjadikan para petani mengubah cara berusaha, mandiri, kompak, semakin pandai melihat peluang usaha. Ada baiknya, politik dan arah pembinaan pembangunan pertanian diubah kepada industri dan perdagangan agro, yang kini menjadi penentu pasar. Tingkatkan keterampilan petani dengan usaha bersifat nilai tambah, sehingga kurang bergantung kepada luas lahan.

Ia juga melihat situasi ironis di mana Pemprov Jabar kini malah terkesan kembali ke masa lalu, di mana sektor budidaya kembali digenjot melalui program Gemar (Gerakan Multiaktivitas Agribisnis), di mana masyarakat petani dimotivasi untuk ramai-ramai menanam produk yang ditargetkan bukan hanya pada lahan-lahan pertanian umum, juga di kawasan kehutanan. Lain halnya sektor industri dan perdagangan agro, terkesan belum jelas lagi perhatiannya.

Perlunya pembangunan pertanian berkelanjutan sudah disadari bagi para petani desa hutan negara. Perum Perhutani Unit III misalnya, menargetkan pembangunan industri pengolahan kopi di Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, sebagai upaya stabilisasi harga secara baik dan perolehan nilai tambah petani kopi untuk menghindari dampak krisis global.


Perlu diwaspadai adalah dampak krisis ekonomi dunia menjelang akhir 2008, di mana sebagian harga komoditas pertanian, terkena imbasnya sehingga harganya anjlok bahkan sampai setengahnya. Jika dampak ini belum pulih pada 2009, ditambah kemudian terjadi "ledakan" produksi, patut diantisipasi kemungkinan harga panenan komoditas pertanian yang menurun tajam bahkan kurang bernilai. Jika sudah begini, maenya bakal didahar ku sorangan? ***
Penulis, wartawan "Pikiran Rakyat"

No comments: