Sunday, June 24, 2007

WADUK JATIGEDE

Pikiran Rakyat, 12 Maret 2004, Tajuk Rencana

Foto: Andri Gurnita, PR, 20 Agustus 2005, FKRJ Protes Jatigede
Apalagi jika mendengar pernyataan Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Bandung, S. Sobirin, bahwa guna mengatasi kekeringan serta ancaman banjir di Pantura, tidak harus dengan membangun Jatigede.

--Pemerintah harus segera memutuskan apakah projek Jatigede akan dilanjutkan atau dihentikan. Kalau memang hasil kajian ulang, Jatigede harus dibangun, segera bangun, dengan catatan masyarakat yang tanahnya tergenang bendungan mendapat uang pengganti yang layak.

RENCANA pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, sudah lama digulirkan. Studi kelayakan sudah dilakukan dan sebagian besar penduduk yang bermukim di calon genangan Jatigede, sudah tahun 1980-an mendapat uang ganti rugi dan kemudian ditransmigrasilokalkan ke beberapa daerah di Jawa Barat, seperti ke bekas perkebunan Arinem Kecamatan Pakenjeng di Kabupaten Garut, Kolaberes di Kabupaten Cianjur dan beberapa daerah lainnya. Sebagian penduduk juga sudah mendapat uang ganti rugi.

Bendungan itu dibangun guna mengantisipasi masalah kekeringan dan banjir di wilayah Pantai Utara, khususnya Cirebon dan Indramayu. Kedua daerah lumbung padi di Jawa Barat itu, memang selama ini paling parah menderita akibat dampak kekeringan dan banjir. Jika musim kemarau datang, maka sebagian besar sawah-sawah di daerah itu akan kekurangan air bahkan kekeringan. Sementara saat musim hujan, banjir datang menyergap dan menggenangi tidak hanya areal sawah, tapi juga tambak dan juga permukiman penduduk.

Namun karena biaya yang harus dikeluarkan begitu besar dan donatur dari luar negeri kelihatan ragu-ragu, rencana pembangunan waduk di perbatasan Kabupaten Sumedang dan Majalengka itu hingga kini terkatung-katung. Belum ada kejelasan apakah projek yang pertama digulirkan tahun 1973 itu akan dilanjutkan atau dihentikan. Padahal biaya yang sudah dikeluarkan cukup besar. Bahkan sudah banyak pengorbanan yang dilakukan masyarakat yang rela meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke daerah terpencil.

Belum lagi, selama seperempat abad dalam ketidakpastian, jalan-jalan, jembatan dan sekolah di calon genangan dibiarkan telantar. Pemda Jabar maupun Pemkab Sumedang selama ini juga dihadapkan pada situasi dilematis. Jika infrastruktur itu dibangun, khawatir Waduk Jatigede segera dibangun sehingga biaya yang dikeluarkan akan "ditenggelamkan" air waduk. Namun faktanya lain. Alih-alih jalan, jembatan dan sekolah ditelantarkan, nyatanya Jatigede tidak juga dibangun sehingga masyarakat yang banyak dirugikan. Itu sebabnya mulai tahun 2000, Pemda membangun infrastruktur yang rusak.

Yang penting sekarang, pemerintah harus segera memutuskan apakah projek Jatigede akan dilanjutkan atau dihentikan. Jangan biarkan masyarakat terlalu lama mendertia. Kalau memang hasil kajian ulang, Jatigede harus dibangun, segera bangun, namun dilakukan dengan amat bijak sehingga masyarakat yang tanahnya tergenang mendapat uang penggantian yang layak.

Jika memang hasil kajian tidak memungkinkan, termasuk dana tidak ada atau terlalu mahal, segera putuskan untuk dibatalkan. Apalagi jika mendengar pernyataan Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Bandung, S. Sobirin, bahwa guna mengatasi kekeringan serta ancaman banjir di Pantura, tidak harus dengan membangun Jatigede.

Apalagi, masalah sosial yang ditimbulkannya sangat kompleks. Menurut Ketua Forum Komunikasi Rakyat Jatigede (FKRJ), Kusnadi Tjandrawiguna, dampak negatif jika Jatigede dibangun, cukup serius. Tidak saja menyangkut aspek geologi, tetapi juga potensi sumberdaya alam, budaya, sosial, dan lainnya. Potensi hasil bumi saja yang akan hilang jika daerah itu jadi genangan Jatigede ditaksir tidak kurang dari Rp 1 triliun per tahun.***

No comments: