Friday, June 15, 2007

REFORMASI MANAJEMEN BENCANA *)

Seminar Bencana Alam,
Universitas Pelita Harapan, Rabu 13 April 2005.

Foto: www.gelangputih.org

Oleh: Sobirin **)
ABSTRACT
Earthquake and tsunami disasters that happened in Nanggro Aceh Darusalam (NAD) some times ago opened our eyes and hearts that the disaster management in Indonesia is very weak.

The occurence of the NAD earthquake and tsunami disasters can be properly exploited as a strategic momentum to conduct disaster management reform in Indonesia.
A law about disasters with principality in benefit, openness, togetherness, and based on community, is immediately very important to be published as a legal umbrella for disaster management reform.
Basic concept of the disaster management reform is based on the community ability, for example improving society capacities and being able to help ownself in facing of threat and danger which have potency to become disasters around their life region. The community based disaster management should cover the overall phases, such as preparedness, emergency response, post emergency, mitigation and prevention.
The date of December 26, that is the date of the happening of the awful earthquake and tsunami disasters in NAD, then proposed to become National Disaster Day or even International Disaster Day, besides to commemorate the awful disasters, also to control the disaster management reform implementation.
(Key words: disaster management, community based, National Disaster Day)

SARI
Kejadian bencana gempa dan tsunami di Nanggro Aceh Darusalam beberapa waktu lalu telah membuka mata dan hati kita bahwa manajemen bencana di Indonesia ini sangat lemah.
Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai momentum strategis untuk melakukan reformasi manajemen bencana di Indonesia.
Perlu segera diterbitkan undang-undang tentang kebencanaan dengan azas manfaat, keterbukaan, kebersamaan, dan kemandirian masyarakat, sebagai payung legal reformasi manajemen bencana.
Konsep dasar reformasi manajemen bencana ini adalah manajemen bencana berbasis masyarakat yaitu menciptakan kondisi masyarakat yang berkapasitas, tidak rentan, mampu menolong diri sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi bencana di sekitar wilayah kehidupannya. Manajemen bencana berbasis masyarakat ini meliputi keseluruhan tahap yaitu kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, mitigasi dan pencegahan.
Tanggal 26 Desember, yaitu tanggal terjadinya gempa dan tsunami dahsyat di NAD tempo hari, diusulkan menjadi Hari Bencana Nasional atau bahkan sebagai Hari Bencana Internasional, selain untuk memperingati peristiwa bencana dahsyat tersebut, juga untuk mengontrol implementasi reformasi manajemen bencana.
(Kata kunci: manajemen bencana, berbasis masyarakat, Hari Bencana Nasional)

*) Disampaikan dalam Seminar Nasional Sehari Mitigasi Bencana Alam: Gempa, Tsunami dan Longsor di Universitas Pelita Harapan, Rabu 13 April 2005.
**) Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS),
Jl. R.E. Martadinata no. 189 A, Bandung 40114, e-mail: sobirindpklts@yahoo.com


REFORMASI MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA

DAFTAR ISI:

ABSTRACT/ SARI
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN 1
2. MANAJEMEN BENCANA KITA SANGAT LEMAH
3. “BACK TO BASIC”
4. BENCANA ITU OLEH ULAH KITA SENDIRI
5. KLASIFIKASI BENCANA
6. SIKLUS MANAJEMEN BENCANA
7. “GRASS ROOTS” YANG MAMPU MANDIRI
8. ALTERNATIF BAHAN SOSIALISASI
9. RESPON PEMERINTAH
10. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA


1. PENDAHULUAN

Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nangro Aceh Darusalam (NAD) tanggal 26 Desember 2004 yang lalu telah membuka mata dan hati kita bersama terhadap dua hal, pertama yaitu bahwa manajemen bencana alam di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan, dan kedua yaitu bahwa dalam situasi globalisasi saat ini yang dicirikan dengan kehidupan yang egois dan materialistis, ternyata masih ada jiwa kemanusiaan dan semangat gotong royong, yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri, yang membantu para korban musibah ini dengan sukarela.

Berita-berita yang diturunkan oleh media massa menunjukkan betapa bencana di NAD itu menjadi sangat komplek, antara lain:
• Manajemen Bencana Kurang Efektif (Kompas, 30 Desember 2004),
• Waspadai Perdagangan Anak Korban Bencana (Suara Merdeka, 2 Januari 2005),
• Aceh Butuh Bantuan Bukan Utang Baru (Jaga-Jaga, 3 Januari 2005),
• Gam Hadang Tim Kemanusiaan (Bisins Dot Com, 4 Januari 2005),
• Harus Disusun Standar Penanggulangan Bencana (Pikiran Rakyat, 10 Januari 2005),
• Militer Asing di Aceh Cukup Tiga Bulan (Kompas, 12 Januari 2005),
• Jadikan Bencana Aceh Momen Ubah Karakter Bangsa (Kompas, 12 Januari 2005),
• Pahami Dulu Budaya Aceh (Kompas, 12 Januari 2005),
• Perlu Koordinasi dan Leadership (Pikiran Rakyat, 13 Januari 2005),
• Aktivis LSM Farid Faqih Ditahan Polres Banda Aceh (Kompas, 27 Januari 2005),
• Situasi Terakhir di Banda Aceh, Penjarahan Merajalela (Kompas, 30 Januari 2005),
• dan banyak lagi yang mengomentari, mengkritisi penanganan gempa, tsunami di Aceh tersebut.

Setiap wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam hal tatanan lingkungan alam, tatanan sosial, dan ancaman bahaya yang berpotensi menimbulkan bencana. Demikian pula dengan NAD, yang kita maklumi bersama tengah memiliki permasalahan sosial politik tersendiri, tiba-tiba dilanda oleh bencana alam gempa bumi dan tsunami yang sedemikian hebat, maka akumulasi bencananya menjadi sangat komplek. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS, 2005) membuat klasifikasi ancaman bahaya di NAD sebagai berikut:

a. Ancaman bahaya geologi:
• gempa bumi (sangat rawan)
• tsunami (sangat rawan)
• letusan gunung berapi (tidak ada)
• tanah longsor (sangat rawan)

b. Ancaman bahaya iklim:
• badai (agak rawan)
• banjir (rawan)
• kekeringan (agak rawan)

c. Ancaman bahaya lingkungan:
• polusi: air, udara, tanah (agak rawan)
• penjarahan hutan (sangat rawan)
• alih fungsi lahan (sangat rawan)
• teknologi tidak tepat guna (rawan)
• wabah penyakit (rawan)
• gagal panen (rawan)

d. Ancaman bahaya sosial:
• kerusakan budaya (sangat rawan)
• budaya tidak disiplin (sangat rawan)
• politik tdk memihak rakyat (sangat rawan)
• konflik/ kerusuhan (sangat rawan)

Dapat dimaklumi bila setiap institusi memiliki persepsi yang tidak sama dalam membuat klasifikasi semacam tersebut di atas, namun paling tidak memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu menuju kepada manajemen penanggulangan bencana untuk mengurangi korban jiwa dan harta atau bahkan kalau mungkin tidak jatuh korban sama sekali.


2. MANAJEMEN BENCANA KITA SANGAT LEMAH


Dalam penanggulangan bencana, kita memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) yang dibentuk berdasar Keputusan Presiden (Kepres) nomor 3 tahun 2001. BAKORNAS PBP diketuai oleh Wakil Presiden dengan anggotanya para Menteri terkait, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI, dan Gubernur yang wilayahnya terkena bencana atau menjadi tempat pengungsi. BAKORNAS PBP memiliki Sekretariat yang terdiri dari Deputi Bidang Penanggulangan Bencana, Deputi Bidang Penanganan Pengungsi, Deputi Bidang Kerja Sama dan Peran Serta Masyarakat, dan Deputi Bidang Administrasi.


Di tingkat Propinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat SATKORLAK PBP yang diketuai oleh Gubernur, dan di tingkat Kabupaten/ Kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat SATLAK PBP yang diketuai oleh Bupati/ Walikota. Walaupun tugas dan fungsi dari BAKORNAS, SATKORLAK, dan SATLAK PBP ini telah jelas diuraikan dalam Kepres terkait, namun karena hanya merupakan wadah koordinasi yang bersifat non struktural maka faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini sering “kedodoran”.


Ada dua hal yang terlihat “lemah” dalam institusi ini. Pertama, yaitu bahwa susunan anggotanya terdiri dari para pejabat tinggi, yang nota bene dalam kesehariannya telah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan lain. Kedua, yaitu berdasar tugas dan fungsinya, institusi ini nampak lebih membobotkan diri kepada tahap tanggap darurat pada saat terjadi bencana saja, sedangkan tahap berikut semisal tahap pasca darurat, tahap pencegahan dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.


Dirasakan selama ini pemahaman terhadap manajemen bencana memang semakin luntur, karena dianggap masalah yang bukan “prioritas”. Dapat dipastikan “pemahaman dasar”-pun tentang manajemen bencana tidak dikuasai atau tidak dimengerti oleh banyak kalangan birokrat, masyarakat, apalagi kalangan swasta.


Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan “bagaimana nanti saja”. Ditinjau dari segi aspek sangat lemah, yaitu kelembagaan, organisasi, tata cara kerja. Ditinjau dari segi fungsi juga sangat lemah, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan. Ditinjau dari segi unsur juga sangat lemah, yaitu: sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, sumberdaya metode, dan sumberdaya perlengkapan. Padahal negara kita adalah negara yg memiliki ancaman bahaya dg klasifikasi “bervariasi dan berat”.

Suatu ketika terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu terkaget-kaget dan mengatakan kecolongan. Sehingga ketika bencana gempa dan tsunami di NAD dengan skala sedahsyat yang tempo waktu kita alami, maka institusi yang kita miliki, yaitu BAKORNAS, SATKORLAK, dan SATLAK PBP terasa ukurannya menjadi sangat “kecil dan sempit”. Organisasi PMI dan relawan2 LSM yang ikut dalam tanggap darurat terkesan bingung karena tidak tahu harus berkoordinasi dengan siapa. Tanpa mengurangi penghargaan kepada para petugas dan relawan kita, namun nampak bantuan asing yang kemudian menonjol karena memiliki perlengkapan yang canggih dan modern.

Pengalaman peristiwa bencana di NAD harus dapat kita pakai sebagai momentum untuk mereformasi manajemen bencana di Indonesia.


3. “BACK TO BASIC”

Pada hakekatnya yang disebut back to basic untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan, yaitu memahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan seharusnya memiliki sisi positif yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kerentanan masyarakat. Namun ada kalanya kita jumpai sebaliknya, pembangunan justru menambah kerentanan masyarakat, bahkan masyarakat menjadi terpinggirkan dan tergusur.

Di lain pihak, pembangunan yang telah dengan susah payah berhasil direalisasikan, ternyata hanya dalam beberapan saat bisa tersapu habis oleh bencana alam ataupun bencana sebagai dampak ulah manusia. Namun demikian, dengan pola pikir optimis, bencana yang telah meluluh-lantakkan seluruh wilayah, kita ambil hikmahnya sebagai peluang untuk pembangunan yang lebih berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.


Dalam rangka back to basic ini ada hal yang perlu segera kita miliki, yaitu payung legal yang mantap dan komprehensif berupa undang-undang tentang kebencanaan. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan aspek legal yang ada, yaitu Kepres nomor 3 tahun 1999 tentang BAKORNAS PBP, tidak cukup untuk menyelenggarakan manajemen bencana yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Penelitian dan pengkajian tentang kebencanaan ini harus terus diselenggarakan yang kemudian diimplementasikan dalam pendidikan dan pelatihan dalam rangka menjinakkan dan mengurangi ancaman bahaya.

Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, menjadi subyek yang setara. Semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungannya masing-masing, masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dan kelompoknya.


4. BENCANA ITU OLEH ULAH KITA SENDIRI

Manajemen bencana yaitu seluruh kegiatan bersiklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam hal penanggulangan bencana, pada tahapan sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah terjadi bencana, menyangkut berbagai kegiatan yg dirancang untuk memberi informasi kepada masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko bencana, mencegah korban jiwa dan kerugian harta benda, mengurangi penderitaan masyarakat, mempercepat proses pemulihan.

Surono (2005) dalam diskusi tetang mitigasi bencana di Universitas Parahyangan mengatakan bahwa kegiatan manusia seharusnya berwawasan lingkungan dan tidak boleh menjadi penyebab bencana (no fail, no accident). Sebaliknya, bila bencana itu bersifat murni alami, misal gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, bisa saja terjadi sewaktu-waktu karena manusia tidak dapat menahannya, namun seyogyanya tidak ada korban (may fail, no accident). Lalu muncul istilah human error yang sering menjadi penyebab terjadinya bencana yang tidak kita duga sama sekali, misalnya kejadian yang sangat memalukan, yaitu longsoran sampah di Leuwigajah yang menelan korban jiwa kurang lebih 150 orang, di perbatasan Kabupaten bandung dan Kota Cimahi pada tanggal 21 Februari 2005. Atau peristiwa lain yang tidak terbayangkan sebelumnya, semisal kita sedang naik mobil di jalanan luar kota, tiba-tiba tebing longsor dan menghantam mobil yang sedang kita tumpangi, seperti peristiwa yang terjadi di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung di kwartal pertama tahun 2005. Gundukan sampah dan tebing jalan yang longsor adalah murni termasuk human error, karena setiap saat seharusnya institusi yang bertanggung jawab melakukan kontrol dan tindak pengamanan.

Seorang ahli ekologi, Karl Pelzer (1980), mengatakan bahwa oleh tangan manusia, wajah alam asli berubah menjadi alam budaya. Wajah alam asli adalah keseluruhan unsur-unsur, seperti bentang alam, sungai yang berkelok-kelok flora dan fauna, pokoknya semua keanekaragaman hayati (biodiversity) dan keanekaragaman bumi (geodiversity), yang saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi. Wajah alam asli ini diolah oleh manusia demi kepuasan hidupnya, dan terciptalah wajah alam budaya. Wajah alam budaya mencerminkan untuk apa unsur-unsur wajah alam asli digunakan manusia: mungkin diubahnya atau bahkan dimusnahkannya. Wajah alam budaya dibentuk dari wajah alam asli oleh suatu kelompok budaya. Di bawah pengaruh suatu kebudayaan tertentu, yang juga mengalami perubahan dalam perjalanan waktu, wajah alam berkembang, atau mungkin hancur. Bila suatu kelompok budaya lain masuk, maka akan terhampar wajah alam budaya yang baru di atas yang lama.

Setiap wilayah memiliki wajah alam asli yang khas, namun pada umum bersifat sensitif terhadap setiap perubahan. Sehingga risiko bencana akan lebih besar bila suatu wajah alam diolah oleh kelompok manusia dengan etika antroposentris, dibanding bila diolah oleh kelompok manusia dengan etika ekosentris. Antroposentris adalah etika lingkungan yang berpaham bahwa manusia adalah segala-galanya, kekayaan alam adalah untuk pemuas kebutuhan hidup manusia. Sebaliknya ekosentris adalah etika lingkungan yang berpaham bahwa antara manusia dan alam harus bersahabat, karena saling kait-mengkait dan saling membutuhkan.

Sebagai contoh kasus, menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Barat yang dimuat dalam laporan West Java Environment Management Program ( WJEMP, 2004) bahwa masalah kependudukan memegang andil besar terhadap ekspoiltasi lahan. Pertambahan penduduk di Jawa Barat menyebabkan terjadinya tekanan penduduk (TP) terhadap lahan telah sedemikian tinggi. Angka yang ideal untuk TP adalah 1. Betapa penduduk telah mengeksploitasi lahan-lahan, tercermin dalam angka TP yang tinggi. TP Kabupaten Garut 3,56 (tahun 1980) meningkat menjadi 5,66 (tahun 2000), Kabupaten Bandung 3,75 (tahun 1980) meningkat menjadi 7,19 (tahun 2000), bahkan TP Kota Bandung angkanya sangat mengagetkan, yaitu 16,35 (tahun 1980) meningkat menjadi 25,27 (tahun 2000). Akhirnya seperti dimaklumi bersama, bencana alam cenderung semakin meningkat di wilayah Propinsi Jawa Barat.

Secara sederhana kemudian dapat dijelaskan lingkaran setan kerusakan lingkungan yang berdampak kepada timbulnya bencana, yaitu oleh sebab dua unsur yang terkait: pertama sifat alami suatu wilayah yang umumnya sensitif, dan kedua pertambahan penduduk yang sulit dikendalikan. Penduduk yang terus meningkat jumlahnya memerlukan pangan, sandang dan papan. Lahan pertanian dialih fungsi menjadi kawasan permukiman dan kawasan industri. Kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya dialih fungsi menjadi lahan pertanian. Perambahan dan penjarahan hutan tidak dapat dikendalikan. Wilayah yang alamnya bersifat sensitif semakin sensitif karena terjadi degradasi lingkungan. Bencana alam meningkat, penduduk miskin dan rentan semakin bertambah. Di lain pihak laju pertumbuhan penduduk terus meningkat, baik dari kelahiran maupun pendatang baru yang terus berdatangan. Kebutuhan pangan, sandang dan papan semakin meningkat pula. Demikian seterusnya lingkaran setan ini berlangsung. Dampaknya bencana alam semakin meningkat pula.

Bencana adalah akumulasi antara ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kondisi yang tidak aman, ketidakberdayaan dan berbagai tekanan yang dinamis. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya.

Dalam diskusi-diskusi di kalangan pemerhati lingkungan, kemudian muncul definisi tentang kerusakan lingkungan. Hasil diskusi menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan adalah konsekwensi alamiah dari kapitalisme, yaitu sistem ekonomi yang dianut oleh pemodal dengan money power-nya untuk meningkatkan keuntungan investasi mereka. Sejumlah kerusakan lingkungan kemudian dianggap hal yang sepele demi sehatnya ekonomi kapitalis. Kerusakan lingkungan adalah konsekwensi dari pilihan masyarakat konsumtif tingkat tinggi. Kerusakan lingkungan adalah produk kelemahan leadership birokrasi.


5. KLASIFIKASI BENCANA

Pemahaman tentang bencana dapat didekati dari banyak sudut pandang, misal sudut pandang ilmu alam, ilmu sosial, ilmu terapan dan sudut pandang keterpaduan.

a. Pemahaman bencana melalui pendekatan ilmu alam, antara lain yaitu:
• Potensi ancaman bahaya yang berubah menjadi bencana.
• Bencana adalah proses geologi, geofisika, hidrologi, meteorologi.
• Bencana diupayakan bisa diprediksi.

b. Pemahaman bencana melalui pendekatan ilmu sosial, antara lain yaitu:
• Bencana adalah sesuatu yang merugikan masyarakat
• Bencana lebih banyak karena ulah dan ketidaksiapan manusia
• Bencana lebih banyak menimpa masyarakat rentan.

c. Pemahaman bencana melalui pendekatan ilmu terapan, antara lain yaitu:
• Bencana adalah akibat infrastruktur alam yang terganggu.
• Bencana adalah akibat suatu wilayah yang tidak memiliki kawasan lindung.
• Skala bencana dikaitkan dengan besarnya korban dan kerugian

d. Pemahaman bencana melalui pendekatan keterpaduan, antara lain yaitu:
• Bencana adalah dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan
• Ancaman dan kerentanan dianalisis untuk menentukan risiko bencana
• Manajemen penanggulangan bencana berbasis masyarakat.


Berdasar waktu serangan dan intensitasnya, bencana dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Waktu serangan perlahan,
kejadiannya bisa kronis setiap pergantian musim atau bahkan sepanjang tahun, dengan intensitas sedang sampai tinggi, misal kerusakan iklim mikro, erosi, kekeringan. Bencana jenis ini pada dasarnya disebabkan oleh kegiatan manusia, misal pertambahan penduduk, penggundulan hutan, alih fungsi lahan, dan lain-lain kegiatan manusia yang tidak berwawasan lingkungan


b. Waktu serangan seharusnya dapat diprediksi,
kejadiannya kronis setiap pergantian musim, intensitas sedang sampai tinggi: banjir, longsor, badai. Bencana jenis ini ada yang murni alami, tetapi ada juga karena dampak kegiatan manusia.

c. Waktu serangan mendadak,
relatif sulit diprediksi sampai tidak dapat diprediksi, kejadiannya umumnya jarang, intensitas tinggi sampai sangat tinggi: letusan gunung api, gempa bumi, tsunami. Bencana jenis ini murni alami.



Berdasar jenis penyebabnya, bencana dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bencana geologi:
gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor.

b. Bencana iklim:
banjir, kekeringan, badai.

c. Bencana lingkungan:
pencemaran lingkungan (air, udara, tanah), eksploitasi sumber daya alam berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan, teknologi keliru, wabah penyakit.

d. Bencana sosial:
kerusakan budaya, budaya tidak peduli, KKN, politik tidak memihak rakyat, perpidahan penduduk, kesenjangan sosial-ekonomi-budaya, konflik dan kerusuhan.


Yang menarik adalah bahwa bencana sosial dapat mengimbas kepada bencana lingkungan, dan bencana lingkungan dapat mengimbas kepada bencana iklim. Bencana geologi-pun yang berupa kejadian tanah longsor lebih banyak terimbas karena bencana sosial, lingkungan dan iklim.



6. SIKLUS MANAJEMEN BENCANA


Sobirin dan Taufan dari DPKLTS (2003) menyusun siklus manajemen bencana berdasar hasil studi Oxfam GB Indonesia bersama Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI (2000) sebagai berikut:

a. Tahap pemahaman terhadap ancaman atau bahaya,
yaitu fenomena yang dapat menimbulkan bencana:

• Alami:
-Eksogen: banjir, tanah longsor, badai
-Endogen: gempa, tsunami, letusan gunung berapi
• Ulah manusia:
-Teknologi keliru

-Pembangunan sektoral
-Exploitasi sumber daya alam berlebihan
-Politik tidak memihak rakyat
-Perpindahan penduduk
-Kesenjangan sosial-ekonomi-budaya
-Konflik dan kerusuhan.

b. Tahap kewaspadaan adalah upaya menjinakkan ancaman bahaya,
upaya mengurangi dan mencegah terjadinya korban, upaya kesiapsiagaan. Intinya adalah membantu masyarakat mampu menolong diri sendiri atau kelompoknya, dengan mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas berdasar peta kerentanan versus kapasitas masyarakat setempat, yaitu:

• Peta kondisi fisik atau material
• Peta kondisi sosial atau kelembagaan
• Peta motivasi atau sikap

c. Tahap analisis risiko bencana,
yaitu akumulasi rangkaian ancaman bahaya versus kewaspadaan. Ancaman bahaya sekecil apapun bila tidak ada kewaspadaan maka bisa saja menimbulkan bencana besar. Sebaliknya walaupun ancaman bencananya besar, namun bila tingkat kewaspadaannya juga besar, maka bencana yang timbul bisa jadi tidak menelan korban jiwa dan harta.


d. Tahap penanganan darurat,
pada prinsipnya adalah menyelamatkan jiwa dan harta, memberi perlindungan kepada korban, membantu kebutuhan pokok. Sifat penanganan darurat ini tergantung dari jenis bencananya, misal darurat tiba-tiba (gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi), darurat perlahan (kekeringan, penyakit), darurat komplek (gagal panen, kerusuhan).


e. Tahap pemulihan,
yaitu proses kembali ke situasi normal atau pulihnya kehidupan sehari-hari, fasilitas sosial dan fasilitas umum berfungsi kembali. Terdiri dari rehabilitasi yaitu perbaikan yang bersifat sementara, dan rekonstruksi yaitu perbaikan yang bersifat permanen. Dalam upaya rekonsruksi perlu review, apakah infrastruktur yang hancur karena bencana perlu dibangun kembali atau tidak, bila ditinjau dari sudut tata ruang, analisis biaya manfaat, dan keberlanjutan ekosistem. Mungkin pula perlu direlokasi ke kawasan yang lebih memenuhi persyaratan. Pelaksanaan rekonstruksi ini harus pula memenuhi persyaratan standar keamanan bangunan.


f. Siklus terus berulang dan kembali kepada tahap awal,
yaitu tahap kewaspadaan yang dapat lebih dirinci sebagai berikut:

• Pencegahan, yaitu tindakan tegas yes or no dalam rangka menjaga keamanan:
-Penegakan dan pentaatan terhadap peraturan perundangan,
misal tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kawasan Lindung, dan tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Reward and punishment perlu diselenggarakan dengan
tegas.

-Review terhadap peraturan perundangan yang hanya sekedar use oriented dan tidak pro
lingkungan, karena pada dasarnya peraturan perundangan itu seharusnya bersifat
environment and sustainable oriented.

-Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual sebagai panduan dalam
membangun infrastruktur yang berwawasan lingkungan dan memiliki faktor
keamanan yang handal.

• Mitigasi, yaitu upaya menjinakkan atau mengurangi dampak ancaman bahaya:
-Metode fisik: pemulihan kawasan lindung, pemeliharaan drainase alami dan
buatan, pembangunan infrastrukur berbasis phytotechnology, tidak
membangun infrastruktur buatan secara sembarangan.

-Metoda non fisik: mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat, menggali kepedulian masyarakat (community based disaster mitigation).

• Kesiapsiagaan, yaitu persiapan bila terjadi bencana:
-Sistem peringatan dini
-Kesiapan sumber daya, antara lain: sumber daya manusia, sumber daya perlengkapan
evakuasi, sumber daya kebutuhan pokok, sumber daya keuangan, dan lain-lainnya.


Banyak pihak telah mencoba menyusun siklus manajemen bencana semacam tersebut di atas dengan format yang lebih sederhana, dengan maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan mudah diaplikasikan terutama oleh masyarakat “grass roots”. Sebagai contoh pihak United Nation Development Program atau UNDP dalam Program Pelatihan Manajemen Bencana yang diselenggarakan tahun 1994, dan dalam Pelatihan Manajemen Bencana Berbasis Komunitas tahun 2003, menyusun siklus manajemen bencana dalam dalam versi lain, yaitu membaginya dalam 4 tahapan besar, yaitu:
a. Tahap (1): Kesiapsiagaan
• Perencanaan siaga
• Peringatan dini
b. Tahap (2): Tanggap darurat
• Kajian darurat
• Rencana operasional
• Bantuan darurat
c. Tahap (3): Pasca darurat
• pemulihan
• rehabilitasi
• penuntasan
• pembangunan kembali
d. Tahap (4): Pecegahan dan mitigasi
• mitigasi
• perencanaan kesiapan
• pencegahan

Pengalaman menunjukkan bahwa dari keempat tahap tersebut justru tahap ke (2) yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh “hiruk pikuk” dengan koordinasi yang sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa penanganan bencana dilakukan dengan penuh kesibukan manakala bencana itu terjadi. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang seksi repot, ada yang hanya menonton saja, bahkan ada yang berpura-pura minta sumbangan tetapi untuk kepentingan pribadi. Pada tahap (3), yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan rekonstruksi mulai berbau “proyek”. Pada tahap (4), yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap (1), yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan dan terkaget-kaget. Padahal penangangan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama.


7. “GRASS ROOTS” YANG MAMPU DAN MANDIRI

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, daratannya seluas 1.904.569 km2, lautannya seluas 3.288.683 km2, dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.508 pulau, dan jumlah penduduknya pada tahun 2000 sekitar 203.456.000 orang. Berdasar sejarah kebencanaan yang tercatat selama ini, mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, badai, kekeringan, maka Indonesia dapat dikatakan merupakan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang sangat tinggi. Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia adalah lokasi kejadian bencananya terdapat di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya-pun jauh dari pusat pemerintahan. Oleh sebab itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut diatas, yaitu mendorong masyarakat untuk dapat menolong diri sendiri atau kelompoknya, menuju “grass roots” yang mampu mandiri.

Mengingat bahwa negara kita adalah negara hukum dan bahwa negara kita juga adalah negara yang dengan potensi kebencanaan sangat tinggi, maka tuntutan logis adalah betapa instrumen hukum yang handal dalam bentuk undang-undang kebencanaan perlu segera direalisasikan. Tentunya undang-undang kebencanaan ini harus berazas manfaat, keterbukaan, kebersamaan, dan kemandirian masyarakat.

Cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat atau community based disaster management sudah menjadi visi dari negara-negara maju di muka bumi ini. Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD juga membuka mata dan hati kita betapa di muka bumi ini masih ada semangat perikemanusiaan dan gotong royong membantu para korban. Berdasar fakta tersebut, merealisasikan manajemen bencana berbasis masyarakat bukan hal yang mustahil, walaupun banyak kendala dan hambatan yang harus bersama-sama kita hadapi. Kelompok masyarakat sebagai pelaku manajemen bencana ini harus dapat diupayakan sampai ke tingkat yang paling kecil yaitu kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih besar yaitu desa atau kelurahan.

Terus terang, walaupun nantinya undang-undang kebencanaan ini telah terbit, namun masih perlu adanya prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat ini dapat terealisasi. Prasyarat ini antara lain adanya: tokoh penggerak (dari aktivis atau tokoh setempat), konsep yang jelas, obyek aktivitas yang jelas, kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi yang tepat berbasis kearifan budaya setempat, dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat.


8. ALTERNATIF BAHAN SOSIALISASI

Bahan untuk sosialisasi dan pelatihan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya berbeda-beda, sangat bervariasi. Pada dasarnya kita harus mampu menciptakan bahan sosialisasi yang mudah dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap-tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan.

Contoh bahan sosialisasi yang cukup sederhana dan diharapkan dapat dikerjakan oleh masyarakat adalah bahan matrik yang disusun oleh UNDP dalam Program Pelatihan Pelatihan Manajemen Bencana Berbasis Komunitas tahun 2003, yaitu:

a. Matrik analisis risiko bencana:
• Jenis bencana: (misal: gempa bumi, letusan gunung api, longsor, dll)
• Ancaman atau bahaya: kurang, sedang, tinggi.
• Kerentanan: kurang, sedang, tinggi.
• Kemampuan atau kapasitas: kurang, sedang, tinggi.
• Total ancaman: kurang, sedang, tinggi (klasifikasi bisa dalam bentuk kuantitatif atau kualitatif).

b. Matrik mengenal ancaman bahaya di sekitar kita:
• Jenis bencana
• Besaran atau luasan
• Intensitas
• Waktu serangan

c. Matrik mengenal kerentanan dan kapasitas:
• Alam setempat
• Sikap atau motivasi
• Sosial atau kelembagaan
• Fisik atau material

d. Matrik rencana tindak,
masing dibuat untuk tiap tahap: kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan
pencegahan:

• Jenis tindakan
• Pelaku utama
• Pelaku pendukung
• Jadwal waktu

Pelatihan atau loka karya dan gladi implentasi berdasar skenario kemungkinan kejadian bencana adalah merupakan hal rutin yang harus diselenggarakan oleh masing-masing kelompok masyarakat. Loka karya dan gladi ini adalah bentuk lain dari fungsi kontrol dalam manajemen bencana berbasis masyarakat. Sering gladi ini tidak serius diikuti oleh berbagai pihak, padahal gladi adalah bagian penting yang harus diikuti oleh segenap anggota masyarakat agar bila terjadi bencana situasi dapat diatasi tanpa kepanikan. Dalam diskusi mitigasi bencana yang berlangsung di Universitas Katholik Parahyangan (UNPAR) tahun 2005, terungkap bahwa gladi ini-pun menjadi masalah di negara maju seperti Jepang. Disebutkan bahwa pada saat gladi dengan skenario pura-pura terjadi gempa dan tsunami, ternyata yang serius mengikuti panduan adalah kelompok anak-anak setingkat sekolah dasar. Muda-mudi setingkat mahasiswa malah terus bermain-main di pantai tidak peduli, dan bahkan orang-orang tua tetap santai meneruskan acara makan, minum dan merokok. Namun demikian, bagaimanapun, gladi tetap harus dilakukan dengan serius demi keselamatan diri dan semua pihak di kala bencana sebenarnya datang secara tiba-tiba.

Modul-modul pelatihan yang mudah diserap, matrik-matrik yang mudah diisi oleh masyarakat, harus disiapkan dalam jumlah yang cukup. Harus pula dicoba dan diupayakan dalam setiap pelatihan dan gladi, bahwa tokoh masyarakat setempat atau warga lain yang ditunjuk, untuk berperan sebagai instruktur, dan kita berperan sebagai fasilitator atau nara sumber.

Adakalanya pada saat komunikasi dengan sekelompok masyarakat, terungkap bahwa kelompok masyarakat ini berdasar kearifan lokalnya mampu meramal akan datangnya bencana. Contohnya yang menarik yaitu kebiasaan warisan leluhur masyarakat pulau Simeuleu, yaitu bila air laut di pantai tiba-tiba surut, maka masyarakat setempat lari menghindar mencari tempat yang lebih tinggi, karena dalam tempo yang singkat akan datang gelombang besar (tsunami) yang menyapu pantai. Bahkan masyarakat Simeuleu memiliki istilah tersendiri untuk tsunami yaitu “smong”. Sebenarnya masih banyak kelompok masyarakat berdasar kearifan budayanya atau berdasar bioindikator yang mampu meramal gejala-gejala kejadian alam yang mungkin berpotensi menjadi bencana. Namun ada pula sekelompok masyarakat yang hanya berdasar kekhawatiran dan “wangsit” tanpa alasan logis, kemudian meramal kemungkinan bencana, dan akhirnya terjadilah eksodus pengungsian penduduk yang malah merugikan sendiri dan merepotkan banyak pihak.

Kemampuan ramal-meramal masyarakat dalam memprakirakan datangnya bencana ini memang harus dikaji dan disandingkan dengan hasil prakiraan institusi resmi semacam Badan Metorologi dan Geofisika (BMG). Di satu pihak keakuratan menjadi lebih teruji, di lain pihak masyarakat akan menjadi lebih cerdas. Beberapa unsur yang perlu dikaji dari kelompok masyarakat dalam hal ramal-meramal memprakirakan datangnya bencana, antara lain adalah:
• kearifan lokal yang digunakan untuk meramal
• indikator deteksi atau peringatan dini yang digunakan
• Kepercayaan masyarakat atas ramalan
• Keakuratan ramalan.
• Sarana lain yang digunakan (misal bioindikator)


9. RESPON PEMERINTAH

Pengalaman UNDP dalam menyelenggarakan Program Pelatihan Manajemen Bencana sejak tahun 1994 mengindikasikan bahwa umumnya pejabat birokrasi skeptis akan manfaat kesiapan bencana, apalagi ide-idenya datang secara bottom-up. Promosi atau proposal kesiapan bencana secara bottom-up yang disodorkan kepada pemerintah, paling tidak ditanggapi dengan salah satu jawaban sebagai berikut:

a. Wah, ide yg luar biasa!
• Ini adalah jawaban yang sebenarnya kita ditunggu.
•Tetapi kenyataannya pejabat ini tidak berniat menerima proposal kita, begitu enggan
dan penuh resistensi dlm mempelajarinya.


b. Kami memerlukan pembangunan, bukan manajemen bencana!
• Dianggapnya manajemen bencana bukan bagian dari pembangunan.
• Dulu, sebelum kejadian tsunami di NAD, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) dan Departemen Keuangan sering paling enggan
mendedikasikan waktu dan anggarannya utk kegiatan manajemen bencana yg
mungkin dianggap pinggiran,

• Fokus institusi tersebut adalah proyek pembangunan sebagai cerminan keberhasilan
institusi, walau dengan dana hutang.


c. Kami sudah memilikinya!
• Wah, ini hebat! Kenyataannya yang dimiliki hanya kantor kecil di koridor belakang,
hanya sebuah kamar berukuran sempit dengan satu atau dua orang pegawai yang
sifatnya ad hoc.


d. Kami tidak memerlukannya!
• Respon ini biasanya diikuti dengan penjelasan bahwa sudah ada BAKORNAS,
SATKORLAK, PMI, dan Unit ad hoc lainnya.


Namun demikian dengan pengalaman kejadian bencana dahsyat di NAD beberapa waktu lalu, kemudian banyak pihak yang mengharapkan segera diterbitkan undang-undang tentang kebencanaan, serta adanya konsep paradigma baru manajemen bencana berbasis masyarakat, diharapkan tidak akan ada lagi jawaban dari pejabat birokrasi seperti tersebut di atas. Semoga bencana yang terjadi akhir-akhir ini dapat dipakai sebagai momentum reformasi manajemen bencana di Indonesia. Bahkan tanggal 26 Desember, yaitu tanggal terjadinya gempa dan tsunami dahsyat di NAD tempo hari, dapat dijadikan sebagai Hari Kewaspadaan Bencana Nasional, untuk memperingati dan mengheningkan cipta terhadap para korban, juga untuk mengontrol implementasi reformasi manajemen bencana telah berjalan sesuai yang diinginkan atau tidak.


10. KESIMPULAN

• Manajemen bencana kita sangat lemah, keberadaan Kepres nomor 3 tahun 1999 tidak
cukup untuk mengawal penanggulangan bencana yang sedemikian bervariasi baik jenis
maupun skalanya.

• Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD adalah momentum strategis untuk
melakukan reformasi manajemen bencana di Indonesia.

• Perlu segera diterbitkan undang-undang tentang kebencanaan dengan
azas manfaat, keterbukaan, kebersamaan, dan kemandirian masyarakat, sebagai
payung legal reformasi manajemen bencana berbasis masyarakat.

• Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah menciptakan
kondisi masyarakat yang berkapasitas, tidak rentan, mampu menolong diri
sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi
bencana di sekitar wilayah kehidupannya.

• Bahan sosialisasi manajemen bencana berbasis masyarakat harus mudah
dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan
tahap-tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan.

• Diperlukan prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat dapat
direalisasikan, antara lain perlu adanya: tokoh penggerak (dari aktivis atau tokoh
setempat), konsep yang jelas, obyek aktivitas yang jelas, kohesivitas masyarakat
setempat, bahasa komunikasi yang tepat berbasis kearifan budaya setempat,
dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat.

•Tanggal 26 Desember, yaitu tanggal terjadinya gempa dan tsunami dahsyat di NAD
tempo hari, diusulkan sebagai Hari Bencana Nasional atau bahkan sebagai Hari
Bencana Internasional, selain untuk memperingati peristiwa bencana dahsyat tersebut,
juga untuk mengontrol implementasi reformasi manajemen bencana.



DAFTAR PUSTAKA:

1. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), 2004, Ulasan
Kritis Lingkungan Hidup Jawa Barat Tahun 2003, bahan ekspose di Gedung DPRD
Propinsi Jawa Barat, 28 Februari 2004.

2. Sajogya, 1982, Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor
Indonesia dan Institut Pertanian Bogor, CV Rajawali, Jakarta

3. Sobirin, 2004, Menjaga Mitos Hutan, Mengendalikan Tata Air, Pikiran Rakyat,
22 November 2004.

4. Sobirin, 2004, Memimpikan Provinsi Tanpa Bencana, Pikiran Rakyat, 21 Desember 2004.
5. Sobirin, 2005, Punclut, Barang Publik vs Barang Swasta, Pikiran Rakyat, 31 Januari 2005.
6. Sonny Keraf, 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas.
7. United Nation Development Program (UNDP), 1982, Kumpulan Modul Program
Pelatihan Manajemen Bencana.

8. United Nation Development Program (UNDP), 2003, Pelatihan Manajemen Bencana
Berbasis Komunitas, Yogyakarta, 19 – 23 April 2003

No comments: