Wednesday, October 25, 2006

HARI PANGAN DAN INVESTASI KAWASAN LINDUNG

KOMPAS, Jawa Barat, 16 Oktober 2006
Gambar: Kompas, 10 Desember 2005, Ant-Nik
Oleh: SOBIRIN


Di bulan Oktober sekitar pukul empat pagi kita dapat melihat rasi bintang Waluku di langit tepat di atas kepala kita. Rasi bintang Waluku atau Orion atau kalau masyarakat Kanekes menyebutnya dengan nama bentang Kidang, merupakan pertanda alam yang dipakai oleh karuhun kita jaman dulu untuk bersiap-siap menanam padi karena musim hujan akan segera tiba. Apakah petunjuk alam ini masih bisa dipakai pegangan, manakala lingkungan daerah tangkapan hujan telah sedemikian rusak parah?

Pembalakan liar, perambahan hutan, pembakaran hutan dan alih fungsi kawasan lindung di daerah tangkapan hujan menyebabkan iklim mikro rusak, musim hujan terjadi banjir berlebihan dan musim kemarau terjadi kekeringan kerontang. Beda debit sungai maksimum dan minimum menjadi sedemikian besar, pertanda bahwa sungai telah menjadi sakit parah. Iklim mikro sebagai benteng alam lokal tidak mampu lagi berfungsi menahan gejolak perubahan iklim global. Musim-pun berubah tidak bersahabat dan tidak mudah lagi diprediksi. Selain itu petani tempo dulu juga berbeda dengan petani jaman sekarang. Kalau dulu para petani masih banyak yang memiliki tanah pertaniannya sendiri, tetapi sekarang petani hanya sebagai petani penggarap saja, karena tanah pertanian telah beralih milik kepada petani berdasi dan pemodal yang tidak memahami konsep-konsep pertanian. Petani penggarap sangat bergantung kepada pemilik tanah dan pemodal. Bisa dimaklumi kalau di daerah Pantura terdapat anomali, dikatakan sebagai gudang beras, tetapi ternyata Indek Pembangunan Manusia (IPM) dari masyarakat setempat sangat rendah.

Hari Pangan Sedunia
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day (WFD) bermula dari hasil konferensi FAO (Food and Agriculture Organization) ke 20 pada bulan Nopember 1976 di Roma dengan resolusi Nomor 179. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, yang menetapkan bahwa mulai tahun 1981 setiap tanggal 16 Oktober seluruh negara anggota FAO, termasuk Indonesia, untuk menyelenggarakan peringatan HPS. Tujuan peringatan HPS adalah untuk menggali kesadaran dan perhatian semua pihak akan pentingnya penanganan masalah pangan demi keberlanjutan bangsa dan negara. Tema peringatan HPS dari tahun ke tahun sebagai berikut: Pangan adalah Urutan Pertama (1981 dan 1982), Keamanan Pangan (1983), Perempuan dalam Pertanian (1984), Kemiskinan Pedesaan (1985), Masyarakat Nelayan (1986), Petani Kecil (1987), Generasi Muda Pedesaan (1988), Pangan dan Lingkungan (1989), Pangan untuk Masa Depan (1990), Pohon untuk Kehidupan (1991), Pangan dan Gizi (1992), Panen Keanekaragaman Alam (1993), Air untuk Kehidupan (1994), Pangan untuk Semua (1995), Mengatasi Kelaparan dan Kurang Gizi (1996), Investasi untuk Keamanan Pangan (1997), Perempuan Memberi Makan Dunia (1998), Generasi Muda Melawan Kelaparan (1999), Milenium Tanpa Kelaparan (2000), Mengatasi Kelaparan Mengurangi Kemiskinan (2001), Air Sumber Keamanan Pangan (2002), Persekutuan Internasional Melawan Kelaparan (2003), Keanekaragaman Hayati untuk Keamanan Pangan (2004), Pertanian dan Dialog Antar Budaya (2005), Investasi dalam Pertanian untuk Keamanan Pangan (2006). Setelah 25 tahun sejak peringatan HPS yang pertama tahun 1981, ternyata masih banyak negara miskin, termasuk Indonesia yang umur kemerdekaannya telah 65 tahun, rakyatnya masih mengalami rawan pangan dan rawan daya beli. Rawan pangan atau rawan daya beli adalah setali tiga uang, sama saja. Pasokan pangan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, dan terpaksa harus impor beras, jagung, kedelai, bahkan gaplek. Masyarakat tidak bisa lepas dari mie instan, padahal bahan baku gandumnya seratus persen impor. Banyak ahli yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini telah terjebak hutang dan terjebak pangan, padahal ditinjau dari posisi geografisnya Indonesia ini adalah negara tropis yang subur, dan seharusnya bisa berperan sebagai pemasok pangan dunia.

Akar masalah
HPS yang diperingati setiap tahun sekali, hanya akan menjadi sekedar peringatan yang seremonial saja bila tidak ada langkah-langkah menyelesaikan akar masalah. Saya mencoba mengambil contoh tiga akar masalah saja. Pertama, seorang aktivis lingkungan dari India, Vandana Shiva, mengatakan bahwa bila hendak menghancurkan sebuah negara, maka hancurkanlah siklus hidrologinya, dan pada gilirannya negara tersebut akan sangat bergantung kepada negara lain. Siklus hidrologi Indonesia memang sudah sangat menyengsarakan kehidupan penduduknya. Pemulihan kawasan lindung adalah suatu keharusan, manakala kita ingat kata-kata no forest - no water - no future, tiada hutan - tiada air - tiada masa depan, leuweung ruksak - cai beak - manusa balangsak. Pertanian tanpa dukungan sumber air sama saja dengan kegagalan. Sumber air tanpa pemulihan kawasan lindung sama saja dengan krisis air selamanya. Umur infrastruktur pengairan seperti waduk dan bendung tidak akan lama bila kawasan lindung di hulunya rusak. Dari kata-kata tersebut muncul filosofi perlunya kawasan hutan dan kawasan lindung abadi sebagai pengendali air, dan kawasan pertanian abadi sebagai sumber ketahanan pangan. Kedua, petani dan lahan pertanian adalah ibarat ikan dan air, tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak petani yang berlabel petani pekerja atau petani penggarap alias petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Pemerintah sebenarnya memiliki dua instrumen Undang-Undang (UU) yang bisa menjadi aspek legal masa depan sektor pertanian, yakni UU Pokok Agraria yang membatasi kepemilikan lahan dan UU yang melarang konversi lahan pertanian produktif untuk dipakai usaha lainnya. Namun faktanya, UU tersebut sulit diterapkan di lapangan. Indikasinya setiap tahun semakin banyak terjadi ketimpangan kepemilikan lahan dan ribuan hektar lahan pertanian dialih fungsi untuk kepentingan non pertanian. Apalah arti petani tanpa sumber daya lahan, petani asli semakin tersingkir dan dunia pertanianpun semakin terpuruk. Ketiga, Indonesia adalah negara kepulauan yang memanjang dari barat ke timur dan dari utara ke selatan, boleh dikatakan sebagai negara agraris dan maritim. Terkesan bahwa bangsa kita ini sekarang adalah pemakan nasi. Sawahpun menjadi kritis karena digenjot untuk terus berproduksi padi sepanjang tahun, dijejali pupuk kimia, tapi tidak pernah diimbangi dengan kemampuan mengatasi krisis pengairan, karena hutan dan kawasan lindung di hulu tidak dipulihkan dengan serius. Di jaman karuhun tempo dulu, setelah panen padi, maka sawah ditanami umbi-umbian dan palawija, selain untuk memutus siklus hidup hama, juga untuk keanekaragaman sumber pangan. Keanekaragaman pangan memang perlu terus digalakkan misal jagung, umbi-umbian, sagu, dan juga dari hasil laut. Ketiga akar masalah tersebut membutuhkan kemauan dan keberanian politik dari pemerintah untuk mencari terobosan-terobosan penyelesaian. Dari tema HPS tahun 2006 yaitu Investasi dalam Pertanian untuk Keamanan Pangan tidak akan berhasil bila sumber daya hutan dan kawasan lindung sebagai pengendali air tidak dipulihkan dulu. Untuk itu perlu ada terobosan investasi dalam bidang kehutanan dan kawasan lindung. Selamat merayakan Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober! (Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda / DPKLTS)

No comments: