Friday, October 24, 2008

TANAMLAH...MESKI HANYA SATU POHON

Pikiran Rakyat, 24-10-2008, Joko/Catur/Danis/Eva
Foto: Sobirin 2008, Pohon di Rumah Sobirin


Sobirin punya nostalgia dan dia tidak mau hanya menyimpannya di kepala. Saat semua sudut kota mulai memanas akibat pembangunan yang tak terkendali, dia mewujudkan sejuknya Bandung tempo dulu di rumah tercinta. Sesekali mampirlah ke Jln. Alfa No. 92 Cigadung Unpad II.





Di daerah dingin, setiap kali kita bicara, ada sesuatu semacam asap keluar dari mulut dan hidung. Orang-orang sering menganalogikannya dengan semburan api yang keluar dari binatang dongeng naga. Mundur beberapa puluh tahun ke belakang, Bandung masih memiliki penanda seperti itu. "Semburan-semburan api naga" meluncur dari mulut warga saat mereka berbincang di pagi hari.

Datang ke Kota Bandung pada awal 1960-an, Sobirin Supardiyono membuktikan kebenaran cerita itu. Asap selalu keluar dari mulutnya setiap pagi karena udara memang benar-benar dingin. Apalagi, jika dia tengah mengayuh sepeda dari kosnya di Muararajeun ke kampus ITB tempat dia menimba ilmu. "Asapnya keluar banyak sekali. Lha wong saya ngos-ngosan ngegenjot sepeda," kata Sobirin dengan logat Jawa yang masih kentara saat ditemui di tempatnya sehari-hari berdinas (nongkrong, Sob) di Pusair, Jln. Ir. H. Djuanda (Dago), beberapa waktu lalu.


"Semburan naga" di pagi hari hanyalah salah satu nostalgia yang dimiliki Sobirin. Banyak lagi kenangan indahnya tentang Kota Kembang, tentang pohon-pohon yang rimbun di kanan-kiri jalan, tentang sawah hijau yang menghampar.
Bersepeda dan tidak jarang dengan jalan kaki, menjelajahi sudut-sudut kota yang hijau. Dia senang melihat sawah. Oleh karena itu, pergilah ia ke Buahbatu atau Cisitu, yang ketika itu masih berupa hamparan padi menghijau. Bandung, bagi Sobirin muda, merupakan desa yang ada di dalam kota, yang tak habis-habis memberikan kesegaran.

Sobirin punya nostalgia dan dia tidak mau hanya menyimpannya di kepala. Saat semua sudut kota mulai memanas akibat pembangunan yang tak terkendali, dia mewujudkan sejuknya Bandung tempo dulu di rumah tercinta. Sesekali mampirlah ke Jln. Alfa No. 92 Cigadung Unpad II, dan akan Anda temui miniatur nostalgianya.


Dari 800 m2 tanah yang dia tinggali, 70% di antaranya dia jadikan lahan terbuka. Di sana hidup berbagai macam tumbuhan, mulai dari cengkih, belimbing, jambu, kersen, hingga sayur-sayuran. "Bahkan, saking cintanya saya pada hamparan sawah, saya tanam padi di dalam pot," kata anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) itu.

Tidak hanya menyediakan lahan bagi ruang terbuka hijau, Sobirin juga menerapkan kebijakan nihil limbah (zero waste) di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak ada sampah yang keluar dari rumah sebab semua diproses terlebih dahulu. Penanganan berbeda pada sampah organik dan nonorganik merupakan kunci utama.

"Kita memang tidak akan pernah bisa kembali ke Bandung pada masa lalu yang serbahijau dan sejuk. Itu menjadi nostalgia. Akan tetapi setidaknya, ada yang bisa kita kerjakan. Kalau mengeluh kota ini semakin panas, ya mulailah berbuat dari lingkungan terkecil, rumah kita masing-masing," kata Sobirin yang juga aktif mengampanyekan kepedulian terhadap lingkungan lewat dunia maya melalui blog pribadinya.

**

Nostalgia juga dimiliki musisi kawakan Iwan Abdurrahman. Melintas di Jln. dr. Cipto, 40 tahun lalu, ditemuinya hamparan karpet merah memanjang berupa guguran bunga flamboyan yang banyak tumbuh di kanan-kiri jalan. Dari sanalah lahir lagu legendarisnya, "Flamboyan", dan jadilah kenangan tentang Kota Kembang yang asri itu abadi.


Saat ini, meski jalanan menjadi luar biasa sesak oleh kendaraan dan asap membuat udara pengap. Iwan, biasa disapa Abah, menolak mengatakan sudah tidak ada lagi bunga flamboyan di kota tercinta.
"Masih banyak pohon flamboyan di tepi jalan. Hanya mungkin tidak kita lihat lagi karpet merah karena sudah tergilas roda-roda kendaraan yang makin sesak," kata pegiat kelompok pencinta alam Wanadri tersebut.

Abah membaca kesetiaan flamboyan sebagai sifat baik alam, yang sayangnya, kerap gagal dipahami manusia. Contoh kecil yang menjadi keprihatinannya adalah keengganan kebanyakan orang menanam pohon di tempat tinggal masing-masing.
"Bayangkan jika setiap rumah di kota ini menanam paling tidak satu pohon, entah besar atau kecil. Bandung pastilah lebih sejuk. Tidak usah terus menunggu pemerintah membuat taman kota," katanya.

Memiliki lahan seluas lebih dari 5.000 m2 di Jln. Cigadung Raya Tengah No. 18, Abah memberikan hampir 90% darinya untuk rumput, perdu, dan pepohonan. Puluhan cemara setinggi 20-an meter, kelapa, sakura, bugenvil, dan jambu, yang semua dia tanam sendiri sejak 30 tahun lalu, tumbuh bebas di sana. Rumah Abah ibarat gubuk kecil di tengah hutan.

"Saya serasa masih tinggal di Bandung tahun 60-an. Udara di sini dingin. Setiap kali bangun pagi dan melayangkan pandangan ke luas pekarangan, saya masih dapat menjumpai kabut. Semua karena pepohonan yang saya tanam," ucap Abah yang hingga kini terus rajin mencipta dan menyanyikan lagu-lagu bertema lingkungan dan kemanusiaan.

Abah dan juga Sobirin memiliki nostalgia tentang kemolekan Bandung puluhan tahun lalu. Akan tetapi, meski kini mengalami kota yang terus memanas, mereka tidak mau larut dalam nostalgia dan penyesalan. Mereka berbuat.

Nah, jika mereka punya nostalgia, bukankah kita, yang lebih muda, memiliki mimpi tentang hal yang sama, tentang Kota Bandung yang makin sejuk dan nyaman? Oleh karena itu, sama seperti mereka, mari berbuat!. (Ag. Tri Joko Her Riadi/Catur Ratna Wulandari/ Daniswara/Eva Fahas)***

1 comment:

infogue said...

Artikel anda:

http://orang-tua-anak.infogue.com/
http://orang-tua-anak.infogue.com/menghitung_dan_menentukan_masa_subur

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!