Monday, December 08, 2008

RAMAI-RAMAI TOLAK PEMAPASAN CURUG JOMPONG

SEGERA GALAKKAN REBOISASI DI HULU SUNGAI
KOMPAS Jawa Barat, 11 November 2008, REK/ELD

Foto: Sobirin 2006, Batuan Dasit di Curug Jompong

Anggota DPKLTS Sobirin mengatakan: "Percuma saja bila proyek penanggulangan banjir diadakan tanpa perubahan perilaku manusia. Sungai tetap tersumbat, hutan terus ditebangi karena manusia tidak sadar tentang pentingnya melestarikan lingkungan."



Bandung, KOMPAS - Sejumlah tokoh Sunda menolak rencana pemapasan Curug Jompong. Tindakan itu dinilai terburu-buru dan mencari jalan pintas dalam penanganan banjir di Jawa Barat. Lebih baik pemerintah memfokuskan diri pada reboisasi di wilayah hulu.

"Saya tidak setuju Curug Jompong dipapas. Sebab, hal itu akan menyebabkan sedimentasi yang hebat di Waduk Saguling. Jika itu terjadi, potensi banjir di masa depan akan lebih besar," kata mantan Gubernur Jabar Solihin GP, Senin (10/11) di Bandung.


Sebelumnya, rencana pemapasan Curug Jompong diungkapkan Kepala Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jabar Iding Srihadi. Rekayasa pemapasan di Curug Jompong di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, dinilai sebagai satu-satunya solusi mengurangi lamanya genangan air akibat banjir di daerah Kota dan Kabupaten Bandung. Selama ini rekayasa fisik, seperti normalisasi sungai, hanya efektif mengurangi luas genangan air (Kompas, 31/10).


Menurut Solihin, banjir hebat yang selalu terjadi di sejumlah daerah di Jabar bukan diakibatkan keadaan alam yang tidak bersahabat, tetapi dipicu kerusakan hutan di wilayah hulu yang dilakukan manusia. Karena itu, pembenahan untuk mengatasi bencana pun bukan dengan mengutak-atik atau mengubah apa yang selama ini ada di alam.


"Semestinya dirunut dari mana akar persoalannya. Bila banjir disebabkan oleh hutan yang gundul atau sungai yang tersumbat, yang harus diperbaiki ialah kondisi hutan dan sungai itu. Bukan malah dengan mengubah bagian alam lainnya," kata Solihin.

Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, perilaku manusia harus diperbaiki agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. "Percuma saja bila proyek-proyek penanggulangan banjir diadakan tanpa perubahan perilaku manusia. Sungai pun tetap tersumbat dan hutan-hutan akan terus ditebangi karena perbuatan manusia yang tidak sadar tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan," katanya.


Janji Pemerintah


T Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung mengingatkan, dulu pemerintah pernah berjanji, pelurusan Sungai Citarum pada 2004 akan mengatasi banjir di wilayah Dayeuhkolot dan Baleendah. Bahkan, pada 2006 ada proposal tentang penanganan banjir, yaitu pengerukan Sungai Citarum sepanjang 30 kilometer, dengan dana pinjaman Rp 100 miliar lebih untuk tujuan sama.

"Sekarang kalau ada lagi proposal tentang pemapasan Curug Jompong sebagai solusi banjir di Dayeuhkolot dan Baleendah, tolong diingat janji di masa lampau yang belum ditepati," ujar Bachtiar.


Staf Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Jabar Vina Ratnasari Dewi mengatakan, pihaknya selalu siap melakukan advokasi bagi masyarakat yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang salah dalam bidang lingkungan. Namun, sejauh ini belum ada pengaduan. Bahkan, kenyataan di lapangan menunjukkan, masyarakat sudah akrab dan beradaptasi dengan banjir.

Sementara itu, genangan air di RW 20 Kelurahan dan Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, kembali meninggi sampai 50 sentimeter pada pagi hari setelah hujan lebat mengguyur rata wilayah Bandung Raya malam harinya. Menurut Ketua RW 20 Jaja, air kembali surut, tetapi warga tetap waspada melihat curah hujan yang masih tinggi dalam beberapa hari terakhir. (REK/ELD)

No comments: