Friday, April 27, 2007

80% KORUPTOR KAKAP KABUR

Pikiran Rakyat, Jumat, 27 April 2007

Gambar: Free Cliparts
Adanya kepentingan Singapura agar Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir ke negara itu, dikritisi pakar lingkungan hidup Ir. Soepardiyono Sobirin. Dia minta agar perjanjian ekstradisi itu tidak mengorbankan lingkungan.


JAKARTA, (PR).-

Kalangan DPR RI menyatakan pesimistis dengan implementasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura yang akan ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat (27/4) ini. Pasalnya, sekitar 80 persen konglomerat hitam (koruptor kakap) itu diduga sudah hengkang dari Singapura.

"Singapura hanya tempat transit. Contohnya, Sudjiono Timan dan Syamsul Nursalim sudah berada di Shanghai, Cina. Begitu juga dengan Sukanto Tanoto sudah menjadi warga negara kehormatan Brasil, karena menanamkan usahanya di negara itu sebesar Rp 1,8 triliun," kata anggota Komisi VII Ade Daud Nasution, di Jakarta, Kamis (26/4).

Hal senada disampaikan Dradjad H. Wibowo, anggota Komisi XI DPR. Menurut dia, kalau tidak membawa pulang koruptor kakap, adanya perjanjian itu percuma saja. Kendati demikian, jika perjanjian sudah ditandatangani, pemerintah setidaknya harus mampu menarik aset mereka minimal 50 persen dari total aset sekitar 100 miliar dolar (sekitar Rp 1.000 triliun), karena efek dominonya sangat besar.

Berdasarkan data Merril Lynch, aset para koruptor kakap itu mencapai 87 miliar dolar AS atau sekitar Rp 870 triliun, tetapi sebenarnya mencapai Rp 1.300 triliun yang mengendap di Singapura. Dana itu termasuk uang hasil judi dan illegal logging yang sudah dicuci.

Menurut Ade, meski jumlah konglomerat hitam yang tinggal di Singapura hanya tersisa 20 persen, mereka sudah siap-siap menunjuk lawyer (pengacara) guna menghadapi tuntutan hukum Indonesia, agar bisa diadili di Singapura.

Ade mengaku mendapat informasi itu dari Mr. R, seorang anggota parlemen Singapura dari People Action Party (PAP). "Karena ada kemungkinan dalam perjanjian ekstradisi itu, Jaksa Agung Singapura dan Jaksa Agung Indonesia tidak hadir, justru yang hadir itu kan Presiden, panglima TNI, dan Menlu. Itu berarti sebenarnya Singapura lebih menginginkan kerja sama militer dan ekspor pasir laut," katanya.

Dia membenarkan pernyataan mantan PM Singapura, Lee Kwan Yew bahwa perbankan Singapura tak akan terpengaruh dengan perjanjian ekstradisi itu, karena aset konglomerat yang ditaruh di Singapura hanya 2-3%.

Harga diri

Adanya kepentingan Singapura agar Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir ke negara itu, dikritisi pakar lingkungan hidup Ir. Soepardiyono Sobirin. Dia minta agar perjanjian ekstradisi itu tidak mengorbankan lingkungan.

"Lingkungan hidup merupakan harga diri bangsa Indonesia. Jadi, pemerintah harus bijak dan meneliti lagi titik pangkal dari perjanjian ekstradisi tersebut," ujarnya saat dihubungi "PR" di Bandung, Kamis (26/4) malam.

Sobirin menegaskan, jika hanya merugikan bangsa atau tidak pro lingkungan dan tidak pro rakyat, lebih baik perjanjian tersebut tidak usah tandatangani. Indonesia jangan mau dipojokkan oleh bangsa lain. Apalagi, untuk menjarah kekayaan yang kita miliki.

"Ekspor pasir ke Singapura berarti harus mengoptimalkan galian C yang ada kan? Padahal, galian C itu dampaknya sangat buruk untuk lingkungan. Ayolah, lingkungan hidup kita sudah banyak yang rusak, jangan diperparah," katanya lagi.

Pengamat politik internasional dari Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unpad Bandung Ary Bainus menilai, ditandatanganinya perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura merupakan momen penyelesaian kejahatan transnasional yang selama ini terkendala. Perjanjian itu juga dinilai akan menguntungkan kedua belah pihak, karena memiliki aspek reciprocity (timbal balik).

Menurut dia, ekstradisi merupakan produk hukum yang mengikat kedua belah pihak, terutama dalam masalah-masalah hukum pidana ataupun hal-hal lainnya.

“Perjanjian ini menjadi sangat strategis, karena beberapa rezim pemerintahan terdahulu selalu gagal mewujudkannya. Baru pada rezim pemerintahan SBY inilah, penandatanganan perjanjian bisa dilakukan," ungkap kandidat doktor ini, di Bandung, kemarin. (A-109/A-154/A-64)***

No comments: