Saturday, April 28, 2007

BUMI KIAN TUA DAN RAPUH


Pikiran Rakyat, Senin 23 April 2007
Gambar: Free Cliparts
Peringatan Hari Bumi Perlu Dibarengi Komitmen

SOBIRIN memaparkan manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku "mekanistis dan reduksionistis", buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas. "Bahkan, kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin."


The world provides enough for everybody's need, but never enough for anybody's greed. -

(Mahatma Gandhi)
May there only be peaceful and cheerful Earth Day to come for our beautiful Spaceship Earth as it continues to spin and circle in frigid space with its warm and fragile cargo of animate life. -
(U Thant, Sekjen PBB 1961-1971)

SEJAK tahun 1970, setiap 22 April, Hari Bumi dirayakan jutaan orang di seluruh dunia. Merayakan Hari Bumi berarti memikirkan kelangsungan hidupnya, memikirkan bagaimana sumber daya bumi yang terbatas ini bisa menjamin kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, setiap tahun, tema-tema tentang kian rapuhnya planet Bumi, semakin tipisnya potensi ketersediaan pangan di dalamnya, lalu kian akrabnya penduduk bumi dengan berbagai bencana, senantiasa terus didengungkan.

Bahkan, pada 21 Maret 1971, pada awal peringatan Hari Bumi "versi" PBB (lihat tulisan ”Jangan Sekadar Latah!”), Sekjen PBB saat itu U Thant mengatakan bahwa dirinya berharap peringatan Hari Bumi pada tahun-tahun setelah itu, dilakukan ketika planet Bumi dalam kondisi damai dan menyenangkan. "Sebab, kita semakin tahu bahwa planet yang kita diami ini sangat kecil dan semakin rapuh bagi setiap makhluk yang menempatinya."

Tapi, harapan U Thant tampaknya hanya tinggal harapan. Hampir 4 dekade sejak mencuatnya kesadaran kolektif tentang kondisi bumi yang kian terdegradasi, upaya nyata menghentikan praktik-praktik perapuhan planet kita ini kerap berujung sayup-sayup. Oleh karenanya, momen peringatan Hari Bumi itu, baik hanya sebatas seremonial maupun disertai langkah-langkah lainnya, senantiasa dilatarbelakangi skeptisisme bahwa kondisi buruk akan selalu berulang.

Pihak yang skeptis itu menyatakan diperingati atau tidak Hari Bumi ini, toh kenyataannya planet Bumi dari tahun ke tahun justru terus-menerus dicemari dan dirusak. Termasuk, di tanah air.

"Bahwa kita sering terjebak atau malah sengaja, sekadar menempatkan momen-momen peringatan tentang lingkungan itu sebatas kegiatan seremonial atau kamuflase dari tindakan kita sendiri yang justru kian mendegradasikan kondisi lingkungan kita, memang demikian kenyataannya," ungkap anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiono Sobirin.

Tapi, ia melanjutkan, titik berpikirnya harus di balik ada peringatan saja degradasi terus berlangsung, apalagi jika tidak ada upaya penumbuhan kesadaran bersama (collective consciousness) akan keberlanjutan lingkungan. "Peringatan Hari Bumi ini seharusnya menjadi momen untuk benar-benar menghentikan penindasan terhadap planet bumi yang kita tempati," ucapnya.

Ia berharap semua back to basic, balik ka pamiangan, menempatkan diri bahwa manusia adalah bagian dari bumi, bagian dari alam. Manusia tidak akan bisa bertahan hidup bila lingkungan hidup di bumi ini terus-menerus dirusak. "Bumi memiliki daya dukung dan daya tampung yang ada batasnya dan manusia sebenarnya harus memaklumi hal tersebut," katanya.

SOBIRIN memaparkan manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku "mekanistis dan reduksionistis", buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas. "Bahkan, kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin."

Pada tahun 2010 penduduk bumi diprediksi mendekati 7 miliar jiwa dan akan bertambah satu miliar setiap 15 tahun. Sebanyak 80% penduduk tinggal di negara-negara miskin dan 20% tinggal di negara-negara kaya. "Kenyataannya, untuk memenuhi kehidupan telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena, bukan oleh 80% penduduk miskin, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengonsumsi 80% dari seluruh sumber alam dunia.

Mengutip penelitian Sivakumar dan Rizaldi Boer (2004), dari tahun ke tahun jumlah kejadian bencana alam di bumi ini terus meningkat, tercatat di tahun 1993 sebanyak 225 bencana dan di tahun 2002 telah meningkat menjadi 375 kejadian bencana. Selama hampir 10 tahun tersebut tercatat 2.654 kejadian bencana. Jenis bencananya berupa banjir 40%, angin ribut 30%, kekeringan 10%, tanah longsor 7%, kebakaran hutan 5%, temperatur ekstrem 5%, dan lain-lain termasuk gempa bumi dan letusan gunung api 3%. Selama dekade tersebut bencana alam telah menelan dana 608 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5 ribu triliun, belum terhitung korban jiwa yang tidak bisa dinilai dengan uang!

Dalam laporan global, Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengalami krisis ekologi. Menurut catatan UNFAO, dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektare per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan Walhi, laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektare per tahun atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit. Dampaknya hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia menjadi kritis.

Kondisi Jawa Barat pun idem ditto. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan telah menjadi "siklus ritual" tahunan. Ini paralel dengan kenyataan bahwa kawasan lindung Jawa Barat dengan luas 1,7 juta hektare (45% dari luas Jawa Barat), lebih dari separuhnya tidak lagi berfungsi lindung. Bahkan, seluas lebih dari 600 ribu hektare telah merupakan lahan kritis (hampir 20% dari luas Jawa Barat).

Pakar hidrologi dari Lembaga Penelitian (Lemlit) Unpad Chay Adak, Ph.D. mengatakan dari sekitar 40 daerah aliran sungai (DAS) yang teridentifikasi di Jawa Barat, 20 DAS (50%) dinyatakan dalam kondisi kritis hingga sangat kritis. Tingkat kekritisan DAS lazimnya dicirikan oleh besarnya laju erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai/waduk dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim hujan dan kemarau.

"Implikasi hidrologis terganggunya 'kesehatan' DAS dapat ditunjukkan dengan terjadinya banjir bandang di Jakarta pada awal bulan Februari 2007 dan konflik tahunan antara Kabupaten Majalengka dan Indramayu berupa rebutan air di musim kemarau. Kedua musibah itu sangat terkait dengan 'sakit'-nya DAS Ciliwung dan DAS Cimanuk di Jawa Barat," papar Chay Asdak.

Demikian pula, ”sakit” yang diderita DAS Citarum ditunjukkan dengan tingginya laju sedimentasi (lebih dari 4 juta m3) dan pencemaran yang masuk ke Waduk Saguling, sehingga menimbulkan kematian ikan secara massal dan gangguan pasokan listrik tenaga air di Jawa Barat. (Erwin Kustiman/"PR")***

No comments: