Saturday, April 28, 2007

HAK AZASI AIR

Cuplikan dari naskah yang akan diterbitkan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), 2007

Foto: Planet Banjir, Arif Ariadi, Koran Tempo/ dan www.elsam.or.id
Oleh SOBIRIN


Ada sepucuk surat, yaitu Surat dari Air, yang sempat saya baca di Pusat Litbang Sumber Daya Air, Bandung. Surat tersebut dikatakan datang dari Air, tetapi yang menyusun suratnya adalah seorang staf dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) pada tahun 2004. Ketika itu nama Departemen PU masih Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Terinspirasi oleh Surat dari Air tersebut, dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2007, dan juga mengingatkan bahwa bencana banjir yang selalu terjadi tiap musim hujan, saya mencoba menggubah puisi dengan judul Hak Azasi Air. Puisi ini telah saya bacakan di beberapa pertemuan, antara lain di Pusat Litbang Sumber Daya Air pada peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2007, kemudian di pertemuan warga Kelapa Gading Jakarta Utara atas prakarsa Majalah Info Gading pada tanggal 30 Maret 2007, di pertemuan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) saat pelantikan pengurus Cabang Bandung pada tanggal 21 April 2007. Ketika Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) minta saya menulis naskah tentang masalah Citarum, yang jadwalnya akan diterbitkan pada bulan Agustus 2007, puisi ini saya sertakan dalam naskah saya. Begini puisinya itu:

HAK AZASI AIR
Oleh SOBIRIN

Perkenalkan aku adalah air,
aku datang ke bumi sebagai titik-titik hujan,
sebelum mengalir menuju laut aku punya tempat,
di hutan, di sungai, di danau dan di dataran rendah.

Bulan 10 dan 11,
aku selalu memberi kabar bahwa aku akan datang,
supaya engkau mengembalikan tempatku yang engkau pinjam,
hingga aku bisa istirahat dan lewat dengan tenang.

Bulan 12, 1 dan 2,
aku datang berbondong-bondong,
sebelumnya engkau telah kuberitahu,
tempatku yang kau pinjam akan kupakai.

Bulan 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9,
sebenarnya sebagian dari aku senang tinggal di hutan,
supaya udara segar dan mengatur air untuk kehidupanmu,
tapi hutan tempatku istirahat telah habis engkau babat.

Di musim hujan terpaksa engkau kutenggelamkan dalam nestapa,
di musim kemarau terpaksa engkau kutinggalkan dalam kehausan,
karena engkau telah merampas hak-hak azasiku.

Bencana selalu berulang, karena manusia selalu tidak sadar dan tidak waspada. Dalam bukunya berjudul Banjir Ibukota, Soehoed (2002) mengutip cemooh dari surat kabar terkemuka dan menuliskan kurang lebih begini:
Ketika banjir datang, kita saling tuding-menuding tentang siapa yang salah. Ketika banjir datang, semua ribut-ribut mengeluarkan pendapat tentang apa dan mengapa terjadi banjir. Ketika banjir surut, perhatian akan banjir ikut surut pula, kemudian semua terkejut lagi ketika banjir berikutnya datang.

Semoga bencana-bencana yang terjadi selama ini dapat mengubah kita semua untuk ber-akal sehat tidak lagi melakukan pembangunan dengan pola mekanistis dan reduksionistis.

No comments: