Monday, October 30, 2006

KBU DAN BOSSCHA JADI PERHATIAN PANSUS RUU

Konservasi KBU sangat penting untuk menjaga pasokan air

Republika Online, Jumat, 1 September 2006
Foto: Sobirin, 2005, Peneropongan Bintang, Lembang, Bandung
Dewan Pakar DPKLTS, Supardiyono Sobirin, mengatakan, selain melanggar tatanan lingkungan, pembangunan sekolah internasional di Punclut akan menuai persoalan budaya dan sosial.


SOREANG –
Kawasan Bandung utara (KBU) serta Observatorium Bosscha mendapat perhatian khusus dalam pembahasan rancangan undang-undang Penataan Ruang (PR). Untuk itu, Pansus RUU PR DPR RI meminta Pemkab Bandung untuk mempertahankan kondisi tata ruang di KBU dan Observatorium Bosscha.
''Kami meminta supaya kawasan Bandung utara tetap dijaga karena merupakan daerah konservasi dan reservoir air bawah tanah,'' kata anggota Pansus Penataan Ruang DPR RI, Ir Abdurahman Syagaff, usai melakukan kunjungan ke Pemkab Bandung, Kamis (31/8). Ditambahkan Abdurahman, konservasi KBU sangat penting untuk menjaga pasokan air bagi beberapa daerah yang berada di Cekungan Bandung, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung.

Selain itu, Abdurahman juga mempertanyakan mengenai banyaknya alih fungsi lahan di Kab Bandung, salah satunya di kawasan Bosscha. Menurut dia, kawasan Bosscha harus steril dari pendirian bangunan lain dengan radius dua kilometer.
Bupati Bandung, Obar Sobarna, menjelaskan, kondisi KBU sejak dinyatakan status quo sudah sangat terjaga. Puluhan pengajuan izin pemanfaatan tanah (IPT) di KBU, kata dia, tidak pernah disetujui. Namun, Obar menilai, untuk mengoptimalkan konservasi lahan di KBU perlu ada insentif dan disinsentif dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. ''Sudah selayaknya jika kabupaten yang memiliki lahan konservasi mendapatkan insentif karena telah memberikan fungsi lindung bagi kawasan hilir,'' cetus dia.
Sedangkan Pemkot Bandung tidak keberatan dengan pembangunan sekolah internasional yang akan dibuat PT Dam Utama Sakti Prima (DUSP) di kawasan Punclut.
Sementara Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menilai, pembangunan sekolah internasional akan mengancam budaya Sunda. Dewan Pakar DPKLTS, Supardiyono Sobirin, mengatakan, selain melanggar tatanan lingkungan, pembangunan sekolah internasional di Punclut akan menuai persoalan budaya dan sosial. Dipaparkan dia, pembangunan sekolah internasional di Punclut akan memperjelas kesenjangan sosial masyarakat.
Wali Kota Bandung, Dada Rosada, mengatakan, sekolah internasional memang dibutuhkan untuk melayani masyarakat. Dijelaskan dia, di Kota Bandung banyak masyarakat yang berminat menyekolahkan anaknya di sekolah internasional.
''Selain sekolah formal dan internasional sama-sama dibutuhkan,'' ujar Dada di Dago, Rabu (30/8). Lain halnya bila konsep pembangunan sekolah internasional itu melanggar aturan, menurut dia, maka harus diperbaiki.
Sementara itu, proyek kawasan wisata terpadu milik PT DUSP sampai saat ini belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Padahal, pada awal 2007 PT DUSP merencanakan pembangunan fisik berupa perumahan.
''Izin yang kami miliki baru izin penggunaan peruntukan tanah (IPPT),'' ujar Direktur PT DUSP, Fandam F Darmawan, seusai peresmian Taman Cikapayang, Kamis (31/8). Ia menambahkan, IMB proyek kawasan wisata terpadu seluas 80 hektare, masih dalam proses.
Sementara itu, Staf Lapangan PT DUSP, Eddy CS, mengatakan, saat ini pihaknya masih menyelesaikan infrastruktur, yakni pembuatan jalan, saluran air, listrik dan telepon. Rencananya, pemnbangunan infrastruktur selesai akhir 2006. Setelah itu akan dimulai pembangunan fisik berupa perumahan.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung, Muchsin Al Fikri, mengatakan, sebelum memiliki IMB, PT DUSP tidak boleh membangun. Ia menjelaskan, tahapan perizinan di Kota Bandung adalah izin lokasi yang dikeluarkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), amdal, izin prinsip yang dikeluarkan Dinas Tata Kota (DTK), IPPT dikeluarkan DTK, dan diakhiri IMB yang dikeluarkan Dinas Bangunan (Disbang). (rfa/san/ren )

Read More..

JABAR KELEBIHAN 72 MILIAR METER KUBIK AIR

Suara Pembaruan Daily, 22/3/05

Foto: Satrya, Pikiran Rakyat, 11 Maret 2006, Banjir Bandung

BANDUNG -

Provinsi Jawa Barat (Jabar) mengalami kelebihan air mencapai 72 miliar meter kubik/tahun dari potensi air yang dimilikinya mencapai 80 miliar meter kubik/tahun. Kelebihan air itu membuat sebagian wilayah provinsi tersebut mengalami musibah bencana banjir dan longsor pada musim penghujan.
"Potensi air yang baru dimanfaatkan oleh penduduk Jabar hanya delapan miliar meter kubik/tahun, padahal kebutuhan terhadap air mencapai 17 miliar meter kubik/tahun," kata Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, di Bandung, Senin (21/3).

Berkaitan dengan Peringatan Hari Air Sedunia, Supardiyono Sobirin menyatakan akibat kelebihan air tersebut Provinsi Jabar sering mengalami banjir pada musim hujan, tetapi sebaliknya menderita kekeringan dan defisit air pada musim kemarau.
Ia menambahkan penyebab dari kelebihan air tersebut adalah kerusakan alam yang serius dan lebih dari separuh hutan hilang sehingga Jabar tidak lagi memiliki kawasan yang dapat menyangga lingkungan hidup dan kestabilan persediaan air.
Dicontohkan, persentase polusi di Sungai Citarum mencapai 47,1 persen, sedangkan di Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane mencapai 47,4 persen.
Untuk mengatasi kelebihan air pada musim hujan dan menipisnya air di musim kemarau, langkah yang harus dilakukan adalah memperbaiki ''pabrik'' dan ''lumbung'' air alami melalui pemulihan kawasan lindung Jabar yang telah ditentukan seluas 45 persen dari luar Provinsi Jabar. Dari citra satelit dapat dipantau luas hutan Jabar yang seharusnya 800 ribu hektare, kini hanya tersisa 300 ribu hektare saja yang masih dianggap bagus. (Ant/A-16)

Read More..

PENGHIJAUAN BEKAS LAHAN TPA CICABE

Bekas Lahan TPA Cicabe Masih Dibiarkan Tandus

KOMPAS JAWA BARAT, Senin 7 Agustus 2006
Foto: M. Gelora Sapta, Pikiran Rakyat, 13 Pebruari 2006

Menurut anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, lahan bekas TPA Cicabe dapat dijadikan ruang terbuka hijau, dan tidak perlu menunggu terlalu lama.


Bandung, Kompas –

Lahan bekas Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Cicabe, Kelurahan Mandalajati, Kecamatan Cicadas, masih tandus. Padahal, Pemerintah Kota Bandung akan menjadikan Cicabe sebagai Tegallega kedua.
Di bekas lahan seluas 1,5 hektar ini yang tampak adalah hamparan tanah merah untuk mengubur sampah. Berbagai jenis sampah muncul di antara gundukan tanah. Di atas lahan yang ditata secara berundak itu suhu terasa amat panas di siang hari. Tidak ada pohon, alias tandus.

"Katanya mau ada penghijauan. Tidak tahu kapan. Pemerintah belum pernah memberi tahu kepastiannya. Kami berharap cepat ditanami pohon biar teduh," kata Dede (35), warga RT 05 RW 14 Kelurahan Mandalajati, yang tinggal di samping lahan bekas TPA Cicabe, Minggu (6/8).
Dede khawatir kalau gundukan tanah dibiarkan, akan rawan longsor. Sebab, TPA Cicabe berada di atas sawah dan rumah sebagian penduduk Kelurahan Mandalajati, terutama RW 06.
Hal serupa dikatakan Rudi (25), tetangga Dede. Bagi Rudi, semakin cepat lahan bekas TPA itu dibangun menjadi ruang terbuka hijau (RTH), warga sekitar akan diuntungkan. Rudi dan warga lainnya berharap tempat itu akan dikunjungi banyak orang sebagaimana Tegallega. Jadi, masyarakat bisa membuka usaha. "Apalagi, katanya akan ada lapangan sepak bolanya. Lahannya sudah ada, tapi masih gundul," ujar Rudi.
TPA Cicabe ditutup sejak 15 April 2006 karena sudah tidak dapat lagi menampung sampah. Menurut anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, lahan bekas TPA Cicabe dapat dijadikan ruang terbuka hijau, dan tidak perlu menunggu terlalu lama.
"Tinggal digali 2 meter, dipilih yang anorganik seperti kaca, kaleng, dan plastik, diangkat, dan dipisahkan. Kemudian ditanami pohon yang cocok," kata Sobirin.
Ia juga mengusulkan agar di sepanjang tepi lahan Cicabe ditanami bambu. Pohon bambu dapat menahan tanah sehingga tanah tidak rawan longsor. Bambu juga mampu menyerap zat-zat hasil fermentasi tumpukan sampah.
"RTH di Cicabe juga harus dilengkapi drainase air lindi dan pipa- pipa untuk keluarnya gas metan. Sebab, fermentasi di lapisan bawah tanah terus terjadi," tutur Sobirin.
Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung Taufik Rachman menjelaskan, bekas TPA Cibabe belum dibangun karena masih terdapat uap panas dari fermentasi sampah. "Kami juga belum mengadakan penelitian mengenai kontur tanah dan sebagainya," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, belum ada anggaran untuk membangun Cicabe. "Kita masih menunggu. Tapi, untuk penelitian akan memakai dana kita sendiri," katanya.
Sementara untuk mencegah terjadinya longsor, lahan di sekitar Cicabe akan ditanami berbagai macam pohon. "Mungkin nanti kalau musim hujan sudah datang, sekitar bulan Oktober," tutur Taufik. (MHF)

Read More..

KHAWATIRKAN PEMBANGUNAN WISATA TERPADU

JIKA HUJAN SEKITAR KAWASAN DILANDA BANJIR
Republika
Online, Rabu, 30 Agustus 2006,
san/rfa/ren
Foto: Sobirin, 2003, Punclut, Bandung Utara

Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, mengatakan, tingginya run off air hujan dari KBU ke Kota Bandung, dipicu oleh banyaknya kegiatan pembangunan fisik.


BANDUNG –
Masyarakat mengkhawatirkan pembangunan Kawasan Wisata Terpadu di kawasan Punclut, Bandung. Pasalnya, jika turun hujan, rumah warga yang berada di bawah proyek tersebut terendam banjir. Sementara itu, pembangunan infrastruktur proyek itu terus berlangsung.

Berdasarkan pantauan Republika, jalan dari Terminal Dago hampir selesai. Di balik bukit, jalan untuk perumahan memasuki finalisasi. Selain itu, di salah satu sudut kanan jalan sudah berdiri taman yang indah. Aktivitas pembangunan seperti pengerukan tanah juga terlihat. Di bagian bukit lainnya, sudah ada pembagian kavling.
Menurut salah satu pegawai, Pendi (36 tahun), jalan dari Dago-Sangiang yang panjangnya delapan km, sudah selesai sepanjang empat km di Dago-Ciumbuleuit. Hingga kini, yang belum selesai diaspal adalah Punclut-Lembang sepanjang 20 km. ''Tanah milik PT Dam Utama Sakti Prima (DUSP) sudah dikavling dari A-Z,'' katanya kepada Republika, Selasa (29/8).
Pendi mengatakan, tanah kavling tersebut sudah banyak dipesan terutama warga Jakarta. Ia mengaku, sejak pembangunan kawasan tersebut, ketika musim hujan, rumah warga termasuk pesantren terendam air.
Odin, warga Kampung Cipicung, Kelurahan Ciumbuleuit, mengatakan, belum ada kesepakatan harga antara warga dan PT DUSP. Warga menginginkan ganti rugi sebesar Rp 2,5 juta per meter, sedangkan PT DUSP hanya akan memberikan Rp 400 ribu. ''Warga masih bertahan dengan harga itu,'' katanya menandaskan.
Dihubungi secara terpisah, Staf Lapangan PT DUSP, Eddy Cahyadi, mengatakan, pembangunan infrastruktur ditargetkan selesai akhir 2006. Karena itu pada 2007 pembangunan rumah dimulai. Saat ini, pihaknya sedang menyelesaikan penataan saluran air, listrik, dan telepon.
''Kami memprioritaskan pembangunan rumah dan sekolah. Sedangkan pembangunan hotel dan fasilitas lainnya tergantung dana,'' katanya menandaskan.
Sementara itu, maraknya pembangunan fisik di kawasan Bandung utara (KBU) memicu peningkatan run off air hujan di Bandung. Lebih dari 75 persen intensitas air hujan di KBU sebanyak 2.250 mm per tahun, dihanyutkan ke Kota Bandung.
Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, mengatakan, tingginya run off air hujan dari KBU ke Kota Bandung, dipicu oleh banyaknya kegiatan pembangunan fisik. Menurut dia, semakin banyak pembangunan fisik, maka Kota Bandung semakin terancam banjir.
''Kalau Punclut dibangun, maka run off akan terus meningkat. Siap-siap saja Bandung kebanjiran,'' ujar Sobirin kepada Republika, Selasa (29/8). Dipaparkan dia, maraknya pembangunan fisik di KBU, merupakan produk kebijakan pemerintah daerah yang tidak ramah lingkungan.

Situ Lembang
Rencana pengembangan status Situ Lembang menjadi lokasi ekowisata, membuat warga di sekitar lokasi tersebut merasa khawatir. Namun, Perhutani menjamin bahwa pembangunan ekosistem tidak akan berdampak terhadap lingkungan.
''Kalau ini dibangun menjadi tempat wisata seperti perhotelan, kami takut jadi tidak bisa mencari ikan lagi,'' kata Ada (27 tahun), warga Kampung Baruahad, Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Selasa (29/8).
Selain itu, pembangunan lokasi ekowisata juga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kualitas air di Situ Lembang. Menurut Ada, air di Situ Lembang dialirkan ke beberapa desa di Kecamatan Cisarua. Selain itu, kata dia, air dari Situ Lembang juga mengalir hingga ke Kota Cimahi.
Dari informasi yang diperoleh, kelompok pecinta alam Wanadri menemukan adanya indikasi Situ Lembang akan tergusur oleh proyek pengembangan ekowisata.
Dikhawatirkan, proyek ekowisata ini akan mengganggu ekosistem di sekitar Situ Lembang. (san/rfa/ren )

Read More..

Thursday, October 26, 2006

DI ANTARA SAMPAH ITU ADA MAK ENOY!

Pikiran Rayat, Selasa, 20 Juni 2006
Foto: Sobirin, 2005, Sampah Bandung di Leuwigajah

Oleh MEMET H. HAMDAN

Pak Sobirin memberikan proses adaptifnya dengan memperlihatkan tanaman padi yang ditanam pada pot dan menggunakan kompos produksinya sendiri untuk pemupukannya.




Bandung dan Bekasi (dua kota di Jawa Barat) terkotor di Indonesia. Sementara Wakil Gubernur Jawa Barat dengan ekspresif menyatakan kekecewaan, Pak Dada Rosada yang Wali Kota Bandung mengaku tidak kecewa, bahkan tampaknya sangat ”sumamprah” terhadap penilaian yang merupakan hak sang penilai.

Sejalan dengan itu pula, pada hari Selasa tanggal 13 Juni 2006, sekelompok -- lebih kurang 60- orang (yang merasa diri peduli kebersihan kota dan cinta kepada kota bandung) -- yang diprakarsai The Bandung Heritage Society dengan Frances Affandi-nya, berkumpul di Bale Pasundan Hotel Panghegar untuk berbincang bagaimana "kita" bisa ikut menyelesaikan masalah sampah yang jumlahnya kurang lebih 650.000 m3 dan sudah melebihi kemampuan pengolahan dari Dinas Kebersihan (baca : Pemerintah!) Kota Bandung.

Prof. Otto Sumarwoto yang pakar lingkungan dalam pertemuan tersebut sangat sugestif menilai sampah adalah sebagai resources, dengan semangat yang menggebu menyampaikan alternatif untuk mengubah sampah organik (yang setelah dipilah dari sampah an-organik) untuk dijadikan kompos yang bermanfaat untuk pertanian. Pondok Karinda (Karang Tengah Indah) di Jakarta Selatan yang pemiliknya adalah Pak Djamaludin (mantan Menteri Kehutanan RI) diintroduksikan sebagai upaya yang baik bagaimana mengubah sampah tersebut menjadi kompos, dengan pengolahan yang sederhana dan sebatas lingkungan rumah tangga dalam lingkungan rukun tetangga.
Pak Otto sangat konsisten untuk konsep bahwa sampah jangan dibakar, karena selain akan menghasilkan dioksin yang tidak bagus dihirup manusia, juga akan membuat sampah menjadi limbah buangan, bukan sumber daya olahan. Konsekuen dengan pendapatnya, Prof. Otto sangat mengkritisi pembakaran sampah di tempat sampah Kantor Gubernur di Gedung Sate. Pak Otto menggarisbawahi, bahwa untuk situasi Kota Bandung yang berada pada sebuah cekungan, penanggulangan sampah dengan cara dibakar adalah sangat tidak baik apalagi menguntungkan.
Sejalan dengan Prof Otto, Prof (?). Sobirin (waah, saya mah bukan profesor, dilantiknya oleh pak Memet nih!) yang juga menggeluti ihwal lingkungan, menawarkan alternatif solusi yang identik dengan apa yang dilakukan di Karinda, dengan penerapan teknis yang lebih sederhana, bahkan untuk pengolahan di tingkat rumah tangga bisa dengan menggunakan alat bantu karung plastik dan ember bekas. Pak Sobirin memberikan proses adaptifnya dengan memperlihatkan tanaman padi yang ditanam pada pot dan menggunakan kompos produksinya sendiri untuk pemupukannya. Pada skala yang lebih besar, Pak Sobirin mengintroduksi bahwa penggunaan kompos untuk areal sawahnya yang 1 hektare, produksi pada saat panen bisa mencapai 9,5 ton gabah.
Pada pertemuan ini juga hadir beberapa orang aktivis LSM dan beberapa figur wanita, seperti Ibu Rukasih, Ibu Aang Kunaefi, Ibu Popong, Ibu Suhud Warnaen, Ibu Ana Anggraeni, dan Ibu Yani Aman, yang dengan tekun mengikuti pertemuan ini sampai selesai pukul 22.30 WIB. Pertemuan ini, sekali lagi, dimaksudkan sebagai ekspresi kepedulian warga -paling tidak peserta yang hadir- terhadap kebersihan, kenyamanan dan keamanan Kota Bandung, yang oleh Kang Herman Rukmanadi disampaikan sebagai pra-syarat daya tarik untuk kedatangan wisatawan ke suatu destinasi wisata. Ibu Rukasih Dardjat yang kebetulan juga adalah dari LIPI, kembali mengingatkan bahwa LIPI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 1993 telah menguji coba pembuatan insinerator untuk pengelolaan sampah, bahkan pada saat itu menjadi percontohan untuk 21 provinsi lainnya di Indonesia.
Mendukung gagasan tanggung jawab individual dalam pengelolaan dan pengolahan sampah, Ibu Yani yang kebetulan pengusaha, menyampaikan agar gagasan cara penanggulangan sampah yang diintroduksi oleh Pak Otto dan Pak Sobirin bisa segera disebarluaskan kepada masyarakat untuk replikasi di lapangan. Mendukung demikian banyak pemikiran, Ibu Hj. Aang Kunaefi, ketika diminta berbicara, tidak dapat menyembunyikan kemarahannya kepada petugas (Dinas Pertamanan atau Kebersihan?) Kota Bandung, ketika tanaman melati di depan rumahnya di Jln. Karang Tinggal dicabuti petugas tersebut, meskipun digantikan dengan tanaman pelindung yang besar. Yang cukup penting pencerahan dari Ibu Aang adalah, bahwa penanganan sampah harus dimulai dari diri dan rumah sendiri.
Mendukung untuk pengelolaan sampah, Prof. Rachman Maas mengintroduksi bahwa pembuatan kompos dari tinja manusia pun, seperti yang dilakukan di RRC tidak masalah, selama urine atau tinja yang jadi kompos itu untuk digunakan sebagai pupuk. Lebih jauh Pak Rachman Maas memberikan pencerahan spiritual, bahwa yang harus dicari oleh manusia (terutama Muslim) adalah bukan hanya kepuasan dan keamanan di dunia, tapi juga keselamatan di akhirat. Dengan menempatkan kebersihan sebagai pangkal keimanan, Pak Rachman Maas sangat menggarisbawahi bahwa pengelolaan sampah harus dimulai dari/secara individual, didukung dengan kadar keimanan kepada sang Khalik. Ibu Ana Anggraeni, bahkan mengingatkan peran seorang anak murid taman kanak-kanak untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Bandung sudah divonis sebagai salah satu kota terkotor di republik ini, bahkan Pak Yusuf Kalla yang Wakil Presiden mengajak kita untuk tertawa. Ir. Achmad Setjadipradja yang pakar teknik penyehatan mengingatkan bahwa sampah yang pada "episode" ketiga ini menumpuk sebanyak 650.000 m3, apabila dibariskan di jalan raya akan menumpuk dari Cibeureum di batas barat Kota Bandung sampai ke Ujungberung di batas timur setinggi 7 meter. Luar biasa!!
Produksi sampah sampah di Kota bandung yang diintroduksi pada pertemuan ini, adalah sebanyak 8.500 m3 per hari, dan 5.000 m3 di antaranya adalah produksi dari rumah tangga, sisanya berasal dari pasar tradisional, mal, perkantoran, jalanan, dan fasilitas publik lainnya. Penulis melihat bahwa apabila 5.000 m3 atau paling tidak 50% sampah di Kota Bandung bisa diselesaikan di tingkat rumah tangga dan rukun tetangga, tugas Dinas Kebersihan Pemkot Bandung dengan 75 buah (yang jalan hanya 55 buah) armada truknya, akan lebih ringan.
Mendukung kepada aplikasi tanggung jawab masyarakat secara individual dalam pengelolaan dan pengolahan sampah ini, proses teknis yang perlu ditempuh adalah bagaimana sampah itu bisa dipilah antara sampah organik dan anorganik. Bagaimana sampah yang basah dipisahkan dari yang kering, makanan sisa dipisahkan dari plastik dan kertas. Sementara sampah organik dan sisa makanan bisa diolah menjadi kompos dengan proses mikroorganisme yang sangat sederhana, kata Pak Sobirin dan Pak Otto, plastik, kaleng dan kertas bisa didaur ulang, bahkan bisa mendatangkan rezeki bagi pemulung.
Adalah Mak Enoy yang tinggal di Jln. Dago Pojok. Kegiatan rutinnya setiap hari setelah sembahyang subuh, dia membawa sapu lidinya dan menyapu jalan lingkungan dan beberapa halaman rumah tetangganya dengan kesadarannya sendiri, tanpa memikirkan upah atau balas jasa lainnya. Dia juga melakukan pemilahan sampah basah dan ranting-ranting daun dari kertas, kaleng atau plastik, dan kaleng. Plastik, dan kertas bekas itu ia siapkan di tempat yang tetap untuk pada waktunya akan diambil pemulung. Kami, peserta pertemuan, secara spontan memberikan aplaus kepada Mak Enoy. Ternyata, di zaman masyarakat pedesaan yang menolak di wilayahnya dijadikan TPS atau TPA kecuali dengan "pembayaran", bahkan di kota Bandung masih ada sosok Mak Enoy yang tanpa pamrih ingin hidup dalam lingkungan yang bersih, nyaman dan aman. Hidup Mak Enoy.
Mari kita cari 1.000 - 10.000, bahkan ratusan ribu Mak Enoy lainnya. Mari kita hidup dalam kota yang bersih, aman dan nyaman. Tidak mudah memang, tapi sebagaimana tausiah dari Rachman Maas diatas, terutama kepada muslimin, dalam hidup ini yang harus dicari bukan hanya sekadar kepuasan dan keamanan di dunia, tapi juga keselamatan di akhirat.
Itulah sekadar ungkapan kepedulian dari kami yang pada tanggal 13 Juni 2006 yang lalu berkumpul di Bale Pasundan Hotel Panghegar dari pukul 6.30 s.d. 22.30 WIB, dan menamakan pertemuan kami sebagai Gerakan Mak Enoy! Terima kasih Pak Hilwan Saleh dengan Hotel Panghegar-nya yang telah menyediakan santap malam dengan enak. Sebelum lupa, satu tip buat Pak Wali Kota bila gerakan Mak Enoy bisa dilaksanakan, tentunya bertahap dan perlu waktu, tolong Pak Dada agar retribusi sampah dihapuskan.*** Penulis, warga Kota Bandung.

Read More..

SAMPAH DIUSULKAN DIBUANG KE LAHAN KRITIS

PENANGANAN HANYA OLEH PEJABAT BAWAH
KOMPAS
, Jawa Barat, Senin, 15 Mei 2006, MHF

Foto: Sobirin, 2005, Musibah Sampah Kota Bandung

"Tidak ada salahnya jika sampah dibuang ke hutan. Kalau ada monyet yang mabuk, biarin aja daripada manusia yang mabuk. Ini masalah prioritas kesehatan masyarakat kota," ujar Supardiyono Sobirin.



BANDUNG, KOMPAS -
Kondisi tumpukan sampah di Kota Bandung sudah sedemikian kritis. Karena situasinya sangat darurat, sampah itu harus segera dievakuasi dari tengah kota. Salah satu cara yang sangat mungkin dilakukan adalah membuang sampah ke lahan kritis di perkebunan atau hutan. Demikian diusulkan Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, Jumat (12/5). "Tidak ada salahnya jika sampah dibuang ke hutan. Kalau ada monyet yang mabuk, biarin aja daripada manusia yang mabuk. Ini masalah prioritas kesehatan masyarakat kota," ujarnya.

Usulan ini bertolak dari belum adanya kepastian Bupati Bandung Obar Sobarna dalam menentukan lahan yang dapat dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) bagi Pemerintah Kota Bandung. "Daripada nunggu lama-lama, lebih baik sampah dibuang ke lahan kritis di hutan atau perkebunan," kata Sobirin.

Menurut Sobirin, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menentukan lahan TPA disebabkan tanah yang menjadi calon lokasi TPA merupakan tanah milik, sehingga harus ada ganti rugi. Selain itu, tanah di sekeliling lokasi TPA nanti akan turun harganya. Jadi, wajar jika tidak sedikit warga yang menolak adanya TPA di dekat tanahnya.


Selain itu, Sobirin menyarankan agar masyarakat juga mulai mengelola sampah dari rumah tangga. Di Jepang, kata Sobirin, sampah dilarang keluar rumah dan masing-masing rumah tangga mampu mengelolanya. "Sampah organik bisa dibuat kompos dan sampah anorganik dicuci kemudian dijual ke pemulung," kata Sobirin, yang rumahnya kini telah zero waste (bebas sampah).


Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja menegaskan, dalam minggu ini Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung harus memutuskan tempat pembuangan sampah. Sebab, kondisinya sudah memprihatinkan.


Perilaku warga kota


Sementara itu, peneliti persampahan dari Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Ir Enri Damanhuri mengatakan, tumpukan sampah juga merupakan cermin perilaku dan budaya warga kota. Mengutip hasil sebuah penelitian, Enri mengemukakan, 95 persen responden setuju adanya pemilahan sampah. Akan tetapi, hanya 1,5 persen yang telah melakukannya. "Jadi, ini memang budaya dan perilaku," ujarnya.


"Kita itu tidak punya strategi yang jelas, hanya bicara. Mestinya ada satu target yang kita harus konsisten. Menurut saya, memecahkan masalah sampah sudah sangat darurat. Tapi selama ini hanya rapat terus di hotel dan sebagainya, tetapi tidak memecahkan masalah," kata Enri, yang sering terlibat dan akhirnya memilih untuk tidak datang saat diundang dalam rapat membahas sampah itu.


Menurut Enri, selama ini yang terlibat pembicaraan mengenai penanganan sampah hanyalah pimpinan tingkat bawah. "Sementara top level tidak pernah rapat. Jadinya, kesepakatan yang ada selalu berubah," kata Enri.


Enri menyarankan agar Pemkot Bandung kembali mendekati TPA yang sudah ada (existing), seperti Jelekong, Cibabe, dan Pasir Impun. Selanjutnya, Pemkot Bandung harus meyakinkan kepada warga yang selama ini menolak bahwa Pemkot Bandung mampu mengelola sampah dengan lebih baik.


Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, belum perlu adanya intervensi pemerintah pusat kepada Pemkot Bandung untuk mengatasinya. Dia hanya menyarankan agar pemkot meningkatkan kampanye pengolahan sampah di tingkat rumah tangga. (MHF)

Read More..

Wednesday, October 25, 2006

KONFLIK PUNCLUT, PERTIMBANGAN BISNIS

MEMPERTIMBANGKAN LINGKUNGAN DALAM BISNIS
ITB News, School of Business and Management, Krisna, 23-05-2005

Foto: Sobirin, 2004, Punclut, Bandung Utara, Prioritas Dihijaukan

Sebuah pemaparan bertemakan Lingkungan Puncak Ciumbeluit (Punclut) yang menarik dan mencerahkan diberikan oleh Sobirin, 21 Mei 2005, kemarin di Ruang Auditorium Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.



Kehadiran salah satu anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda ini merupakan bagian dari kuliah tamu (guest lecturing) yang diselenggarakan secara reguler oleh SBM ITB setiap akhir pekan. Yang unik dalam kuliah tamu ini adalah tema yang diangkat. Berbeda dengan seminar, workshop, atau kuliah–kuliah tamu di SBM sebelum–sebelumnya yang lebih banyak mengangkat mengenai dunia manajemen dan bisnis, kali ini SBM mengangkat tema lingkungan hidup, khususnya lingkungan Punclut.

Yang menjadi diskusi adalah apakah Punclut itu merupakan "barang publik" atau "barang swasta". Dua terminologi kontradiksional ini muncul karena memang terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah Daerah (Pemda), Pengembang, dan Masyarakat. Sobirin memulai pemaparannya dengan mengungkap berbagai fakta mengenai Punclut dan laju kerusakan yang terjadi di Punclut. Punclut merupakah salah satu kawasan Bandung Utara (38.548 hektar) yang berada di bawah Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung. Luas Punclut sekitar 268 hektar.

Melalui berbagai citra satelit dan foto udara, Sobirin memperlihatkan kerusakan yang terjadi di Kawasan Bandung Utara (KBU), termasuk Punclut. Hingga tahun 2003 lalu, 70% KBU hancur. Di Punclut sendiri kawasan hutan dan pertanian turun masing–masing 12 persen dan 14 persen. Sementara itu, Kawasan pemukiman dan semak belukar meningkat masing masing 149 persen dan 87 persen. Kalau pada tahun 1960, koefisien run–off KBU hanya 40 persen, tahun 2004, koefisien run–off KBU mencapai 90 persen.

Muka air tanah pun turun drastis; muka air tanah dangkal turun hingga 10 meter; muka air tanah tengah turun 10–80 meter; dan muka air dalam turun 50–80 meter. Kawasan KBU, termasuk Punclut jelas merupakan kawasan penyangga cekungan Bandung. Akibat lain yang parah selain turunnya muka air tanah dan meningkatnya koefisien run–off adalah menurunnya kualitas udara.

Di atas Bandung akan terbentuk "heat island", terdapat awan yang membuat polusi udara di kota Bandung untuk terkonsentrasi terus–menerus di atas kota Bandung. Bulan Oktober 2004 tercatat suhu tertinggi yang pernah dialami kota Bandung, yaitu 34 derajat Celcius. Alhasil, temperatur meningkat dan kualitas udara rendah. Dari 365 hari dalam setahun, menurut Sobirin, hanya 55 hari di mana, kualitas udara kota Bandung sehat.

Kronologi konflik yang terjadi di kawasan Punclut sebenarnya bermula dari tahun 1950. Konflik ini memang banyak diwarnai oleh penerbitan dan pembatalan Surat Keputusan (SK). Bibit konflik mulai ada saat tahun 1961 Pemerintah memberikan Hak Milik Tanah di Punclut kepada 948 pejuang RI dengan syarat mereka akan membangun rumah dalam waktu lima tahun. Namun, karena tidak segera dibangun, mulai bermunculan warga yang mendirikan rumah.

Konflik semakin kompleks saat pengembang, PT Dam Utama Sakti Prima (DUSP) diberi ijin untuk membangun Punclut tahun 1994. PT DUSP semakin memperluas wilayah dan kewenangannya di atas kawasan Puclut dengan memohon Hak Guna Bangunan (HGB) atas wilayah seluas 37,31 hektar. Hal ini semakin memperkuat pro dan kontra pembangunan Punclut (2003–2005). Muncul pula rencana untuk membangun jalan raya untuk mempermudah akses ke seluruh KBU. Sebenarnya, masalah dasar dari konflik Punclut bagaikan memakan buah simalakama. Pemda ingin membangun Punclut (dan KBU) karena kawasan ini akan semakin carut marut jika dibiarkan begitu saja, namun karena Pemda tidak memiliki modal yang cukup untuk membangun, harus diserahkan kepada pihak swasta (pengembang).

Menggandeng swasta dalam pembangunan Punclut memang menuai banyak kritik dan protes karena dalam pelaksanaannya, swasta banyak membangun hal–hal yang secara spesifik hanya menguntungkan pihak swasta itu sendiri. Dampak pada lingkungan alamiah dan sosial adalah salah satu faktor utama yang dihiraukan. Sobirin menunjukkan salah satu contohnya yaitu dibangunnya Snow Princess Resort, persis di pinggir tebing yang gradien curamnya lebih dari 40 persen (rawan longsor). Sementara itu, persis di bawah tebing itu terdapat sekolah. Observatorium Bosscha, salah satu dari (hanya) empat observatorium bintang di kawasan selatan katulistiwa juga terkena dampaknya. Pembangunan yang berlebihan membuat suasana malam di sekitar Bosscha menjadi terlalu terang. Kini, sulit untuk mengamati bintang dari Bosscha. Padahal, Bosscha juga pantas menyandang sebutan salah satu warisan ilmiah milik Institut Teknologi Bandung.

Sebagai solusi, Sobirin mengajak agar setiap pihak: Pemda, pengembang, dan masyarakat (juga mewakili lingkungan alami) berhenti bertengkar. Perlu diadakan diskusi bersama yang melahirkan win–win solution. Beliau juga mengusulkan diimplementasikan konsep ekohidrologi, bagaimana hutan mendaur ulang air; serta konsep Jungle Town Singapura. Singapura tidak memiliki konsep kawasan lindung karena Singapura dianggap seluruhnya sebagai kawasan yang pantas dilindungi. Pemukiman dan peradaban manusia menjadi bagian dari kawasan dan manusia wajib melindungi keharmonisan alamiah yang ada. Solusi lain yang juga ditawarkan adalah konsep ekowisata. Konsep ekowisata yang berprinsip konservasi dan berbasis masyarakat lokal sangat cocok untuk diterapkan dalam pengembangan kawasan KBU, termasuk Punclut.

Dalam diskusi di akhir sesi, muncul berbagai pertanyaan dan usulan. Salah satu yang menarik adalah mengapa tidak mendesak Pemda Bandung untuk mempertimbangkan lagi alternatif menggandeng pengembang melalui analisis biaya. Mengingat bahwa kerugian lingkungan yang akan terjadi akan memakan biaya yang jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat dari pengembangan wilayah Punclut oleh swasta. Menurut Sobirin, yang sulit adalah menghitung kerugian–kerugian lingkungan yang terjadi itu sangat sulit. Konklusi akhir kuliah tamu ini mengena bagi para mahasiswa SBM dan MBA; dalam setiap pertimbangan pembangunan bisnis, hendaknya faktor dampak lingkungan alamiah dan sosial (termasuk didalamnya kearifan budaya lokal) perlu diperhitungkan dan bahkan, diprioritaskan.

Read More..

ADA MANIPULASI PETA RTRW KOTA BANDUNG

KOMPAS, Jawa Barat, Selasa, 22 Juni 2004, K11/K12
Foto: Sobirin, 2004, Kota Bandung dilihat dari bukit Punclut


Meskipun demikian, anggota Dewan Pakar DPKLTS S Sobirin enggan menyebut hal tersebut sebagai manipulasi. Namun, ia membenarkan adanya perbedaan peta RTRW tersebut.



BANDUNG, KOMPAS - Rencana Pemerintah Kota Bandung untuk membangun Kawasan Punclut menjadi daerah agrowisata, rumah kebun, dan jogging track, dianggap menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, yang menjadikan Kawasan Bandung Utara termasuk Punclut sebagai daerah dengan fungsi lindung. Selain itu, jika pembangunan yang dilakukan pemerintah kota di kawasan tersebut merujuk kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, para pakar dan pemerhati lingkungan melihat adanya manipulasi terhadap peta RTRW yang ada.

Menurut anggota Bagian Informasi dan Komunikasi Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), M Taufan Suranto, Senin (21/6), terdapat perbedaan peta dalam rancangan peraturan daerah tentang RTRW yang ditandatangani DPRD Kota Bandung dengan yang telah disahkan oleh Wali Kota Bandung Dada Rosada pada tahun 2004. Dalam peta Raperda RTRW Kota Bandung yang ditandatangani DPRD sebelumnya, kawasan Punclut berwarna hijau yang menandakan daerah tersebut sebagai kawasan lindung.

Adapun dalam RTRW yang ditandatangani Wali Kota Bandung, peta Kawasan Punclut terdapat warna kuning muda dan tambahan legenda (keterangan peta) yang menunjukkan daerah tersebut sebagai kawasan perumahan dengan kepadatan rendah. Padahal, di peta yang terdapat dalam Raperda RTRW yang ditandatangani DPRD hanya terdapat legenda warna kuning yang menyatakan daerah perumahan.

"Perbedaan tersebut hanya ada pada peta yang menyertai RTRW yang ditandatangani DPRD dan disahkan wali kota. Namun, isi teksnya tidak ada perubahan," kata Taufan. Perubahan peta RTRW tersebut, tambah Taufan, bisa disebabkan anggota DPRD tidak mengecek kembali saat Raperda RTRW tersebut disahkan menjadi perda oleh wali kota.

Meskipun demikian, anggota Dewan Pakar DPKLTS S Sobirin enggan menyebut hal tersebut sebagai manipulasi. Namun, ia membenarkan adanya perbedaan peta RTRW tersebut.

Keinginan warga

Sementara itu, seusai rapat tertutup dengan sejumlah dinas terkait dan wakil warga Punclut, Wali Kota Bandung Dada Rosada menegaskan bahwa pembangunan di kawasan Punclut akan terus dilanjutkan karena pembangunan tersebut diinginkan warga Punclut. Dalam kesempatan itu, Dada membenarkan kalau sudah ada izin lokasi yang dikeluarkan Pemkot bagi pembangunan Punclut, meski itu dikeluarkan semasa pemerintahan Wali Kota Aa Tarmana.

Untuk memperoleh izin prinsip, Pemkot akan melihat sejauh mana keterlibatan warga, kemudian dilakukan perencanaan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Tata Kota. Selanjutnya, rencana tersebut diajukan ke DPRD untuk memperoleh izin prinsip. Mengenai rencana pembangunan berwawasan lingkungan, Dada mengatakan, itu semua perlu pengawasan terus-menerus oleh warga setempat. Dalam pembangunan Punclut, 80 persen wilayah harus diperuntukkan bagi penghijauan, sedangkan pembangunan cukup 20 persen.

Menanggapi kegigihan Wali Kota Bandung yang akan terus membangun Punclut, Sobirin menilai aspirasi seluruh masyarakat harus diperhatikan. Untuk itu, LSM dan pemerhati lingkungan harus diajak berembuk mengenai masalah tersebut. Sobirin yakin, lebih banyak aktivis lingkungan dan warga Bandung yang menolak pembangunan Punclut daripada yang menyetujuinya.

Sobirin menilai, konsep pengelolaan Punclut yang diserahkan kepada pengembang dengan alasan kawasan tersebut selama ini terbengkalai dan pemerintah tak memiliki dana cukup, sebagai langkah yang keliru. Jika pengelolaan kawasan tersebut diserahkan kepada pengembang, orientasi mereka hanya sebatas sampai permukiman yang mereka bangun laku terjual.

Namun, bila pengelolaan tersebut diserahkan kepada masyarakat, kawasan Punclut akan berubah menjadi hutan kota. "Masyarakat sekitar Punclut dapat diberdayakan dalam konsep pengembangan Punclut sebagai hutan kota di mana Punclut akan ditanami berbagai tanaman keras dan buah-buahan yang hasil nonkayunya dapat dinikmati masyarakat sekitar," kata Sobirin. Ia juga memahami dukungan warga atas pembangunan Kawasan Punclut karena selama ini mereka memang terpinggirkan.

Namun Sobirin berharap agar pembangunan daerah tersebut disesuaikan dengan fungsinya sebagai kawasan lindung. Sobirin juga menilai, meskipun pengembangan Punclut tetap akan memperhatikan building coverage ratio (BCR), hal tersebut tidak tepat. Karena jika BCR tetap dijadikan perdebatan, yang muncul kembali adalah semangat untuk membangun perumahan. Padahal, Kawasan Punclut jelas-jelas merupakan daerah dengan fungsi lindung. Sobirin mengatakan, banyak ahli yang dapat dilibatkan untuk menentukan pola pengembangan Punclut yang paling sesuai baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. (K11/K12)

Read More..

PERLU PP UNTUK KBU

REPUBLIKA ONLINE, Senin, 04 September 2006
Foto: Prof. Otto Soemarwoto 2004, Kawasan Bandung Utara


Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, mengaku prihatin dengan maraknya pembangunan fisik di KBU. Kata dia, masing-masing pemerintah daerah (pemda) memiliki ego dalam mengelola KBU.



BANDUNG --
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mendesak pemerintah pusat menyiapkan peraturan pemerintah terkait Kawasan Bandung Utara (KBU). Sepanjang tidak diatur dengan PP, maka Pemprov Jabar hanya menjadi 'macan kertas' dalam melindungi KBU. Dewan Pakar DPKLTS, Supardiyono Sobirin, mengaku prihatin dengan maraknya pembangunan fisik di KBU. Kata dia, masing-masing pemerintah daerah (pemda) memiliki ego dalam mengelola KBU.

Bahkan, lanjut dia, peran pemprov nyaris tidak diindahkan oleh Pemkot/Pemkab Bandung serta Pemkot Cimahi.
Hal ini, ungkap Sobirin, karena berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13-14 disebutkan, pemkab/pemkot dan pemprov diberi porsi kewenangan yang sama dalam mengelola lingkungan. ''Agar pemegang kewenangan ini jelas, maka khusus KBU harus diatur melalui PP. Agar kebijakannya tidak tumpang tindih,'' ujar Sobirin, akhir pekan lalu.
Sobirin menjelaskan, selama ini pemprov hanya mampu mengamankan KBU dengan cara membuat surat keputusan (SK) atau surat edaran (SE) gubernur. Namun, kata dia, SK dan SE gubernur itu nyaris tidak diimplementasikan di lapangan.
''Saya menilai pemprov ini hanya sebagai 'macan kertas' dalam mengamankan KBU,'' cetus Sobirin. Dipaparkan dia, pemprov tidak bisa berbuat represif karena merasa bahwa pemkab/pemkot yang berwenang mengeluarkan izin pembangunan di KBU.
Dijelaskan Sobirin, maraknya pembangunan fisik di KBU memicu peningkatan run off air hujan di Bandung. Kata dia, lebih dari 75 persen intensitas air hujan di KBU sebanyak 2.250 mm per tahun, dihanyutkan ke Kota Bandung.
Menurut Sobirin, semakin banyak pembangunan fisik, maka Kota Bandung semakin terancam banjir. Saat ini, kata dia, terdapat 60 ruas jalan di Kota Bandung yang kebajiran saat hujan.
''Misalnya bila Punclut dibangun, maka run off akan terus meningkat,'' ujarnya. Dipaparkan Sobirin, maraknya pembangunan fisik di KBU, merupakan produk kebijakan pemerintah daerah yang tidak ramah lingkungan.
Sebelumnya, Wali Kota Bandung, Dada Rosada mengaku tidak keberatan dengan pembangunan fisik di KBU. Syaratnya, pembangunan yang dilakukan oleh pengembang tersebut, mengikuti kaidah aturan yang berlaku. Kalaupun melanggar, pihaknya meminta pengembang untuk memperbaikinya. ''Jangan langsung dibatalkan dong, perbaiki dulu,'' ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Keadilan Sejahtera Kab Bandung, Aam Salam Taufik, mengatakan, tidak ada tambahan pembangunan di KBU merupakan harga mati. Dijelaskan dia, saat ini pemprov dan pemkab dituntut untuk membenahi tatanan konservasi di KBU. Artinya, lanjut dia, sepanjang proses pembenahan berjalan, tidak ada pengeluaran izin pembangunan fisik di KBU.
''Di Kabupaten Bandung saja, tidak ada izin yang dikeluarkan sejak KBU dinyatakan status quo oleh gubernur,'' ujarnya. (san )

Read More..

WASPADAI, KEBAKARAN DISENGAJA

Bisa Saja Hutan Dibakar Karena Alasan Ekonomi, atau Politis
Pikiran Rakyat, 28 September 2006, (A-64/A-158)
Foto: M. Gelora Sapta, Pikiran Rakyat, 12 Oktober 2006

Bisa saja, kebakaran hutan disengaja oleh pihak tertentu karena alasan ekonomis maupun politis. Demikian pendapat dari anggota Dewan Pakar DPKLTS, Ir. S. Sobirin

BANDUNG, (PR).-Terjadinya musibah kebakaran hutan di beberapa wilayah di Jawa Barat, harus memunculkan kewaspadaan semua pihak terkait tentang kemungkinan adanya unsur kesengajaan. Bisa saja, kebakaran hutan disengaja oleh pihak tertentu karena alasan ekonomis maupun politis. Demikian pendapat dari anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. S. Sobirin dan Ketua Komisi B DPRD Jabar yang membidangi soal lingkungan, Hidayat Zaini. Keduanya dimintai pendapatnya di Bandung, Rabu (27/9).

Menurut Sobirin, berdasarkan data pada 2003, kerusakan hutan di wilayah Jabar 80% di antaranya disebabkan tindak pencurian. “Penyebab lainnya, 10% karena perambahan dan hanya 7% karena kebakaran serta 3% akibat bencana,” kata Sobirin.

Ia mengatakan, terjadinya kebakaran hutan secara beruntun di beberapa wilayah di Jabar belakangan ini, menunjukkan peningkatan intensitas kerusakan hutan akibat kebakaran.

“Secara beruntun kebakaran terjadi Cikepuh, Ciremai Kab. Kuningan, kemudian Guntur, Kareumbi. Kemungkinan adanya kesengajaan dengan dalih apa pun, harus tetap diwaspadai,” ujar Sobirin.

Semua pihak harus prihatin dengan kebakaran di kawasan Gunung Kareumbi sehingga menghanguskan 100 ha kawasan hutan pinus. “Apalagi, hutan Kereumbi merupakan salah satu kawasan konservasi. Sebetulnya, dalam kondisi apa pun, melihat kondisi kehijauan lahan di sana, kecil kemungkinan terjadi gesekan ranting atau kayu yang menimbulkan api, terbilang kecil,” katanya.

Faktor kesengajaan secara ekonomi, menurut Sobirin, dilakukan untuk memanfaatkan lahan hutan yang rusak untuk ditanami kembali bukan dengan pohon sejenis. “Bisa saja nanti ditanami palawija. Yang harus diwaspadai adalah pemodal besar di baliknya,” ujarnya.

Reboisasi

Kendati demikian, Sobirin mengakui sulit membuktikan unsur kesengajaan di balik terjadinya kebakaran hutan. Meskipun, secara fisik dapat dibedakan kebakaran karena ketidaksengajaan --misalnya akibat puntung rokok-- dengan modus yang disengaja.

“Karena itu, kuncinya adalah kesigapan aparat berwenang yang menjaga hutan. Ketika terjadi kebakaran hutan, polisi harus langsung menangani. Ketika musim hujan tiba, jangan terbuka peluang dilakukan penanaman oleh pemilik modal besar. Pemerintah harus langsung menyiapkan langkah reboisasi hutan yang terbakar, ketika musim hujan datang.”

Perlu dana besar

Ketua Komisi B DPRD Jabar Hidayat Zaini juga mengatakan semua pihak tetap harus mewaspadai kemungkinan unsur kesengajaan dalam musibah kebakaran hutan di Jabar. “Logika saja, penyebab kebakaran di tengah hutan akibat api dari puntung rokok, tidak bisa diterima. Padahal setiap tahun kebakaran terjadi di tempat yang sama,” katanya.

Dia menyatakan, institusi yang harus bertanggung jawab atas kebakaran hutan adalah pengelolanya, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Perum Perhutani.

Alasan yang dikemukakan Perhutani, menurut Hidyat, karena kekurangan personil saat penanganan. “Selama sejarah, belum pernah ada pemadaman kebakaran di Jabar yang dipadamkan lewat udara karena kita memang tidak punya alatnya,” kata Hidayat.

Musibah kebakaran itu, sekaligus juga harus menjadi pendorong konsep antisipasi kejadian serupa di masa mendatang. Dalam APBD saat ini, misalnya, belum ada alokasi untuk pemadaman kebakaran hutan.

“Tapi, mengacu pada luasnya lahan yang terbakar, diperlukan dana besar untuk mengatasinya,” kata Hidayat. (A-64/A-158)***

Read More..

HARI PANGAN DAN INVESTASI KAWASAN LINDUNG

KOMPAS, Jawa Barat, 16 Oktober 2006
Gambar: Kompas, 10 Desember 2005, Ant-Nik
Oleh: SOBIRIN


Di bulan Oktober sekitar pukul empat pagi kita dapat melihat rasi bintang Waluku di langit tepat di atas kepala kita. Rasi bintang Waluku atau Orion atau kalau masyarakat Kanekes menyebutnya dengan nama bentang Kidang, merupakan pertanda alam yang dipakai oleh karuhun kita jaman dulu untuk bersiap-siap menanam padi karena musim hujan akan segera tiba. Apakah petunjuk alam ini masih bisa dipakai pegangan, manakala lingkungan daerah tangkapan hujan telah sedemikian rusak parah?

Pembalakan liar, perambahan hutan, pembakaran hutan dan alih fungsi kawasan lindung di daerah tangkapan hujan menyebabkan iklim mikro rusak, musim hujan terjadi banjir berlebihan dan musim kemarau terjadi kekeringan kerontang. Beda debit sungai maksimum dan minimum menjadi sedemikian besar, pertanda bahwa sungai telah menjadi sakit parah. Iklim mikro sebagai benteng alam lokal tidak mampu lagi berfungsi menahan gejolak perubahan iklim global. Musim-pun berubah tidak bersahabat dan tidak mudah lagi diprediksi. Selain itu petani tempo dulu juga berbeda dengan petani jaman sekarang. Kalau dulu para petani masih banyak yang memiliki tanah pertaniannya sendiri, tetapi sekarang petani hanya sebagai petani penggarap saja, karena tanah pertanian telah beralih milik kepada petani berdasi dan pemodal yang tidak memahami konsep-konsep pertanian. Petani penggarap sangat bergantung kepada pemilik tanah dan pemodal. Bisa dimaklumi kalau di daerah Pantura terdapat anomali, dikatakan sebagai gudang beras, tetapi ternyata Indek Pembangunan Manusia (IPM) dari masyarakat setempat sangat rendah.

Hari Pangan Sedunia
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day (WFD) bermula dari hasil konferensi FAO (Food and Agriculture Organization) ke 20 pada bulan Nopember 1976 di Roma dengan resolusi Nomor 179. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, yang menetapkan bahwa mulai tahun 1981 setiap tanggal 16 Oktober seluruh negara anggota FAO, termasuk Indonesia, untuk menyelenggarakan peringatan HPS. Tujuan peringatan HPS adalah untuk menggali kesadaran dan perhatian semua pihak akan pentingnya penanganan masalah pangan demi keberlanjutan bangsa dan negara. Tema peringatan HPS dari tahun ke tahun sebagai berikut: Pangan adalah Urutan Pertama (1981 dan 1982), Keamanan Pangan (1983), Perempuan dalam Pertanian (1984), Kemiskinan Pedesaan (1985), Masyarakat Nelayan (1986), Petani Kecil (1987), Generasi Muda Pedesaan (1988), Pangan dan Lingkungan (1989), Pangan untuk Masa Depan (1990), Pohon untuk Kehidupan (1991), Pangan dan Gizi (1992), Panen Keanekaragaman Alam (1993), Air untuk Kehidupan (1994), Pangan untuk Semua (1995), Mengatasi Kelaparan dan Kurang Gizi (1996), Investasi untuk Keamanan Pangan (1997), Perempuan Memberi Makan Dunia (1998), Generasi Muda Melawan Kelaparan (1999), Milenium Tanpa Kelaparan (2000), Mengatasi Kelaparan Mengurangi Kemiskinan (2001), Air Sumber Keamanan Pangan (2002), Persekutuan Internasional Melawan Kelaparan (2003), Keanekaragaman Hayati untuk Keamanan Pangan (2004), Pertanian dan Dialog Antar Budaya (2005), Investasi dalam Pertanian untuk Keamanan Pangan (2006). Setelah 25 tahun sejak peringatan HPS yang pertama tahun 1981, ternyata masih banyak negara miskin, termasuk Indonesia yang umur kemerdekaannya telah 65 tahun, rakyatnya masih mengalami rawan pangan dan rawan daya beli. Rawan pangan atau rawan daya beli adalah setali tiga uang, sama saja. Pasokan pangan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, dan terpaksa harus impor beras, jagung, kedelai, bahkan gaplek. Masyarakat tidak bisa lepas dari mie instan, padahal bahan baku gandumnya seratus persen impor. Banyak ahli yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini telah terjebak hutang dan terjebak pangan, padahal ditinjau dari posisi geografisnya Indonesia ini adalah negara tropis yang subur, dan seharusnya bisa berperan sebagai pemasok pangan dunia.

Akar masalah
HPS yang diperingati setiap tahun sekali, hanya akan menjadi sekedar peringatan yang seremonial saja bila tidak ada langkah-langkah menyelesaikan akar masalah. Saya mencoba mengambil contoh tiga akar masalah saja. Pertama, seorang aktivis lingkungan dari India, Vandana Shiva, mengatakan bahwa bila hendak menghancurkan sebuah negara, maka hancurkanlah siklus hidrologinya, dan pada gilirannya negara tersebut akan sangat bergantung kepada negara lain. Siklus hidrologi Indonesia memang sudah sangat menyengsarakan kehidupan penduduknya. Pemulihan kawasan lindung adalah suatu keharusan, manakala kita ingat kata-kata no forest - no water - no future, tiada hutan - tiada air - tiada masa depan, leuweung ruksak - cai beak - manusa balangsak. Pertanian tanpa dukungan sumber air sama saja dengan kegagalan. Sumber air tanpa pemulihan kawasan lindung sama saja dengan krisis air selamanya. Umur infrastruktur pengairan seperti waduk dan bendung tidak akan lama bila kawasan lindung di hulunya rusak. Dari kata-kata tersebut muncul filosofi perlunya kawasan hutan dan kawasan lindung abadi sebagai pengendali air, dan kawasan pertanian abadi sebagai sumber ketahanan pangan. Kedua, petani dan lahan pertanian adalah ibarat ikan dan air, tidak bisa dipisahkan. Semakin banyak petani yang berlabel petani pekerja atau petani penggarap alias petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Pemerintah sebenarnya memiliki dua instrumen Undang-Undang (UU) yang bisa menjadi aspek legal masa depan sektor pertanian, yakni UU Pokok Agraria yang membatasi kepemilikan lahan dan UU yang melarang konversi lahan pertanian produktif untuk dipakai usaha lainnya. Namun faktanya, UU tersebut sulit diterapkan di lapangan. Indikasinya setiap tahun semakin banyak terjadi ketimpangan kepemilikan lahan dan ribuan hektar lahan pertanian dialih fungsi untuk kepentingan non pertanian. Apalah arti petani tanpa sumber daya lahan, petani asli semakin tersingkir dan dunia pertanianpun semakin terpuruk. Ketiga, Indonesia adalah negara kepulauan yang memanjang dari barat ke timur dan dari utara ke selatan, boleh dikatakan sebagai negara agraris dan maritim. Terkesan bahwa bangsa kita ini sekarang adalah pemakan nasi. Sawahpun menjadi kritis karena digenjot untuk terus berproduksi padi sepanjang tahun, dijejali pupuk kimia, tapi tidak pernah diimbangi dengan kemampuan mengatasi krisis pengairan, karena hutan dan kawasan lindung di hulu tidak dipulihkan dengan serius. Di jaman karuhun tempo dulu, setelah panen padi, maka sawah ditanami umbi-umbian dan palawija, selain untuk memutus siklus hidup hama, juga untuk keanekaragaman sumber pangan. Keanekaragaman pangan memang perlu terus digalakkan misal jagung, umbi-umbian, sagu, dan juga dari hasil laut. Ketiga akar masalah tersebut membutuhkan kemauan dan keberanian politik dari pemerintah untuk mencari terobosan-terobosan penyelesaian. Dari tema HPS tahun 2006 yaitu Investasi dalam Pertanian untuk Keamanan Pangan tidak akan berhasil bila sumber daya hutan dan kawasan lindung sebagai pengendali air tidak dipulihkan dulu. Untuk itu perlu ada terobosan investasi dalam bidang kehutanan dan kawasan lindung. Selamat merayakan Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober! (Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda / DPKLTS)

Read More..