Saturday, January 12, 2008

PERMUKIMAN PA KUMIS ANCAM KOTA BANDUNG

Padjadjaran TV, PJTV, 11 Januari 2008, Interactive Talk Show
Foto: M. Gelora Sapta, PR, 18-09-2007, Sudut Kumuh Bandung

Oleh: SOBIRIN
Pa Kumis mengancam Kota Bandung. Tanggal 11 Januari 2008 PJTV menghadirkan Sobirin (pemerhati lingkungan) dan Rosyidin (Dinas Perumahan Kota Bandung) membahas Pa Kumis ini, yaitu permukiman padat kumuh miskin sebagai penyakit perkotaan.




ISSUE

Permukiman kumuh Kota Bandung mengancam visi Kota Bandung, sebuah kota yang bercita-cita menjadi Kota Jasa yang Bermartabat


KONDISI SAAT INI

Kota Bandung seluas 16.700 ha, terdiri dari 30 kecamatan, berpenduduk kurang lebih 3 juta orang. Tiap kecamatan rata-rata memiliki luas 500 ha dengan penduduk 100.000 jiwa lebih. Kepadatan penduduk mendekati 20.000 jiwa/km2, atau 200 jiwa/ha atau setara 200 jiwa per lapangan sepak bola. Sangat padat, “Bandung heurin ku tangtung”, Bandung penuh manusia!


ANALISIS

Pertama, Kota Bandung memiliki keterbatasan “daya dukung” dan “daya tampung”, laju pertumbuhan penduduk harus di tekan, bahkan harus “zero growth”. Lihat saja dari ketersediaan sumber daya airnya. Pada jaman Kota Bandung dijuluki sebagai Paris van Java dan lain-lain julukan di masa keemasan (1920-1940), luasnya kurang lebih 3.000 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa. Faktor Keamanan (FK) air baku kota mencapai angka 6 (enam). Sebagai perbandingan, bila nilai FK sama dengan 1 (satu) artinya kota dalam klasifikasi kritis, jadi nilai FK sama dengan 6(enam) artinya sangat aman. Pada awal-awal kemerdekaan (1950), luas Kota Bandung kurang lebih 8.000 hektar, jumlah penduduk meningkat menjadi kurang lebih 650.000 jiwa. FK air baku turun menjadi 2,6 (dua koma enam), masih agak aman. Sekarang pada tahun 2008, luas Kota Bandung telah mencapai hampir 17.000 hektar. Kawasan lindung gundul dan jumlah penduduknya pun telah membengkak mendekati 3 juta jiwa. Alhasil, nilai FK air baku menurun drastis hanya tinggal 0,1 (nol koma satu), sangat sangat kritis.

Kedua, hampir di setiap sudut kota terdapat permukiman padat dan kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Kawasan pemukiman kumuh adalah penyakit kota yang berdampak pada keseluruhan kehidupan kota. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain: Bangunan rumah sangat rapat satu dengan yang lainnya, mutu bahan bangunan sangat rendah, jaringan jalan sempit, tidak beraturan dan tidak diperkeras. Ekonomi masyarakat sangat berbau kemiskinan, etika sosial budaya tidak ketat, sikap dan perilaku cenderung apatis. Kesehatan buruk, sanitasi dan drainase jorok tidak berfungsi, sampah tidak diurus. sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya.

Ketiga, sebanyak 3 juta penduduk Kota Bandung ini akan “memenuhi” setiap sudut lahan kota. Pada tahun 1960-an bila hujan 40% air melimpas dan 60% meresap ke dalam tanah. Pada tahun 2008, dengan semakin banyaknya bangunan, bila hujan 95% air melimpas (menjadi banjir dan cileuncang), 5% meresap ke dalam tanah. Padahal menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebuah kota harus memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 30% dari total luas kota. Luas Kota Bandung 16.700 ha berarti luas RTH = 5.000 ha. Pengembangan Kota Bandung untuk menjadi lebih luas dari yang sekarang (ekstensifikasi), bukan hal yang mudah. Akan lebih bijaksana bila ditata dengan intensifikasi lahan kota tanpa mengurangi luasan RTH 30%.


ALTERNATIF PENANGANAN

Pertama, mengurangi jumlah penduduk tidak mungkin, tetapi mengurangi jumlah rumah “landed house” dan menggantikannya dengan “rumah susun” adalah suatu kebijaksanaan yang benar tetapi penuh tantangan. Pembangunan horisontal harus diubah menjadi vertikal. Seiring dengan ini harus dilakukan edukasi ke budaya baru, yaitu tata cara an etika tinggal di rumah susun. Bina manusia, bina lingkungan, bina usaha harus merupakan 1 paket dalam menyelesaikan masalah ini.

Kedua, pembangunan perumahan harus “pro rakyat bawah”. Saat ini pembangunan perumahan didominasi pengembang untuk rakyat kelas atas dengan memarginalkan rakyat kelas bawah.

Ketiga, sosialisasi dan rembug warga, menuju perbaikan kawasan permukiman berbasis masyarakat. Rakyat diposisikan sebagai subyek pembangunan perumahan mereka.

Keempat, Di lain pihak, pihak Provinsi Jawa Barat juga harus menggalakkan pembangunan di pedesaan agar tidak terjadi urbanisasi ke Kota Bandung yang daya dukung dan daya tampungnya telah kritis.

Kelima, perlu difikirkan sesuatu yang tidak monokultur, artinya dalam komplek rumah susun khusus orang kaya juga ada komplek rumah susun rakyat bawah. Biarlah mereka saling mengisi secara simbiose mutualistis.

Keenam, konsep “land consolidation” harus dikembangkan, sang pemilik lahan diajak memiliki saham dalam manajemen operasional rumah susun ini. Jangan sampai pemilik lahan dirugikan, atau digusur hanya dengan ganti rugi.


REKOMENDASI OPERASIONAL


Pertama, perlu segera dibentuk semacam Dewan Permukiman Kota Bandung (Bandung Settlement Board), dengan tugas dan fungsi memikirkan dan memfasilitasi perbaikan permukiman kota berbasis masyarakat.

Kedua, batasi atau bahkan stop pendatang baru yang hanya merepotkan kota

Ketiga, segera dicoba praktekkan prototipe perbaikan permukiman berbasis masyarakat ini.

No comments: