Saturday, October 18, 2008

"CILEUNCANG" MENGANCAM BANDUNG

DRAINASE BERUBAH MENJADI TEMPAT SAMPAH
KOMPAS Jawa Barat, 16 Oktober 2008, MHF

Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan

Selain itu, Kota Bandung belum memiliki peta drainase sehingga air hujan tidak mengalir dengan baik ke sungai. "Drainase masih parsial. Banyak pengembang membangun perumahan, tetapi drainasenya tidak menyambung dengan drainase kota. Jadinya amburadul," kata Sobirin.





Bandung, Kompas -

Wali Kota Bandung Dada Rosada memerintahkan para camat untuk meningkatkan pembersihan lingkungan, terutama saluran air atau drainase menjelang musim hujan. Kota Bandung rawan banjir cileuncang pada musim hujan karena belum memiliki rencana induk drainase.


"Saya minta para camat untuk kerja bakti membersihkan lingkungan. Sebetulnya kalau tak diberikan perintah, para camat harus sudah tahu untuk rutin membersihkan menjelang hujan," ujar Wali Kota Bandung Dada Rosada, Rabu (15/10) di Bandung.

Dada mengakui, Kota Bandung masih rawan terkena banjir cileuncang selama musin hujan. Sebab, sampai saat ini Pemerintah Kota Bandung belum memiliki rencana induk (master plan) drainase. "Nanti akan kami buat master plan-nya karena saat ini sedang dibahas RDTRK (rencana detail tata ruang dan kawasan) Kota Bandung," kata Dada.

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Rusjaf Adimenggala menjelaskan, pihaknya sejak tahun 2006 telah memperbaiki drainase kota. Ini untuk memperlancar aliran air dan mencegah banjir selama musim hujan.


Data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung menyebutkan, pada tahun 2007 telah dibangun saluran atau gorong-gorong sepanjang 18.700,9 meter. Selain itu, pemeliharaan saluran mencapai 6.233,5 meter. Namun, bila dibandingkan dengan keseluruhan saluran yang ada, pemeliharaan ini hanya sekitar 10 persen.


Beralih fungsi


Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, menjelaskan, 75 persen drainase Kota Bandung telah beralih fungsi. Sebagian dijadikan tempat sampah, sebagian tertutup warung pedagang kaki lima, dan ada yang menyempit karena pembangunan rumah.


Menurut Sobirin, tidak kurang dari 46 sungai di Kota Bandung mati dan menjadi tempat sampah. Padahal, sungai berfungsi sebagai drainase primer yang menampung aliran air hujan.
Selain itu, Kota Bandung belum memiliki peta drainase sehingga air hujan tidak mengalir dengan baik ke sungai.

"Drainase masih parsial. Banyak pengembang membangun perumahan, tetapi drainasenya tidak menyambung dengan drainase kota. Jadinya amburadul," kata Sobirin.
Ini diperparah dengan banyaknya daerah yang kedap air (impervious) karena lapisan tanahnya tertutup bangunan. Akibatnya, kemampuan daya serap terhadap air menjadi rendah dan limpasan air tinggi.

Sobirin mengingatkan, cileuncang menjadi ancaman serius bagi warga Kota Bandung karena sistem drainase yang buruk tersebut. Untuk itu, diperlukan kampanye untuk menyadarkan warga kota bahwa cileuncang merupakan masalah bersama.
Dasar kebersamaan tersebut, lanjutnya, adalah komunikasi dan gotong royong warga kota.

"Diperlukan terobosan dalam hal anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotongroyongan ini. Para pengusaha, pihak swasta, dan pengembang yang berdekatan dengan lokasi banjir cileuncang diminta ikut berpartisipasi dalam gotong royong ini.

"Kegiatan menghadapi kemungkinan banjir diupayakan agar sebesar-besarnya berbasis masyarakat, dengan kata kunci mendorong masyarakat mampu menolong diri sendiri," kata Sobirin.


Rusjaf mengakui, Kota Bandung belum bisa bebas banjir karena sistem drainasenya masih parsial. Kota Bandung belum memiliki sistem drainase yang menyatu sehingga belum dapat mengalirkan air dengan baik. (MHF)

No comments: