Monday, October 30, 2006

KHAWATIRKAN PEMBANGUNAN WISATA TERPADU

JIKA HUJAN SEKITAR KAWASAN DILANDA BANJIR
Republika
Online, Rabu, 30 Agustus 2006,
san/rfa/ren
Foto: Sobirin, 2003, Punclut, Bandung Utara

Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, mengatakan, tingginya run off air hujan dari KBU ke Kota Bandung, dipicu oleh banyaknya kegiatan pembangunan fisik.


BANDUNG –
Masyarakat mengkhawatirkan pembangunan Kawasan Wisata Terpadu di kawasan Punclut, Bandung. Pasalnya, jika turun hujan, rumah warga yang berada di bawah proyek tersebut terendam banjir. Sementara itu, pembangunan infrastruktur proyek itu terus berlangsung.

Berdasarkan pantauan Republika, jalan dari Terminal Dago hampir selesai. Di balik bukit, jalan untuk perumahan memasuki finalisasi. Selain itu, di salah satu sudut kanan jalan sudah berdiri taman yang indah. Aktivitas pembangunan seperti pengerukan tanah juga terlihat. Di bagian bukit lainnya, sudah ada pembagian kavling.
Menurut salah satu pegawai, Pendi (36 tahun), jalan dari Dago-Sangiang yang panjangnya delapan km, sudah selesai sepanjang empat km di Dago-Ciumbuleuit. Hingga kini, yang belum selesai diaspal adalah Punclut-Lembang sepanjang 20 km. ''Tanah milik PT Dam Utama Sakti Prima (DUSP) sudah dikavling dari A-Z,'' katanya kepada Republika, Selasa (29/8).
Pendi mengatakan, tanah kavling tersebut sudah banyak dipesan terutama warga Jakarta. Ia mengaku, sejak pembangunan kawasan tersebut, ketika musim hujan, rumah warga termasuk pesantren terendam air.
Odin, warga Kampung Cipicung, Kelurahan Ciumbuleuit, mengatakan, belum ada kesepakatan harga antara warga dan PT DUSP. Warga menginginkan ganti rugi sebesar Rp 2,5 juta per meter, sedangkan PT DUSP hanya akan memberikan Rp 400 ribu. ''Warga masih bertahan dengan harga itu,'' katanya menandaskan.
Dihubungi secara terpisah, Staf Lapangan PT DUSP, Eddy Cahyadi, mengatakan, pembangunan infrastruktur ditargetkan selesai akhir 2006. Karena itu pada 2007 pembangunan rumah dimulai. Saat ini, pihaknya sedang menyelesaikan penataan saluran air, listrik, dan telepon.
''Kami memprioritaskan pembangunan rumah dan sekolah. Sedangkan pembangunan hotel dan fasilitas lainnya tergantung dana,'' katanya menandaskan.
Sementara itu, maraknya pembangunan fisik di kawasan Bandung utara (KBU) memicu peningkatan run off air hujan di Bandung. Lebih dari 75 persen intensitas air hujan di KBU sebanyak 2.250 mm per tahun, dihanyutkan ke Kota Bandung.
Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, mengatakan, tingginya run off air hujan dari KBU ke Kota Bandung, dipicu oleh banyaknya kegiatan pembangunan fisik. Menurut dia, semakin banyak pembangunan fisik, maka Kota Bandung semakin terancam banjir.
''Kalau Punclut dibangun, maka run off akan terus meningkat. Siap-siap saja Bandung kebanjiran,'' ujar Sobirin kepada Republika, Selasa (29/8). Dipaparkan dia, maraknya pembangunan fisik di KBU, merupakan produk kebijakan pemerintah daerah yang tidak ramah lingkungan.

Situ Lembang
Rencana pengembangan status Situ Lembang menjadi lokasi ekowisata, membuat warga di sekitar lokasi tersebut merasa khawatir. Namun, Perhutani menjamin bahwa pembangunan ekosistem tidak akan berdampak terhadap lingkungan.
''Kalau ini dibangun menjadi tempat wisata seperti perhotelan, kami takut jadi tidak bisa mencari ikan lagi,'' kata Ada (27 tahun), warga Kampung Baruahad, Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Selasa (29/8).
Selain itu, pembangunan lokasi ekowisata juga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kualitas air di Situ Lembang. Menurut Ada, air di Situ Lembang dialirkan ke beberapa desa di Kecamatan Cisarua. Selain itu, kata dia, air dari Situ Lembang juga mengalir hingga ke Kota Cimahi.
Dari informasi yang diperoleh, kelompok pecinta alam Wanadri menemukan adanya indikasi Situ Lembang akan tergusur oleh proyek pengembangan ekowisata.
Dikhawatirkan, proyek ekowisata ini akan mengganggu ekosistem di sekitar Situ Lembang. (san/rfa/ren )

No comments: