Sunday, December 16, 2007

JABAR BISA DAPAT DANA KARBON

Pikiran Rakyat, Selisik, 17-12-2007, Mangarahon/Kodar
Foto: Sobirin 2007, Taman Hutan Raya Bandung Utara

Menurut Sobirin, terlepas dari perbedaan data atau ego sektoral masing-masing institusi terkait, sudah waktunya masyarakat menjadi pelaku utama pelestarian lingkungan, termasuk kawasan kehutanan. Mereka lah yang selama ini paling merasakan dampaknya dari kerusakan lingkungan kehutanan.




PROGRAM pengurangan emisi melalui penghentian deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/ REDD) merupakan isu yang cukup banyak dibicarakan dan diberitakan dalam Konferensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), di Nusa Dua Bali, awal Desember ini.

Negosiasi mengenai REDD itu cukup alot, bukan saja antara sesama negara-negara berkembang pemilik hutan hujan tropis dengan negara maju, melainkan juga negosiasi dengan negara maju.
Indonesia bersama sejumlah negara pemilik hutan tropis lainnya menginginkan masuknya degradasi serta lahan konservasi bisa dijadikan sebagai lokasi REDD nantinya.

Namun, Brasil tidak sependapat dengan itu. Brasil beralasan, deforestasi itu sudah termasuk degradasi. Sementara itu, hutan konservasi tidak bisa dijanjikan lokasi REDD karena karbon yang ada di dalamnya adalah karbon stok yang tidak perlu diperdagangkan.

Lewat program REDD ini, Indonesia akan mendapatkan dana dari penjualan karbon yang ada di dalam hutan. Sebagai negara pemilik hutan tropis nomor tiga setelah Brasil dan Kongo, Indonesia tentu akan bisa mendapatkan dana yang cukup besar dari hasil penjualan karbonnya. Untuk menangkap peluang itu, Indonesia pun sudah melakukan berbagai persiapan, termasuk meluncurkan kegiatan pilot (pilot activities) REDD yang dilakukan Menteri Kehutanan M.S. Ka`ban, di Nusa Dua Bali, Kamis (6/12).

**


Berkaitan dengan pilot REDD Indonesia, apakah akan ada areal hutan di Jawa Barat yang akan diikutsertakan? Misalnya, kawasan hutan di sekitar Citarum, Taman Nasional (TN) Gunung Halimun Salak, TN Gunung Gede Pangrango. Tentu, untuk itu masih dibutuhkan kajian-kajian lebih dalam. Sebab, dalam pertemuan Bali ini, meski disepakati lahan hutan konservasi masuk dalam REDD, hal itu belum ditentukan lokasinya.


Akan tetapi, untuk menjadikan suatu kawasan atau wilayah menjadi pilot REDD setidaknya harus mengikuti empat kriteria. Pertama, karakter biofisik. Kedua, derajat keterancaman daerah. Ketiga, distribusi geografis. Keempat, kesiapan pemerintah dalam tata kelola hutannya. Kesiapan dimaksud adalah termasuk kesiapan pemerintah daerah, pelaku bisnis, dan pemerintah pusat. Kesiapan ini erat kaitannya dengan upaya penguatan desentralisasi bidang kehutanan.

"Jadi, suatu kawasan hutan bisa dijadikan pilot REDD, bergantung pada kriteria itu," kata Kepala Balitbang Dephut, Wahyudi Wardoyo kepada "PR", di Nusa Dua Bali, Rabu (5/12).
Bukankah sejumlah daerah (di Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan sekitarnya) selalu terancam banjir jika musim hujan sudah tiba. Ini terjadi karena tingkat pemanfaatan lahan-lahan di kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, Cianjur) yang sangat tinggi untuk kepentingan pembangunan, terutama pembangunan perumahan.

Andaikan kawasan TN Gunung Halimun Salak tidak terpelihara dengan baik, banjir yang melanda sejumlah kawasan di Jabodetabek itu akan semakin parah.
Kita tentu berharap agar pemerintah pusat mengikutkan kawasan hutan yang ada di Jabar masuk dalam program REDD ini. Namun, seperti yang dikemukakan Wahyudi, pemda di Jabar tentu harus siap untuk itu. Sebab, REDD ini nantinya akan lebih banyak dikerjakan dan dinikmati oleh daerah.

Ini dalam rangkaian keinginan Departemen Kehutanan untuk lebih mendesentralisasikan sektor kehutanannya.
"Yang penting, masyarakat di sekitar hutan harus memperolehnya. Sebab, masyarakat telah ikut membantu menjaga hutan. Apalagi, yang diperjuangkan adalah mekanisme pembayaran yang fokusnya adalah pengurangan kemiskinan," kata Wayhudi.

Meski lokasi REDD itu belum dibicarakan dalam Konferensi Bali, diharapkan sejumlah kawasan hutan konservasi di Jabar nantinya akan menjadi tempat "mengail" dana karbon. Sebut saja TN Gunung Halimun Salak yang kandungan karbonnya diperkirakan senilai Rp 2 triliun. Sementara itu, TN Gunung Gede Pangrango dan Taman Hutan Rakyat (THR) Juanda di Bandung belum selesai dihitung nilainya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan Kebun Raya Bogor pun bisa memperoleh dana dari perdagangan karbon ini. Juga tentu sejumlah hutan jati milik Perum Perhutani, hutan rakyat yang terhampar luas di Jabar yang siap menerima dana karbon.


**


Luas kawasan hutan di Jabar sekitar 800.000 hektare, lalu 900.000-an ha kawasan lindung di luar kehutanan, yaitu 600.000 ha lahan milik rakyat dan 500.000 ha ada di areal perkebunan. Jika dikaitkan ketentuan kawasan lindung harus ada 45% dari total areal wilayah, dengan luas wilayah Jabar 3,7 ha harus tersedia minimal 1,7 juta ha kawasan lindung.


Namun menurut anggota Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin, sejauh ini penanganan di Jabar terkesan belum sesuai harapan akibat terjadi ego sektoral pihak-pihak terkait. Hal ini di antaranya terindikasi dari tak cocoknya data luas total dari masing-masing Departemen Kehutanan, Depdagri, dan Departemen PU, dengan hasil citra satelit kawasan hutan di Jabar yang masih utuh hanya 300.000-an ha.


Menurut Sobirin, terlepas dari perbedaan data atau ego sektoral masing-masing institusi terkait, sudah waktunya masyarakat menjadi pelaku utama pelestarian lingkungan, termasuk kawasan kehutanan. Mereka lah yang selama ini paling merasakan dampaknya dari kerusakan lingkungan kehutanan. (H. Mangarahon D./Kodar S./"PR")***

No comments: