Monday, December 24, 2007

LAGI-LAGI TPA LONGSOR

Pikiran Rakyat, 11 September 2006, Tajuk Rencana
Foto: Ririn NF/PR/ 28 April 2007, TPA Sarimukti Longsor


Sampai akhir Desember 2007 Kota Bandung krisis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah masih dipermasalahkan banyak warga. Setiap pagi sampah mulai menumpuk di pasar-pasar. Mari kita baca kembali Tajuk PR 11 September 2006: Mungkin benar apa kata Sobirin, TPA Bojong ditolak, karena pemerintah tidak terbuka kepada masyarakat sekitar sehingga mereka menolaknya.




LAGI-LAGI TPA LONGSOR
Pikiran Rakyat, 11 September 2006, Tajuk Rencana

Sebagus apa pun konsep maupun sistem pengelolaan sampah, jika tidak melibatkan masyarakat dan sosialisasi yang kurang, tidak akan berhasil.

MENGAPA kejadian longsor di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kembali terjadi? Jawabannya, karena kita lalai, dan seolah tidak mau belajar dari pengalaman. Kalau kita hati-hati, kejadian di TPA Bantar Gebang yang menewaskan tiga pemulung serta melukai beberapa orang lainnya itu, tidak akan terjadi. Namun, karena lalai itu tadi, kejadian longsor di tempat pembuangan sampah kembali terjadi dan menambah daftar panjang korban longsor akibat tertimbun sampah.


Pantas kalau salah seorang pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin begitu gusar mendengar kejadian longsor di Bantar Gebang kemarin. Ia bahkan mengatakan, longsor di Kota Bekasi itu, merupakan peristiwa yang memalukan. Sebab, kejadian itu bukan yang pertama kali dan sudah sering terjadi. Pemerintah, kata dia, tidak pernah belajar dari pengalaman dan selalu jatuh di “lubang” yang sama.


Kejadian longsor di tempat pembuangan sampah, memang sudah sering terjadi. Peristiwa yang paling memilukan terjadi Februari 2005 lalu di TPA Leuwigajah, Kota Cimahi. Longsor saat itu sangat menggemparkan, karena banyak korban yang meninggal dan banyak yang kehilangan tempat tinggal. Dan satu bulan berikutnya, longsor sampah terjadi lagi di Lembang Kabupaten Bandung dan memakan dua korban jiwa. Kini kasus serupa tapi tak sama terjadi lagi di Bekasi.


Kita juga tidak perlu menyalahkan pemulung dalam musibah kemarin. Mereka memang hidup dari sampah. Kalau mereka berebut dan berhamburan begitu truk sampah datang, juga tidak bisa terlalu disalahkan, karena mereka ingin mendapatkan barang-barang yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mungkin musibah tidak akan terjadi, jika sampah tidak dibiarkan terus menggunung sampah 20 meter. Jangan-jangan sistem sanitary landfill di sana memang tidak berjalan semestinya seperti yang disinyalir ahli ITB Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri.


Yang terpenting sekarang adalah memperbaiki mekanisme kerja di TPA Bantar Gebang. Jika memungkinkan, Pemprov DKI mengganti sistem pengolahan sampah di Bekasi itu menjadi yang lebih modern. Sebab sanitary landfill, walaupun sudah lebih baik dari open dumping, namun tetap saja, sistem ini akan memakan lahan yang luas dan dengan produksi sampah yang tinggi, TPA Bantar Gebang akan cepat tertutup sampah dan mungkin harus mencari lahan lain. Padahal, mencari lokasi baru TPA bukan pekerjaan mudah.


Sistem pengolahan sampah terpadu seperti yang pernah dibangun Pemprov DKI Jakarta di Kab. Bogor, mungkin bisa dibangun di Kota Bekasi. Namun seperti disarankan Sobirin, sebaiknya masyarakat juga dilibatkan sejak awal perencanaan. Sebab, sebagus apa pun konsep maupun sistem pengelolaan sampah, jika tidak melibatkan masyarakat dan sosialisasi yang kurang, tidak akan berhasil seperti TPA Bojong Kab. Bogor. Mungkin benar apa kata Sobirin, TPA Bojong ditolak, karena pemerintah tidak terbuka kepada masyarakat sekitar sehingga mereka menolaknya.***

No comments: