Wednesday, January 02, 2008

TERSENDAT KARENA DEGRADASI ETIKA DAN BUDAYA

Bandung Spirit dan Lembaga Penelitian UNPAD, 31-12-2007
Foto: Sobirin, 2003, Tradisi dan Globalisasi

Oleh: Sobirin

Hari terakhir 2007, Bandung Spirit dipimpin Acil Bimbo mengadakan diskusi degradasi etika dan budaya dengan Lembaga Penelitian UNPAD diwakili Dede Mariana. Hadir antara lain Sobirin dan Mubiar (DPKLTS), Budi Isdianto (ITB), Irwan Indrapradja (Universitas Pasundan), Asep Warlan (Universitas Parahyangan). Berikut butir-butir pancingan diskusi rangkuman penulis dari berbagai sumber.




ISSUE:
Pembangunan Indonesia tersendat karena degradasi etika dan budaya

KONDISI SAAT INI:

Pertama: Indonesia negara yang sangat “potensial” dan “menjanjikan”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan.

Kedua: Sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan sangat dilirik pasar global tidak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi.

Ketiga: Sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam bahkan sering dianggap "kutukan" karena membuat negara dan rakyat terpuruk tertinggal dari negara-negara lain.


ANALISA RINGKAS:

Pertama: Juwono Sudarsono (2004) mengatakan bahwa budaya merupakan modal penting dalam pembangunan ekonomi sebuah bangsa. Budaya mencakup masalah pertautan etika kerja, etos kerja, nilai kerja sama, dan nilai yang terkait dengan kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan. Sejarah membuktikan, letak geopolitik yang strategis tidak menjamin sebuah bangsa mampu memanfaatkan letak itu dengan sebaik-baiknya.
Kedua: Darmanto (2003), Yoseph Iskandar (2005), Sobirin (2007) mencatat sejarah hilangnya bangsa dari peta dunia karena degradasi lingkungan dan budaya serta intervensi pihak luar:
a. Salakanagara tahun 130- 362 M, umur 232 tahun

b. Tarumanagara tahun 358- 669 M, umur 311 tahun

c. Kutai tahun 400- 750 M, umur 350 tahun

d. Kendan-Galuh tahun 536- 852 M, umur 316 tahun
e. Sriwijaya tahun 669-1095 M, umur 426 tahun
f. Sunda tahun 669-1482 M, umur 813 tahun
g. Sunda-Pajajaran tahun 1482-1579 M, umur 97 tahun
h. Kalingga tahun 632- 929 M, umur 297 tahun
i. Majapahit tahun 1293-1518 M, umur 225 tahun
j. Demak-Mataram tahun 1450-1625 M, umur 175 tahun
k. Kolonisasi Asing tahun 1600-1945 M, umur 345 tahun

Ketiga: Umur kemerdekaan NKRI sekarang 63 tahun. Bila situasi dan kondisi terus seperti sekarang ini mampukah NKRI tetap eksis di peta dunia? Sampai kapan? (63 tahun + X tahun)?. Indonesia tahun 2008 bukan Indonesia di awal kemerdekaan. Sejarah perkembangan Republik Indonesia dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga SBY membuktikan bahwa budaya sebagai modal pembangunan ekonomi masih sekedar wacana.
Keempat: Soedjatmoko, cendekiawan (1922-1989), mengamati pentingnya nilai-nilai budaya sebagai bagian integral pembangunan ekonomi, dituangkan dalam bukunya Economic Development as a Cultural Problem, yang diterbitkan oleh Cornell University Monograph Series. Pengamatan penting Soedjatmoko adalah upaya "mempertemukan" budaya global dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam, sehingga terbebas dari “kungkungan tradisi", namun tidak "tercerabut" dari ikatan budaya seperti suku, kedaerahan, dan agama.
Kelima: Gunnar Myrdal dari Swedia (1960-an), membandingkan kinerja "negara kuat" dan "negara lemah", untuk menggambarkan bagaimana langkah "negara kuat" mendobrak "mental lembek" birokrat yang menghambat pembangunan.
Keenam: Selo Soemardjan (ahli sosiologi, 1970-an) dan Koentjaraningrat (ahli antropologi, 1970-an), mengajukan pemikiran pentingnya "sikap mental" dalam pembangunan nasional.
Ketujuh: Samuel Huntington (1993) menghimpun tulisan sejumlah pakar kelas dunia dalam bukunya Culture Matters, yang intinya membahas berbagai makna budaya terkait dengan pembangunan.
Kedelapan: Denis Goulet, University of Sao Paulo (2000-an) menegaskan pentingnya "pilihan kejam" yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi bagi rakyatnya.
Kesembilan: Dalam pandangan ekspansi kapitalisme global, identitas lokal di seluruh pelosok dunia menjadi perhatian perusahaan-perusahaan multinasional guna memasarkan produk-produknya. Dalam World Economic Forum, Maurice Lévy (2007) mengatakan “We need people who understand the local culture of a country”. Juwono Sudarsono (2004) mengatakan bahwa sebaliknya banyak pihak, antara lain para pemikir neo-Marxis, Hindu, Budha, dan Islamis di Afrika dan Asia. menolak ekspansi “pengglobalan” ini, dan wacana dunia pun berkembang menjadi perdebatan "humanisasi internasional" melawan "kapitalisme global".
Kesepuluh: Banyak pepatah tradisional yang maknanya perlu dikaji ulang dalam era kini yang ketat persaingan:
a. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang.
b. Mangan ora mangan kumpul

c. Alon-alon asal kelakon

d. Someah hade ka semah


ALTERNATIF PENANGANAN:

Pertama: Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (New Zealand, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura) bisa menjadi negara terkemuka di dunia? Jawabnya adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya. Mereka menggunakan budaya disiplin untuk melakukan "lompatan katak" keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka mengejar dan mengisi kekurangannya dari negara-negara yng lebih maju. Mereka melihat seluruh pelosok dunia sebagai jaringan pemasaran produk unggulannya.

Kedua: Michael J. Bonnell (1997), meneliti bahwa masyarakat di negara maju dan kaya mengikuti prinsip hidup sebagai berikut:

a. etika sebagai prinsip dasar
b. integritas
c. bertanggung jawab

d. menghormati hukum dan peraturan
e. menghargai hak warga lainnya
f. senang bekerja
g. bekerja keras untuk menabung dan investasi
h. berkemauan untuk bertindak hebat
i. menghargai waktu.
Ketiga: Tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai "globalisasi" dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai “tradisi” yang penting untuk kelestarian jati dirinya. Juwono Sudarsono (2004) menekankan perlunya mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian proses pembinaan identitas bangsa ("aku bangga menjadi orang Indonesia"), dengan budaya daerah (“aku bangga menjadi orang Sunda yang akan memperkaya budaya Indonesia”) dan kepercayaan agama, sebagai modal keanekaragaman “tamansari” bangsa Indonesia menuju kejayaan.

REKOMENDASI:
Pertama: Tiba saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memajukan budaya nasional yang melepaskan diri dari “nina bobo” negara yang kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya melarat.
Kedua: Terpulang pada kita semua, terutama para pimpinan, apakah bangsa Indonesia mampu menanam budaya nasional yang berakar kuat dari keanekaragaman budaya daerah untuk menuai peluang-peluang globalisasi di masa kini dan masa datang.

PUSTAKA:

A. Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas

Juwono Sudarsono. 2004. Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Budaya. Kompas, 29 Maret 2004.
Michael J. Bonnel. 1997. Why Are We Poor?. www.mikebonnell.com

Sobirin. 2007. Kearifan Lokal Keselamatan Tatar Sunda. Saresehan BIGS, Pusat Kebudayaan Perancis (CCF), Perkumpulan Inisiatif, Pusat Sumber Daya Komunitas.

No comments: